🌱3. Promotion🌱

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gading Dananjaya hanya bisa mengeratkan rahangnya. Lagi-lagi istrinya tidak bisa melupakan bagaimana papa dan mama tirinya membandingkan dengan adik tirinya, Cinta Kinasih, yang juga merupakan mantan pacar lelaki itu selama lima tahun.

"Kamu meragukan cintaku, Intan Manikam?" tanya Gading.

Intan Manikam mendengkus keras, sehingga embusan napasnya terasa kencang di bahu Gading. "Sekali seseorang tidak setia ... bukankah untuk selanjutnya dia akan berbuat yang sama, Mas? Itu yang membuatkan kadang cemas." Jemari lentik yang lemah itu menggelitik tengkuk Gading membuat kuduk Gading meremang.

Gading menepis kasar tangan Intan, membuat tangan lemah itu terasa nyeri. Bukan hanya tangannya, tetapi juga hatinya seolah perih layaknya Gading mencambukkan sembilu. Intan hanya mengatur napas, seraya menggigit bibir bawah. Dia pantang menangis di hadapan sang suami yang berwajah datar. Tak ada faedahnya sedikit pun. Intan tidak akan memperoleh suatu penghiburan layaknya pemeran utama pria dalam drama Korea yang berbuat romantis untuk melelehkan hati yang dicinta.

"Mi, jangan bawa nama Cinta di rumah tangga kita! Dia tahu apa-"

Ucapan Gading dihentikan oleh Intan dengan gerakan tangannya ke atas, yang seolah berkata, 'Stop, aku tak mau dengar'. Melihat isyarat itu, Gading memilih mundur dengan raut wajah yang memerah. Intan tahu darah suaminya mulai mendidih.

Intan meremas sprei yang membuat kusut alas kasur mereka. Rambut yang menjuntai menutup mata merahnya yang telah menitikkan bulir bening. Sekuat tenaga ia menahan bulir bening itu tidak keluar, tetapi tetap saja Intan tak mampu. Intan hanya terdiam, menatap nanar buku jarinya yang memucat karena remasan tangan.

Cinta Kinasih .... Nama yang disematkan pada adik tiri seayah dengannya itu membuat Intan tak nyaman. Pada awal Cinta terlahir, Intan senang karena merasa mempunyai seorang adik. Bayi mungil bernama Cinta itu berkulit putih dengan bibir mungil yang merah. Matanya bening menatap Intan yang berusia dua tahun, membuat Intan ingin melindungi sosok ringkih itu.

Namun, lama kelamaan kehadiran Cinta merebut perhatian orang-orang di sekitarnya-Papa, Mama tirinya, dan semua keluarga besarnya. Eksistensi Intan seolah lenyap tak diakui, walaupun sekuat tenaga ia berusaha. Selalu saja Intan dicap 'pengganggu' dan dituntut harus mengalah pada adik tiri yang berselisih usia dua tahun. Intan perlahan jengah dan akhirnya sering melakukan apa yang distempelkan padanya.

Dibandingkan dalam bidang akademis dengan Cinta yang kecerdasannya di atas rata-rata, membuat Intan berusaha keras untuk 'menunjukkan diri' dengan belajar lebih keras. Tetap saja Intan remaja tak mampu mengungguli kemampuan Cinta. Bahkan Cinta bisa menyamai jenjang sekolahnya saat SMP lewat program akselerasi. Jarak dua tahun itu terkikis, dan hampir saja Intan menjadi adik kelas Cinta kalau saja saat SMA, Intan tidak mati-matian belajar agar lolos program percepatan.

Sayangnya, Intan tak pernah beruntung menjalani bila mengikuti tes massal. Pada masa perkuliahan, ia harus bersyukur berkuliah di Fakultas Teknik sebuah universitas swasta di Yogyakarta. Berbeda dengan Cinta yang lolos di Fakultas Hukum perguruan tinggi bergengsi di Yogyakarta. Sungguh, saat itu, Intan melihat tatapan kecewa orangtuanya yang membuat Intan merasa ingin lenyap ditelan bumi.

Rasa kecewa Intan semakin memuncak, saat Cinta berulah. Mengatakan bahwa dirinya menyebabkan Cinta hampir mengalami kejadian naas karena Intan terlambat menjemput. Saat itu juga Intan pergi dari rumah, tinggal di sebuah kos.

Saat Intan meratap dalam kesendirian dan kenestapaan, Gading Dananjaya yang Intan tahu adalah kekasih Cinta, menyapa dan masuk dalam hidupnya. Membuat benih cinta tumbuh dan bersemayam di hati Intan.

***

Intan mendesah kuat. Kepalanya semakin pening saat bayangan masa lalunya kembali bergentayangan di kepala Intan. Katakan Intan iri, tetapi bagaimana bila seumur hidup Intan harus menjadi bayangan adiknya sendiri yang lembut, innocent dan diakui Intan, Cinta mempunyai paras menawan yang selalu membuat decak kagum kaum adam.

Wanita beranak dua itu mengambrukkan badannya berusaha mengusir perasaan negatif itu. Ia kembali mengatur napas, berusaha menetralkan rasa nyerinya.

"Intan ... kamu dicintai Gading. Gading memilihmu. Bahkan kamu punya dua anak manis yang melengkapi hidupmu. Apa yang kau ragukan?" gumam Intan menatap langit-langit kamar berwarna putih.

***

Hari ini, Intan bangun lebih pagi. Badannya terasa penat, tetapi tak ingin ia tunjukkan. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Walau tak pandai memasak, setidaknya ia ingin Gading, Banyu dan Agni makan makanan bergizi hasil masakannya.

Saat ia membuka kelopak matanya, dia mendapati tubuhnya sudah berbalut baby doll berwarna hijau. Netranya pun disuguhi wajah Gading yang masih mendengkur halus di sebelahnya. Intan tersenyum sumir. Suaminya dalam kondisi yang terlihat naik pitam saat keluar dari kamar itu tetap memperhatikannya. Intan bahkan lupa kapan terakhir kali ia melayani suaminya dalam pergumulan cinta mereka di ranjang. Gading tak pernah meminta, dan Intan malu untuk meminta nafkah batin. Intan kadang berpikir kenapa suaminya tidak meminta. Namun karena kadang pulang dalam keadaan lelah, Intan pun tidak membahas kewajiban melayani kebutuhan biologis suaminya.

Intan masih memindai detail wajah suaminya. Wajah datar itu terlihat tenang saat tidur. Ia teringat masa indahnya bersama lelaki berwajah rupawan dengan sedikit ekspresi yang berbaring di sebelahnya. Gading yang kukuh itu menemani malam sepi Intan dengan senyuman dan kepulan asap rokok. Dalam keheningan, pria yang saat itu masih berstatus sebagai pacar Cinta, mampu menggetarkan hati Intan. Membuat Intan justru menginginkan pria milik adiknya.

"Mas ... kalau Mas tahu ... aku sangat mencintaimu," desis Intan lirih.

"Aku tahu. Tidak usah kamu katakan aku tahu." Suara serak khas bangun tidur dari Gading itu membuat Intan terkesiap. "Kamu ... sudah baikan?"

Pertanyaan Gading disambut dengan anggukan Intan. Walaupun sebenarnya, Intan merasa kepalanya masih seperti ditumbuk palu Thor. "Mas ... Mas sudah lama ga minta-"

"Kamu sedang sakit. Nggak usah dipikirin," ujar Gading.

"Tapi, ntar Mas jalan-jalan ke lubang lain-"

Gading menyentil dahi Intan membuat kepala Intan semakin nyeri dan telinganya berdenging. Intan menggosok kasar wajahnya, menyembunyikan ekspresi nyeri lewat tangannya yang menutup wajah.

"Mas ga mau?" tanya Intan.

Gading memicing memandang Intan yang bisa dipastikan saat itu terlihat pucat pasi. "Kamu masih pucat, mana tega aku? Kamu tahu 'kan-"

Belum selesai Gading bicara, Intan menyumpal mulut Gading dengan bibirnya. Intan merasa ia harus melayani Gading saat itu juga. Bola mata Gading hanya membulat saat menerima bibir pucat Intan yang mendarat di bibirnya. Mata lelaki itu menjuling mengamati wajah Intan yang pucat terlihat terpejam saat mengulum bibir merahnya.

Intan berhasil menyentil naluri alamiah Gading. Terlebih lelaki itu mengalami 'morning glory' atau Nocturnal Penile Tumescence (NPT) di mana organ kebanggaan Gading terbangun di pagi hari secara alamiah, sehingga sentuhan Intan mampu membangkitkan gairahnya.

Saat tangan Gading menjelajah tubuh Intan yang masih terbungkus serat kain, derap kaki Banyu yang khas terdengar nyaring membuat Gading mengumpat.

"Mi ... Pi!" Suara Banyu terdengar menggaung di rumah berlantai dua itu.

Dengan sigap Intan menegakkan tubuh, dan bergegas meloncat dari tempat tidur untuk mendapati Banyu.

"Ada apa, Kak?" tanya Intan begitu membuka pintu.

"Mi, aku lupa bilang semalam, aku harus bawa kertas karton, dan pernak-pernik untuk membuat ketrampilan."

"Ya ampun, Kak? Kenapa baru bilang sekarang?" Pelipis Intan berdenyut seketika.

Gading yang mendengar anaknya tiba-tiba tergopoh turun dan memberitahu bahwa ada tugas yang harus dikerjakan tetapi tak sempat disiapkan malam sebelumnya serta merta berubah air mukanya. Rasa kantuk lelaki berumur empat puluh satu itu pun menghilang. Darah yang awalnya mengalir ke bawah sontak berbalik mengalir ke kepalanya sambil memberikan geraman yang membuat Banyu beringsut meminta perlindungan sang mami.

"Udah, Pi. Nanti beli di toko depan."

"Mana buka jam segini!" Suara Gading menggelegar layaknya gajah yang mengamuk.

"Sudah, Pi. Kedengaran tetangga tuh!" sergah Intan. Gading mendengkus. Intan selalu membela anak sulungnya.

"Jangan ulangi lagi, ya, Kak?" Gading mengacungkan telunjuknya di hadapan wajah Banyu yang dijawab dengan anggukan yang Intan tau anaknya mungkin akan mengulanginya lagi dan lagi. Karena sejak Banyu TK, keriuhan tentang topik yang sama itu akan selalu berulang. Kalau tidak memberitau sebelum tidur, Banyu akan mengabarkan tentang tugasnya sesudah bangun seperti pagi ini.

***

Intan kini sudah memosisikan diri di balik meja kerjanya. Tumpukan kertas di depannya harus segera ia teliti untuk ditindak lanjuti. Di balik kaca mata kerjanya, mata Intan seolah seperti mesin pemindai kesalahan. Baik kesalahan huruf, tanda baca, maupun isi.

Walaupun Intan tahu julukannya adalah "Cruella de Vil", Intan tak peduli. Ia tetap pada prinsipnya melakukan yang terbaik apapun itu, karena hanya dengan itulah ia berada di posisinya sekarang.

"Bu Intan, dipanggil Pak Rudi." Suara Senja, sekretaris direktur tempatnya bekerja terdengar saat Intan mengangkat interkom di meja.

"Oke! Saya ke sana."

Intan meletakkan gagang pesawat telepon. Ia mengembuskan napas kasar seraya memijit pangkal hidung untuk meredakan pening yang masih saja tak bisa dikurangi dengan pereda nyeri. Perutnya pun masih terasa mual, padahal hari ini dia belum makan sama sekali.

Ya Tuhan, aku semalam lupa makan. Apa maagku kambuh?

Dengan tangan gemetar, Intan meraih obat yang diberikan dokter klinik perusahaan beberapa minggu lalu. Dikunyahnya tablet hijau itu sambil ia menegukkan air untuk menggelontorkan rasa tak nyaman di mulutnya.

Sambil menepuk wajahnya, ia bangkit dari tempat duduk. Ditariknya rok sepan yang mencetakkan badannya yang berisi dan melangkah menyusuri kubikel staf mereka bekerja. Dengan suara langkah highheelsnya yang khas, semua mata yang ada di situ mengerling mencermati gerakan Cruella de Vil.

Intan bisa mendengarkan desahan lega para staf saat ia pergi. Lagi-lagi Intan hanya mengangkat sudut bibir atas kirinya, menganggap bahwa mereka hanyalah karyawan yang suka makan gaji buta. Intan selalu bekerja dengan profesional, walau pun ujung-ujungnya karena ia tidak mau dikalahkan oleh Cinta Kinasih, SH., MH yang sekarang berprofesi sebagai seorang jaksa di Kejaksaan Negeri Yogya.

Begitu masuk ke dalam ruangan kaca, Rudi Atmaja-direktur perusahaan tempat Intan bekerja-menunggu di balik meja kerjanya. Wajah lelaki itu semringah ketika salah satu karyawan terbaik di perusahaan itu sudah masuk ke ruang kerjanya.

"Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Intan setelah ia duduk di depan Rudi.

"Begini, Bu. Saya akan mempromosikan Bu Intan menjadi Manajer Pemasaran. Saya merasa Bu Intan sangat bagus menjalankan fungsinya sebagai Kepala Divisi Pemasaran. Target pemasaran kita meningkat dan klien puas dengan kinerja kita," kata Rudi, lelaki yang kini sudah berusia paruh baya.

Intan tersenyum bangga. Setidaknya di perusahaan ini, kinerjanya bisa dihargainya.

"Ehm, tanggal 5 Agustus besok, saya ingin Bu Intan berangkat dengan saya ke Jakarta, untuk mengikuti acara lelang. Kalau kita bisa mendapatkan tender itu atas usaha Bu Intan, saya yakin jajaran direksi akan setuju dengan usul saya."

Intan menelan ludah kasar. "5 Agustus?"

"Iya. Mulai sekarang beritahu Pak Gading karena Bu Intan harus mengadakan trip ini selama tiga hari. Dan tolong persiapkan proposal penawarannya."

Intan menarik bibir dengan canggung. Ia hanya mengangguk, sementara pikirannya masih melayang. Saat ia undur diri dari hadapan Rudi, ia membayangkan wajah kecewa Elisabeth Agni Dananjaya bila maminya tidak bisa merayakan pesta ulang tahun bersama.

Ya Tuhan, Agni pasti merajuk. Apa harus yang aku lakukan?

💕Dee_ane💕

Papi Gading yang jatahnya tersendat

Banyu yang selalu melakukan tradisi jadi anak SD yang suka dadakan 🤦‍♀️

Mami Intan yang bingung ikut event apa nemenin Agni ulang tahun

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro