Bab 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara tawa nyaring dari sosok berambut panjang nan acak-acakan bak sarang tawon serta gaun putih polos, melayang-layang menakut-nakuti orang-orang. Kedua tangan menjulur ke depan, menampilkan kuku panjang tak terawat serta muka pucat yang hancur sebelah. Tawanya semakin kencang diiringi backsound dramatis, membuat siapa saja akan dibuat ketakutan. 

"Lavina," panggil seseorang menepuk pundak kiri gadis itu. 

Lavina yang sedang menenggelamkan diri dalam film horor berjudul Kuntilanak, menoleh ke sumber suara seraya melepaskan headset yang menulikan indra pendengaran tanpa terkejut sama sekali.  Lawan bicaranya tercengang, melihat di bawah mata Lavina menghitam akibat eyeliner dan maskara yang luntur serta hidung memerah seperti disengat lebah. 

Entah harus merasa kasihan atau ingin menertawakan si bartender baru yang beberapa hari ini ditimpa kesialan. Dia menghela napas, siapa saja pasti berpikir ketika melihat wajah Lavina seperti perempuan yang baru ditinggal menikah kekasihnya.  Tapi, ketika melihat layar ponsel yang menampilkan film hantu, lelaki itu justru bingung mengapa Lavina berekspresi sebaliknya.

Dia menaikkan sebelah alis tebalnya dan bertanya, "Kamu di rooftop nonton film sendirian bukannya takut kok malah nangis?"

"Kamu kok tahu aku di sini,  Reiki?" Lavina bertanya balik mengabaikan pertanyaan yang dilontarkan lelaki itu.

Reiki adalah rekan kerjanya sesama bartender, walau beda usia setahun namun dia kerja di sini sudah hampir tiga tahun. Yang dia ingat,  Reiki menggantikannya untuk melayani tamu saat hari pertama kerja.

Lavina melirik jam Alexander Christie perak yang melingkar manis di pergelangan tangan kiri, jarum jam sudah menunjukkan pukul enam petang. Lantas mengedarkan pandangan, tersadar kalau dia sudah terlalu lama duduk di sini. Selain itu, seharusnya Reiki pulang sejak akhir shift kerja mereka. "Ini udah maghrib loh!"

"Enggak kebalik?" Reiki tertawa di balik bibir tipis, mendudukkan diri di samping Lavina. "Aku tadi nyamperin Arial di sini. Terus dia bilang, ada anak bar betah duduk di pojokan sambil nangis."

Lelaki berahang tegas dengan potongan rambut berponi pendek mirip Cha Eunwoo itu melihat dua cangkir kopi espresso dan latte di atas meja yang terlihat sudah tidak panas.  "Kenapa kopinya enggak diminum?" tunjuk Reiki.

"Aku enggak suka kopi," jawab Lavina menggeleng lemah.  "Punya maag juga."

"Lah, kok beli kopi kalau enggak kuat lambungnya?"

"Buat aroma terapi," ucapnya lesu sembari mengusap jejak air yang belum mengering. "Maaf, ya, mukaku jadi perhatian orang-orang."

Di antara kebisingan kota dari lantai sembilan hotel,  Reiki hanya melempar senyum simpul. Diambil beberapa helai tisu dari kotak berbahan akrilik berwarna hitam itu seraya berkata, "Nangis bikin make up kamu luntur,  Lavina. Orang-orang ngira kamu kayak setan."

"Enggak apa-apa, kita udah temenan kok," sahut Lavina asal saat menerima tisu itu, membuat tegang diraut wajah Reiki. "Maksudnya, aku enggak mau disamain sama setan."

"Aku denger, kamu besok menghadap ke Pak Satria buat menyelesaikan masalah sama tamu tadi pagi. Kamu enggak apa-apa?"

Gelengan kepala Lavina menjadi jawaban kala bibirnya tak bisa merangkai kata. Yang ada di benaknya saat ini, bagaimana jika dia dipecat besok, bagaimana pula dia harus menghidupi kehidupannya sendiri dalam sebulan jika bukan dari gaji sebagai bartender.

Jika waktu bisa dihentikan,  ingin rasanya Lavina mengiris kemaluan tamu 302 dengan gergaji, menyumpal mulut penuh kebohongan itu dengan kaus kaki busuk. Dia juga kesal dengan sikap Gyan,  seharusnya sebagai atasan apalagi bawahan manajer, lelaki pemarah itu bisa berlaku adil. Apalagi hal yang terjadi pada Lavina sudah termasuk kasus pelecehan seksual. Sayangnya, tidak ada bukti yang bisa membungkam si lelaki mesum.

"Aku pasrah deh, Rei," kata Lavina, "lagian apa yang aku lakuin selalu salah di mata Pak Gyan."

"Mas Gyan emang gitu. Dia terlalu perfeksionis hingga sering marah-marah ke orang," ujar Reiki yang dibalas kerutan di dahi Lavina. "Tapi,  sebenarnya dia baik."

"Baik? Ngimpi kowe, Rei. Manusia paling cerewet, enggak sabaran, suka emosi ngalahin emak-emak itu ya Pak Gyan."

Reiki mengangguk, menaikkan alisnya menahan tawa ketika Lavina mengangkat garis alisnya dengan jari telunjuk sehingga bentuk alis itu kini menukik tajam. "Hahaha ... kenapa kamu gitu?"

"Sadar enggak sih, Pak Gyan tuh mirip Angry bird? Apalagi alisnya kayak tikungan Slumprit.  Kalau dia lagi ngomel malah mirip burung gagal terbang itu, ya kan?" cerocos Lavina menggebu, meluapkan kekesalannya terhadap sang captain bar. "Aku yakin enggak ada cewek yang betah kalau cowok modelnya kayak gitu.  Suwi-suwi yo edan dewe."

"Ya udah,  misal Pak Satria cuma ngasih SP, apa yang kamu lakukan?"

"Balas dendam! Aku mau nunjukin ke Pak Gyan,  kalau aku bisa diperhitungkan."

VS

Sp : surat peringatan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro