Bab 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara klakson sepeda motor memekakkan telinga sampai mengagetkan Gyan ketika menaruh helm full face retro hitam di gantungan motor Yamaha XSR. Dia memutar kepala dan selang beberapa detik kemudian Lavina muncul dengan senyum lebar seraya membunyikan klakson lagi. 

"Selamat pagi,  Pak!"

Gyan mengatupkan rahang, memejamkan mata untuk tidak tenggelam dalam emosi sesaat melihat tingkah gadis tidak tahu aturan itu. Kenapa pula ada manusia seperti Lavina di dunia ini, batin Gyan gemas. Cepat-cepat kaki panjang Gyan bergerak meninggalkan Lavina yang masih sibuk melepas seperangkat perlindungan anti matahari dan anti polusi. Gyan juga enggan menoleh ke belakang barang sedetik akibat kejadian tak menyenangkan yang menimpanya semalam.  

"Jadi, Bapak mau mengajari saya cara memegang yang benar?" tanya Lavina dengan wajah ambigu.

"Kenapa wajahmu jadi mesum gitu?" tukas Gyan mencubit pipi Lavina sekenyal kue mochi. "Kamu tuh masih muda,  jangan memenuhi pikiranmu dengan hal-hal kotor."

Yang ditanya tidak menjawab, justru membeku dengan iris mata yang terkunci dalam netra Gyan.  Suhu ruangan yang dingin ditambah lampu remang-remang counter bar dan posisi mereka yang hanya berdua, semakin cocok untuk berbuat aneh-aneh. 

Gyan bergerak mundur salah tingkah, meraih gelas koktail dan meneguknya hingga habis.  Atmosfer di sekeliling mendadak panas padahal mesin pendingin masih terus menyala dan menunjukkan angka enam belas derajat. Belum pernah dia merasakan hawa seperti ini bahkan saat berdua dengan bartender lain. Atau Lavina memancarkan aura negatif yang bisa membuat lawan bicaranya tak nyaman? pikir Gyan. 

"Kenapa panas sekali?" gerutu lelaki itu pelan. 

"Ada Vega lagi peluk Pak Gyan," lirih Lavina menunjuk punggung si Captain bar.

Lelaki itu menggeleng cepat menepis bayangan betapa horornya kejadian kemarin seraya menggosok lengan yang mulai merinding lagi. Dia memang percaya adanya makhluk selain manusia, tapi cara penyampaian Lavina yang terlalu enteng itu bikin Gyan parno. Apalagi kemarin dia langsung memeluk tubuh kecil Lavina begitu saja seperti anak-anak yang takut sambaran petir. 

Selain itu, sudah beberapa kali pula Gyan memergoki Lavina berbicara sendiri seolah ada wujud yang hanya bisa dilihat olehnya saja. Kadang dia tertawa padahal tidak ada orang yang berada di dekatnya. Gyan bergidik ngeri, bagaimana bisa gadis sepertinya tidak takut dengan hantu malah memperlakukan mereka layaknya teman? 

"Pak!" seru Lavina menepuk punggung Gyan sampai lelaki itu terkinjat. "Lah,  kok pucet?"

Gyan membuang muka, mengerutkan kedua alis tebal tidak ingin melakukan kontak mata dan terus bergerak menjauhi si gadis aneh. Melihatnya, Lavina malah terbahak-bahak mengekori langkah Gyan hingga memasuki lobi hotel menuju lift. Tak jauh dari mereka,  Reiki berdiri di depan lift menoleh ke arah Lavina hendak menyapa namun terhenti mendapati sosok galak yang berjalan angkuh. 

"Mas," sapa Reiki yang dibalas anggukan singkat si Captain bar lalu memandang lurus ke Lavina. "Maaf,  kemarin aku enggak bisa nemenin kamu latihan,  Lavina."

"Emang kamu ke mana sih,  Rei. Aku udah masakin ayam eh malah enggak datang," omel Lavina kesal mengingat perjuangannya memasak menu terenak sebagai ucapan terima kasih. Dia paling sebal kalau ada yang tidak menghargai jerih payah sampai datang malam-malam demi belajar bartending. 

Mendengar percakapan dua manusia yang sama-sama menyebalkannya,  Gyan mendecih dan melirik sinis Reiki. "Emang kapan kamu bisa menepati janji," sindirnya saat lift terbuka. 

Reiki dan Lavina berpaling dengan tatapan penuh tanda tanya ke arah lelaki cuek itu mengikuti jejak Gyan masuk ke kotak besi. Beberapa saat, Reiki berdeham pelan kalau sindiran halus yang dilontarkan Gyan jelas ditujukan kepadanya.  Lantas, dia mundur tak nyaman, merasa enggan jika harus berada dalam satu lift seperti ini. Sebaik apa pun usahanya di mata Gyan, Reiki merasa dia selalu salah.

"Ajari Lavina jika kamu memang lelaki yang bisa dipegang omongannya," titah Gyan tanpa menoleh, suaranya tegas namun terkesan memerintah. 

"Iya, Mas," jawab Reiki pelan. 

"Lah, kenapa malah gitu, aku enggak apa-apa jangan rebutan buat ngajarin aku dong. Hahaha ... Kan aku malu." Lavina yang berada di belakang Gyan berusaha mencairkan suasana yang terasa garing. Justru bibirnya seketika mengatup mendapat lirikan tajam dari Gyan.

Kenapa dia mudah bad mood sih!

Pintu lift terbuka, Langkah panjang yang dibalut sepatu pantofel mengkilap itu meninggalkan Reiki dan Lavina tanpa mengatakan sepatah kata. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan di dalam kepala Lavina tentang sikap Gyan pun reaksi Reiki. Bukan hal aneh jika Gyan suka memarahi bawahannya, tapi sikapnya tadi terasa seperti gunung es berlapis-lapis yang tidak bisa dicairkan oleh matahari. Menurut Lavina, tak sepantasnya sikap itu ditunjukkan ke semua orang walau sekadar ingin berbasa-basi.  Sekeras apa pun sifat Gyan, seharusnya dia menampilkan sisi lembut dan menghargai lawan bicara bukannya membelakangi orang yang diajak bicara. 

"Kejam banget sih jadi orang. Emang dia tiap hari kayak gitu ya?"

Lelaki bertindik di telinga kiri itu tersenyum simpul seraya mengangguk. "Iya,  udah biasa sih sama Mas Gyan."

"Kalau jutek gitu, mana ada cewek yang betah?" cibir Lavina tak habis pikir dengan si kutub es. "Eh,  nanti sore dong ajarin aku di dapur cara pegang shaker dan jigger yang benar. Biar enggak kena omel lagi," bisiknya lagi seraya membuka pintu ruang karyawan yang dibalas dengan tawa Reiki.

Gyan keluar dari ruang head bar yang bersebelahan dengan ruang karyawan bisa mendengar dengan jelas bahwa Lavina menggerutu di belakangnya.  Dia menggeleng sambil tersenyum miring dan menggumam,

"Belum tahu kalau di sebelahnya itu... " ucapan Gyan terhenti saat Reiki keluar dari ruang karyawan dan bertemu pandang dengannya. Dia pergi dengan tatapan sinis meninggalkan Reiki. 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro