M E N Y E B A L K A N

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(sedikit 18+)

Hari pernikahan ke: 376 . . .

Semenjak kejadian tadi aku merajuk padanya, tapi yang semakin membuatku merajuk adalah, dia pasrah-pasrah saja? Aku kesal, benar-benar kesal. Entah bodoh atau memang penurut, sejak pagi kusuruh ini dan itu mau-mau saja. Seperti. 

"Shoto! Aku menjatuhkan gelas, tolong bersihkan pecahannya."  

Yah, segera dia datang, membawa sapu dan tempat sampah kecil. Membersihkannya sembari menunduk padaku yang berdiri. 

"Apa yang kamu lamunkan? Sampai gelas kamu jatuhkan," tanyanya. 

Gemas. Ingin kuremas bijikers-nya malam nanti sebagai pelampiasan balas dendam. Awas saja kau Shoto, tunggu sampai aku membuatmu lemas. 

"Tanganku licin sehabis mencuci piring."

Shoto berdeham seraya berdiri menatapku. Kantong sampah kecil berisi pecahan itu dia taruh di atas meja. Menatapku lagi, mengulas senyum lembut segaris, langsung membuat hatiku berdebar tidak karuan. 

"Ja-Jangan tersenyum begitu!" sentakku padanya. Ini masih sore, hatiku berdebar kencang dibuat olehnya. Ya tuhan ... jangan sampai dia tersenyum manis dan tulus pada wanita selain diriku dan ibunya dan sedarahnya. 

"Senyumku kenapa?" 

Masih saja!

"Senyummu tidak baik untuk hatiku."

Wajah Shoto nampak langsung bingung, tangannya dilipat dan salah satunya diangkat memijat dagu. Lucunya suamiku jika sedang seperti ini. 

"Hmm ... apa kamu mempunyai riwayat penyakit jantung?" 

Terkutuk kau Shoto! Sebegitu mudah dicerna kalimatku, dia masih saja polos. Heran, padahal jika sedang diranjang dia selalu menjadi dominan. Ya, walau yang dia tahu hanya mengeluar-masukkan miliknya, menggenjot, dan mengeluarkan, tanpa tahu nama gerakannya apa. Itu sama sekali tidak bisa dibilang tidak polos!

Ah sudahlah. Jika dilanjutkan akan berakhir aku memarahinya yang begitu pasrah. 

"Aku sehat! Sudahlah, aku mau mandi." 

Kubuang mukaku, menekan omonganku dan menghentakan kaki saat berjalan menjauhinya. Disaat seperti ini, aku mengharapkan terjadinya adegan romantis seperti di film-film. Semoga--

"Tunggu!" 

Jalanku terhenti. Setelah lebih dari setahun pernikahan, baru kali ini Shoto peka. Apakah dunia akan berakhir besok? Apa Shoto yang malah kerasukan? Dia-Dia, benar-benar menangkap lenganku untuk mencegahku pergi. 

Ini adalah sebuah kesempatan untuk membuatnya menjadi pria manis penuh kata rayuan padaku, tidak boleh dilewatkan. 

"Kenapa?" tanyaku lembut seraya berbalik dan tersenyum menatapnya. 

"Aku mau ikut mandi denganmu." 

" . . . "

🕳

Mandi berdua. Jika sepasang suami istri mandi berdua berarti hal panas sedang terjadi. Itu mungkin terjadi jika pasanganmu memang normal dan, begitulah. Tapi, tidak berlaku pada Shoto-ku. Kau tau? Mandi, benar-benar mandi, tidak lebih dari membasuh badan dan saling membelakangi. 

Sumpah, suamiku ini kenapa, sih? Tidak sehelai benang pun menutupi tubuh kita, dan aku juga tahu miliknya menegang (entah karena dingin atau dia memang ingin) tapi dia tidak kunjung bicara. 

Sudah kupepet, sudah kusudutkan, sampai-sampi membuatku bertingkah seperti jalang kurang belaian. Dia tidak juga terpengaruh, dan malah menyuruhku mandi dengan benar.

Pria ini aneh, sungguh aneh. Tapi aku mencintainya, termasuk keanehannya. 

Makin lama karena hanya saling diam dan membelakangi, aku jadi malu dan canggung sendiri. Rasanya tidak nyaman ketika tubuhmu telanjang dengan seseorang walau kau mengenalnya jauh. Tapi ini hanya diam-diaman saja, jelas itu membuat siapa pun akan merasa canggung. 

"Shoto?" panggilku tidak tahan karena dia sedari tadi duduk di tempat sabun dan membelakangiku yang tengah membilas diri di shower. 

"Apa?" sahutnya. 

Hatiku berdebar. Suaranya benar-benar wah, kalem, berat juga saat menggema. Pipiku  bersemu merah, tungkaiku bergetar, hatiku semakin berdebar kencang. Kukecilkan air yang menghujaniku. 

"Kamu ... mau melakukannya di sini?" tawarku ragu. 

Lahir dan batin aku siap melayaninya karena dia suamiku. Sudah halal. Tapi, disaat yang sama aku juga ragu dengan jawabannya. 

"Tidak." Kan, benar. 

"Kenapa?" tanyaku. 

"Kotor. Kamar mandi bukan tempat untuk berhubungan." 

Shoto-ku sayang, kamu benar! Tapi, tidak begitu juga. 

Aku kecewa, kutundukan kepalaku menatap jemari kaki yang kumain-mainkan. Lelah juga aku selalu berharap dia lebih manis dan peka terhadapku. 

"Aku tidak mau kamu terkena penyakit aneh yang tidak bisa disembuhkan," lanjut Shoto. 

Kali ini aku sedikit luluh. Seperhatian itu dia padaku, sampai-sampai masalah berhubungan dia perhitungkan. 

Itu. Membuatku. Merasakan. Sesuatu. Yang. Begejolak. 

Entah kenapa saat aku membalik badan dan melihatnya yang ternyata sedari tadi menatap punggung polosku membuatku merasa lucu padanya. Dia polos, aku seperti merawat bayi besar yang pintar. Wajah Shoto pula sedikit memerah, mungkin karena uap. 

"Shoto?"

Dia berdeham. 

"Kamu sudah mandi, 'kan?" 

Dia mengangguk. 

"Ayo kita lakukan di kamar."

🕳

Tubuhku terpantul naik dan turun. Tangan sialan suamiku tidak ada hentinya menggerakkan pinggulku

"Tunggu-- Shoto ... eungh .... Kakiku lelah." 

"Sebentar la-gih ..." ucapnya menggeram.

Kucengkram kuat-kuat bahunya, membiarkan dadaku sesekali mendarat di wajahnya. "Shoto ... aku-- aku-- Eumh ..." 

"Aku ikut ...." 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro