🌱5. Cinta Kinasih🌱

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alis Intan Manikam mengerut mendapati penelpon suaminya. Dia menggigit bibir, menimbang apakah perlu mengangkat panggilan itu. Selama ini mereka saling menghargai privacy dengan tidak mengecek ponsel pasangan. Intan selalu mempercayai suaminya, tetapi kepercayaannya goyah bila berhubungan dengan nama 'Cinta Kinasih'.

Suara dering terdengar nyaring sekali lagi. Tangan Intan bergetar saat menggeser tanda menerima panggilan. Dengan hati-hati, ditempelkannya gawai Gading di samping telinga kanan, tanpa menyapa.

"Mas, jadi 'kan besok ketemuan?"

Jantung Intan berderap kencang. Ketemuan? Otak Intan sudah berpikir yang tidak-tidak. Namun, belum sempat kata-kata menyembur dari bibir pucat Intan, gawai itu sudah direbut dengan kasar oleh Gading. Sontak Intan terlonjak, dan saat menoleh ia mendapati mata elang Gading menatap nyalang ke arahnya.

"Mas ...," cicit Intan saat mendapati reaksi Gading, "kenapa Cinta menelepon?" Tenggorokan Intan terasa tersekat.

Gading tak menjawab, meninggalkan Intan yang didera rasa cemburu. Sorot mata Intan memercikkan amarah tertahan. Pondasi kepercayaan itu mengikis seiring langkah Gading yang perlahan lenyap tak terdengar.

Kesunyian merajai batin Intan. Ia hanya bisa mengepalkan tangan sembari mencengkeram daster batik yang dikenakannya. Lagi-lagi Cinta! Dalam waktu tak sampai dua jam, bulir bening melilah dari kelopak matanya memberikan kilatan yang menarik perhatian Banyu.

"Mi?" Mendengar sapaan Banyu, Intan menoleh sejenak, menghapus air matanya cepat.

"Ya, Kak?" Suara Intan yang bergetar terdengar sengau.

"Ada PR matematika."

Intan hanya mengangguk berulang, menata dada yang sesak. Rasa sesaknya layaknya paru-paru Intan dibebat oleh sembilu, membuat susah bernapas dan terasa ngilu. Dengan langkah gontai, ditepiskannya rasa tak nyaman di hati, mengikuti Banyu yang kini duduk di kursi meja belajarnya.

Menarik kursi untuk duduk di sebelah Banyu, netra Intan menangkap sesuatu yang aneh di pelipis anak sulungnya. "Kak, di pelipismu ini apa?"

Banyu menutup pelipisnya, tetapi Intan sigap mengurai tangkupan tangan Banyu di kepala samping anak itu. Mencondongkan kepala, Intan memicing memperhatikan luka yang baru saja mengering. "Ini ...?" Intan mengernyit. "Kakak jatuh?"

"Anakmu bertengkar!" Seruan dingin itu menyeruak di liang telinga Intan, membuat Intan menoleh ke arah Gading. "Dan kamu sebagai ibu tidak mengetahuinya!"

Intan bingung. Tatapannya bergantian ke arah Banyu dan Gading yang karakter keduanya sangat bertolak belakang. "Ka ... kapan?"

"Tadi ...."

"Udah diperiksain sama Tante Cinta kok, Mi," ujar Banyu tak bersalah yang justru membuat mata Intan membeliak.

"Tan ... tan ... te Cinta?" Intan mengulangi perkataan anaknya.

"Aku tadi ada rapat di dinas. Kamu tidak bisa kuhubung—"

"Sejak kapan Cinta ikut campur mengurus anak-anakku?!" Sergahan itu terlontar dengan mata Intan yang menyalang.

"Sejak kamu memilih pekerjaanmu. Aku selalu katakan, tolong hpmu diposisikan dalam keadaan 'on'. Apakah sulit permintaanku? Tidak hanya kamu yang bekerja, Mi. Aku juga!" ujar Gading disertai dengkusan kasar.

Dada Intan semakin diserang rasa sesak. Ia bangkit dan masuk ke dalam kamar tak menghiraukan Agni yang kini sedang dibujuk oleh papinya agar tak merajuk. Ia merogoh gawai yang sejak tadi siang ada di tasnya, enggan ia keluarkan dalam moda getar. Terlalu banyak pekerjaan menjadi alasan Intan mengasingkan ponselnya, terlebih ia mempunyai target bahwa pekerjaannya harus selesai dalam waktu dua hari.

Mata Intan kembali terbuka lebar saat melihat dua puluh panggilan tak terjawab dari Gading. Aplikasi pesan singkat pun ia buka, dan ada banyak pesan yang tertampung di kotak masuk.

[Bu Riska]

Mom, Mas Banyu berkelahi dengan Yudi teman sekelasnya. Sepertinya kepalanya luka. Pak Gading sedang rapat, bisa ke sekolah?

Send : 12.10

[Gading]

Mi, Kakak kelahi! Aku rapat! Cepat datang!

Send : 12.20

[Gading]

Mi! Tolong angkat teleponku!

Send : 12.21

[Gading]

Mi! Kalau kamu ga angkat aku telepon Cinta ya?

Send : 12.21

[Gading]

Ok, fix! Aku hubungi adikmu!

Send : 12.26

Bahu Intan terkulai lemah. Dia menatap Gading yang kini menggendong Agni yang menangis sesenggukan diliputi perasaan kecewa. "Mas, ma—"

Gading tak menggubris. "Ayo, Dik. Papi keloni sambil cerita dongeng Kancil dan Buaya, ya?"

Raga Intan terduduk lemah, bersimpuh di lantai dingin. Segala ambisi dan usahanya terasa sia-sia. Pengorbanan untuk keluarga justru membuatnya seperti dalam keterasingan, dan Cinta semakin mendekat.

"Aku ... aku harus bagaimana?" Intan mencengkeram ponselnya dengan genggaman erat membuat pembuluh darah dari tangan yang bergetar menonjol.

"Mi?" Suara Banyu mengambang di udara. Intan mendongak tak menyadari kehadiran Banyu di situ yang melihat maminya dalam kondisi terpuruk. "Mami sakit?"

Intan menggeleng. "Kak, kenapa Kakak berkelahi?"

"Entah. Yudi yang memulai. Aku hanya membela diri. Aku salah, Mi?" tanya Banyu, tak dijawab Intan. Terlalu ruwet kepala Intan dengan segala pikiran, prasangka dan idealismenya

"Kak, Kakak belajar sendiri dulu ya? Mami mau istirahat." Tangan Intan menggerayangi meja kayu yang ada di kamar itu, berusaha menarik badannya bangkit melawan gravitasi. Melihat maminya yang kesusahan berdiri, Banyu membantu dengan tangan kecilnya, menuntun ke kasur yang spreinya sudah kusut.

***

Kelopak mata Intan terasa lengket saat ingin membuka. Semalaman ia menangis, hingga akhirnya tertidur. Intan menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak didapatinya Gading di sampingnya. Hati Intan semakin merana karena pertengkaran kemarin membuat Intan merasa sunyi. Udara pagi yang dingin seolah memperkuat aura kesepian yang menyelimuti Intan.

Mas Gading semalam tidur dimana? Kok udah bangun? Intan membetulkan cepolan rambutnya dan bergegas turun dari ranjang.

Melangkah malas, Intan meregangkan ototnya. Ia tahu bahwa ia sudah sangat terlambat bangun pagi itu. Ia bahkan tak mendengar suara alarm. Namun, tubuhnya sepertinya tak mau diajak bekerja sama untuk bangun tepat waktu.

Begitu membuka pintu kamar, aroma harum yang tajam menyeruak, dan ia tahu sudah ada kehidupan di dapur. "Mas ...."

"Sudah bangun." Nada datar itu membalas sapa Intan. Lelaki bertubuh kekar itu tampak kikuk di dapur, membuat dapur mereka berantakan.

"Mas ngapain?" Intan buru-buru menghampiri dan mengambil alih sutil di tangan Gading.

"Manasin bacem yang kemarin dibikin Cinta." Rahang bawah Intan seolah tertarik oleh bumi saat nama itu kembali menabuh gendang telinganya.

"Oh, bacemnya bukan Mas yang beli?" Sekuat tenaga Intan berusaha tak memperdengarkan suara kecemburuan seorang istri yang menyulut pertengkaran. Padahal pertikaian semalam pun belum ada hilal tamatnya.

"Setelah dari rumah sakit, Cinta langsung jemput anak-anak dan masak buat mereka." Telinga Intan memerah. Bahkan ia tak tahu dapurnya sudah tersentuh oleh Cinta, dan apa yang dimakan semalam ternyata masakan Cinta.

"Mas kok ga cerita semalam?" Ada nada tak rela yang menggelayut di setiap untaian kata yang keluar dari bibir Intan.

"Biasanya kamu langsung 'ngeh' itu masakan Cinta walau memejam mata bukan? Katamu rasa masakannya khas 'Cinta'," terang Gading yang membuat Intan hanya bisa mengeratkan rahang. Ucapan kata-kata Gading itu seolah seperti siraman minyak yang menyulut api kecemburuan yang sudah hampir padam.

Intan menghirup napas dalam-dalam, berusaha meraup udara untuk membebaskan dari rasa sesak yang tak kunjung reda. "Papi, ga mau minta maaf?"

"Minta maaf buat apa?"

"Bukankah sebelum tidur seharusnya kita tidak memendam rasa kesal? Bagaimana kalau hari ini aku mati!" ujar Intan yang memang merasakan ada yang tak beres dengan tubuhnya.

"Hush! Ga boleh bilang macam-macam." Gading berlalu saja dari Intan, membuat batin Intan terasa semakin ngilu.

Ya Tuhan, Mas. Sekarang bahkan kamu tidak mau minta maaf karena mengataiku pelacur? Dan, untuk telepon Cinta semalam, kamu tidak menjelaskan apapun? Sekarang begitu bangun, aku disuguhi renungan pagi panjang lebar tentang Cinta.

Pagi ini, saat keluarga Dananjaya sarapan, Agni masih merajuk. Ia melipat bibir, enggan menerima asupan makanan. "Dik, ayo gih, makan!"

Agni menggeleng. Matanya masih bengkak. Gading hendak naik pitam karena waktu sudah merangkak menuju pukul 06.30.

"Dik, ayo, maem. Ini 'kan bacem ayam kesukaan Adik buatan Tante Cinta?" Intan berusaha membujuk putrinya, tetapi masih disambut dengan gerakan tutup mulut Agni. Intan menghela napas. "Nanti Mami jemput mau?"

"Mi! Jangan beri janji palsumu lagi!" Intan tak menggubris perkataan Gading. Ia duduk berjongkok di samping kursi putrinya dan menyeka pipi yang serupa apel merah.

"Janji? Mami ga boleh bohong." Sekali lagi Intan menautkan kelingking kecil yang dijulurkan oleh putrinya.

Menjelang berangkat, setelah seperti biasa Intan mengecek perlengkapan semua putra dan putrinya, ia mengantar suami dan anak-anaknya berangkat. Penampilan Intan masih paling lusuh di antara semuanya. Kali ini tidak ada morning kiss di pipi atau hanya ciuman kilat di bibir saat anak-anak memakai sepatu. Intan pun tak menagih atau mengingatkan.

"Jangan lupakan janjimu! Hari ini jangan lembur," kata Gading.

"Aku tahu," jawab Intan ketus.

***

Gading Dananjaya mendesah panjang berulang kali saat menunggu seseorang. Hari ini dia tidak mempunyai jadwal mengajar. Sekarang Gading sudah berada di sebuah resto yang berada di tengah kota, menunggu seorang gadis berparas ayu, yang pernah menjadi mantan kekasih.

Cinta Kinasih.

"Mas, melamun aja!" Suara Cinta yang renyah menyadarkan pikiran Gading yang melalang buana.

"Eh, udah datang."

"Tumben Mas Gading on time? Dulu ... biasanya Mas ngaret." Gading hanya memberikan cengiran lebar, tak berucap.

"Kamu aja dulu yang terlalu antusias kecepetan datangnya," kilah Gading, disambut senyuman Cinta yang masih sama menawannya di mata Gading. Diakui Gading, Cinta yang supel dan mudah bergaul itu berbanding terbalik dengan istrinya.

"Tapi tetep aja. Mas milih yang lebih telat datang," komentar Cinta membuat kecanggungan menyergap mereka.

Helaan napas Gading yang halus masih tertangkap oleh pendengaran Cinta yang tajam. Gadis itu sangat sensitif dan peka terhadap sekelilingnya.

"Ada apa, Mas? Suntuk gitu?" tanya Cinta berusaha memecah kebekuan.

"Pernah ga sih kamu mikir ... bahwa pilihan masa lalu kita itu salah?" Alis Cinta yang rapi lebat itu mengernyit.

"Maksud, Mas?"

"Ga papa. Lupakan!" Tiba-tiba dering dari gawai Gading terdengar. "Bentar, ya. Mbakmu telepon." Gading mengangkat panggilan Intan.

"Hallo, Mas."

"Ada apa, Mi?" tanya Gading dengan suara datarnya yang khas.

"Kok suaranya ga antusias gitu sih?"

"Kenapa? Ga biasanya kamu telepon? Mau ngecek aku pergi sama siapa? Kamu tahu 'kan aku ada janjian sama Cinta."

"Mas kok gitu sih? Jadi bener Mas kete—"

Gading menjauhkan gawai dan menekan tanda merah dengan dengkusan kasar.

"Kenapa, Mas? Kok mukanya jutek gitu habis ditelepon Mbak Intan?" Pertanyaan Cinta itu diinterupsi oleh panggilan Intan di gawainya.

"Mbak Intan ...," ucap Cinta lirih seolah seseorang yang dimaksud ada di situ.

Saat Cinta akan menerima panggilan Intan, sergahan Gading membuat Cinta terlonjak. Tangan Gading terjulur menghentikan gerakan tangan Cinta, menekankan maksudnya. "Biarkan!"

"Tapi ...."

"Aku terlalu jengah menghadapi sikap keras Mbakmu yang sama kerasnya dengan batu intan!" Mata teduh Cinta membeliak menatap Gading. Ia pun menurut dan meletakkan smartphone–nya dalam moda hening. Selama pertemuan makan siang Gading dan Cinta, gawai keduanya berkedap-kedip bergantian dari caller id yang sama.

💕Dee_ane💕

Agni yang tak lagi merajuk

Gading yang merajuknya awet kek diguyur formalin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro