6 - ADA APA?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Lo yakin mau udahan, La?” tanya Mela pada sahabatnya, Shaila.

“Iya, gue udah gak sanggup, Mel. Seminggu lagi aja gue ngurusin tuh cowok, tambah pendek umur gue.”

“Iya sih, ada gak ada dia juga tetep aja lo yang ngeberesin tuh perpus.”

Mela meletakkan tangan kanannya di atas pundak Shaila, merasa prihatin kepada sahabat yang ia panggil Lala itu. Bagaimana tidak? Seminggu lebih ini sahabatnya itu dibuat susah oleh  Arka.

Maka dari itu Shaila telah memutuskan untuk menyudahi penderitaannya yang terlalu berat ini. Dia akan mundur dari tanggung jawabnya mengawasi Arka selama masa hukumannya.

Gadis itu jadi berpikir lagi, sebenarnya apa yang membuatnya waktu itu menerima permintaan Pak Rasyudin begitu saja? Padahal dia juga tau  bahwa Arka bukanlah tipe orang yang akan menuruti permintaan orang lain, termasuk dirinya.

“Gue ke ruang Pak Rasyudin dulu yah, Mel.”

“Iya, nanti balik lagi ke sini yah.” Ucap Mela yang langsung masuk ke dalam kantin setelah memastikan sahabatnya itu berlalu.

Shaila menarik napasnya sebelum mengetuk pintu berwarna coklat di depannya. Shaila masuk ketika didengarnya suara yang mempersilahkannya untuk masuk dan seorang lelaki gagah tengah duduk di belakang meja berwarna senada dengan pintu. Senyum terkembang di wajah lelaki itu tatkala melihat Shaila di hadapannya.

“Shaila, silahkan duduk.” Rasyudin menunjuk bangku di hadapannya.

Dengan sopan Shaila duduk di hadapan Rasyudin.

“Ada apa, Shaila? Apa ada masalah?”

Shaila diam, tak yakin harus memulai dari mana, gadis itu mengangguk.

Melihat murid kesayangannya yang biasanya berwajah ceria menjadi muram dan menatap lantai di bawahnya membuat Rasyudin paham akar permasalahan. “Arka, kan?”

Well, Shaila tidak perlu kaget jika guru di hadapannya itu dapat mengetahui apa yang ada di pikirannya, itulah gunanya beliau belajar tentang psikologi manusia.

Shaila menarik napas perlahan sebelum memantapkan niatnya. “Maaf, Pak. Kayaknya saya gak bisa lanjut ngawasin Arka.”

Rasyudin mengangguk. “Saya mengerti perasaan kamu. Memang ini salah saya karna memberatkanmu akan masalah ini, karna saya pikir kamu lah satu-satunya orang yang sanggup menghadapi Arka.”

Shaila menggeleng. “Nggak, Pak. Ini bukan salah bapak, saya aja yang lemah tapi dengan angkuhnya menerima permintaan bapak.”

Menatap  muridnya menjadi murung seperti ini karna permintaannya membuat Rasyudin merasa bersalah. Lelaki yang kemana-mana selalu membawa tongkat rotan itu mengangguk.

“Apa kamu tau kenapa bapak memilih kamu untuk menghadapi Arka?”

Shaila mengangkat kepalanya dan menatap guru di hadapannya, gadis itu menggeleng.

“Karna bapak pikir sifat kamu yang ceria dan suka menolong dapat membuat Arka yang keras dapat berubah. Arka adalah anak yang kesepian. Kenakalannya hanyalah sebuah kedok untuk menutupi kesepiannya itu. Tanpa orang lain dan dirinya sendiri ketahui, batin Arka terus meminta untuk ditolong.”

Shaila hanya diam menatap Rasyudin, tak tau harus mengatakan apa.

“Maka dari itu bapak berani meminta pertolongan kamu untuk menolong anak itu, membuatnya tidak kesepian lagi dengan keceriaan yang kamu punya, dan juga kegigihan yang menjadi sifat utama kamu.”

“Tapi nyatanya saya gagal dalam tugas saya, Pak.”

Rasyid menggeleng. “Kamu tidak gagal, kamu bahkan belum memulainya.”

Hening. Shaila memikirkan kata Rasyid barusan. Shaila belum memulainya? Memulai apa?

“Tapi kamu sudah memutuskan, bapak tidak bisa memaksa kamu untuk mencobanya terus.”

“Maaf, Pak.”

“Tidak apa-apa, bapak yang minta maaf. Dan makasih, karna sudah menerima permintaan bapak.”

“Iya, Pak.”

“Untuk sementara biarkan Arka berada di perpustakaan sepulang sekolah sampai bapak bisa menentukan hukuman gantinya. Kamu bisa kembali ke kelas.”

Shaila pamit pada Rasyudin dan berjalan menuju kantin. Di sana dia melihat Mela yang sedang tertawa sambil melihat ponselnya, pasti sedang chatting dengan pacarnya. Shaila menghampiri sahabatnya itu.

“Eh, gimana, La? Udah?” tanya Mela saat Shaila duduk di hadapannya.

“Udah. Mulai sekarang gue udah bebas.”

“Bagus deh, jadi lo gak perlu repot lagi ngurusin dia lagi. Untung ganteng tuh orang.”

Shaila tersenyum simpul, dia lalu mengedarkan pandangannya dan mendapati Arka bersama kedua temannya sedang merokok di pojok kantin. Jika Shaila melihat kejadian itu dua minggu lalu sebelum dia kenal Arka, sudah pasti dia akan menghampiri mereka dan merampas rokok yang sedang mereka hisap, namun sekarang dia memilih masa bodo dengan lelaki itu.

Memikirkan lelaki itu membuat Shaila stres sendiri, lebih baik dia tak usah berurusan lagi dengan lelaki macam Arka atau dia hanya akan merusak dan memperpendek umurnya.

*****

Suasana perpustakaan kembali tenang, tidak ada adik kelas yang ke sana ke mari mencari buku refrensi untuk tugas mereka, pun Arka yang semakin membuat Shaila pusing.

Seperti kegiatannya sebelum mengenal Arka, Shaila merapikan kembali buku yang berantakan tak pada tempatnya. Setelah ini dia bisa langsung latihan voli bersama teman-temannya. Sebagai kapten tim voli, Shaila tak bisa menyalahgunakan kekuasaannya untuk bolos.

Shaila sudah akan keluar dari perpustakaan saat dia berpapasan dengan Arka yang baru saja datang. Perasaan marahnya tentu saja masih ada saat melihat lelaki itu.

Arka berjalan melewati Shaila menuju tempat biasanya. Shaila membalikkan tubuhnya menatap punggung Arka.

“Gue udah bilang ke Pak Rasyudin kalo gue mau berhenti jadi penanggung jawab lo.”

Ucapan Shaila membuat Arka menghentikan langkahnya, lelaki itu memutar tubuhnya dan menatap Shaila dengan datar.

“Jadi mulai sekarang gue gak ada sangkut-pautnya sama lo, dan lo... terserah mau datang ke sini apa nggak, tapi Pak Rasyudin bilang dia mau lo tetep di sini sampe dia bisa nentuin hukuman lo berikutnya, yah walaupun gue gak ngarepin lo nurutin itu juga.”

Arka melengos begitu saja membuat amarah Shaila kembali memuncak, namun gadis itu memilih untuk menahannya.

“Kalo lo mau balik jangan lupa kunci pintunya.” Ucap Shaila sambil berjalan pergi.

Di tempatnya, Arka hanya diam menatap lantai. Tak tau apa yang sedang dia pikirkan saat ini.

*****

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 17:40, namun Arka baru saja keluar dari perpustakaan. Lelaki itu langsung menuju parkiran motor.

Di tengah jalan, Arka melihat Shaila yang baru saja selesai latihan voli mengobrol bersama temannya seraya berjalan menuju gerbang sekolah, walaupun dia tersenyum namun raut lelah masih nampak di wajahnya. Melihat gadis itu membuat Arka kembali memikirkan perkataan Shaila tadi. Baguslah, berarti mulai besok dia sudah bisa pulang cepat.

Arka memakai jaket jeans dan helm berwarna hitam miliknya, dengan segera ia menyalakan mesin motornya. Ia tak ingin pulang terlalu malam dan melewatkan taruhan bersama teman-temannya.

Saat menjalankan motornya menuju gerbang, Arka melihat Shaila yang melonjak kaget karna sepeda motor di depannya hampir saja menabraknya dengan kecepatan tinggi. Gadis itu lalu jatuh duduk dengan lemas.

Arka menghentikan motornya dan turun dari motor, lelaki itu membuka helmnya sebelum berjalan mendekati Shaila yang saat ini memegangi dadanya. Arka menepuk bahu Shaila dan membuat gadis itu terlonjak kaget.

“Lo gak apa-apa?”

Shaila menatap Arka dengan kedua mata membulat sempurna. Arka dapat melihat cairan bening di kedua mata Shaila. Seperti sudah bisa mengendalikan diri, Shaila menepis tangan Arka dan bangkit berdiri.

“Gak papa,” ucap Shaila seraya menghentikan taksi yang berjalan namun ternyata taksi tersebut berpenumpang.

Arka menarik lengan Shaila. “Gue anter,”

Shaila menoleh dan menatap motor Arka yang terparkir tak jauh dari mereka, ia lalu menunjuk motor berwarna hitam tersebut. “Naik benda itu?”

Arka mengernyitkan dahinya. “Iya, naik apa lagi emangnya?”

Shaila mendengus. “Mendingan gue jalan kaki daripada naik benda laknat kayak gitu.”

Arka sudah akan membalas perkataan Shaila saat sebuah taksi berhenti di depannya dan tanpa pikir panjang Shaila masuk ke dalamnya. Arka mengambil ponselnya dan memotret plat nomor taksi yang membawa Shaila pergi barusan.

Akhir-akhir ini gadis itu selalu kelihatan murung dan lemas, jadi Arka khawatir jika terjadi apa-apa padanya. Arka tidak menutup mata akan alasan kenapa Shaila menjadi seperti itu, namun apa yang bisa ia lakukan? Dia tak bisa memaksa Shaila untuk ceria kembali, dan dia juga tak punya alasan untuk melakukan hal itu. Biarlah, terserah gadis itu ingin menjadi seperti apa, itu adalah haknya.

*****

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro