26-11-2019

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tema hari-26: Buat tulisan tentang benda seni yang tidak selesai dikerjakan.

...

Ujian Seni

"Dalam rangka ujian mata kuliah kesenian, minggu depan kalian akan memamerkan karya-karya seni terbaik kalian. Jadi, mulai hari ini sampai minggu depan, buatlah karya seni yang menakjubkan!" Dosen kesenian mengumumkan sesuatu yang mengejutkan. Pertanyaan-pertanyaan muncul silih berganti.

Aku memperhatikan setiap pertanyaan itu. Semoga ada beberapa pertanyaan serupa milikku yang terlontar. Sebaiknya karya seni seperti apa yang akan kutampilkan? Pahatan? Ukiran? Origami? Konyol. Origami terlalu sederhana, kecuali yang lipatannya memang rumit.

"Aku ketinggalan apa, Re?" tanya seseorang. Arga yang sedari tadi tidur di sampingku sampai mengeluarkan iler akhirnya bangun juga.

"Kau ketinggalan lima stasiun," jawabku asal.

"Ha?" Arga yang masih berusaha masuk ke realitas menunjukkan tampang tak mengerti dengan mulut menganga.

"Nanti kujelaskan."

Sepanjang perjalanan pulang, aku menjelaskan apa saja yang harus dilakukan untuk minggu depan. Di atas motornya, Arga tampak biasa saja, sementara aku masih terpikirkan apa yang akan kubuat.

"Santai, lah," katanya sembari melihat wajahku dari kaca spion.

"Maaf, tapi aku bukan tipe deadliner sepertimu," timpalku sambil melipat kedua tangan. Orang itu hanya tertawa.

Aku tidak bisa diam di dalam kamar. Hal yang kulakukan malam itu adalah mondar-mandir tidak jelas. Berharap ide tiba-tiba datang begitu saja bagaikan wahyu yang turun dari langit.

Ponselku berdering. Inikah wahyu itu?

"Halo?"

"Halo, Re?" Oh, bukan wahyu ternyata, tetapi Arga. "Bisa mengganggu sebentar?"

"Ada apa? Biasanya kau langsung bilang kalau ada sesuatu."

"Aku mau curhat." Entah kenapa nada bicaranya terdengar menjijikkan. Bingung dengan apa yang harus kulakukan dengan ide yang tak kunjung datang, akhirnya aku memutuskan untuk meladeni orang itu.

"Sudah?"

"Sudah. Re, kenapa kau terdengar begitu ketus? Apa aku ada salah? Kalau ada aku minta maaf."

"Tidak ada. Aku hanya belum dapat ide untuk tugas minggu depan. Kau bagaimana?"

"Belum, sih. Tapi, tenang saja. Nanti juga bakal dapat, kok." Enak sekali jadi dia. Selalu berpikir positif.

"Ya, sudah." Aku menutup sambungan tanpa mendengarkan jawaban dari seberang.

Aku kembali mondar-mandir mencari ide. Lukisan? Aku tidak bisa menggambar. Pahatan? Terlalu rumit. Ukiran? Sama saja. Tanganku kaku. Kerajinan? Tidak terpikirkan satu barang pun di benakku. Mungkin aku akan tidur dahulu. Semoga saja ide datang mengetuk otakku.

Tiga hari! Baiklah, sepertinya aku harus menarik kata-kataku tentang origami konyol. Sudah kuputuskan untuk membuatnya saja dengan sedikit modifikasi. Arga tampaknya belum juga menemukan ide yang dia inginkan atau memang belum berniat melakukannya.

"Nanti aku ke rumahmu, ya! Sekalian kau membantuku," ucap Arga pada hari Minggu pagi. Sebelumnya dia berniat ke rumahku di hari Sabtu, tetapi ada urusan mendadak, katanya. Kenapa aku harus repot-repot membantunya? Namun, pada akhirnya kuiakan juga.

Aku sedang membuat diorama hewan-hewan mitologi yang terbuat dari kertas origami ketika Arga datang. Dia membawa banyak barang di kedua tangannya yang langsung disimpan seenak jidat di atas kasurku. Setelah berpikir berhari-hari, kuputuskan untuk membuat origami karena yang itu termasuk agak rumit sehingga aku tidak terlalu malu-malu amat nanti, kertas di kamarku juga menumpuk.

"Kau mau buat apa?" tanyaku lelah melihat barang-barang yang mulai dia keluarkan dan memenuhi permukaan kasur. Aku akan tidur di mana nanti?

"Gedung pencakar langit," kata pemuda itu sambil merentangkan tangan ke atas, "dari stik es krim," tambahnya.

"Oh, bagus," timpalku sembari mengecat beberapa bagian naga kertas supaya lebih indah. Lalu dia melihatku dengan tatapan memelas. "Apa?"

"Bantu aku." Aku mendengkus.

Aku membantunya setelah setuju untuk membantuku terlebih dahulu. Aku terpaksa bergadang membantu Arga yang katanya ingin membangun miniatur gedung pencakar langit setinggi satu meter dengan model terpuntir. Kami bahkan sampai terangguk-angguk saking mengantuk.

Aku sudah katakan kalau menjadi deadliner—apalagi ini menyangkut seni yang harus dikerjakan dengan hati—tidaklah baik. Arga baru mengerti ketika miniatur gedungnya yang baru berukuran lima puluh sentimeter roboh karena ulahnya sendiri—jatuh karena terantuk kepalanya sendiri yang tidak bisa menahan kantuk. Untungnya aku berhasil menahan tubuh besar itu agar tidak menghancurkannya berkeping-keping. Mata Arga yang segaris karena mengantuk tiba-tiba membulat sempurna. Mulutnya menganga, tetapi tidak ada suara yang keluar karena aku keburu membekapnya dengan bantal sampai telentang.

Saat aku membuka bantal yang menutupi wajahnya, Arga sepertinya masih tampak syok. Dia bangun tanpa mengganti ekspresi, kemudian melihat bergantian antara karya seninya dan milikku. Oh, jangan sampai.

Arga meratapi karya seninya seperti berpikir akan diapakan benda itu. Satu lampu terang bagai menyala di benaknya. Satu senyum terukir di wajahnya. "Re, minta nagamu satu, ya?"

"Apa—"

"Kau, kan, ada banyak. Boleh, ya? Ya? Ya?" Tanpa mendapat persetujuan dariku, dia langsung mencopot satu nagaku, kemudian ditempelkan ke bagian gedung yang hancur miliknya. Kadang aku tidak dapat memahami jalan pikiran orang itu.

Karya seni milikku selesai dan milik Arga ... aku tidak sanggup mengatakan kalau itu "selesai". Akhirnya pameran pun dilaksanakan. Aku memamerkan diorama makhluk mitologi yang terdiri dari naga, unicorn, pegasus, feniks dan kentaurus. Sementara Arga ....

"Apa judulnya?" tanya seorang guru.

"9/11," jawab Arga senang.

"Kenapa ada naga? Bukan pesawat?"

"Karena pesawat sudah biasa," sahut lelaki itu enteng. Kami semua memberikan tatapan ngeri. Ewh, so dark.

-oOo-

A/N

Saya sedang tidak fit. Udah gitu aja. '-'

Semoga saya masih bisa bertahan. '-')9

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro