🌱12. Memories🌱

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kenangan Gading terlempar pada masa lima belas tahun yang lalu. Saat itu Gading diterima menjadi pegawai negeri di kota Jogjakarta. Cinta adalah keponakan ibu kos Gading. Hanya itu setahu Gading tentang Cinta Kinasih, tak lebih.

"Aku suka Mas Gading ...."

Pernyataan Cinta merupakan peristiwa awal yang membuat kehidupan Gading yang tenang akhirnya menjadi runyam. Gading tak memiliki perasaan khusus pada Cinta. Ia hanya menyukai kecerdasan Cinta yang membuat gadis itu enak diajak bicara. Ekspresi Gading yang cenderung datar, akan sedikit tampak guratan ekspresinya bila bercakap dengan Cinta. Sorot mata Cinta yang kalem membuat Gading tak bisa berlaku dingin pada gadis itu.

Gading tak mampu menolak. Ditambah desakan dari mamanya agar segera mencari pacar, membuat Gading menerima Cinta sebagai kekasihnya.

Witing tresno jalaran saka kulino, cinta tumbuh karena terbiasa. Itu pikiran Gading saat memutuskan menerima Cinta menjadi kekasihnya.

Gading kini bergegas pergi ke rumah Cinta. Ia telah berjanji akan makan siang di hari minggu di rumah Cinta. Sebenarnya Gading tak nyaman. Usia pacaran mereka masih terbilang terlalu dini untuk diproklamirkan di depan keluarga Cinta. Namun, lagi-lagi ... saat melihat mata Cinta yang penuh harap, Gading sungkan menolak.

Akhirnya, Gading di sini, di depan rumah Cinta yang letaknya agak jauh dari tempat kosnya di area Gejayan. Turun dari motor, Gading melepas helm sambil mengedarkan pandang ke seluruh penjuru halaman yang tampak asri dengan rumput jepang hijau terhampar.

Setelah bercermin di spion untuk memastikan tatanan rambutnya masih rapi, Gading melangkah santai ke teras. Ia menekan bel memberi tahu kedatangannya pada tuan rumah.

Suara ribut tak jelas terdengar. Gading masih bersabar menunggu sampai pintu terbuka kasar. Saat akan membuka mulut, suaranya urung keluar karena disuguhi penampakan seorang gadis yang wajahnya basah. Gading tahu bulir bening itu bukan keringat, melainkan air mata. Mereka bersirobok pandang selama beberapa detik. Wajah sendu yang menyapa lelaki berwajah datar itu mengerjap-ngerjap tanpa lisan. Namun, aura kesepian dan kegelisahan tersampaikan oleh bayu, membuat detak jantung Gading berdegup dengan kencang.

Siapa gadis itu? tanya Gading dalam hati.

"Apa lihat-lihat?" sergah gadis itu.

"Cinta ada?" tanya Gading canggung.

"Cin, Cinta, ada yang nyari tuh!" Gadis itu berteriak lalu kembali berkata kepada Gading, "Tunggu dulu. Silakan duduk." Gading hanya tersenyum simpul.

Gadis itu berlalu dari hadapan Gading dengan menarik travel bag-nya. Manik mata Gading tidak bisa lepas dari punggung gadis berambut coklat yang menjauh. Ada seberkas rasa penasaran yang menggelitik batin Gading. Namun rasa ingin tahunya buyar saat Cinta menyapanya.

"Mas Gading sudah datang. Aku siap-siap dulu ya?" Sapaan itu terdengar renyah menyusup liang pendengaran Gading. Gading hanya mengangguk.

Tak lama Cinta keluar dengan balutan dress warna pink. Baru beberapa waktu sesudahnya Gading tahu warna itu adalah warna favorit Cinta. Tidak dipungkiri penampilan Cinta membuat semua mata tertuju ke arahnya. Cinta begitu anggun dengan polesan make up natural.

"Siapa tadi?" tanya Gading setelah Cinta duduk di seberang meja.

Cinta membetulkan tali sepatu sambil menjawab Gading, "Itu Mbak Intan. Kakak perempuan yang sering aku ceritain itu loh, Mas."

Gading hanya mengangguk-ngangguk mendengar jawaban Cinta. Sebenarnya Gading ingin bertanya ke mana kakaknya Cinta akan pergi karena membawa travel bag keluar dari rumah dalam keadaan semrawut. Namun niat itu Gading urungkan begitu Cinta bangkit dari duduk.

"Ayo, Mas ... aku udah siap. Kita nonton?" tanya Cinta dengan semringah.

"Ok."

Sejak pertemuan pertamanya dengan Intan Manikam, Gading tidak pernah lagi bertemu dengan kakak Cinta setiap menjemput Cinta saat kencan. Namun, rupanya mereka berjodoh. Gading bertemu lagi dengan Intan saat ia diajak ke kampus Ganjar, salah satu teman kosnya, di sebuah universitas swasta di Jogjakarta.

Karena bosan menunggu Ganjar yang tidak juga usai menyelesaikan urusannya di kampus akhirnya Gading memutuskan untuk pulang lebih dahulu ke kos. Di tengah jalan, ia teringat bahwa persediaan rokoknya menipis dan memutuskan untuk mampir terlebih dahulu ke sebuah swalayan yang menjamur di setiap kota.

Begitu membuka pintu swalayan Gading tertegun saat melihat gadis yang berada di balik meja kasir.

"Kakaknya Cinta?" Sapaan itu membuat Intan menoleh.

Gadis yang memakai seragam swalayan itu mengernyitkan alis. Intan berusaha mencongkel serpihan ingatannya apakah ia pernah bertemu dengan lelaki yang tampak familiar di matanya.

"Maaf, Mas siapa ya?"

"Saya Gading," jawab Gading singkat. Namun rupanya Intan masih belum mengingatnya. "ehm ... pacar Cinta," tambahnya dengan nada suara yang aneh.

"Oh ...." Hanya itu jawaban pendek yang terlontar dari bibir mungil Intan. Melihat konsumen swalayan itu hanya berdiri dan memandangnya, Intan pun bertanya pada Gading, "Bisa saya bantu, Mas?"

"Ah, ya ... rokok satu pak, ya." Alih-alih hanya menyodorkan rokok, Intan juga memajukan satu bungkus permen karet.

Gading mengerutkan alis hingga bersatu di pangkal hidungnya yang mancung. "Saya hanya pesan rokok."

"Merokok merugikan kesehatan. Permen karetnya gratis. Ya siapa tahu bisa untuk mengurangi kebiasaan merokok. Ngomong-ngomong Cinta nggak suka lo sama cowok yang ngerokok. Anggap saja hadiah untuk calon adik ipar." Intan tersenyum, dan tarikan bibir itu membuat jantung Gading semakin bergemuruh.

Manis, pikir Gading saat itu.

Namun begitu ia menyadari apa yang dipikirkan, Gading menepisnya. Ia merasa seperti seorang lelaki mata keranjang yang sedang menggoda kakak dari kekasihnya. Terlebih ucapan Intan yang mengatakan 'calon adik ipar' itu seolah membangun benteng tak kasat mata di antara mereka.

Sejak saat itu Gading menjadi sering mampir ke swalayan tempat Intan bekerja. Hanya sekedar membeli permen karet, membeli mie instan, atau keperluan yang lain. Entah kenapa Intan selalu membuat rasa penasaran Gading semakin membuncah. Apalagi pada suatu malam ia melihat gadis itu duduk sendiri di beranda swalayan dengan sebatang rokok yang terjepit di jari lentiknya. Asap mengepul bersatu dengan udara malam yang dingin.

Melirik angka yang tertera di jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, waktu sudah menunjukkan pukul 22.40. Menurut Gading sudah terlalu larut bagi seorang gadis untuk duduk-duduk di teras swalayan.

Pandangan Intan menerawang, terbukti saat Gading mendekatinya Intan tak sadar. Bahkan sampai Gading duduk pun Intan tidak tahu. Dengan cekatan Gading mengambil batang rokok yang sudah terbakar separuh itu, membantingnya di atas lantai keramik putih serta menginjaknya sehingga rokok itu mati.

Intan terkesiap. Amarahnya hampir tersembur. Niatnya terhenti saat melihat Gading yang menatapnya tajam.

"Bukannya kamu yang mengatakan padaku kalau merokok merugikan kesehatan. Kenapa justru kamu yang merokok?" sergah Gading dengan suara keras.

Intan menatap nyalang wajah datar yang sedang menasehatinya. "Urus aja Cinta, Mas."

"Tanpa aku urus pun Cinta sudah bisa mengurus dirinya sendiri, aku yakin itu." Gading memperbaiki posisi duduknya. Dia menumpukan lengannya di permukaan meja, masih memaku pandang pada Intan. "Gara-gara kamu bilang merokok tidak baik akhirnya aku berhenti. Kamu tahu 'kan sekarang aku langganan membeli permen karet."

Intan terkekeh. Tarikan di wajah Intan yang mengurai tawa itu bisa membuat hati Gading menghangat. Lagi ... Gading tidak bisa menghindar dari pesona gadis yang terlihat kuat tetapi rapuh di dalamnya.

Tanpa ada perjanjian tertulis maupun lisan, setiap malam mereka selalu bertemu dan menghabiskan waktu dengan duduk untuk bercengkrama di beranda swalayan. Selama lima tahun pula Gading berusaha jujur kepada Cinta tentang perasaan yang ada di dalam relung hatinya. Namun lagi-lagi bibir merah Gading bungkam, tak bisa menyampaikan kata putus dan menyudahi hubungan mereka.

Lima tahun berjalan. Gading akhirnya tidak bisa lagi memendam perasaan bersalahnya pada Cinta Kinasih. Terlebih saat Gading paham dan menyadari arti kehadiran Intan Manikam. Gading gelisah karena ia membohongi diri sendiri dan Cinta. Ia tak mampu mencintai Cinta bahkan setelah lima tahun hubungan mereka berjalan. Namun, rasa cintanya pada Intan justru semakin tumbuh.

Gelora yang dirasakan oleh Gading dan Intan begitu mendalam. Mereka masing-masing memendam rasa yang tak bisa diungkapkan karena Gading masih berstatus sebagai kekasih Cinta, adik Intan.

"Intan, aku ... suka kamu." Pernyataan Gading membuat Intan tertegun.

"Jangan bercanda!" seru Intan.

"Aku tidak bercanda ... aku selama ini ... aku menyukaimu—"

"Cinta itu adikku. Aku tidak ingin berebut lelaki dengan adikku."

Otak Gading yang cerdas menyerap maksud lain. "Maksudmu?"

"Aku ... tidak bisa, Mas. Sekuat tenaga aku menepis perasaanku setelah hari-hari yang kita lalui selama lima tahun di belakang Cinta. Aku menikmati perhatianmu." Intan menggigit bibirnya tak percaya dengan apa yang ia ungkapkan.

"Intan ...." Gading tak mempercayai pendengarannya. Ia mengikis jarak antara mereka. Jalanan di depan halaman kos Intan sepi karena hari sudah sangat larut. Mendengar namanya dipanggil, Intan mendongak memandang wajah Gading yang diterpa lampu penerangan di halaman, membuat kharisma lelaki itu menguar.

Wajah Gading yang tirus dengan rahang tegas, bermata coklat itu dan dihiasi hidung mancung itu membuat Intan terpesona. Bibir merah Gading serupa magnet yang menarik bibir Intan mendarat di bibirnya. Begitu jarak satu langkah, Intan menarik kerah Gading dan memberikan sebuah kecupan lembut mendarat di bibir merah Gading sebagai ucapan selamat tinggal. Gading terkesiap, matanya membulat, tetapi ia menikmati setiap sentuhan bibir Intan di bibirnya. Kecupan itu diselingi lumatan lembut yang penuh dengan rasa pilu. Gading larut dalam ciuman itu, menarik tengkuk Intan sehingga pagutan bibir mereka semakin dalam.

Mereka saling mencecap, melumat dan beradu otot pengecap. Keduanya serasa menjadi penjahat. Bulir bening yang meleleh dari mata Intan mengkilat memantulkan cahaya lampu.

"Maaf, aku ...." Intan mendorong Gading yang mulai larut dalam ciuman. Gading tersentak. Ia terkejut dengan apa yang telah ia lakukan.

"Tan, maaf ...." Saat Gading ingin menahan Intan, gadis itu menepis kasar lengannya. Intan berlari dengan belenggu rasa bersalah karena telah mencium kekasih adiknya.

Sejak saat itu, Intan menghilang. Gadis yang selama ini selalu bercengkerama setiap malam dengannya tiba-tiba tak ada lagi jejaknya seolah lenyap dari muka bumi.

***

"Cin, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini." Akhirnya Gading membulatkan niat untuk mengatakan sebenarnya. Cinta hanya membisu. Manik mata jernih itu menatap Gading menenggelamkannya dalam lautan yang dalam. Dalam diamnya Cinta menghukum Gading.

"Kenapa?"

"Aku ...." Suara Gading tercekat. Tenggorokannya seperti dicekik oleh heningnya Cinta.

"Jangan diam saja, Cinta. Marahlah, maki aku, keluarkan sumpah serapahmu!" Bola mata jernih itu kini memerah, bibir Cinta digigit dengan erat menahan emosi kesedihan dan yang merongrong. Cinta hanya menggeleng menanggapi perkataan Gading.

"Kalau aku marah, apakah Mas Gading bisa mencintai aku?" tanya Cinta dengan suara bergetar.

"Aku ...." Gading membasahi bibirnya yang kering dengan ujung lidah, ia tidak tahu harus berucap apa.

"Mas Gading suka sama Mbak Intan, 'kan?" Badan Cinta terlihat bergetar halus. Gading tak menampik, ia hanya membisu menerima segala reaksi cinta.

"Kenapa diam?" tanya Cinta. Gading masih bungkam membuat Cinta mendengkus keras. "Jadi betul Mas Gading suka sama Mbak Intan selama ini, 'kan?"

Anggukan kepala Gading seolah menghempaskan Cinta ke dasar palung kesedihan yang dalam. "Kenapa harus Mbak Intan? Kenapa bukan yang lain?"

Bola mata Cinta sudah berkaca-kaca membuat Gading hanya bisa meremas pahanya karena didera oleh rasa bersalah. "Maaf, Cinta ... aku berusaha mencintai kamu. Tetapi aku tidak bisa membohongi perasaanku bahwa sejak bertemu pertama kali dengan Intan, hatiku sudah dicuri olehnya."

Cinta menarik sudut bibir memberikan pandangan mencibir. Cinta menertawai dirinya sendiri karena terlalu bodoh mencintai Gading.

"Apa kamu tahu ...." Gading menggeleng, ia tak sanggup bertanya di mana keberadaan Intan kepada Cinta.

"Tahu di mana Mbak Intan?" Menggigit sudut bibirnya, Gading mengangguk lemah. "Kemarin aku menemui Mbak Intan setelah beberapa tahun ini aku melihat kedekatan kalian. Aku mendapati Mbak Intan berani mencium Mas Gading."

Mata Gading membelalak lebar. Tak menyangka gadis itu melihat apa yang terjadi beberapa waktu sebelum Intan menghilang. "Dan yang membuat aku sedih kenapa Mas Gading menikmati ciuman itu? Kenapa kami selalu berebut perhatian orang-orang di sekitar kami?"

Cinta menunduk menyembunyikan wajah yang terluka. Bahunya bergerak naik turun seiring isakan tertahannya. "Maaf ... maaf, Cin."

"Kita putus!" sergah Cinta.

Gading masih membisu. Ia mencermati ekspresi Cinta. "Aku yang memulai dan aku yang akan mengakhiri. Enak saja Mas Gading memutuskan aku."

Gading tersenyum tipis di sela raut bersalahnya. Cinta selalu bersikap anggun, tegas dan tenang. "Mbak Intan resign dari pekerjaannya. Dia pindah ke Magelang, sekarang dia tinggal di rumah Eyang dari almarhum mama kandungnya di daerah Muntilan."

"Boleh aku minta alamatnya?" Cinta mengangguk. Ia merogoh tasnya, mengeluarkan pena dan selembar kertas. Setelah menuliskan sebuah alamat dan ia memberikan kepada Gading.

"Pergilah! Semoga Mbak Intan dan Mas Gading bahagia."

***

Gading mengembuskan napas kasar mengingat setiap serpihan kenangan yang telah lama berlalu. Mendapatkan Intan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia harus berusaha meyakinkan Intan bahwa hatinya hanya untuk Intan Manikam.

Mengingat vonis dokter yang baru dikabarkan beberapa jam yang lalu membuat Gading ketakutan. Lelaki itu meringkuk mendekap tungkainya yang tertekuk. Ia tak dapat membayangkan hidup tanpa Intan. Ia menyesal selama ini tidak bersikap baik kepada Intan. Sisi manusiawinya yang cepat marah dan susah mengungkapkan perasaan seringkali menyakiti Intan. Tipikal Intan yang keras sering membuat emosi Gading menggelegak.

Entah kenapa kadang Gading merasa pilih kasih memperlakukan kakak-beradik itu. Rasa bersalah terhadap Cinta yang menderanya, membuat Gading tidak bisa bersikap keras terhadap Cinta, yang justru sebaliknya sering menimbulkan salah paham pada istrinya.

"Mas Gading." Panggilan Intan membuat Gading tergugah dari lamunannya. Buru-buru ia bangkit dan mendekati Intan. Dalam keremangan ia melihat kilatan cahaya yang terpantul dari bulir bening yang mengalir di pelipis.

"Apa, Mi?"

"Aku bermimpi. Aku harus mengembalikan Mas Gading pada Cinta."

Gading menelan ludah kasar. Matanya terasa panas dan kini air matanya meronta ingin keluar.

💕Dee_ane💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro