Bab 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gimana,  Pak? Jadi dipecat nih saya?" tanya Lavina lagi, menimbulkan raut kesal di wajah Gyan. 

"Kamu menawarkan diri buat resign?" sindir Gyan lantas beranjak dari kursi membuat Lavina ikut berdiri dan mundur beberapa langkah. Lelaki itu menyandarkan pantat di pinggiran meja kerja, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dengan aura yang semakin mendominasi ruangan, menciutkan nyali Lavina yang ingin membantah perkataannya lagi. 

"Ya enggak juga sih,  tapi kan..." Lavina menggerutu pelan namun masih tetap didengar jelas di telinga Gyan.

"Saya bisa dengar suara kamu."

"Beri saya satu kesempatan lagi ya,  Pak. Saya mohon." Lavina menatap sang captain bar penuh harap, memohon agar lelaki keturunan Tionghoa itu mau menerimanya. "Saya janji--"

"Saya tidak menerima janji apa pun jika kamu mudah mengingkarinya. Untuk apa menjadi bartender jikalau cara kerjamu salah? Apa kamu tidak bisa mendisiplinkan diri? Ceroboh bukan watak  tapi kebiasaan yang tanpa sadar kamu pelihara, Lavina," cerocos Gyan.  "Saya heran mengapa atasan saya bisa menerima kamu di sini."

Yang diomeli sekarang menekuk wajah, mengembuskan napas pasrah jika mendengar perkataan Gyan yang begitu menyakitkan hati.  Kini impiannya untuk bisa menjadi bartender profesional seperti Jennifer Le Nechet--bartender wanita yang diakui dunia--mulai pupus. Dalam pikiran kecilnya,  Lavina bingung harus mencari pekerjaan di mana lagi, apakah dia perlu membuka warung makanan?

"Hei!"

Lavina terkejut bukan main kala Gyan membuyarkan deretan rencananya di kepala.  Lelaki itu menjentikkan jari tepat di depan wajah Lavina dan bertanya,  "Kamu tidak mendengarkan saya?"

"Ya? Ti-tidak... " jawab Lavina jujur. "Saya sedang berpikir besok mau kerja di mana, Pak. Apa saya jualan es aja ya, Pak?"

Astaga, nih cewek! Batin Gyan ingin menggaruk tembok, gemas dengan ucapan polos Lavina. 

Gyan mengangkat tangan kanan, menyiratkan Lavina untuk pergi. Kepalanya mendadak pening berhadapan dengan satu manusia yang tidak bisa dikendalikan.  Lavina mengangguk lemah tanpa menanyakan kembali apa yang dikatakan Gyan sebelumnya. Keberaniannya sudah menipis,  percuma saja dia membela diri hingga berbusa, nyatanya Gyan mengabaikan permohonan Lavina untuk bisa bekerja. 

"Besok jangan telat!" tegas Gyan ketika Lavina berada di ujung pintu.

Gadis itu memutar kepala,  mengerutkan kedua alisnya. "Jangan telat buat tanda tangan pengunduran diri ya, Pak?"

"Kamu bisa bikin saya darah tinggi," keluh Gyan. "Pokoknya jangan telat. Titik!"

###

Berada di rumah sederhana di tengah perkampungan dekat Pasar Giwangan yang berjarak sepuluh kilometer dari D'amore,  Lavina duduk seorang diri sambil membawa sepiring nasi dengan lauk ayam goreng dan sambal bawang yang menggugah selera. Usai pulang dari hotel, dia memutuskan memasak sejenak karena tidak sempat makan sejak tadi siang. Perutnya bakal protes dan memaki Lavina jika bisa berbicara. Beberapa kali,  gadis itu menepuk perutnya seraya mengatakan bersabar bahwa mereka tidak akan mati hanya karena telat makan.

Hidup sebatang kara tanpa sanak saudara memang bisa dikatakan susah, apalagi semenjak kematian kedua orang tua Lavina beberapa tahun lalu membuat gadis itu harus berjuang seorang diri.  Dia duduk berselonjor di lantai,  mengambil remote televisi dan melihat acara TV yang makin hari makin tak menarik. 

Butuh waktu beberapa menit, hingga dia memutuskan memilih saluran berita ketimbang menonton saluran yang menawarkan cerita selebriti penuh sensasi daripada prestasi. Dalam diam,  pikirannya masih saja kalut pada pekerjaan yang menurutnya selalu salah di mata orang.  Hingga iklan muncul, yang dilakukan gadis keturunan Jepang dari sang ayah itu hanya mengaduk-aduk nasinya dengan tak minat. 

"Pak Gyan tadi ngomong apa ya?  Masa iya aku langsung disuruh tanda tangan pengunduran diri?" tanya Lavina pada diri sendiri. "Kan aku juga baru tanda tangan kontrak kerja sama orang HRD."

Lavina mulai menyendok nasi,  memasukkannya ke dalam mulut dan mengunyah perlahan seraya bola mata itu menatap lurus ke layar televisi.  Beberapa saat,  dia tersenyum tipis kala mendapat sebuah ide cemerlang agar tidak didepak dari pekerjaan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro