🌱9. Birthday Party🌱

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gading Dananjaya menepis kasar tangan Cinta Kinasih. Ia tak nyaman dengan skinship yang ditunjukkan oleh gadis yang menjadi adik iparnya. Bagaimana pun Cinta kini adalah adik iparnya walau mereka mempunyai sebuah kisah masa lalu.

"Sorry ...." Cinta buru-buru menarik tangannya.

"Maaf, Cint ... aku cuma ... kamu tahu 'kan? Kita di depan. Semua tamu memandang kita," ujar Gading terbata dengan suara seraknya.

Cinta membalas ucapan Gading dengan senyuman. Mata besar itu tersembunyi sejenak saat tarikan bibir membingkai wajah. Menarik tangan Gading, Cinta memberikan tisu untuk lelaki yang sudah pernah menorehkan luka di hati karena lebih memilih kakak tirinya.

"Aku tahu. Tak usah Mas bilang, aku tahu diri," ucap Cinta lirih. Matanya berkaca-kaca.

"Ya ampun, Cint. Kenapa kamu malah sedih gini?" Gading menggulirkan pandang ke kanan dan ke kiri, seolah takut ketahuan dia sudah membuat gadis yang menjadi adik iparnya itu bersedih.

"Aku—" Ucapan Cinta terputus saat melihat ekspresi Gading yang terperangah. Ia mengurut arah pandang Gading dan sontak gadis itu ikut terperanjat melihat sosok bergaun pink yang sedang berjalan menyeruak anak-anak dan para orangtua yang duduk di atas karpet.

Intan Manikam mengurai senyuman menyapa para tamu. Dia memperlihatkan aura kebesaran seorang nyonya rumah dengan segala keramahannya. Sedangkan Gading, Banyu dan Agni membeliak lebar mendapati Nyonya Dananjaya ada di situ. Tarikan bibir terurai dari ketiga anggota keluarga Dananjaya, diikuti Cinta yang ikut terkejut melihat kakak tirinya ada di situ.

"Mami!" Pekikan melengking itu keluar dari bibir mungil Agni Dananjaya. Intan tersenyum menyambut Agni yang berlari memeluknya.

"Surprise! Adik suka Mami datang?" tanya Intan dengan mata berbinar. Ia tidak mengindahkan dada yang sesak karena dibebat gaun yang kekecilan.

"Suka banget! Mami cantik!" puji Agni seraya memeluk maminya. Gadis kecil itu enggan melepaskan rangkulan tangannya seolah takut Intan akan menghilang.

Gading berdiri menyambut istrinya dengan wajah semringah. Wajah datar itu seolah terhapus selama pesta.

"Loh, Mi? Bukannya Mami ada bussiness trip? Ga jadi?" Gading masih tak percaya istrinya ada di situ.

"Aku cancel. Kenapa kaget? Mas terganggu?" ucap Intan dengan nada sedingin es yang kontras yang suasana gerah sore itu.

"Bukan, Mi. Kejutan banget kamu datang." Intan melengos, tak mengindahkan sapaan Gading. Wanita itu memberikan tatapan dingin pada Cinta dan lebih memilih untuk menanggapi celotehan anaknya.

Acara demi acara dilalui. Kemeriahan pesta berusaha dinikmati oleh Intan yang tersiksa dengan gaun pink yang kesempitan. Peluh mulai menetes membasahi wajah. Bulir bening mengucur dari pelipis turun ke dagu dan leher. Gading melihat wajah penuh keringat Intan yang membuat wajah tirus itu terlihat lebih pucat.

"Mi, kamu kenapa? Keringatmu banyak sekali." Intan berusaha mengatur napas, tak ingin terlihat ada yang aneh sehingga ia harus diungsikan ... mungkin lebih tepatnya diusir dari area pesta dengan alasan agar beristirahat.

"Aku ga papa," ujar Intan ketus, membuat Gading hanya mengerutkan alis.

Saat jamuan makan, Gading masih memperhatikan istrinya yang sedang duduk di samping Agni. Dengan telaten Intan menyuapi putri bungsunya yang selalu manja saat sang mami ada. Gading menghela napas, perasaannya tak nyaman melihat sisi dingin Intan. Otaknya merangkai apa kesalahannya, tetapi tetap saja ia merasa semua baik-baik saja.

Apa Intan sakit?

Daripada menebak-nebak, Gading yang sudah membawa piring berisi nasi kuning dan lauk, menghampiri Intan. "Mi, makan dulu."

Intan pura-pura tak mendengar, membuat Gading harus berdeham keras.

"Mi, dipanggil Papi tuh!" seru Agni.

"Ah, ya Pi?" tanya Intan.

"Maem gih!" kata Gading.

"Papi aja dulu. Itu nasi kuning buatan Cinta yang dibuat dengan cinta Cinta untuk Gading," bisik Intan di samping daun telinga Gading membuat makanan yang sempat masuk di mulut Gading menyembur. Mata lelaki itu membelalak saat otaknya yang cerdas langsung menarik benang merah sikap Intan yang ketus dan dingin.

Gading masih terbatuk, membuat Agni Dananjaya melompat dari kursi yang terbilang tinggi, dan menyodorkan air kemasan ke hadapan Gading. "Papi ati-ati makannya. Kalau makan jangan ngobrol."

Masih terbatuk beberapa kali, Gading mengambil air kemasan yang disodorkan dan menyedotnya untuk menggelontorkan sumbatan.

"Makanya jangan nyoba-nyoba main api." Intan masih berusaha menyemburkan rasa kesalnya karena kejutannya justru berbalik ke arahnya.

Gading termangu, mengamati Agni yang duduk kembali di samping Intan. Sedang Intan duduk memunggunginya.

"Mi, main api apaan?" desis Gading yang justru membuat Intan mendengkus keras seperti naga yang mengembuskan napas api.

"Bahasnya nanti aja. Aku ga pengen mood-ku terganggu gara-gara obrolan unfaedah," ujar Intan, disambut helaan napas Gading.

Istri Gading Dananjaya selalu saja cemburu dengan segala hal yang ada hubungannya dengan Cinta. Gading merasa seperti laki-laki yang berselingkuh. Dalam hati ia mengurai apa yang menjadi kesalahannya. Namun, akhirnya ia menyerah. Sejak ia serius menjalin hubungan dengan Intan, Gading memang susah memahami apa yang dipikirkan wanita yang sudah memberinya dua buah hati.

"Mi, makan dulu. Aku lihat kamu kurusan." Gading berusaha memecah kebekuan. Entah kenapa ia menjadi sedikit cerewet. Suatu hal yang bukan merupakan kebiasaannya.

"Gimana kurusan? Ini baju sesek banget!" tukas Intan.

"Ya 'kan, itu baju zaman kamu masih gadis. Belum beranak pinak." Ujaran Gading itu justru membuat Intan memutar posisi duduknya. Ia memandang suaminya yang asyik melahap nasi kuning buatan Cinta. Intan tahu, Gading mengambil nasi kuning dari tumpeng, bukan dari termos nasi.

"Menikmati sekali ya, Mas nasi kuning buatannya Cinta?" Mata Intan masih memicing menatap Gading. Lelaki yang sedari tadi menunduk itu, mengerling mendapati manik mata sang istri sudah dipenuhi kilatan api cemburu.

"Mami kok tahu, ini nasi kuning buatan Cinta. Emang ada tulisannya?" tanya Gading asal, yang membuat wajah Intan semakin kusut. Gading terkekeh. "Mi, percaya deh sama Papi. Mami gitu banget sih sama Cinta. Dia 'kan sayang sama anak-anak—"

"Sayang anak-anak dan bapaknya!" Intan bangkit melibaskan roknya, yang mengenai piring Gading. Gading berusaha memanjangkan ususnya. Tindakan kecil Intan itu juga bisa menyulut emosinya.

***

Intan meletakkan piring di dapur. Ia tidak ingin berdebat dan berusaha menghindari percakapan aneh dengan Gading yang bisa menghancurkan moodnya.

Bagaimana bisa Mas Gading membela Cinta? rutuk Intan. Intan mengeratkan rahang. Dengan menyipit, ia masih menjuruskan tatapan ke arah suaminya yang tampak masih menikmati makanan.

"Mbak Intan, kejutan banget! Sengaja nih ngasih surprise buat anak-anak?" Suara renyah Cinta tiba-tiba menyeruak lamunan Intan. Keramahan Cinta membuat Intan muak dan ingin memberikan sumpah serapah. Ia memejamkan mata sembari meraup oksigen sebanyak mungkin sehingga nalarnya masih bisa terpancang di otak.

"Kejutan ya? Pasti kamu terkejut sekali, Cinta? Makasi ya kamu selalu ada untuk keluarga kecilku. Tapi, sayangnya Nyonya Dananjaya dan mami dari anak-anak adalah a-ku. In-tan Ma-ni-kam!" Ucapan Intan yang berdesis terdengar jelas dan tegas.

"Aku tahu, Mbak. Tidak usah diperjelas begitu semua anak TK di sini tahu siapa maminya Kak Banyu dan Dik Agni. Aku 'kan seperti ban serep bagi Mas Gading. Saat ban utama yang dikendarai bocor, ban serep yang selalu disimpan di dalam akan dikeluarkan. Seperti aku ... yang selalu ada di hati dan pikiran Mas Gading. Walau aku berusaha dikubur, tetap saja saat Mbak Intan ga ada, aku yang akan dimintai tolong." Senyum miring itu terukir di wajah tirus Cinta yang halus.

Intan berdecak. "Ga sia-sia Papa dan Mama menyekolahkan kamu di Fakultas Hukum. Kamu pandai bersilat lidah!"

"Mbak, ingat hukum fisika? Aksi sama dengan reaksi. Aku tidak akan bereaksi seperti ini kalau tidak ada sebab!" Sesudah berkata begitu, Cinta berbalik dengan anggunnya meninggalkan Intan yang membelalakan mata tak percaya dengan apa yang terjadi.

Intan menyemburkan udara kasar ke atas, membuat poninya berkibar. Ia menarik tisu dan mengelap kasar keringat yang mengucur deras di wajah. Rasa sesak itu semakin mengimpit dada seiring emosi Intan yang menggelegak. Intan bisa saja melemparkan apa yang ada di depannya ke wajah cantik Cinta, atau mengeluarkan kata-kata kotor penghuni Kebun Binatang Gembira Loka. Namun, Intan hanya diam. Dia tak berkutik mendapati lidah adiknya yang licin, yang konon melalui lidahnya, sudah banyak terdakwa yang dituntut mendapatkan hukuman setimpal.

Mengerikan! Mengerikan! Cinta Kinasih itu tak ubahnya Medusa. Sekali lidah ular itu bergetar, siapapun yang menatapnya akan menjadi batu tak mampu membalikkan kata-katanya. Arrghh! Aku tak percaya mempunyai adik seperti dia.

Intan berusaha sekuat tenaga mengikuti pesta itu, walau rasanya ada tali yang mengikat dada. Berulang kali dia menepuk dada untuk melonggarkan pernapasan, tetapi tetap saja tak bisa melegakan jalan napasnya. Keringat dingin kini bahkan mengucur di seluruh tubuh, membuat raga gemetaran. Berulang kali pula Intan mengusap telapak tangan yang basah di rok samping gaun. Intan pun menggigit bibir menjaga kesadarannya tetap utuh.

Pandangannya berkunang. Intan berusaha mengembangkan senyuman. Sampai di titik Intan hampir tak bisa lagi menguasai raga, sebuah tangan kekar menyelip di antara jari lentiknya. Jari itu menggenggamnya kuat, seolah ingin menyalurkan tenaga agar Intan tidak ambruk. Kehangatan telapak tangan yang menyentuh indra peraba Intan memberi kekuatan tambahan. Usapan di punggung tangannya, mengusir penat yang membebat, menghalau galau.

Tanpa melihat Intan tahu, tangan Gading merengkuhnya. Pemilik tangan itu selalu ada untuknya, walau terkadang sikap Gading menjengkelkan dan membuat Intan naik pitam. Intan tidak akan rela kehilangan lelaki yang sangat berharga dalam hidupnya. Walau perangai suaminya keras, hati Gading sebenarnya lembut. Lelaki itu tahu titik terjenuh Intan, dan saat istrinya rapuh. Seolah lelaki itu dengan sigap akan mengangkatnya.

Mas Gading, kalau seperti ini, bagaimana bisa aku membencimu? Walaupun ucapannya berbisa, menusuk rasa dan wajahmu datar susah mengurai senyuman, tetapi usapan lembutmu selalu bisa mengobrak-abrik hatiku.

Tanpa bicara, Gading menggandengnya ke pintu depan dengan Agni di sisi kiri. Panas tubuh Gading itu seperti asupan tenaga yang berlipat ganda yang bisa membuat Intan bertahan. Intan masih bisa menyapa dan mengucapkan terima kasih kepada para tamu. Tarikan bibir pun tergambar di wajah, menyembunyikan dada Intan yang sudah kembang kempis layaknya orang yang dicekik.

Hingga tamu terakhir pulang, tenaga yang berusaha dipandang luruh juga. Seluruh tenaga cadangan seolah menguap tak tersisa. Raga Intan terasa letih seperti beban berkilo-kilo tersandang di bahunya. Dengan langkah gontai, Intan berusaha menapakkan kakinya di atas lantai. Badannya terasa ringan dan seperti melayang ....

💕Dee_ane💕💕

Demi Agni, Intan rela menahan esmosi

Intan yang terbakar api cemburu

Cinta yang tenang-tenang menghanyutkan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro