Bab 44 { A Painful and Confusing Situation }

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kecemasan dan kepanikan tergambar dengan begitu jelas di rumah Ruka, begitu para pengawal tiba membawa tubuh Shisui yang terlihat begitu pucat dan kaku. Sang gadis musim semi yang juga baru datang bersama dua perawat dan seorang dokter buru-buru menyiapkan alat yang di butuhkan di kamarnya.

Setelah Naruto menjelaskan secara singkat apa yang terjadi padanya, Kizashi nampak segera menyalakan perapian di kamar itu lalu berlari keluar, memotong beberapa bongkahan kayu untuk memasak air di dapur. Sementara Mebuki nampak terus menahan dan menenangkan Ruka yang terus menangis di kamarnya sembari beberapakali memberontak ingin menemani putra kesayangannya itu.

"Dokter Sakura, tolong gantikan pakaiannya atau pakaikan handuk saja juga tidak apa karena kita akan merendamnya. Kami akan memeriksa dan menyiapkan obat-obatan di luar," Ucap seorang dokter muda yang begitu tampan di sisinya membuat Sakura yang tengah berfokus memeriksa tekanan darah Shisui, terkejut saat ia menyentuh bahunya.

"Nee, tolong cepat siapkan obat-obatannya. Sekarang tubuhnya memang tidak sedingin di awal tapi nadinya masih terasa lemah,"

Sembari tersenyum dokter itu pun pergi bersama para perawat. Tanpa menaruh rasa curiga apapun Sakura segera melepaskan pakaiannya hingga tiba-tiba ia terdiam lalu tersenyum saat melihat resleting celana pria itu sudah setengah terbuka, "Mattaku, kau ternyata masih seperti anak kecil saja." Gumamnya sembari menggeleng pelan dan kembali mengganti pakaiannya dengan sehelai handuk lalu menyelimutinya dengan beberapa lapis selimut.

Sembari menunggu dokter muda itu kembali, Sakura nampak mengobati beberapa luka kecil pada tubuh pria itu dan baru saja ia meminggirkannya, Sakura kembali di buat heran saat ia melihat luka memanjang seperti bekas cakaran pada punggung Shisui. Dengan ragu ia mengulurkan jemarinya lalu menyentuh luka itu untuk memastikan darimana asalnya, namun entah kenapa otaknya tidak bisa memecahkan teka-teki sederhana itu. Hingga ia pun berinisiatif memeriksa kaos yang di kenakannya tadi dan menemukan bekas sobekan yang sama dengan luka itu.

"Aku benar-benar tak menyangka ..." Ucapnya yang baru selesai menyimpulkan sesuatu sembari mengusap lembut kepalanya, "Kau sepertinya tidak pernah kapok bertarung dengan hewan buas menggunakan tangan kosong. Dasar pria konyol,"

Ia yang merasa tugasnya telah selesai pun segera mengambil juga merapikan pakaian Shisui yang berserakan di lantai. Saat ia akan pergi, jemari pria itu tiba-tiba bergerak lalu memegang ujung kimononya hingga gadis musim semi itu sedikit terkejut, "Naruto ... Dimana Sakura?" Gumamnya dengan nada yang begitu berat.

Dengan segera ia pun kembali duduk di sisinya lalu mengelus pipinya, "Anata ini aku, ada apa hmm? Apa kau membutuhkan sesuatu?"

"Sakura ..." Panggilnya sembari meraba-raba sekitar sembari terpejam, membuat Sakura merasa iba dan langsung menggenggam tangan Shisui dengan erat, "Aku di sini anata, ada apa?"

Dengan begitu berat Shisui nampak terus berusaha membuka matanya beberapakali lalu tersenyum tipis, "Gomen-nee,"

Sakura yang tak mengerti ia meminta maaf untuk apa pun hanya bisa menatapnya tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, hingga Shisui tiba-tiba menyetuh pipinya dengan tangannya yang terasa begitu dingin seperti es, "Aishiteru," Ucapnya dengan nada setengah berbisik.

Sakura nampak kembali terkejut dengan ucapannya itu hingga ia langsung mematung dengan raut bingungnya. Sunggingan senyuman bahagia pun seketika merekah pada bibirnya, di iringi semburat kemerahan yang mulai terlukis pada pipinya saat Shisui menyematkan helaian rambutnya ke belakang telinga, "Ke ... Kenapa kau mengatakan hal itu di saat seperti ini shannaro? Fokuslah pada kesehatanmu, kau harus segera bangkit karena kau harus melakukan upacara terakhir paman,"

"Aku sangat ingin segera bangkit tapi tubuhku terasa tidak karuan, Sakura. Apa kau bisa memulihkanku dengan cepat seperti saat itu? Aku benar-benar merasa udara semakin dingin di sini,"

Mendengar itu Sakura seketika menyadari bahwa tubuh pria itu kini kembali menggigil, ia benar-benar bingung harus apa karena ia lupa bagaimana cara menanganinya, "Aku akan menambahkan kayu di perapian dan menyuruh tousan untuk segera memindahkan air panas ke bathtub," Ucapnya sembari berjalan pergi dari sana.

"Apa tidak ada cara lain yang lebih cepat Sakura? Aku benar-benar sudah tidak tahan dengan rasa dingin ini," Tanyanya membuat gadis musim semi itu tak jadi membuka pintu dan langsung menoleh dengan sorot yang begitu khawatir.

"Biasanya kau tahan dengan suhu dingin shannaro,"

"Shiroi melontarkan panah es beracunnya padaku saat kabur, jadi kemampuanku menahan hawa dingin kini tertahan selama beberapa waktu," Jelasnya membuat Sakura terlihat semakin cemas dan langsung memalingkan wajahnya ke arah lain untuk berfikir cara singkat apa yang harus di lakukan untuk membantu Shisui pulih lebih cepat.

Sraaakk ...

Fikiran Sakura seketika buyar begitu pintu di hadapannya di buka oleh sang dokter bersurai jingga itu yang terlihat sama terkejutnya dengan sang gadis musim semi, "Dokter Sakura?"

"A ... Uhmmm nee aku berniat keluar mencarimu barusan,"

"Oh ada apa?" Tanyanya membuat Sakura langsung menolehkah wajahnya ke arah Shisui, "Dia sudah sadar, suhu tubuhnya juga mulai naik tapi kenapa dia masih menggigil?"

"Biar ku periksa,"

Dengan begitu detail dokter itu memeriksanya hingga membuat Sakura terlihat takjub, karena baru kali ini ia melihat seorang tenaga medis yang sama cepat dan teliti dengannya. Setelah ia menyuntikan sebuah obat pada selang infusnya, dokter itu nampak menghampiri sang gadis musim semi dengan raut cemas, "Dokter Sakura bisa kita bicara di luar?"

Tanpa banyak berfikir Sakura pun segera mengangguk lalu mengikuti dokter itu hingga ke luar rumah, "Ada apa?"

"Hasil analisa singkatku menyimpulkan bahwa kerusakan sistem jaringan pada tubuh jendral sepertinya cukup parah hingga suhu tubuhnya naik turun secara drastis dan tidak bisa di perkirakan seperti ini. Ia sudah terkubur cukup lama di dalam salju dan aku yakin sebagian besar sistem tubuhnya pasti membeku. Air panas juga tidak baik untuk luka-lukanya, obat yang ku suntikan juga mungkin hanya akan bekerja sebagian jadi untuk memaksimalkannya harus di iringi dengan pengobatan dari dalam,"

"Pengobatan dari dalam?" Ulangnya membuat pria itu langsung menganggukan kepalanya.

"Nee, pemulihan dari dalam. Dengan kata lain berhubungan intim,"

"Apa! Bagaimana bisa ... Dia kan ..."

"Tubuh seorang pria akan langsung panas setelah dia mencapai klimaks jadi cara instan untuk menstabilkan kembali suhu tubuhnya hanya dengan itu. Sebagai seorang medic-nin kita juga bisa mengalirkan obat dengan cara seperti itu, apa kau lupa?"

Mendengar itu Sakura seketika terdiam lalu tiba-tiba cengengesan karena baru mendapat pencerahan tentang pelajaran yang ia lupakan, "A ... Ahaha aku lupa gomen. Berapakali aku harus melakukannya?" Tanyanya sembari menatapnya dengan sorot bingung yang di buat-buat.

"Ehh? Kau ingin melakukannya sendiri? Tapi Kenapa? Suruh saja istrinya atau wanita lain,"

"Mattaku, apa aku harus memasang tato pada keningku untuk menunjukan kalau aku ini istrinya shannaro," Ucapnya membuat dokter itu terbeliak kaget, "Apa? Kau istrinya? Jangan bercanda gadis kecil,"

"Untuk apa aku bercanda di situasi seperti ini shannaro. Kau bisa tanyakan pada para prajuritnya atau orang lain," Omelnya membuat dokter muda itu seketika terkekeh.

"Ooo ya ampun, haha aku benar-benar tak menyangka kau adalah istrinya. Kau terlihat masih begitu muda, anak buahku bahkan menyangka kau adalah adiknya jendral. Tolong maafkan ketidaktahuan kami,"

"Nee ... Nee ... Sekarang katakan berapakali aku harus melakukannya agar ia segera pulih?"

"Uhmm sampai suhu tubuhnya stabil, 1 atau 2 kali juga cukup," Ucapnya membuat Sakura yang sedang tidak fokus mengangguk pelan, "Souka, kalau begitu aku pergi dulu nee. Terimakasih atas bantuannya,"

"Heeem, kapanpun kau butuh bantuan. Aku akan selalu ada di rumah sakit Iwa,"

Setelah dokter itu mengucapkan salam perpisahannya, Sakura nampak segera berjalan memasuki rumah. Saat ia melihat pintu kamar Shisui jantungnya tiba-tiba kembali berdegup dengan begitu kencang karena teringat ucapan dokter itu yang mengharuskannya melakukan itu.

Sudah 3 tahun ia tak melakukan hal itu dengan Shisui, ia benar-benar merasa tidak yakin bisa melakukannya dengan mudah seperti dahulu. Ia juga merasa tidak percaya diri karena ia tak pernah memulai itu duluan.

Setelah menarik napas panjang gadis musim semi itu pun membuka pintu kamarnya dan seketika menjengit kaget saat seorang perawat membuka pintu duluan dari dalam, "Haisssh kau ini,"

"Dokter Sakura, untung anda ada di sini," Ucapnya dengan sorot yang begitu cemas juga panik, membuat rasa kesalnya sedikit pudar.

"Nee, ada apa?"

"I ... Itu jendral menggigil hebat. Saat saya akan memberinya obat, beliau malah mengusir saya dan tak boleh dekat-dekat,"

"Apa? Ckkk pria konyol itu benar-benar ... Sini aku yang akan memberikannya obat," Ucapnya sembari mengambil mangkuk kecil berisi beberapa obat-obatan lalu memasuki kamar itu.

Manik emeraldnya kini memancarkan sorot kekhawatiran, saat ia melihat bagaimana kondisi pria itu yang tengah meringkuk, memunggunginya sembari menggigil hebat. Saat ia sudah duduk di sisinya, dengan lembut Sakura menyentuh pundaknya namun entah kenapa pria itu malah menepis tangannya dan menaikan selimutnya hingga ke atas kepala, "Jangan mendekat, aku sedang dalam keadaan tidak bisa mengontrol diriku sendiri jadi pergilah,"

"Tapi anata kau harus minum obat dulu agar tidak seperti ini," Ucapnya sembari membelai lembut kepala pria itu lalu menurunkan selimutnya.

Seperti anak kecil yang sangat sulit di suruh minum obat, Shisui terus menepis hingga menyembunyikan wajahnya dan hampir membuat kesabaran Sakura habis. Ia pun mulai terdiam untuk berfikir harus bagaimana agar ia mau meminum obat itu. Jika dia meminta bantuan para prajurit itu percuma, karena Shisui bisa memberontak dan menghempaskan mereka dengan mudah. Seperti menghempaskan kapas ke udara karena tenaganya sudah sama seperti badak atau Kurama.

Ia yang sudah kehabisan ide pun akhirnya terpaksa melakukan metode yang tidak pernah ia sukai. Perlahan ia meletakan obat itu pada bibirnya lalu memegang wajah Shisui agar tak bergerak dan langsung membungkuk untuk mencium bibirnya sembari mendorong masuk obat itu dengan lidahnya, hingga membuat Shisui terkejut dan reflek menelannya.

Saat Sakura akan kembali terduduk Shisui tiba-tiba menarik tangannya sampai ia jatuh ke ranjang, sementara pria itu langsung bangkit hingga kini posisinya berada di atas sang gadis musim semi yang masih melongo bingung dengan apa yang terjadi beberapa detik lalu, "A ... Anata?"

"Sudah ku bilang jauhi aku sementara waktu,"

"Tapi kena ..."

Saat Shisui membuka matanya dengan napas memburu, Sakura seketika menjadi beku tak bisa bergerak sedikitpun dari sana. Rasa takut pada hatinya seketika berubah menjadi rasa terkejut saat ia menyadari gelagat aneh suaminya itu ternyata gara-gara obat yang di suntikan dokter tadi, agar suhu tubuhnya naik dengan cepat. Dengan ragu ia menyematkan helaian rambutnya ke belakang telinga lalu mengalungkan tangannya pada leher Shisui sembari tersenyum simpul, "Jangan di tahan," Ucapnya dengan nada setengah berbisik sembari dengan iseng menyenggol pusaka pria itu yang terasa begitu keras dengan lututnya hingga ia mendesis lalu menundukan wajahnya yang semakin memerah.

"Sakura aku tidak ..."

"Jika kau menahannya maka itu akan lebih sakit," Bisiknya lagi membuat Shisui semakin memalingkan wajahnya ke arah lain, sementara sang gadis musim semi malah terus menariknya mendekat, "Sudah 3 tahun, apa kau tidak haus shannaro?"

"Bukan begitu, aku baru saja ... "

"Ya sudah kalau kau tidak mau, redakan saja sendiri efek obat itu. Tisue nya ada di sana, aku akan pergi ke kuil," Ucapnya sembari mencoba bangkit namun Shisui tiba-tiba mendorong bahunya dan mencium bibirnya dengan ganas hingga gadis musim semi itu terbeliak kaget.

Saat ia akan membalasnya Shisui tiba-tiba kembali memundurkan kepalanya dengan sorot bingung juga sedih,"Gomen-nee, jika aku bisa mengendalikan diri ..."

"Shh ... Tidak apa. Lakukan saja sampai kau merasa lega," Bisiknya membuat Shisui seketika menghela pelan lalu mendekatkan kembali wajahnya, "Gomen-nee Sakura,"

Sebuah ciuman yang begitu hangat itu semakin membuat rasa rindu di dalam hatinya membuncah hingga ia tak bisa menahan air mata kebahagiaannya. Beberapakali ia tedengar tertawa kecil saat jemari hingga lidah Shisui menelusuri setiap inchi tubuhnya yang kini lebih sensitif karena sudah cukup lama pria itu tak menyentuhnya.

Saat Shisui akan melangkah lebih jauh, keraguan tiba-tiba kembali terlukis pada wajahnya hingga Sakura juga menjadi ikut bingung, "Shisui ada apa? Apa ... Apa tubuhku tidak semenarik dahulu?" Tanyanya sembari memalingkan wajahnya ke arah lain membuat  Shisui segera menggeleng pelan lalu membelai lembut pipinya.

"Tidak, aku hanya sedang berfikir apakah aku masih pantas melakukan ini padamu atau tidak. Karena ..."

Sakura yang mulai penasaran dengan apa yang ia katakan pun perlahan terduduk sembari mengeratkan kimononya yang sudah terbuka, "Karena?"

"Karena aku telah banyak melukai hatimu Sakura," Ucapnya sembari memalingkan wajahnya ke arah lain membuat Sakura tiba-tiba tersenyum tipis lalu memegang kedua pipinya.

"Apa yang sudah terjadi di masa lalu tidak perlu di ingat lagi anata. Aku sudah melupakannya jadi kau tidak perlu terus menerus mengingat dan menyalahkan diri sendiri,"

"Tapi kemarin ... Argghh ... Sakura sebenarnya obat apa yang di berikan dokter itu?" Gerutunya sembari memegangi pusakanya.

"Kita bicarakan ini nanti, anata. Lebih baik kita redakan dulu efek obat itu," Ucapnya membuat Shisui yang tak punya pilihan lain pun segera mengangguk lalu memeluk Sakura dan membaringkannya.

******

Tok ... Tok ...

"Sakura, kau di dalam nak?" Panggilan yang cukup keras itu sontak membuat sang gadis musim semi tersentak dari mimpinya.

"Nee kaasan. Ada apa?" Tanya baliknya sembari mengucek matanya yang masih terasa buram.

"Pendeta dari kuil sebentar lagi tiba, apa kondisi Shisui sudah lebih baik?"

Mendapat pertanyaan itu Sakura kembali terbeliak kaget karena baru tersadar ada Shisui di sisinya dan apa yang ia lakukan tadi bukanlah sekedar mimpi di siang bolong saja. Perlahan ia menyingkirkan tangan pria itu yang masih memeluk perutnya dengan erat lalu duduk sebentar untuk menguncir rambutnya, "Aku akan memastikan keadaanya dulu kaasan. Kalau dia sudah sedikit pulih ia pasti datang,"

"Baiklah, kalau begitu cepat bersiap. Pendeta itu tidak suka menunggu,"

"Nee,"

Setelah di rasa sang ibu sudah pergi cukup jauh, manik emeraldnya kini melirik pada Shisui yang masih tertidur dengan begitu pulas. Mungkin karena efek obat yang di berikannya tadi dan mungkin saja ia kelelahan karena terlalu banyak melakukan hal itu. Dengan lembut ia mengecup pipinya lalu bergeser turun dari ranjang, saat ia akan mengikat tali kimononya jemari Shisui tiba-tiba menahannya hingga ia menoleh lalu tersenyum simpul saat melihatnya ternyata masih tertidur dan itu hanya gerakan refleknya saja.

Dengan begitu perlahan juga berhati-hati ia menarik tali kimononya yang masih di genggam oleh Shisui hingga tiba-tiba tangan pria itu lagi-lagi bergerak lalu menggenggamnya, "Jangan pergi ..." Gumamnya membuat Sakura kembali tertawa kecil karena baru kali ini ia mendengarnya mengingau.

"Aku hanya akan pergi bersiap. Kau juga cepatlah bangun," Bisiknya sembari mengecup pelipisnya.

Namun, baru saja Sakura memakai kimononya langkahnya kembali di tahan dengan gumaman pria itu, "Jangan ... Pergi ..."

"Anata aku ..."

"Sita ..."

Mendengar nama wanita itu di sebut, Sakura sontak menoleh dengan ekspresi yang begitu kaget. Perlahan ia pun kembali mendekatinya dan duduk di sisinya, "Sita?"

"Jangan ... Pergi ... Sita," Gumamnya lagi membuat hatinya seketika terasa seperti di sambar petir.

Saat tangan Shisui kembali bergerak seperti mencari sesuatu, gadis musim semi itu buru-buru bangkit berdiri lalu pergi dari sana dengan cepat. Begitu sudah berada di dalam kamar mandi ia nampak langsung mengunci pintu itu dengan napas terengah, karena terus menahan rasa sesak juga sakit pada dadanya saat berjalan cepat tadi.

"Tidak ... Tidak mungkin, aku pasti salah dengar." Gumamnya sembari menyipratkan air pada wajahnya lalu menarik napas panjang berulangkali agar hatinya sedikit tenang.

"Dia hanya bilang jangan pergi jadi jangan pernah berfikir mereka memiliki hubungan spesial Sakura. Otakku tolong jangan berfikir yang tidak-tidak." Gumamnya lagi, namun entah kenapa semakin ia mensugestikan sesuatu yang positif, hatinya malah terasa semakin sesak juga sakit.

Berulangkali ia menyipratkan air pada wajahnya agar fikirannya tetap segar sekaligus agar air matanya tak keluar. Namun, entah kenapa semua usahanya terasa sia-sia saja. Hingga tiba-tiba saat ia mendongak menatap cermin, Sakura di kejutkan dengan sosok bayangan wajah Shiroi yang tiba-tiba muncul pada cermin itu hingga jatuh terduduk di sana.

"Ohayo manusia," Sapanya namun, Sakura yang masih syok dengan kehadirannya yang begitu tiba-tiba itu nampak hanya bisa mematung dengan sorot bingung, "Suma aku datang seperti ini karena seluruh akses masuk ke rumah ini di segel,"

Perlahan sosok pria bermata keemasan dengan telinga harimau itu keluar dari cermin lalu mengulurkan tangannya, "Berdirilah, aku tidak akan berbuat macam-macam," Ucapnya namun entah kenapa Sakura merasa tidak percaya dengan perkataannya.

"Ti ... Tidak. Aku memang sedang ingin duduk," Tolaknya sembari memalingkan wajahnya ke arah lain, "Ada apa anda datang kemari seperti ini?"

"Aku hanya ingin melihat keadaanmu,"

"Keadaanku baik-baik saja. Jadi maaf bisakah anda pergi sekarang?"

Sunggingan senyum aneh pria itu seketika terukir saat Sakura mengusirnya secara halus. Namun, bukannya pergi pria itu malah berjongkok di hadapannya sembari bertopang dagu, "Kau yakin baik-baik saja?"

"Nee,"

"Aroma tubuh Uchiha itu tercium kuat padamu, sepertinya kau benar-benar tidak tahu apa yang di lakukannya semalam hingga mau menerima dan melayaninya seperti ini?" Tanyanya membuat Sakura seketika menghela lalu berdiri dengan cepat hingga membuat pria itu juga mengikutinya.

"Apapun yang dia lakukan itu urusannya jadi anda tidak usah ikut campur,"

"Tentu saja aku harus ikut campur karena ulahnya karena ini benar-benar melanggar batas,"

Melihat gelagat sang gadis musim semi yang terlihat begitu tak perduli pada ucapannya, Shiroi tiba-tiba menyentuh dagu Sakura dengan jemarinya hingga gadis itu langsung menepisnya dengan ekspresi tidak sukanya, "Jangan menyentuhku. Katakan saja apa yang ingin anda katakan,"

"Hoo baiklah, dengarkan aku baik-baik. Semalam Uchiha itu telah merebut permaisuriku dan melakukan hubungan intim dengannya. Tidak hanya itu, ia juga menghancurkan kuilku hingga salju di gunungku longsor,"

"Apakah permaisurimu itu Sita?"

"Oo rupanya kau sudah tahu. Nee benar Sita adalah permaisuriku dan Uchiha itu telah melepaskannya ke tempat yang jauh jadi ..."

"Aku tidak berminat menjadi permaisurimu," Selanya membuat pria itu mengernyit lalu kembali tersenyum dengan aneh.

"Pfft rupanya kau bisa membaca fikiranku," Ucapnya sembari menyentuh helaian rambut Sakura lalu memilinnya, "Kenapa kau tidak mau? Sangat jarang gadis yang mendapat tawaran seperti ini. Apa kau yakin akan menolaknya begitu saja?" Tanyanya yang membuat sakura lagi-lagi menepis tangannya sembari mendecih kesal.

"Ckk nee aku menolak,"

"Aku akan memberikan semua yang kau inginkan, harta, kekuasaan, anak-anak, kekuatan hingga kecantikan abadi. Apa kau tidak tertarik?"

Dengan sekali tepis Sakura kembali menyingkirkan tangan pria itu yang terlihat begitu gatal ingin memainkan rambutnya, lalu bersedekap dengan tatapan yang begitu tajam, "Terimakasih tawarannya Shiroi-sama. Tapi aku tidak butuh semua itu karena Shisui sudah memberikan segalanya padaku dan itu sudah lebih dari cukup,"

"Kau masih mau bertahan dengan pria yang sudah mengkhianatimu itu?"

"Nee, Shisui bukanlah pria kurang ajar yang melakukan sesuatu tanpa alasan atau tanpa berfikir dulu. Jadi aku yakin apa yang ia lakukan semalam itu karena sesuatu yang gawat juga mendesak bukan karena dia memang ingin mengkhianatiku,"

"Kau benar-benar bodoh manusia,"

"Aku tahu dan aku tidak akan menghilangkan sifat bodohku ini," Ucapnya dengan begitu dingin membuat pria itu mendengus kesal.

"Hmm baiklah, aku menyerah. Jika kau berubah fikiran temui aku di kuil puncak gunung. Jaa,"

Sakura seketika menghela napas lega begitu siluman itu menghilang dari sana. Ia yang merasa semakin pusing dengan keadaannya pun langsung duduk di sisi bathtub sembari menyugar rambutnya. Ia benar-benar merasa bingung, harus apa setelah mendengar penuturan siluman itu. Hatinya kini begitu merasa sakit juga mendidih mendengar suaminya tidur dengan wanita lain, namun entah kenapa fikirannya terus menampik kenyataan itu.

Saat ia tengah melamun jam tangannya tiba-tiba berdering hingga ia tersengak kaget. Sakura yang baru  teringat pendeta dari kuil itu akan datang dengan cepat pun buru-buru menyeka air matanya lalu mulai kembali beraktifitas, melakukan apa yang harus ia lakukan sedari tadi. Setelah beberapa menit berlalu Sakura yang baru selesai mandi nampak berjalan ke kamarnya dengan sorot yang sedikit kosong, karena ia masih kefikiran dengan ucapan siluman itu.

Begitu ia melihat Shisui yang masih tidur, Sakura pun segera meletakan handuknya lalu mendekati pria itu. Dengan pelan ia menyentuh pundaknya lalu menepuknya, "Shisui, bangun,"

"Anata," Panggilnya lagi dengan nada sedikit keras sembari membelai pipinya, membuat pria itu menaikan kelopak matanya, "Hmm?"

"Pe ... Pendeta sebentar lagi datang. Cepatlah bersiap, aku sudah menyiapkan air hangat," Ucapnya sembari perlahan bangkit, namun Shisui malah memeluk pinggangnya dan menariknya untuk duduk kembali, "Kau sudah mandi?"

Sakura yang sudah tak bisa menahan gejolak rasa sakit pada hatinya pun hanya bisa mengangguk pelan, karena jika ia bicara Shisui pasti akan langsung mengetahui kalau ia sedang bersedih. Ia juga tak yakin mampu berbicara tanpa menangis di hadapannya sekarang.

"Souka," Gumamnya sembari perlahan bangkit dengan susah payah karena tubuhnya masih terasa sakit hingga harus di bantu oleh gadis musim semi itu hingga ke kamar mandi.

Saat pria itu sudah mengunci pintu kamar mandi, Sakura buru-buru berhias setipis mungkin juga mempersiapkan apa yang akan di pakai Shisui nanti sembari sesekali menyeka air matanya yang semakin sulit untuk di tahan. Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun Sakura kembali melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri saat Shisui kembali ke kamar itu, yakni membantunya berpakaian juga merapikan penampilannya.

Setelah semuanya selesai Sakura kini terlihat mengikuti pria itu berjalan ke ruangan dimana peti jenazah Toshi di simpan. Ia sangat ingin bertanya juga berbicara pada pria itu, namun kondisi saat ini sangat tidak mendukungnya.

Begitu tiba di dekat ruangan tempat peti jenazah Toshi di simpan, para tamu segera menghampiri mereka untuk mengucapkan bela sungkawa. Setelah para tamu itu pergi dan hanya menyisakan anggota keluarga saja, Shisui nampak langsung mendekati peti itu untuk membakar sebuah dupa lalu menundukan kepalanya hingga keningnya menyentuh pinggiran peti. Sebuah helaan yang terdengar darinya membuat Sakura buru-buru mengusap pundaknya, agar Shisui tetap tenang.

Setelah beberapa saat terdiam, ia kembali menegakan dirinya sembari menyeka matanya yang memerah lalu menatap pada sang bibi yang tengah duduk di sudut ruangan bersama mertuanya, "Bibi kenapa paman tidak memakai baju zirah?"

"Baju zirah?" Ulang Sakura yang segera di jawab anggukan oleh pria itu.

"Walau paman sudah tidak bekerja pada bidang itu, paman tetaplah seorang samurai. Tolong ambilkan baju Zirah juga senjatanya biar aku yang menggantinya," Pintanya membuat wanita tua itu mengangguk lalu pergi dari sana, di tuntun oleh Mebuki.

Sembari menunggu Ruka kembali, Shisui nampak membelai lembut rambut sang paman lalu menggenggam tangannya, "Naruto, tolong jangan biarkan tamu masuk dulu," Titahnya membuat pria jingga itu mengangguk pelan lalu pergi dari sana.

"Sakura, apa ada permintaan paman yang belum di penuhi?" Tanyanya membuat sang gadis musim semi yang masih melihat pada pintu sontak menoleh ke arahnya.

"Uhmm nee, terakhir kali ia berbicara. Ia ingin menjewer telingamu,"

Shisui seketika mengangguk pelan lalu menundukan kepalanya dan meletakan tangan yang terasa sedikit kaku itu pada telinganya, "Paman sejak kecil kau selalu melindungiku dan memberiku segalanya. Kau juga selalu mendidikku agar selalu jujur dan menepati janji. Tapi hari ini aku telah mengingkari ajaranmu itu tolong maafkan aku paman, aku memang tidak akan bisa menebus kesalahan itu padamu tapi aku berjanji akan menebusnya pada yang lain," Ucapnya dengan gemetar hingga ia tak kuasa lagi menahan air matanya.

"Anata bersabarlah," Ucap Sakura yang langsung bersandar pada bahunya sembari terisak, karena merasakan aura kesedihan pria itu yang menguar begitu kuat di sana.

Begitu mendengar langkah kaki Ruka juga pendeta mendekati ruangan itu, Shisui seketika merapatkan bibirnya lalu menyeka air matanya di ikuti oleh Sakura yang langsung mengerti harus berhenti menangis agar Ruka tetap tegar.

Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun Shisui perlahan mengambil baju zirah berwarna merah itu lalu memakaikannya pada Toshi di bantu oleh sang ayah mertua. Saat bagian pedangnya akan di letakan, Shisui perlahan mengangkat pedang itu hingga sejajar dengan keningnya lalu terpejam, "Shinji, hari ini kau akan bersatu kembali dengan tuanmu. Tolong lindungi dia sampai ke tempat terakhirnya." Gumamnya lalu meletakan senjata itu di atas tubuh Toshi.

"Peti akan segera di tutup, ucapkan salam perpisahan kalian," Ucap pendeta itu membuat Ruka langsung mendekati peti itu dan membelai wajah Toshi dengan berlinangan air mata.

"68 tahun ... Hiks ... 68 tahun kita telah menghabiskan waktu bersama. Suka duka kita lalui bersama dan aku benar-benar tak menyangka kau akan meninggalkanku duluan Toshi. Ku harap kau bertemu dengan anak-anak kita di atas sana dan ku harap kita bisa bersama lagi suatu saat nanti. Ku harap aku, kau, anak-anak kita termasuk Shisui dan sakura bisa menjadi satu keluarga yang utuh lagi. Hiks ... Aku mencintaimu Toshi," Ucapnya yang di tutup dengan mencium kening pria tua itu lalu duduk pada salah satu bangku di temani oleh Sakura dan Mebuki yang terlihat berusaha menguatkannya.

"Nak, kau tidak ingin mengatakan sesuatu?" Tanya pendeta itu pada Shisui yang masih mematung di sisi peti.

"Paman, selamat jalan," Ucapnya sembari meletakan sebuah kalung berbentuk bulan dengan batuan safir biru pada tangannya lalu menundukan kepalanya hingga air matanya jatuh pada tangan pria tua itu.

Saat peti itu di tutup, Ruka seketika memeluk Sakura dengan erat lalu kembali menangis hingga gadis musim semi itu juga tak kuasa menahan air matanya lagi. Tak butuh waktu lama beberapa pria berjas hitam nampak memasuki ruangan dan mulai menggotong keluar peti itu. Shisui yang ikut mengangkat peti itu nampak terus tertunduk dengan raut yang begitu datar hingga membuat hati Sakura juga merasakan apa yang ia rasa sekarang.

Saat Ruka beralih memeluk Mebuki, gadis musim semi itu tiba-tiba memeluk Kizashi yang ada di sisinya dengan erat karena ia benar-benar takut apa yang di alami Shisui menimpa padanya. Saat ia sudah mulai tenang, Kizashi pun dengan lembut mengusap pipinya lalu mengisyaratkan agar ia beristirahat di kamar. Namun, Sakura segera menolaknya dan memilih menunggu Shisui kembali.

Jam demi jam terus berlalu dengan begitu cepat hingga tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 3 sore. Saat Sakura tengah menyediakan teh untuk Ruka agar lebih tenang, Shisui tiba-tiba pulang dengan membawa sebuah guci berukuran sedang dan berwarna perak.

"Tadaima," Ucapnya dengan cukup pelan membuat semua yang ada di sana menoleh padanya.

"Okaeri anata,"

Perlahan Shisui berjalan ke arah Ruka lalu duduk bersimpuh di hadapannya, "Prosesi Kremasi telah selesai. Dimana aku harus melarung abu paman?" Tanyanya sembari memberikan guci perak itu pada Ruka yang kembali berkaca-kaca.

"Toshi pernah bilang ia ingin menghabiskan waktu terakhirnya denganku. Jadi dalam perjalanan terakhirnya ini aku sendiri yang akan mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhirnya,"

"Kalau begiti aku akan menyiapakan pasukan pengawal untuk bibi,"

"Nee, terimakasih putraku," Ucapnya sembari membelari lembut kepala pria itu yang langsung berdiri lalu pergi ke kamarnya.

Tanpa menunggu isyarat apapun Sakura segera berjalan cepat mengikuti pria itu ke kamarnya. Manik emeraldnya seketika terbelalak kaget saat melihat Shisui tengah mengganti pakaiannya dengan seragam, saat ia akan mengambil tantonya yang terpajang di dinding Sakura tiba-tiba menahan tangannya dengan sorot kesal, "Kau mau kemana?"

"Menyelesaikan tugasku," Jawabnya dengan begitu dingin sembari mengikatkan senjata itu pada punggungnya.

Saat ia akan pergi Sakura pun segera menahan tangannya hingga ia reflek berbalik, "Aku akan ikut denganmu,"

"Kau tidak bisa ikut Sakura," Ucapnya sembari tertunduk membuat gadis musim semi itu menjadi kebingungan dengan sikapnya yang terasa mencurigakan.

"Kenapa?"

Helaan napas pelan kini terdengar dari pria itu, perlahan Shisui berbalik lalu mendudukan Sakura di sisi ranjang sementara ia berlutut di hadapannya sembari menggenggam tangannya, "Misi yang kemarin ku jalani gagal. Guci yang di bawa Naruto tadi itu berisi abu jenazah Hanasita, Kenzou dan Kenzi. Aku tidak tahu hukuman apa yang akan di layangkan Ibiki-sama, Itachi dan Kakashi nanti. Jadi aku tidak bisa membawamu ikut denganku sekarang karena aku tidak ingin melihat kau menangis saat aku di hukum nanti," Jelasya membuat perasan Sakura menjadi tidak enak.

"Mereka tidak akan menghukummu seberat itu jika kau mengatakan yang sejujurnya Shisui," Ucapnya sembari menggenggam erat tangan pria itu, "Biarkan aku ikut, aku akan membelamu di sana,"

"Tidak, aku yang membuat kesalahan maka aku yang harus menerima hukumannya bukan orang lain apalagi dirimu. Kesalahanku memang bisa di ampuni oleh Ibiki-sama dan Kakashi. Namun, aku tidak bisa menduga apa yang akan di lakukan Itachi karena aku telah berani berhubungan gadis yang ia cintai,"

"Berhubungan dengan gadis yang ia cintai? Maksudmu Hanasita-san?" Tanyanya membuat Shisui mengangguk pelan lalu menundukan kepalanya hingga menyentuh tangan Sakura, "Tolong maafkan aku, karena aku tidak punya pilihan lain saat itu Sakura. Jika aku tak melakukannya maka jiwa Hanasita selamanya akan menjadi boneka Shiroi,"

"Jiwa Hanasita?"

Lagi-lagi Shisui menganguk pelan lalu mulai menjelaskannya dari awal hingga raut terkejut hingga syok Sakura tak bisa di sembunyikan lagi. Hatinya kini menjadi merasa iba pada Hanasita yang ternyata di permainkan oleh Shiroi selama ini. Dengan lembut ia mengangkat wajah Shisui lalu mengecup keningnya, "Kau telah melakukan hal yang benar anata. Jika kau tidak melakukan itu maka jiwa Hanasita-san tidak akan pernah bisa bereinkarnasi dan akan selalu terjebak di sana,"

"Kau tidak marah Sakura?"

"Bagaimana aku bisa marah jika ceritanya seperti itu sayang? Aku percaya hatimu hanya untukku dan selamanya akan menjadi milikku jadi aku tidak akan pernah marah padamu," Jelasnya membuat Shisui tersenyum lega lalu mengecup tangannya, "Arigatou nee,"

"Untuk masalah Itachi, apa kau tidak bisa merahasiakan hal ini saja?"

"Sebagai seorang shinobi sekaligus anak asuh dari seorang samurai, aku telah di sumpah untuk tetap menjaga kejujuranku Sakura. Aku tidak bisa melanggar ajaran mereka hanya untuk kepentingan pribadiku saja,"

Sakura seketika menghela pelan mendengarnya lalu memeluk Shisui dengan erat sembari terisak, "Jika itu pilihanmu maka aku tidak akan bisa melarangnya anata,"

"Terimakasih atas pengertiannya Sakura,"

Perlahan Shisui pun melepas pelukannya lalu menyeka air mata gadis itu sembari tersenyum tipis, "Jika besok senja aku tidak kembali atau tidak mengirimimu sebuah surat maka tegarkanlah hatimu Sakura dan jalani hidupmu seperti biasa," Ucapnya membuat gadis musim semi itu kembali menitikan air matanya.

"Aku akan selalu berdoa akan keselamatanmu di sini anata,"

Mendengar itu Shisui segera menganggukan kepalanya lalu mencium keningnya, "Aku pergi dulu," Pamitnya yang segera di jawab oleh senyuman getir dari bibirnya yang terlihat sedikit gemetar karena terus menahan tangisnya.

Perlahan ia bangkit berdiri lalu menggenggam tangan Shisui dengan erat untuk mengantarnya keluar. Para orang tua yang melihatnya seketika terlihat kebingungan saat Shisui menghampiri mereka sembari tersenyum tipis, "Aku harus menyelesaikan tugasku di Konoha bibi, ayah mertua, ibu mertua,"

"Apa tugasmu itu tidak bisa di tunda nak?" Tanya Kizashi yang seketika di jawab dengan gelengan.

"Aku sudah cukup terlambat untuk menyelesaikan misi ini ayah mertua. Aku pamit pergi," Ucapnya sembari membungkukan kepalanya, lalu memeluk Ruka hingga wanita tua itu kembali menangis, "Cepatlah kembali nak,"

"Akan ku usahakan bibi,"

Setelah ia berpamitan pada semua orang Shisui nampak segera pergi dari sana bersama para anak buahnya yang sudah menunggu di depan pintu. Sakura yang melihat pria itu semakin menjauh pun tiba-tiba berlari menyusulnya, "Anata!" Teriaknya membuat Shisui seketika berbalik dan begitu terkejut saat Sakura tiba-tiba datang, memeluknya sembari terisak.

"Sakura ..."

"5 menit saja," Ucapnya dengan begitu gemetar membuat Shisui kembali menghela pelan lalu membalas pelukannya tanpa mengucapkan sepatah kata apapun karena ia benar-benar tidak tahu harus bicara apa.

Setelah Sakura puas memeluknya Shisui pun menyeka air matanya lalu membentuk sebuah simbol senyuman dengan tangannya hingga membuat gadis musim semi itu kembali tersenyum, "Aishiteru anata,"

"Aishiteru-mo sayangku," Ucapnya sembari mengecup bibir Sakura lalu perlahan berjalan mundur dan kembali melanjutkan perjalanannya.

Sakura yang melihat sosoknya yang semakin lama semakin menghilang seketika terduduk di sana sembari menangis membuat Kizashi buru-buru menghampirinya dan memeluknya.

******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro