duapuluh 4 : [kita baikan, dong]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Author's POV

Pangeran dan Laura sama-sama mengeluarkan uneg-uneg mereka. Menangis bersama mengeluarkan semua kemarahan dan kefrustasian yang mereka alami belakangan ini. Apalagi Laura yang akhirnya malah menangis tersedu-sedu.

"Sorry, Ra. Gue janji, gue gak bakal lagi kaya begitu...."

"Lo beneran janji ya, Pang. Gue benci banget kalo lo misalnya malah milih Revan lagi daripada gue!" ucap Laura pada Pangeran yang mengangguk-angguk tanda paham.

"Gue janji, Ra. Masa lo gak percaya sama gue sih?!" tanya Pangeran kesal karena Laura masih tidak mempercayainya.

"Ya abisan! Lo gue percaya malah berkhianat. Dosa lo Pang!" jawab Laura tak kalah nyolotnya dari Pangeran.

"Ya makanya gue minta maaf, bahkan gue ngempesin duit di dompet gue demi elo!" ucap Pangerannpada Laura yang akhirnya senyum-senyum manis.

"Ya makasih, pengertian banget si lo. Tau aja gue lagi abis stok cemilan...." kata Laura masih dengan senyum-senyum tak tahu malunya.

"Halah Ra, lo tanpa cemilan kaya manusia tanpa udara kali!" ucap Pangeran yang tahu bahwa Laura tak akan mungkin kehabisan cemilan selama masih ada Andrico di dunia ini.

"Yaudah sih, emang gue lebay! Napa gak suka? Mau musuhan?!" tantang Laura pada Pangeran.

"Oh lo mau musuhan sama gue?" tanya Pangeran balik.

"Gak, gak jadi. Gue udah enggak marah," tandas Laura dan langsung mengambil cemilan yang ia suka untuk di buka. Tentu saja dari kantong yang Pangeran bawa.

"Sok-sokan mau musuhan. Di jauhin seminggu aja meweknya kaya abis dirampok sedunia." Celetuk Pangeran yang di balas dengan cibiran oleh Laura.

"Eh Pang, gue dapet temen tau!" Laura menatap Pangeran antusias. Pangeran menatap Laura tak percaya.

"Udah mau kiamat, Ra?" tanya Pangeran kaget. Laura menatap Pangeran sinis.

"Emang lo doang yang bisa dapet temen hah?!" tanya Laura pada Pangeran yang sialnya di angguki oleh Pangeran sendiri.

"Emang asem banget lo, Pang...."

"Jadi siapa temen lo, namanya?" tanya Pangeran pada Laura yang sibuk mengunyah.

"Namanya Isya ... Temen sebangku gue," jelas Laura yang di angguki oleh Pangeran.

"Bagus deh, kalo gitu. Gue enggak harus merasa bersalah banget dong? Kan ada mukjizat," kata Pangeran yang diangguki oleh Laura.

"Ya, makasih juga sih,"

"Nonton aja yuk, udah lama kita enggak nonton," Pangeran mengalihkan pembicaraan mereka dan mereka pun memutuskan untuk menonton drama Korea ringan yang ingin Pangeran tonton.

Biasanya mereka akan menonton di perpustakaan ataupun di ruang kelas. Kali ini mereka bisa menonton drama di rumah Laura. Sebuah kemajuan yang lumayan pesat bukan?

'Tok tok tok'

Walaupun tidak di tutup dan di kunci, Andrico tetap mengetuk pintu kamar Laura. Laura yang sibuk menangis, membuat Andrico panik.

"Kamu apain Laura?!" tanya Andrico mau emosi.

Pangeran yang membelakangi Andrico langsung menatap Andrico. Dan tentu saja Pangeran ikut menangis, karena mereka sedang menonton bersama.

"Ssrttt ... saya gak ngapa-ngapain anak Om ... Drakornya, sedih Om...." ceteluk Pangeran sambil menyeka ingusnya.

"Iya Pa ... Sedih banget sampe nangis ... Huuaaaa....." Laura menangis kencang sambil memakan popcornnya, Pangeran juga menangis sambil memberikan Laura tisu untuk mengelap ingus Laura.

Andrico menggeleng. Sedikit merasa bersalah juga pada Laura karena sudah melarang Pangeran untuk bermain dengannya. Namun, rasa khawatir Andrico dengan Pangeran bermain bersama Laura itu tak bisa terbantahkan.

Walaupun sekarang Andrico sudah mulai mempercayai Pangeran. Walaupun belum seratus persen, jangankan seratus persen. Lima puluh persen saja belum sampai.

Andrico melihat ke arah Pangeran dan Laura sekali lagi, dan memutuskan untuk pergi keluar sesaat setelah ia meletakkan cemilan buah untuk Andrico dan Laura.

"Sedih banget, kenapa bapaknya meninggal...." celetuk Pangeran yang tak tega melihat tokoh utama yang ditinggal ayahnya dalam kecelakaan.

"Iya anjir, gue jadi ke inget Papa gue...." Laura makin menangis karena membayangkan hidup tanpa Andrico.

"Kenapa lo makin kenceng nangisnya?" tanya Pangeran sambil menjeda tontonan mereka. Tangis Laura makin kencang.

Sampai Andrico saja berlari tergopoh-gopoh dari kamarnya, karena mendengar Laura menangis begitu kencang.

"Laura kenapa?!" tanya Andrico panik dan mendekatkan diri pada anak semata wayangnya itu.

Pangeran melipir sedikit, membiarkan Andrico yang panik mengecek keadaan Laura. Laura yang melihat Papanya mendekat langsung memeluk Andrico kuat sambil menangis.

"Itu ... Itu...." Laura berbicara tersendar-sendat karena menangis.

"Itu ... Sedih dramanya ... Papanya meninggal...." Lalu Laura menangis dengan kencang kembali sambil memeluk Andrico.

"Kenapa nangis? Kan cuma film," kata Andrico berusaha untuk menenangkan Laura yang menangis.

"Iya, Ra. Kenapa lo jadi nangis kenceng begini...." Pangeran juga ikut khawatir dan mengelus tangan Laura yang berada di leher Andrico.

"Papa jangan tinggalin aku, kaya Papanya dia ... Aku ... Takut ... Papa tinggalin aku sendirian," jawab Laura sambil sesenggukan. Pangeran dan Andrico yang mendengar itu kegelian namun juga lega.

Apalagi Andrico yang terharu karena Laura sangat menyayanginya. "Enggak sayang, Papa enggak akan tinggalin kamu sendirian...."

"Papa janji ya? Laura enggak bisa hidup tanpa Papa...." ucap Laura lirih. Andrico mengangguk dan mengusapkan air mata Laura yang masih berjatuhan.

"Papa juga enggak bisa hidup tanpa Laura...." Balas Andrico dan mencium kening anaknya itu. Pangeran ikut terharu melihat kemanisan ayah dan anak itu.

"Cie ... Pangeran pengin di peluk juga ya?" Laura yang melihat Pangeran terharu malah menggodanya.

"Ye, lagi nangis juga lo. Masih aja usil!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro