🔥1🔥 Kepergok

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Permaisuri Maharatu :

Seorang gadis yang wajahnya dipoles make up natural itu berjongkok di depan sebuah tumbuhan mawar. Bukan untuk memandangi keindahan bunga itu, melainkan untuk menyelamatkan hewan kecil yang tersesat sendirian. Di tangannya sudah ada toples yang terdapat banyak semut di dalamnya. Dia adalah Permaisuri Maharatu. Gadis itu tidak merasa kesulitan untuk berjongkok padahal sedang mengenakan gaun bak tuan putri yang menenggelamkan tubuh mungilnya

“Temen kamu mana? Kasihan kamu sendirian. Ini aku bawa banyak temen buat kamu. Ayo masuk!” kata Permaisuri sambil mengulurkan tangannya agar satu semut kecil itu berjalan di tangannya. Setelah semut itu ada di tangannya, barulah ia memasukkannya ke dalam toples yang sudah ada beberapa semut yang ia selamatkan, lengkap dengan madu alami yang seharusnya ia gunakan untuk perawatan kulit.

“Peri!” Seseorang memanggil Permaisuri dengan sebutan Peri yang diambil dari suku kata depan dan belakang namanya. Gadis itu langsung tahu siapa yang memanggilnya. Segera ia berdiri dan menoleh ke arah orang itu sambil tersenyum ceria. “Ngapain?” Orang itu bertanya demikian padahal ia sudah tahu apa yang Permaisuri lakukan.

“Kak Bocil udah pulang ternyata, aku tungguin dari tadi,” ucap Permaisuri yang langsung membuat orang yang dipanggil Bocil itu mendengkus kesal. Nama aslinya sudah bagus, tetapi nama Bocil tetap melekat dalam dirinya sejak ia baru lahir. Dia adalah Wilder, anak dari pasangan yang tanpa status, yaitu Ghanu dan Gania.

“Kenapa nggak masuk?” tanya Wilder. Ia berjalan mendahului Permaisuri menuju ke rumahnya. Biasanya Permaisuri akan langsung nyelonong masuk tanpa izin, tetapi sekarang gadis itu malah menunggu di halaman rumah.

“Nemu semut tadi,” jawab Permaisuri sambil mengejar langkah Wilder. Ia cukup kesulitan menyusul Wilder karena gaun rumit yang ia gunakan. Saat Wilder berada dekat dengan pintu, mata Permaisuri membulat sempurna. Ia langsung berlari kecil, lalu mendorong Wilder hingga laki-laki itu itu sedikit terhuyung ke samping.

“Peri!” geram Wilder karena Permaisuri mendorongnya hanya karena ada belalang yang hampir ia injak.

“Hampir aja kamu mati,” ucap Permaisuri sambil memegang belalang itu dengan satu tangannya karena tangannya yang lain sedang memegang toples kecil. Setelah puas memastikan belalang itu tidak kenapa-kenapa, Permaisuri beralih menatap tajam ke arah Wilder yang tampak sangat kesal. “Kak Bocil nggak berperikehewanan!” pekiknya.

Wilder melotot dan mendekati Permaisuri. “Kamu yang nggak berperikemanusiaan. Tega kamu dorong Kakak sampai hampir jatuh? Kalau gegar otak gimana? Emang sesuai sama nama kamu, Peri Hewan!” omel Wilder, lalu meninggalkan Permaisuri.

Permaisuri menyusul Wilder, lalu meletakkan toplesnya di meja ruang tamu. Kemudian, ia mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan tempat tinggal si belalang itu. Ia pergi ke dapur, mungkin di sana ada barang yang bisa ia gunakan. “Om Ghanu, aku minjem sebentar, ya,” bisik Permaisuri sambil mengambil toples yang berisi garam. Ia menuangkan semua garam yang ada ke sebuah piring, lalu memasukkan belalang yang dipegangnya ke toples yang sudah kosong itu.

Permaisuri sudah mengamankan belalang itu dan meletakkannya di samping toples semutnya. Kemudian, ia berjalan-jalan di rumah itu untuk mencari Wilder. Ia sudah mencari Wilder di kamar laki-laki itu, tetapi tidak ada. Ia pun memutuskan untuk mencari di lantai dua.

“Mau ke mana?” tanya Permaisuri saat melihat Wilder sedang berjalan menuju sebuah kamar yang letaknya paling ujung.

“Mau ngambil mainan di kamar bayi, siapa tahu kamu butuh,” sahut Wilder. Ruangan yang ia maksud adalah kamarnya waktu masih kecil. Di kamar itu lengkap terdapat kasur, lemari, dan kamar mandi. Hanya saja ada tambahannya, yaitu mainan yang sangat banyak.

“Ih, aku nggak suka main robot, kayak anak kecil aja. Nggak mau!” tolak Permaisuri karena ia diperlakukan seperti anak kecil padahal ia sudah berumur hampir tujuh belas tahun.

“Kamu 'kan suka main perosotan. Kenapa tiba-tiba nggak mau? Padahal kamu sering main itu,” kata Wilder bingung.

“Ih, sebel. Aku itu udah berubah dan udah lebih dewasa,” balas Permaisuri.

Mereka pun sampai di depan pintu kamar itu. Wilder langsung membukanya karena pintu itu rusak, tidak bisa dikunci. Betapa terkejutnya Wilder saat melihat pemandangan di depannya. Permaisuri pun tak kalah terkejut. Gadis itu langsung mendorong Wilder sambil berjinjit untuk menutup mata Wilder.

“Jangan dilihat,” bisik Permaisuri yang kini berhadap-hadapan dengan Wilder. Gadis itu mendongak untuk melihat Wilder yang hanya terdiam dengan mata yang ditutup.

“Minggir,” titah Wilder sambil menepis tangan Permaisuri dengan pelan. Kemudian, ia mendorong Permaisuri ke samping. “Mom! Dad!” teriaknya sambil berjalan masuk ke kamar itu.

Pasangan tanpa status itu menoleh dan membelalak saat anak mereka memergoki mereka yang sedang bercumbu. Mereka gelagapan dan refleks menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh mereka. “Bo–Bocil,” ujar mereka gugup.

“Pantesan sering ngilang. Ternyata kamar ini basecamp kalian? Enggak inget dosa? Kalian itu bukan suami-istri. Tuhan pasti nganggep itu dosa!” omel Wilder setelah tahu ternyata orang tuanya sering berbuat dosa di belakangnya.

“Heh, Bocil! Dad buat dosa juga karena kamu ngelarang kami nikah!” protes Ghanu yang tampak kesal. Sementara Gania langsung menenggelamkan dirinya ke dalam selimut karena merasa malu.

“Aku nggak bakal setuju kalian nikah lagi. Yang ada timbul pertengkaran, terus cerai. Siapa yang kena imbas? Aku juga, 'kan? Ini semua demi kebaikan kita bersama,” terang Wilder. Pendapatnya masih sama seperti enam belas tahun yang lalu, ia masih belum bisa setuju kalau orang tuanya menikah lagi. Ia takut kalau Gania akan tersakiti oleh Ghanu.

“Tapi, kami udah baik-baik aja sekarang. Belasan tahun tanpa status dan kami nggak pernah ada masalah selingkuh-selingkuh seperti dulu. Sekarang udah beda, Cil, kami saling mencintai,” jelas Ghanu yang pendapatnya selalu ditentang oleh Ghanu. Baginya, meminta restu pada seorang anak lebih sulit dari meminta restu orang tua.

“Terserah kalian! Aku nggak mau kalian keluar bertiga, ya! Bodo amat deh kalian buat dosa!” seru Wilder sambil berjalan menjauh dari kamar itu. Batal sudah rencananya ingin mengajak Permaisuri bermain perosotan.

“Kak Bocil! Heh! Kak Wilder! Tunggu!” pekik Permaisuri karena ia ditinggal. Ia berlari kecil untuk menuruni tangga. Memakai gaun seperti itu memang menyusahkan, tetapi tetap saja Permaisuri menyukainya.

“Ayo Kakak anter pulang!” ajak Wilder sambil mengambil kunci mobilnya yang ia letakkan di atas televisi. Kemudian, ia pun menarik tangan Permaisuri dan membawanya keluar.

“Ih, Kakak! Aku itu ke sini mau curhat tentang Kaisar. Kok malah diajak pulang sih?” rengek Permaisuri. Namun, Wilder tidak peduli dan memaksa Permaisuri untuk masuk ke dalam mobilnya.

“Besok aja. Sekarang kamu pulang aja. Kakak mau refreshing otak dulu sama temen-temen,” kata Wilder saat sudah duduk di kursi pengemudi. Kemudian, ia menghidupkan mobilnya, hendak pergi meninggalkan rumah itu. Namun, seseorang yang mengendarai motor datang sehingga membuat Wilder menginjak remnya.

“Permatisuri, sini lo!”

***

To Be Continue...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro