I Miss You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hi semua! Maaf telat update! Saya mau habiskan cerita ini secepatnya.. Karna banyak cerita saya yang ditangguhkan ::>_<::

Banyak ide yang memasuki otak saya, jadi tangan ini gatel buat ngetik cerita baru :v

Chapter/fic ini saya lebih fokuskan kepada Halilintar, karena dia merupakan kakak sulung.

Warning : Chapter ini sedikit pendek dari chapter-chapter lain~

____________________________________

.

..

...

I MISS YOU

...

..

.

____________________________________

Halilintar's P.O.V

Setelah aku terlihat orang yang aku pikir Gempa, aku mengikutinya sehingga ke rumahnya. Tampaknya rumahnya tidak jauh dari sekolah. Hanya memakan waktu selama 15 menit dengan berjalan.

Seperti di rumah Taufan, aku menyembunyikan diri ketika sampai di rumahnya. Tapi kali ini aku bersembunyi di balik pokok yang agak besar dan tidak jauh dari diri 'Gempa' dan rumahnya. Aku melihat 'Gempa' memasuki rumahnya.

Dadaku berdegup dengan kecepatan luar biasa. Akhirnya.. Akhirnya aku sudah ketemu kedua adik kembaranku. Sekali lagi, pipiku dibasahi air mataku sendiri. Aku.. Susah untuk mempercayai realiti ini. Dalam masa satu hati, aku bertemu kedua saudaraku. Adakah ini balasan dari tuhan untuk 11 tahun kesengsaraan berjauhan dari kembaran? Aku.. Sangat bersyukur. Sungguh bersyukur.

Aku menggigit bibir bawahku dengan agak keras, tapi tidak membuatkan ia terluka. Aku mendapati diriku menggelongsor ke bawah, jatuh terduduk sambil menekuk lutut.

Aku berada dalam posisi ini selama beberapa menit. Kepalaku penuh dengan pertanyaan.

Apakah Gempa masih mengingatiku dan Taufan?

Apakah Gempa akan kaget dengan kedatanganku?

Apakah Gempa akan 'menerima' aku?

Haruskah aku bertemu dengannya sekarang?

Apakah-

"Um, kamu tidak apa-apa, nak?"

Pikiranku terpotong oleh suara lembut. Dengan cepat, aku mengangkat kepalaku, melihat bayangan seseorang yang berdiri di hadapanku. Dikarenakan matahari, aku tidak bisa melihat sosok ini dengan jelas. Jadi aku menutup sedikit penglihatanku dengan tangan dan memincingkan mata merahku. Sosok ini kan...

"Lho? Kamu anak yang ibu jumpa beberapa jam yang lepas kan? Kenapa kamu berada di sini? Apa pusingmu belum baikan juga?"

Sosok ini.. Tidak salah lagi. Muka yang sama 11 tahun yang lepas. Cuma terdapat sedikit kedutan pada wajahnya, tapi itu tidak membuatku tidak mengenalinya atau melupakannya. Iya.. Sosok ini.. Bu Tania. Orang tuanya Gempa.

Eh? Apa maksudnya 'jumpa beberapa jam lepas?' Dan, gimana tante ini tau kepalaku pusing?

Apa jangan-jangan, beliau yang berniat menolongku saat aku pusing? Tapi kenapa aku tidak mengenalinya? Ah.. Penglihatanku kabur ketika itu.

Aku menggeleng pelan kepalaku lalu menyeka pipiku yang dibasahi air mata. Kemudian aku terus berdiri di hadapannya.
"Ah.. Tante yang berniat menolong aku waktu itu kan? Terima kasih." Aku berucap sesopan mungkin seraya membungkukkan sedikit badanku. Aku sudah terbiasa, mengucapkan terima kasih dengan membungkukkan badan, karena ibu selalu mengajarku untuk jadi anak yang sopan.

"E-Eh! Jangan formal-formal gitu! Hahaha. Apa.. Kepalamu sudah baikan?" Beliau bertanya lagi padaku. Tampaknya, ibu angkatnya Gempa perhatian sekali ya..

"Aku tidak apa-apa tante.." Aku coba tersenyum, "Gimana tante bisa ketemu aku di sini?" Karena dibutakan oleh rasa penasaran yang tinggi, aku mulai bertanya.

"Ah.. Tante baru pulang dari rumah teman. Sebenarnya waktu tante jumpa kamu, tante lagi dalam perjalanan pulang ke rumah, tapi tante ketemu teman lama tante, jadi dia ngajak tante ke rumahnya yang tidak jauh dari rumah tante ini. Karena asyik ngobrol, tante sampai lupa untuk pulang. Hingga jam segini, baru tante ingat, sekarang jam Gempa pulang dari sekolah. Jadi tante pulang ikut jalan short-cut ini. Tante jadi terpikir tentang kamu, ternyata tidak nyangka tante bisa bertemu denganmu di sini.."

Ah.. Ternyata begitu. Aku menganggukkan kepalaku. Aku masih teragak-agak, mau tanya pada Bu Tania tentang Gempa atau tidak. Aku terdiam sebentar, kemudian aku melihat semula wajah ibu angkat Gempa ini. Dengan sebuah tarikan nafas, aku membuka suara, "Um, tante. Bisa aku bertanya sesuatu ke tante? Tentang Gempa?" Tanyaku dengan nada hati-hati.

Seperti yang kutebak, tante ini sedikit kaget dengan pertanyaanku barusan, "Ah.. Tentang Gempa ya? Kalau gitu, ayo. Kita ke rumah tante dulu. Ngobrol di bawah sinar matahari tidak enak kan?"

Tante itu kemudian berjalan meninggalkan aku yang masih mematung di tempat, "Eh? Nak, apa yang kamu lamunkan? Ayo ke rumah tante." Aku sedikit tersentak mendengar panggilan itu. Dengan langkah pelan, aku mengikuti jejaknya, sehinggalah kami sampai di depan rumah keluarga angkat Gempa.

Bu Tania membuka pintu rumahnya, kemudian mempersilakan aku untuk masuk. Tanpa berkata banyak, aku membuka sepatu lalu masuk dengan langkah waspada. Bu Tania menyuruhku untuk menunggu di ruang tamu, sementara beliau ke dapur untuk mengambil minuman.

Yah.. Aku berniat untuk menolaknya, tapi karena tenggorokanku yang minta untuk diisi dengan minuman, tidak jadi deh. Sementara menunggu, aku mengedarkan penglihatanku ke seluruh ruangan dalam rumah ini. Ternyata keluarga angkat Gempa kaya juga ya.. Aku melihat-lihat seisi ruangan.. Sangat indah. Sehingga mataku terfokus pada beberapa album dan foto keluarga.

Tanpa sadar, kedua kakiku sudah melangkah mendekati album-album dan foto itu. Tanganku mencapai sebuah album yang bertuliskan 'My Beloved Family'. Aku melihat cover depan album yang aku pegang. Gempa yang berada dalam lingkungan 7 tahunan, digendong di punggung sang ayah, bersama ibunya yang tersenyum di sebelah mereka. Kemudian aku membuka lembar demi lembar, melihat satu per satu gambar keluarga bahagia ini.

Dari Gempa sewaktu baru 'dijemput' ke rumah ini, sehingga menyambut hari lahir ke-9 tahun.. Aku melihat lagi gambar-gambar itu.. Sungguh, saat-saat yang indah.

"Eh?"

Sehinggalah ke lembar yang terakhir, ku dapati beberapa kalimat yang ditulis dengan tangan.

"Ibu berharap, keluarga kita tetap bahagia hingga ke Jannah."
-Ibu-

"Walaupun ayah tidak punya banyak masa untuk luangkan bersama kalian, tapi percayalah, ayah sayangkan kalian."
-Ayah-

"Harapan Gempa, moga ibu dan ayah tetap bersama, walaupun suatu hari nanti, takdir berkata lain."
-Gempa-

Ah.. Kalimat yang sungguh menyentuh hati. Kedua sudut bibirku tertarik ke atas tanpa ku sadari.

Aku menutup album itu dengan gerakan pelan, kemudian meletakkan ia di tempat yang aku ambil semula. Tampaknya, ibu dan ayah Gempa sayang sekali ya padanya..

"Kamu melihat album foto itu ya. Kebanyakkan albumnya, album Gempa dari dia mula mendatangi kehidupan tante bersama suami tante, sehinggalah dia sudah membesar. Sepertinya dia seumuran denganmu mungkin. Ah! Silakan duduk."

Aku membalikkan badanku, menghadap Bu Tania yang tengah meletakkan nampan berisi jus oren di atas meja kecil. Aku tersenyum padanya, kemudian berjalan dan langsung menduduki sofa yang berdekatan denganku.

Bu Tania menduduki sebuah sofa di hadapanku, "Jadi, siapa namamu? Masa tante mau panggilmu dengan panggilan 'nak' kan? Hahaha." Beliau tertawa pelan.

Aku melihatnya, lalu berkata, "Namaku Halilintar tante. Boboiboy Halilintar."

End of Halilintar's P.O.V

____________________________________

"Ah.. Halilintar ya. Hm.. Kenapa kedengaran familiar ya..?" Puan Tania memegang dagunya, berpikir sejenak.

Mendengar kalimat tante di hadapannya, membuatkan Halilintar menaikkan sebelah alisnya. Kemudian dengan rasa penasaran, Halilintar membuka suara lagi, "Aku.. Kembaran Gempa tante.." Gumamnya.

Puan Tania melihat Halilintar, "Benarkah? Kenapa Gempa tidak pernah bilang ke tante ya?" Tanyanya kepada diri sendiri.

"Tante lupa ya? Aku sama Gempa punya satu lagi kembaran. Kami kembar tiga." Jelas Halilintar.

"Hm.. Maaflah Halilintar. Tante mengalami amnesia 'sementara.'" Puan Tania menundukkan sedikit kepalanya, suaranya pula semakin pelan.

"Amnesia?" Tanya Halilintar dengan heran.

Puan Tania menganggukkan kepalanya, "Iya. Tante bersama suami tante terlibat dalam kecelakaan beberapa tahun lepas. Gempa masih sekolah dasar ketika itu. Tapi kecelakaannya tidak parah, hanya saja, kepala tante terbentur dashboard mobil. Selain daripada itu, hanya luka-luka ringan. Jadi tante sama suami tante tidak memberitahu kejadian ini ke Gempa, takut-takut dia mencemaskan keadaan kami dan mengabaikan hal-hal di sekolahnya." Jelasnya. Terdapat senyum pahit yang menghiasi bibirnya.

Halilintar mendengar penjelasan Puan Tania dengan seksama, sesekali dia menganggukkan kepalanya, "Jadi, Gempa belum tau hal ini? Sehingga sekarang?" Tanyanya lagi.

Puan Tania menggelengkan kepalanya, "Tidak. Ah.. Jadi, kembali ke topik asal, kamu kembaran Gempa? Tante pikir saat tante mau menolongmu, kamu itu Gempa. Tapi mengingat Gempa lagi sekolah, tante jadi terpikir tentang Taufan. Tapi kalau dilihat dari segi pemakaianmu, tidak begitu sama dengan Taufan, dan matamu berwarna merah delima, bukan biru seperti Taufan."

"Ah.. Begitu ya.." Balas Halilintar singkat.

"Kenapa denganmu Halilintar? Lagi sakit?" Puan Tanya menyoal.

Halilintar tersenyum tipis, "Badanku hanya sedikit panas hari ini."

"Hm.. Silakan minum jus ini." Puan Tania menyodorkan jus oren yang dibuatnya ke Halilintar.

'Kenapa tidak beriku minuman kosong saja? Tapi, aku juga haus minuman es gini. Ga apa-apa kan?' Halilintar berpikir, kemudian mengambil jus yang diberi Puan Tania kepadanya lalu diteguknya sehingga 2/3 daripada jus itu.

Mereka berbicara dengan asik, entah sudah berapa lama, sehinggalah Halilintar terlihat jam yang tergantung di dinding, "Gawat! Aku harus pulang tante! Sudah hampir malam!" Baru saja dia berdiri, berniat untuk pulang ke rumah, tapi sudah terpotong oleh Puan Tania.

"Kamu bisa aja numpang tidur di sini. Lagian, kamu masih demam kan? Tante tau kamu masih tidak enak badan. Kamu bisa gunakan ponsel yang sedia ada di rumah ini untuk hubungi keluargamu." Puan Tania kemudian berjalan ke arah ponsel yang dimaksudkan, lalu diberikan pada Halilintar, "Nah, hubungilah keluargamu. Sementara kamu berbicara, tante mau masak untuk makan malam."

Halilintar melirik ponsel yang disodorkan padanya, 'Serius? Hari ini hari beruntung atau sial aku sih?' Pikirnya, lalu dengan nafas pasrah, dia mengambil ponsel itu dan langsung menghubungi keluarganya. Puan Tania pula terus berlalu pergi ke dapur.

"Hello? Siapa di seberang sana?"

Halilintar mendengus sebal, 'Tadinya Amelia, sekarang Ryan?' Batinnya setelah mendengar suara di seberang.

"Hey Ryan. Ini aku, bilang ke-"

"Kak Lin! Ke mana saja kakak?! Ibu sama ayah khawatir padamu tau?!"

Halilintar menjauhkan ponsel itu daripada telinganya setelah mendengar teriakan Ryan yang bisa membuatnya tuli seketika, "Ck, kau dan Kak Lia sama aja, suka bikin telinga orang tuli."

"Kak Lin berada di mana sekarang? Ibu sama ayah hampir aja mau lapor tentang 'kehilangan'mu ke polisi tau! Tapi untung saja sudah dihalang oleh Kak Lia dan aku! Cepat balik ke sini!"

Setetes keringat mengalir di samping kepala Halilintar, 'Sampe gitu sekali.' Halilintar menghela nafas panjang seraya memijit dahinya, "Aku..." Halilintar terdiam, tidak tau mau bicara apa ke Ryan. Mau jujur saja, bahwa dia sudah menjumpai kedua kembarannya, atau berbohong?

"Kak? Kak Lin? Helloooo? Apa kau masih di sana?"

Halilintar masih dalam dunianya, berpikir tentang 'jujur' atau 'bohong'.

"WOY!"

Sebuah teriakan, sukses membuyarkan lamunan Halilintar, hampir saja dia menjatuhkan ponsel yang dipegangnya, 'Fyuuh, untung saja.'

"Usah teriak-teriak kan bisa? Ck, kalau kau berada di hadapanku sekarang, akanku berikan bogem mentah padamu secara gratis." Ucap Halilintar ke adik angkatnya dengan sinis.

"Kak Lin, cepetin pulang! Sudah mau malam nih!"

"Em.. Ryan. Bilang ke ibu dan ayah bahwa aku..." Halilintar memberikan jeda, dia menggigit bibir bawahnya, "...bahwa aku numpang..." Jeda lagi.

"Kakak numpang...?"

"...aku numpang tidur di rumah.. temanku. Badanku gak enak hari ini." Halilintar membalas. Walaupun tidak dilihat lawan bicara, Halilintar menundukkan kepalanya. Matanya tertutupi oleh bayangan dari lidah topinya.

"Aw.. Kakak sudah dapat teman ya? Hm.. Aku kalah deh, taruhan kita. Jadi, aku harus traktir kakak dong~ Ugh- Habis uang tabunganku~"

'Taruhan?' Pikir Halilintar. Ah.. Baru dia ingat, beberapa hari sebelum mereka pindah ke kota ini, mereka ada buat pertaruhan. Siapa yang dapat teman lebih cepat, maka yang kalah harus traktir si pemenang.

"Lupakan saja tentang taruhan itu. Ingat ya, kau harus beritahu ini ke ibu dan ayah, kalau gak, siapin dirimu untuk besok. Akan ku jadikan kau samsakku." Halilintar berujar dengan sinis, akan tetapi, senyum tipis mengembang di bibirnya.

"Ya sudah deh. Rumah temanmu itu, jauh gak sih?"

"Um.. Hanya dalam 20 menit dari rumah kita mungkin?" Ujar Halilintar kurang pasti.

"Oke, pagi besok jangan lupa pulang. Dan ingat ya Kak Lin, jangan nyasar ya~"

"Oi-"

Tutt-

"Ck, dasar kau Ryan!" Halilintar mendecak kesal. Berani-beraninya Ryan memutuskan panggilan saat dia mau bicara?! Yah.. Mungkin ini yang dirasakan kakak perempuannya saat dia memutuskan panggilan ketika di rumah Taufan.. Menyebalkan.

Sambil menghela nafas berat, Halilintar meletakkan ponsel itu di atas meja kecil di ruang itu. Lalu matanya melirik sekali lagi album-album foto. Halilintar mengambil album yang lain, melihat-lihat gambar Gempa bersama kedua orang tua angkatnya. Wajah Gempa dengan dirinya, sama saja. Tidak ada sedikit pun berubah. Yah.. Seketika Halilintar lupa bahwa Gempa dan dia merupakan kembaran.

Pemuda berpakaian hitam-merah dengan motif petir itu membuka lembar demi lembar album foto yang ada didekatnya, sehinggalah panggilan daripada Puan Tania menghentikannya.

"Halilintar, makanan sudah siap. Apa kau mau membersihkan diri dulu? Kau boleh minjam pakaian Gempa, lagian kalian kembar kan? Sementara itu, tante bisa ke atas, manggil Gempa untuk makan bersama."

'Kenapa aku terasa seperti... berada di hotel?' Batin Halilintar. Iya, benar. Dia terasa seperti sedang berada di hotel. Mendapat layanan yang bagus..

Hey, jangan pikir bukan-bukan ya. Halilintar anak baik, dia tidak akan mengambil kesempatan dalam kesempitan(?) :v

Lupakan curhatan author di atas. Back to story.

Halilintar terdiam, otaknya mulai berpikir, 'Apa aku harus membersihkan diri ya? Um, rasanya tidak enak pula, udah numpang, dan sekarang...' Halilintar memandang Puan Tania, kemudian memberikan senyumnya.

"Hm.. Gak usah tante. Aku mau pulang setelah jumpa Gempa. Keluargaku.. pasti khawatir." Gumam Halilintar di akhir kalimat.

Puan Tania memandang Halilintar sambil tersenyum, 'Mirip Gempa.' Batinnya, "Ya sudah, tante tidak suka maksa-maksa. Sebentar ya Halilintar, tante mau panggil Gempa." Dengan itu, Puan Tania terus melangkahkan kakinya menuju ke tangga.

Halilintar kembali duduk di atas sofa, 'Taufan, pemuda yang kau jumpa itu.. ternyata Gempa.' Pikir Halilintar, 'Gimana aku harus lakukan? Untuk kita kembali hidup bersama semula, bersatu sebagai saudara kembaran? Kelihatannya, keluarga kalian amat menyayangi kalian. Rasanya tidak enak pula mau misahkan kalian daripada mereka..' Halilintar mendongakkan kepalanya, otomatis siling putih menjadi perhatiannya, 'Ya tuhan.. Aku harus gimana..? Kalau misahkan mereka, gimana dengan perasaan keluarga angkat mereka..?' Halilintar kemudian melihat kedua tangannya, 'Aku...' Tangannya kemudian dikepalkan sehingga memucat.

"Gempa!"

"Kak Hali!"

Halilintar tersentak kaget. Kepalanya ditujukan ke arah tangga yang menuju ke kamar Gempa secara spontan, "G-Gempa.."
"Kak Hali! Hiks.. Aku-Aku kangen padamu! Hiks.. Aku sangat kangen!"

Sepasang manik ruby itu melebar, kaget dengan apa yang terjadi. Satu detik, dia melihat Gempa berdiri di anak tangga terakhir dengan nafas tersengal-sengal, detik seterusnya dia sudah berada dalam pelukan sang adik kembaran.

Halilintar memulihkan kagetnya dengan membalas pelukan Gempa. Sekali lagi, jaket di bagian bahunya terasa basah. Tangannya mengusap-ngusap pelan punggung Gempa, untuk menenangkan sang manik emas.

"K-Kakak juga.. kangen padamu.. Gempa." Balas Halilintar dengan suara yang terketar. Tanpa sadar, air mata juga meluncur laju di pipinya.
____________________________________

.

..

...

TO BE CONTINUED

...

..

.

____________________________________

Yo! Um.. Gimana ngan chap ini~ Memuaskan ato gak? Hehe.. Bilangnya di comment~

Oh, lupa. Gimme some votes~~ ☆☆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro