Bab 30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Rei!" teriak Lavina saat bertemu Reiki di lobi hotel.

Lelaki yang mengenakan jaket denim dengan tas selempang itu menoleh saat akan masuk ke lift. Lavina berlari mendekati Reiki sambil membawa sebuah bungkusan plastik hitam. Dilirik bungkusan itu seraya bertanya,

"Itu apa?"

"Titipan buat Pak Gyan, tadi aku disuruh ngambil di depan," jawab Lavina.

Mereka berdua masuk lift, sementara Reiki tak menimpali ucapan gadis yang mengenakan parfum beraroma bunga yang menggoda indera penciumannya. Tapi, berduaan tanpa suara pun tak mengenakkan, apalagi dia sempat mendiami Lavina beberapa hari semenjak menyinggung gadis berinisial C itu.

"Kamu lagi deket sama Mas Gyan?" tanya Reiki iseng yang dibalas gelengan Lavina cepat. "Tapi, aku lihat kalian sering ngobrol sekarang."

Lift berdenting, langkah panjang Reiki keluar dari kotak besi itu diikuti Lavina sambil berkata, "Tahu sendiri, Pak Gyan ngambek gara-gara aku tanya masalah cewek. Ternyata dia belum punya pacar, lho!"

Reiki menghentikan langkahnya, menatap iris cokelat Lavina dengan kerutan alis. "Tahu darimana?"

"Dia datang ke rumah bawain makanan sama boba. Kena angin duduk kayaknya tuh si bos, tiba-tiba bilang kalau masih jomlo," cerocos Lavina lalu mengedarkan pandangan dan menemukan Gyan sedang menerima barang supply dari pemasok bar.

Tanpa berpamitan, gadis itu melangkah pergi begitu saja menghampiri Gyan yang justru melempar pandangan ke arah Reiki dengan tatapan tak suka. Tatapan yang diterimanya hampir empat tahun, Reiki tak yakin, sepertinya lebih dari empat tahun semenjak retaknya hubungan dengan sang mantan kekasih berujung malapetaka.

Selain itu, ada rasa aneh yang memenuhi dada Reiki setiap mendengar ucapan Lavina yang begitu menggebu-gebu jika bercerita tentang Gyan. Walaupun gadis itu mendapat cecaran dan masalah di bar, semua ejekan dan ucapan sarkas Gyan seperti tidak ada artinya. Dulu, saat pertama kali bekerja di sini, beberapa anak menangis diam-diam, kadang ada yang mengumpat di balik punggung lelaki tinggi itu, betapa perfeksionis sosok Gyan walau posisinya hanya sebatas captain bar.

Pernah ada satu pikiran dalam benak Reiki untuk menggeser Gyan dari posisi itu. Setidaknya, dia ingin menunjukkan bahwa menjadi barboy hingga bartender itu bukanlah hal mudah. Tak serta merta pula menjadi captain bar yang notabene merangkap menjadi supervisor membuat Gyan bersikap seenaknya.

Sayang, bagi Reiki, Gyan adalah sosok sempurna di mata head bar dan bar manager. Baik dari cara kepemimpinan serta tangkasnya Gyan meracik minuman selalu diacungi jempol oleh tamu. Pernah satu waktu, ada tamu langganan yang hanya mau dilayani Gyan semata dan tidak ingin dilayani oleh bartender lain.

Sejurus kemudian, terlintas satu ide dalam benak Reiki untuk mendapat pengakuan dari atasannya. Dia tersenyum tipis seraya berjalan cepat ke arah ruang karyawan dan bersiap untuk pergantian shift.

###

Hari yang ditunggu telah tiba, mesin motor sport keluaran Honda berwarna hitam dan merah itu berhenti tepat di depan rumah Lavina. Beberapa saat, Reiki mengambil ponsel dari waist bag dan memotret rumah itu untuk dijadikan status Whatsapp.

Tidak ada caption khusus, melainkan sebuah ikon berbentuk hati yang bisa menjadi banyak spekulasi di nomor kontak telepon Reiki. Dan setelah itu, dia mematikan sambungan internet untuk tidak menganggu acara jalan-jalan berdua dengan si gadis manis.

Tak berapa lama, Lavina keluar dengan senyum lebar. Rambut yang biasanya dikuncir, kini diurai sebahu dan masih menonjolkan poni yang menutupi dahi. Penampilan Lavina sedikit berbeda daripada biasanya. Gadis itu mengenakan kaus lengan panjang berwarna putih dengan detail buah nanas kecil-kecil tersebar random, bawahannya hanya mengenakan boyfriend jeans berwarna gelap, sementara sepatu vans hitam seperti menjadi belahan jiwa. Sling bag senada melingkar di bahu kiri, kala Lavina mengunci pagar.

"Malam cantik," sapa Reiki mengerlingkan sebelah mata.

Biji mata Lavina membesar diiringi tawa dari bibir yang selalu dipulas lipstik pink sedikit kemerahan.

"Merinding aku, kamu panggil gitu," ucap Lavina lalu naik ke jok motor Reiki. "Kita mau ke mana?" dia mengenakan helm seraya melihat pantulan wajahnya di kaca spion sebelah kiri.

"Ke bar?"

"Ck, jangan deh. Jadi kebayang Pak Gyan terus nanti," ketus Lavina. "Makan-makan aja, mungkin bisa ke Taman pelangi atau ke Alun-alun lor."

"Jadi, malam ini kita enggak belajar bartending nih?" tanya Reiki menoleh ke arah Lavina. Jarak wajah mereka begitu dekat hingga lelaki yang mengenakan jaket hitam dengan kaus putih merasakan embusan napas lawan bicaranya.

"Gampang, nanti kamu ceritain aja, aku bisa membayangkannya. Lagian, sekarang tinggal belajar tehnik flair bartending aja. Nanti bisa kamu ajarin pas kita satu shift, gimana?"

Reiki mengangguk menyetujui ide Lavina. Akhirnya dia menyalakan mesin motor, menarik kedua tangan gadis itu untuk melingkar di pinggangnya.

"Modus!" seru Lavina bergerak mundur dan memegangi pinggiran jaket di pinggang lelaki itu.

"Ya namanya lagi usaha," timpal Reiki sambil tertawa.

Tanpa disadari, Vega yang melihat dari kejauhan tampak tak suka mendapati dua manusia itu berduaan lagi. Entah mengapa, hatinya bergejolak dan begitu panas setiap melihat Reiki mulai menarik hati seorang perempuan dengan mudah.

Walau dia berwujud tak kasat mata, tapi dia bisa merasakan ada sesuatu yang lain yang dirasakan Reiki kepada Lavina. Sesuatu yang bisa jadi membahayakan gadis itu. Entah sekarang ataupun nanti. Sayang, dia tidak bisa mengikuti Lavina dan Reiki lebih jauh karena tiba-tiba dirinya kembali ditarik ke D'amore bar.

Nasib jadi setan, enggak bisa pergi jauh.

###

Salah satu tempat yang sangat ingin dikunjungi Lavina adalah Taman pelangi yang lokasinya di halaman Monjali (Monumen Jogja Kembali). Meski berjarak setengah jam dari rumahnya, Lavina merasa malas jika harus bepergian seorang diri. Apalagi pasti banyak orang yang mengajak pasangan atau keluarga di sana. Sementara dia hanyalah sebatang kara, jomlo, dan teman-teman semasa sekolah kebanyakan merantau.

Begitu masuk di area Taman pelangi, dia disuguhkan dengan deretan lampion beraneka bentuk dan warna. Ada yang berbentuk tokoh kartun, pohon dan bunga, transportasi seperti mobil atau kereta kuda, hingga wajah-wajah pemimpin. Mereka serasa diajak ke dunia fantasi dengan sentuhan lokal. Beberapa kali, Lavina mengabadikan kreativitas para pembuat lampion aneka bentuk itu dalam kamera ponsel.

"Lav!" panggil Reiki.

Sontak, Lavina menoleh dan di saat bersamaan Reiki memotretnya. Lelaki itu tertawa karena wajah Lavina terlihat tegang dan kedua matanya membelalak. Lavina memukul Reiki, merebut ponsel itu seraya berkata, "Kenapa mukaku enggak instagramable banget!"

"Tetep cantik kok."

"Pret!" ketus Lavina.

Mereka memutuskan untuk foto berdua di beberapa spot. Lavina tidak pintar dalam berpose sehingga beberapa kali, Reiki mengarahkan gaya yang cocok. Dulu semasa putih abu-abu, lelaki itu ikut kegiatan fotografi dan sempat mengambil pekerjaan sampingan sebagai fotografer dengan kamera SLR. Sayangnya, kamera itu harus dijual Reiki untuk merantau ke Jogjakarta.

Berkeliling di area foto memang melelahkan sekaligus terbawa suasana. Banyak pasangan muda-mudi yang mengabadikan momen itu di ponsel. Lavina sudah tidak merasa iri hati, toh dia bersama Reiki walau status mereka hanyalah sebagai teman.

Memasuki di salah satu area foto dengan lampu-lampu lampion berbentuk bulat, menggantung di langit-langit membentuk terowongan bercahaya, di tengah ada sebuah meja kayu dengan dua kursi. Reiki menarik tangan Lavina untuk duduk di sana dan mendapati dua sejoli sedang melintas.

"Mas, permisi, boleh minta tolong fotoin enggak?" pinta Reiki.

"Boleh, Mas,"

Reiki melempar senyum manis lalu duduk di kursi berhadapan dengan Lavina. Gadis itu menahan tawa kemudian menopang dagu dengan kedua tangan, menatap Reiki malu-malu. Jantungnya berdetak kencang, hawa dingin yang menyelimuti semakin dingin, ketika lelaki yang memotret mereka memuji keserasian Lavina dengan Reiki.

Sementara Reiki, mengunci diri Lavina dalam iris mata yang diterpa cahaya lampion. Dia mengikuti gerakan Lavina dan berbisik, "Aku jadi baper."

"Kenapa?" tanya Lavina.

Reiki menoleh sejenak saat sesi foto usai dan mengucapkan terima kasih pada sejoli itu. Dia kembali menghampiri Lavina dan duduk di kursi, menunjukkan hasil jepretan pasangan tadi.

"Kita kayak orang pacaran," kata Reiki.

"Emang iya?" Lavina tanya balik. "Orang kamu pasukan gagal move on kayak Pak Gyan."

"Udah, tapi belum ada cewek yang menarik," kata Reiki. "Kecuali kamu."

"Pret! Dasar buaya!" ejek Lavina sambil bangkit meninggalkan Reiki.

Perjalanan dilanjutkan di salah satu cafe hits bernama Estuary cafe dengan nuansa alam dan kayu. Di sana juga memiliki ruangan indoor dan outdoor dengan dinding bernuansa putih. Kursi-kursi terbuat dari rotan pun mejanya dari bahan kayu, tapi ada juga yang kursi sofa juga. Di sudut cafe, ada satu area yang penuh dengan rak buku.

Tapi, Reiki mengajak ke area indoor agar tidak terlalu kedinginan. Duduk salah satu sudut cafe yang menghadap ke jendela kaca berbatasan langsung di area outdoor agar tidak terasa bosan. Dia menawarkan makanan dan minuman, Lavina ingin mencicipi sesuatu yang manis. Akhirnya, dia memilih red velvet cake dan cookies cream frappe.

Reiki mengangguk dan meninggalkan Lavina sejenak untuk memesan. Seraya menunggu, gadis itu membuka ponsel yang terdapat beberapa pesan dari anak-anak bar termasuk Gyan. Kebanyakan dari mereka bertanya apakah Lavina menjalin Asmara dengan Reiki.

Yang menarik perhatian Lavina justru pesan Gyan. Lelaki mudah emosi itu masih mengatakan hal yang sama tentang tidak terlalu dekat dengan Reiki. Lavina mengetik balasan dengan bibir mengerucut mengapa atasannya begitu kepo terhadap kehidupan pribadi Lavina, sementara dia tidak boleh sedikitpun mengetahui sisi lain lelaki itu.

Reiki datang membawa nampan berisi sepiring aglio e olio, sepotong red velvet cake berukuran medium, secangkir hot cappucino dan segelas cookies cream frappe. Aroma red velvet cake begitu menggoda hidung lancip Lavina. Dia tidak sabar untuk makan roti yang lebih mirip disebut dessert daripada makan malam.

"Nanti kalau mau nambah bilang ya," ucap Reiki tahu bahwa porsi makan Lavina tidak seperti gadis lain.

"Lah dikira cewek apaan pakai nambah," ketus Lavina menyendok kuenya. Rasa lembut roti berwarna kemerahan itu langsung melebur begitu saja di lidah bersamaan dengan krim kocok yang manis. Dia menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan sambil memejamkan mata merasakan betapa enak roti di cafe ini.

"Segitu enaknya?"

Lavina membuka mata, Reiki tertawa terbahak-bahak melihat tingkah gadis di depannya yang sangat menggemaskan ini. Kemudian, Reiki menyendok kue itu dengan garpu miliknya untuk menyuapi Lavina.


"Serasa pacaran," tukas Lavina dengan pipi merona, lantas melahap potongan kue itu ke dalam mulut. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan begitu malu saat debaran di dadanya tak kunjung berhenti.

Letupan hati yang semakin membuncah, menjadikan Lavina mulai berhalusinasi apakah perasaanya kepada Reiki yang diam-diam dia pupuk itu berbalas. Pikirannya melayang-layang jika dia dan Reiki akan menjadi sepasang sejoli yang begitu serasi dan romantis seperti komentar anak-anak bar di Whatsappnya.

"Aku suka sama kamu, Lavina. Jadi, ayo pacaran!" ajak Reiki yang membuat Lavina seketika membeku.

Gimana? Ada yang kesel kalau Lavina dan Reiki jadian?

Kira-kira reaksi Gyan gimana jika tahu bawahannya malah ngebucin?

Bab terakhir yang gratis ya gaes,  selanjutnya bisa kalian nikmati sampai tamat + chapter bonus di Karyakarsa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro