Bab 4. Persiapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesampainya di rumah Noena marah besar. Ia marah karena aku tidak ada dimana pun saat ibu sempat mampir. Untung saja ia tidak bisa datang lama-lama karena pekerjaan yang menumpuk. Tentu saja aku asal mendengarkan omelannya sambil memikirkan menu apa yang harus aku coba bersama Tristan besok. 

Akhirnya hari baru datang. Aku langsung bersiap-siap menuju serikat kami karena tidak sabar melihat perkembangan apa yang mereka lakukan. Malvi sampai aku tinggal karena langkahnya yang pelan, tidak begitu tertarik. Saat aku membuka pintu, terlihat para lelaki yang mengatur kembali tatanan perabotan. Tentu saja kali ini aku yang memberikan sejumlah uang ke Andrew untuk membeli perabot di tempat ini.

"Selamat pagi nona." Pak Timous menyapa dengan pot bunga di tangannya.

"Selamat pagi juga Pak Timous. Dari mana bunga itu? Terlihat menarik."

Pak Timous meletakkan post bunga yang besar itu dan menunjukkan bunga yang ditanam di dalamnya. "Ini adalah bunga yang ditanam oleh adikku, sayangnya aku lupa bertanya mengenai bunga ini karena aku pikir bunga ini cantik untuk dihias di sini."

Aku mencium sekilas aroma bunga itu. Tidak terlalu menyengat dan wanginya menenangkan. "Itu memang benar, apalagi aromanya tidak terlalu menusuk jadi tidak akan menganggu rasa makanan. Terima kasih pak Timous."

"Sama-sama nona, senang anda menyukainya." Pak Timous pergi dengan senyuman manis.

"Nona." Andrew berlari kecil mendekatiku. "Seharusnya anda mengatakan padaku terlebih dulu kalau anda datang."

Aku tertawa pelan. "Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku sangat tertarik dengan pembukaan serikat dan restoran ini. Oh mengenai berita soal serikat ini aku sudah menyerahkan kepada Malvi untuk menyebarluaskannya." Malvi yang akhirnya sampai mengangguk saat namanya dipanggil. "Walau begitu mungkin kasus yang akan kita terima mengenai persoalan cinta. Mohon dimaklumi."

Andrew tertawa keras, rasanya suaranya hampir memenuhi ruangan ini. "Tenang saja nona. Asalkan tidak membunuh, sesuai janji nona."

"Oh jelas tenang saja."

Tiba-tiba Andrew menggandongku dan meletakkanku di salah satu bahunya. "Ayo nona, saya tunjukkan kantornya." Aku mengangguk dan Andew mulai berjalan.

Kami berjalan melalui tangga di sebelah meja kasir, tentu saja aku sengaja meletakkannya seperti itu jadi tidak sembarang orang bisa naik begitu saja. Di lantai dua terdapat banyak sekali ruangan di kiri dan kanannya, dari pemandangan ini aku tidak akan kaget jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya tempat ini dulu adalah penginapan. Andrew membuka pintu yang dekat dengan jendela. 

Saat pintu dibuka aku bisa melihat sebuah kantor yang indah dimataku. Ada dua sofa di sisi kiri dan sebuah meja kerja dengan kursi di belakangnya. Di belakang kursi terlihat ada jendela dan di sisi daun jendela terlihat kayu yang menjulang sampai ke bawah dengan huruf T, sepertinya itu tempat Ghava diam di ruangan ini.

"Bagaimana menurut nona?"

Aku terdiam untuk memikirkan posisi yang lebih nyaman. "Bagaimana kalau posisi sofa diputar seperti ini?" Aku menggerakan tanganku untuk memberi tanda agar sofa dan mejanya diputar 90 derajat. "Jadi tamu akan memunggungi pintu masuk. Lalu berikan pintu samping agar memudahkan jika memang ada yang ingin menguping." Aku tidak bisa menyembunyikan senyuman sinisku.

Andrew melemparkan senyuman yang sama. "Baik nona akan aku siapkan. Perlu menambahkan sofa dan meja juga?"

"Tentu saja tetapi tidak perlu sampai selebar ini, cari yang lebih pendek saja."

"Baik. Lalu bagaimana dengan ruangan nona?"

"Ruanganku?" Andrew mengangguk. "Ruanganku ya ... Sebenarnya aku ingin menambahkan ruangan kamar tidur jika memang mendesak tapi aku tidak begitu menginginkan ruanganku terlalu dekat dengan ruangan ini."

"Bagaimana dengan ruangan di ujung?" Aku menatap Andrew bingung. Andrew mulai berjalan keluar dari ruangan itu. "Ada jendela di kedua sisinya, itu akan memudahkan sirkulasi udara. Aku pikir itu akan cocok untuk nona. Lalu di sebelahnya bagaimana kalau kamar pribadi nona? Karena banyak ruangan di sini bukan masalah jika dua ruangan ujung itu milik nona." Andrew mulai membuka ruangan yang ia katakan.

Aku cukup kaget terdapat dua ruangan yang lebih luas ketimbang ruangan kantor yang dipilih Andrew. "Tidakkah lebih bagus jika salah satunya adalah ruang kantor saja?"

Andrew menggeleng. "Tidak perlu mempunyai ruang kantor yang terlalu luas. Lagi pula semua ini uang milik nona jadi kami berharap nona akan nyaman berada di tempat ini."

Mataku rasanya lembab. "Padahal dengan kalian menerimaku begitu saja sudah membuatku nyaman kok."

"Haha! Tentu saja kami tidak merasa cukup dengan itu." 

Setelah itu Andrew mengajakku keliling ruangan lain di lantai dua. Akhirnya kami sepakat membuat salah satu sisi menjadi ruang kantor sedangkan sisi lainnya akan menjadi kamar tidur kosong. Andrew menolak uang tambahan yang sebenarnya masih cukup banyak, katanya akan lebih bagus kalau dikerjakan satu persatu saat pendapatan restoran mencukupi. Aku tersenyum mendengarnya, memang sedikit lebih bagus mendapatkan karyawan yang hemat uang begini.

Setelah menyapu bersih lantai dua, Andrew, yang masih tetap meletakkanku di salah satu bahunya, turun ke lantai satu. Ternyata Tristan dan beberapa lainnya telah menyiapkan cemilan ringan dari sayur-sayuran. Andrew menurunkanku di salah satu kursi meja makan yang sudah penuh dengan santapan lalu ia pergi untuk berbicara dengan pria lainnya. 

Tanganku menarik ujung lengan Tristan yang meletakkan piring di depanku. "Aku rasa sudah saatnya kita mendiskusikan mengenai menu makanan, tidak mungkin hanya menyajikan roti lapis kepada setiap pelanggan."

"Baiklah, saya akan menunggu di dapur."

"Ayo kita bicarakan di dapur." Tubuhku yang berputar dengan sebuah piring di tangan langsung dicegat Tristan.

"Mari bicarakan setelah nona selesai makan saja, tidak perlu terburu-buru. Di umur nona masih memerlukan nutrisi yang banyak." Tristan memperbaiki posisi dudukku dan meletakkan kembali piring di atas meja.

"Bukankah akan lebih cepat jika mendiskusikannya langsung?"

"Saya berharap nona bisa menikmati makanan dengan tenang." Tristan berlutut dengan sebelah tangan di depan dadanya.

"Baiklah. Aku akan menyelesaikan makanku dengan cepat." Tanganku sudah siap meraih garpu dan sendok.

"Makanlah dengan tenang nona. Saya akan mempersiapkan bahan-bahan agar bisa nona lihat dengan lebih mudah. Saya permisi." Bahkan aku tidak diizinkan untuk menyela, Tristan sudah berjalan terlebih dahulu dan menghilang di balik pintu dapur. 

Terdengar tawa dari samping. "Tristan tidak mengalah semudah itu nona." Gerald tidak menyembunyikan tawanya sambil memegang perutnya.

"Padahal kalau bisa sambil-sambil kan lebih efisien jatuhnya." Aku menyuap sesendok sayur ke dalam mulutku. 

"Tapi umur nona memang harus mendapatkan gizi yang cukup apalagi nona ... " Mataku melihat ke Gerald yang terhenti. Tiba-tiba Gerald meletakkan tangannya yang besar di atas kepalaku dan menggoyangkannya kasar, sampai kepalaku ikut bergoyang. "Nona adalah nona kami yang berharga!" 

Iya-iya aku tahu tapi kalau begini aku bisa pusing.

"Gerald singkirkanlah tanganmu itu. Tidakkah kamu melihat nona tidak nyaman?" Liam datang dengan berdecak pinggang. Mataku salfok melihat kepalanya yang diikat kain penuh dengan pola bunga dan mengenai rambut biru tuanya itu. Kainnya tidak biasa.

"Apa maksudmu? Aku kan tidak mengganggu nona."

"Tapi nona bisa terganggu oleh tindakanmu yang kasar."

Aku pura-pura tidak dengar sambil kembali menyuapi diriku dengan sendok penuh sayur.

"Bagaimana nona?!" Tiba-tiba saja kedua pria itu melihat ke arahku dengan pandangan yang berapi-api.

"Aku ... " Bisa dilihat pandangan mereka yang menunggu jawabanku. "Aku ingin makan."

"Oh tentu saja nona, makanlah yang banyak."

"Silahkan menikmati makanan anda dengan nyaman nona."

Hanya ditinggal beberapa menit aku sudah merindukan Tristan yang lemah-lembut.

***

"Ayam ... goreng tepung?" 

Aku menatap Tristan dengan pandangan percaya diri. Tentu saja, siapa yang tidak menyukai ayam yang digoreng dengan tepung? Mau itu pakai bumbu asin, pedas, kecut, asam, manis. Siapa yang akan menolak sensasi gurih dan lembut itu?

"Tetapi saya belum pernah -"

"Karena itu kita yang pertama!" Aku berseru ke arah Tristan dengan semangat. "Tentu saja ayam juga bisa dijadikan pendamping untuk minuman apa saja jadi pasti itu akan laku! Oh selain itu kita bisa pakai di metode yang sama dengan bahan yang lain. Seperti ikan, daging, bahkan sayur!"

"Buah?"

Aku cemberut medengar perkataan Tristan. "Buah itu enak di potong, jus, atau di makan langsung saja. Untuk apa di olah lagi?"

"Ma-maaf."

"Sudahlah, ayo kita coba!" Tristan mengagguk dan ia siap untuk di suruh olehku. Agak kasian juga sih tapi dia yang menyuruhku untuk tidak beranjak dari kursi yang dia sediakan.

"Saya sudah menyediakan bahan-bahannya nona." Sebelumnya aku sudah memberikan sebuah kertas kecil, untung saja dia bisa membaca.

Dengan instruksiku, Tristan membuat resep yang aku sebutkan. Ia bisa memotong ayam dengan rapih, walau dalam kondisi masih mentah. Untuk awal aku akan mencoba membuat ayam goreng tanpa tulang dan bisa dicurangi sedikit yaitu dengan harga sedikit mahal tetapi ayamnya yang terpakai tidak sampai setengah ekor. Tulangnya disisihkan untuk membuat sup kaldu dengan aneka sayur yang menyegarkan. 

Aku tertawa pelan saat melihat Tristan yang begitu memperhatikan ayamnya di minyak agar tidak gosong, padahal kalau ia meninggalkan itu dan melakukan hal yang lain bukanlah hal yang masalah. Ayam yang telah ditiriskan dan didinginkan diletakkan di piring yang sudah tersedia daun selada, irisan tomat, serta cincangan kol dan wortel sebagai hiasan.

"Jadi!"

Aku menepuk tanganku kecil. "Ayo kita coba!"

Tristan mengambil garpu untuk kami berdua. Saat menusuk ayamnya, terdengar bunyi garing. Aku mentap Tristan karena bahagia ayamnya berhasil gurih. Kami saling menaikan garpu kami dan menatap khawatir sebelum akhirnya memakan dengan mata tertutup.

Enak!! Gurih langsung menyambut mulutku dan ayamnya sangat lembut dan manis. Apalagi porsi bumbu takaran Tristan sangat pas, membuat lidah menari di dalam mulut. Saat aku membuka mata Tristan juga terlihat terkejut. Selanjutnya aku mulai mengambil cincangan wortel. Rasanya memang segar tetapi seperti ada yang kurang.

"Ada apa nona?" 

"Kurang."

"Ya?"

"Oh! Bagaimana dengan mayonese?"

"Mayo...?"

"Ayo buat, pasti sayurnya akan lebih enak!"

Dengan secepat kilat Tristan bangkit dari posisinya dan langsung mengambil bahan-bahan yang aku sebutkan. Untungnya bahan-bahan itu ada karena uang yang diberikan ibu sebelumnya. Tanpa bantahan, Tristan menuruti semua perkataanku. Hingga akhirnya krim putih kekuningan itu jadi.

Jariku langsung mencoel krim yang ada di sendok yang sudah diangkat Tristan. Enak!! "Takaran Tristan tidak pernah salah deh, cocok banget jadi koki."

Tristan terlihat kaget dengan rasa mayonese yang unik. "Saya tidak tahu ada krim seperti ini."

Aku tertawa pelan. "Ayo campurkan sedikit di sayurnya."

Tristan mengangguk dan melakukan seperti apa yang aku suruh. Setelah itu aku mengaduk cincangan kedua sayur itu selagi Tristan meletakkan kembali mangkuk mayonese.

"Selamat makan!" Aku memasukan garpu penuh cincangan sayuran dengan mayonese. Enak!! Ini dia rasa segar yang sudah lama tidak aku rasakan!

"Ini luar biasa. Berkat nona saya baru tahu ada yang seperti ini."

"Tapi ini berkat Tristan juga yang memasukan takaran yang pas. Bagaimana dengan supnya?"

Tristan mengambil dua mangkuk yang berisikan sup kentang dengan beberapa sayur di dalamnya. Aku dan Tristan menikmati sup itu yang menenangkan jiwa raga dan pikiran. Rasanya tidak terlalu kuat dan tidak hambar, menjadi sangat enak kalau dinikmati saat sakit. Apalagi sayurnya tidak terlalu keras dan tidak terlalu lembek, hanya kentangnya yang cukup empuk untuk dipotong menggunakan sendok.

Aku bertatapan dengan Tristan lalu kami tertawa bersama. "Oh, siapkan dua porsi lagi. Sekarang kita biarkan penilaian berlangsung."

Andrew dan Malvi dipanggil untuk menjadi juri kali ini. Mereka diberikan masing-masih satu piring ayam dan semangkuk sup kentang dengan kaldu ayam. Terlihat para pria lainnya menatap makanan mereka lekat-lekat. Sedangkan aku dan Tristan saling berpegangan karena gugup. Padahal ini bukan lomba atau semacamnya. 

"Apa ada nama untuk menu ini?" Malvi menatap menu di depannya, berbeda dengan Andrew yang sedang menelaah visual didepannya. 

"Ayam goreng ....  Oh! Paket Ayam Goreng!" Simpel dan mudah diucapkan. Walau begitu Malvi menatapku seperti mempertanyakan nama menu yang keluar dari mulutku. Memangnya kenapa dengan nama itu?!

Setelah menghela nafas Malvi mulai menusuk ayamnya, begitu pula Andrew. Terlihat mereka sama-sama kaget saat mendengar suara garing ayamnya. Setelah itu mereka mulai memasukan ayam ke dalam mulut mereka. Terlihat ekspresi kaget dari keduanya. Sepertinya memakan makanan yang digoreng masih belum terlalu wajar di dunia ini.

"Ini enak."

"Enak sekali! Siapa yang menyangka ada makanan seperti ini?!"

"Nona, tentu saja." 

Andrew mendatangiku yang duduk di kursi, berdekatan dengan Tristan yang sedang berdiri. Ia langsung menggendongku dan berputar. "Nona kami luar biasa!"

Terdengar sorakan saat aku mulai pusing dengan putaran ini. Tak lama Andrew berhenti berputar dan membiarkan aku dalam dekapannya. Kepalaku masih sedikit berputar. 

.
.
.
.
.

Jadi mulai sekarang saya akan update setiap minggu. Ini dia list ceritanya:

1. The 7 Element Controllers

2. New Daily Life Royal Twins

3. A Little Hope [Revisi]

4. As Blue Sea

5. My Family is Perfect But I'm Not

6. Akar Merah

Itu dia urutannya, bisa dicari setelah saya posting. Mungkin ada perubahan dari tata bahasa dsb-dsb tapi semoga kenyamanan dalam membaca masih bisa dinikmati yaa~

Sampai jumpa kembali :3

-(07/09/23)-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro