Insiden Kopi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku mengunci pintu kamar tanpa semangat. Kenyataan bahwa Adhit ternyata melupakanku malah membuat semangatku mengendur. Sudah beberapa hari ini aku tidak bisa semangat berangkat kerja pagi. Rumi saja sampai sempat sarapan di kosan karena kami berangkat di atas jam tujuh pagi.

"Riani kenapa, sih?"

Aku menoleh menatap Rumi yang menatapku penasaran.

"Kenapa apanya?" Aku berlahgak tak paham.

"Ditanya malah balik nanya," keluhnya. "Rumi heran, deh. Kemaren-kemaren Riani semangat banget berangkat kerja. Selalu ngajakin Rumi berangkat sebelum jam tujuh. Tapi sekarang ... kita malah berangkat kerja jam setengah delapan."

"Kamu sukanya kita berangkat pagi-pagi?"

Trik paling ampuh mengalihkan pembicaraan adalah memberikan fokus objek pada si penanya. Seperti yang kulakukan sekarang. Aku sengaja menekankan pada kata kamu, supaya Rumi lebih fokus pada dirinya.

Rumi tampak mengulum senyum. "Sebenarnya Rumi lebih suka kayak sekarang, sih. Rumi jadi sempat buat rapihin kamar dulu."

Aku nyengir mendengar kalimat Rumi. Perempuan di sebelahku ini emang wife material banget. Rajin banget rapihin kamar.

"Rumi juga jadi bikin sarapan sendiri," tambahnya.

Nah, semakin kelihatan kan wife material-nya. Sempat-sempatnya bikin sarapan sendiri. Aku juga jadi kebagian bisa menikmati sarapan buatannya. Aku bahkan lihat dia sempat menyiapkan bekal.

"Kalau gitu, kita nggak perlu berangkat pagi-pagi kayak kemaren lagi." Aku menyudahi pembicaraan tanpa perlu mengungkit alasanku.

***

[Kenapa, lo?]

Muncul pop up pesan di layar ponsel. Itu adalah isi pesan yang kubaca dari Ferni. Kukernyitkan alis tak mengerti. Entah apa maksud dari pertanyaan perempuan itu.

Riani Putri

[Maksud lo apaan?]

Ferrr

[Belagak nggak ngerti lagi]

[Itu apaan Story lo galau melulu]

[katanya kemaren lo udah ketemu sama Adhit.]

Jariku mengambang di atas layar ponsel. Rupanya itu yang dimaksud Ferni. Sepertinya dia baru saja melihat status whatssap yang kuunggah lima menit yang lalu. Rasanya perempuan seperti terus memata-mataiku. Dia bahkan mengingat hal kecil yang kuceritakan tentang Adhit. Padahal aku sudah menceritakan hal itu sudah cukup lama. Mengingat aku sudah hampir satu bulan bekerja di sini.

Riani Putri

[Kepo!]

Ferrr

[Harus. Soalnya lo ke sana bukan cuma sekadar kerja doang. Itu cuma alasan lo.]

Riani Putri

[Tuh, kan. Sok tahu!]

[Gue sekarang beneran kerja tahu.]

Ferrr

[Iyalah, beneran kerja. Kan cwk yang lo cari ternyata satu tempat kerja.]

Riani Putri

[Apaan, tuh? cwk?]

Ferrr

[cowok, Riaan.]

[kudet]

Aku sengaja tak membalas. Kadang aku merasa rugi sudah menceritakan semua hal tentangku pada perempuan itu. Dia terkadang bisa lebih kepo soal kehidupanku dibanding Mbak Reisya, yang jelas-jelas kakak kandungku.

Suara denting ponsel kembali berbunyi.

Dia tidak akan berhenti sampai mendapat informasi yang diinginkannya. Sepertinya misi mengawasi dari Bunda masih dijalaninya.

Ferrr

[Yakin lo nggak mau cerita?]

Aku menatap ponsel dan mulai memikirkan isi pesan itu. Ferni benar. Sama siapa lagi aku mau cerita, kalau bukan sama dia. Aku nggak mungkin cerita sama Rumi. Meskipun baik, aku baru mengenalnya tidak lebih dari satu bulan terakhir. Aku nggak mungkin juga cerita sama Bunda. Dia kan yang paling nggak mau aku pergi ke Bandung.

Aku tergoda untuk bercerita soal Adhit yang lupa padaku. Haruskah aku menceritakan juga hal ini pada Ferni? Aku ragu dia bakal berempati. Rasanya aku sudah mendengar tawa Ferni karena kebodohanku ini.

Tapi mengingat hanya dialah satu-satunya yang mendukung usahaku mencari Adhit, bukankah aku hal ini juga harus diceritakan?

"Cap!"

Panggilan itu membuatku segera memasukkan ponsel ke saku. Kulihat Ameli menunjuk satu meja dengan lirikan matanya.

Saat kuperhatikan meja yang ditunjuk oleh Ameli, belum ada satu waiter yang menghampiri meja tersebut.

"Kenapa, Mel?"

"Tamu itu ... biasanya Pak Refan yang nyamperin," jawab Ameli sambil menyebut restoran supervisor, yang memang belum datang.

"Oke, biar saya aja."

Aku mengambil napas dan menghampiri tamu tersebut. Laki-laki itu duduk dekat jendela. Hanya duduk sendirian. Sambil duduk dia terlihat sibuk dengan ponsel di tangannya.

"Selamat pagi, Pak," sapaku sambil tersenyum.

Laki-laki itu mendongak. Dia menatapku sebentar kemudian melepaskan kacamata yang dikenakannya. Dia menaruh alat bantu lihat itu di atas meja.

"Saya pesan kopi, ya," katanya singkat. Dia bahkan tidak menjawab sapaanku.

Aku langsung menganggukkan kepala singkat. Tidak lupa senyum ramah harus terus stand by di wajah.

"Baik, Pak."

Gegas aku melangkah menuju dapur. Kusampaikan apa yang diinginkan oleh tamu tersebut.

"Pesanan siapa, Capt?" tanya Chef Singgih.

"Tamu yang duduk dekat jendela, Chef," jawabku.

"Meja kedua dari pintu kolam renang?"

Aku mengangguk atas pertanyaan itu. Seketika semua orang di dapur diam.

"Biasanya Pak Refan yang handle, Capt."

Lagi-lagi nama Pak Refan yang disebut. Apa harus nunggu Pak Refan dulu baru ngasih pesanan tamu. Kalau kelamaan kan namanya tidak menyajikan yang terbaik. Pekerjaan kita adalah untuk melayani, kalau nunggu orang lain berarti kita mengecewakan tamu.

Akhirnya aku mengambil keputusan. "Ya udah, saya aja yang bikin."

Tanpa ragu aku mulai mengambil cangkir. Menuangkan beberapa sendok kopi dan gula. Menambahkan air panas. Terakhir aku mengaduk kopi itu. Selesai.

Bukan sesuatu yang sulit, tetapi entah kenapa banyak yang enggan mengerjakan hal sepele seperti ini.

Beberapa pasang mata karyawan memperhatikanku yang membawa kopi buatanku ke meja tamu tersebut. Mereka tidak melarangku tapi juga tidak berinisiatif untuk sekadar menawarkan bantuan.

"Ini kopinya, Pak."

Aku meletakkan kopi di meja tamu tersebut. Tanpa menatapku, laki-laki itu hanya mengangguk.

Dengan kesadaran aku segera undur diri dari meja tersebut. Aku melangkah menuju dapur. Tugasku selesai untuk tamu tersebut. Kembali pada tugas utamaku. Mengawasi para waiter dan waitress agar melaksanakan tugasnya dengan baik. Memastikan operasional di area restoran berjalan dengan baik. Urusan dapur sudah bukan tugasku lagi.

Kulihat Pak Refan baru memasuki dapur. Dia melirikku yang berdiri tak jauh dari bread station. Meyadari aku juga memperhatikannya, dia tersenyum kaku.

Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Entah bagaimana, Pak Refan bergegas mengitari restoran. Rasa penasaran membuat mataku mengikuti langkah Pak Refan.

Kulihat Pak Refan beberapa kali membungkukkan badan. Aku tidak bisa lihat pada siapa dia melakukan itu. Saat aku bergeser, barulah kusadari, Pak Refan berdiri di meja tamu yang kubuatkan kopi.

Setelah itu Pak Refan mengangkat kopi dari atas meja dan membawanya ke dapur. Gerakannya gesit tanpa terlihat terburu-buru. Setelah lima menit, laki-laki itu keluar dengan membawa cangkir yang masih mengepulkan asap. Setelah meletakkan cangkir di meja, Pak Refan undur diri dan kembali ke dapur.

Aku hanya bisa diam memperhatikan Pak Refan. Dia melintas melewatiku. Tidak lupa melemparkan senyum. Kali ini tanpa kekakuan, hanya seperti senyum pemakluman.

Aku menarik tangan seorang waitress yang lewat. Beruntung perempuan itu tidak menjatuhkan piring kotor yang dibawanya.

"Ada apa, Capt?"

"Tadi itu, apa?" tanyaku tanpa menatap matanya. Aku bahkan tidak tahu siapa yang kutarik.

Lama tak ada suara jawaban. Aku kembali bertanya hal yang sama. "Tadi itu, apa?"

"Apanya yang apa, ya, Capt?"

Sepertinya waitress yang kutarik tidak melihat apa yang dilakukan Pak Refan barusan.

"Laki-laki itu siapa?" Aku mengubah pertanyaanku dengan menunjuk tamu yang sedang menyeruput kopi sambil terus menggulir layar ponsel.

"Oh, itu Pak Nanta. Adiknya Pak Nara."

Aku sontak menoleh menatap waitress. Dia tersenyum, tapi hanya sebentar. Melihat wajah melongoku, senyum di wajahnya luruh sedikit demi sedikit.

"Errr, saya permisi lanjut kerja, Capt."

Aku mengangguk masih sambil termangu. Waitress meninggalkanku yang tidak bisa berkata-kata.

Jadi, tadi yang kulayani itu adik dari pemilik hotel. Apa yang salah? Kenapa Pak Refan sampai harus buat ulang kopinya? Aku nggak masukin bumbu yang salah, kan? Kopi, gula, air panas?

Masih kalut memikirkan hal tersebut, aku membalikkan badan. Aku bermaksud beranjak ke dapur ketika kulihat Pak Tama berdiri tidak jauh di dekat lorong menuju toilet. Kakiku tidak bisa bergerak melihat Pak Tama menatapku.


Mampus!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro