48. Sendu Untuk Momy Olin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sore itu sepulang momy Olin dari kerjanya, ia mampir terlebih dahulu ke sebuah supermarket yang berada dekat dengan kompleks perumahannya.

Momy Olin tampak bergerilya lincah menelusuri tiap rak bahan makanan, memilah-milah buah-buahan dan sayur-sayuran segar untuk diolah sebagai santap malam keluarganya.

Hati momy Olin begitu riang. Sendu sepi yang sering ia rasakan bila berjauhan dengan suami pun kini tak terasa oleh dirinya sebab belahan jiwa yang selalu ia rindukan itu kini sudah pulang dari peraduan.

Damian Alcander alias daddy Dami, mengakhiri pelayarannya sejak acara lamaran putra sulungnya dan akan berada ditengah keluarga untuk waktu yang cukup lama. Maka dari itu, sudah pastilah hati momy Olin akhir-akhir ini jadi riang gembira.

Wanita beranak tiga itu masih terlihat fokus memilah barang yang akan ia beli. Troli berukuran sedang yang ia dorong mengelilingi tiap lorong itu pun kini sudah terisi oleh beberapa panganan yang dibutuhkan, namun momy Olin sepertinya masih enggan untuk menyudahi perburuan.

Hingga sampai di sebuah lorong yang menyediakan beragam bumbu dapur, momy Olin tiba-tiba disapa oleh seorang wanita paruh baya yang tak asing rupanya di mata momy Olin.

"Eh, Ibunya Dominio ya ? Gak nyangka ketemu di sini."

Sapaan ramah itu menghentikan seluruh aktivitas momy Olin dan kini membuatnya fokus merespon sosok yang ia kenal sebagai wali kelas putranya.

"Eh, Bu Lydia ! Apa kabar ?" respon momy Olin, akrab.

"Kabar baik Bu. Ibu gimana, sehat ? Kebetulan, saya mau ngucapin selamat buat Ibu !"

"Selamat untuk apa ya,Bu ?"

Kebingungan seketika melingkupi momy Olin. Ia sungguh tak mengerti ucapan selamat apa yang dimaksud oleh wali kelas putranya itu, padahal sepertinya ia dan keluarganya tak sedang merayakan perayaan apapun.

"Selamat untuk kelulusan Domi di SBMPTN,Bu. Domi itu anak hebat, dia berhasil lulus di fakultas kedokteran UGM ! Saya bangga sebagai guru sekaligus wali kelasnya !"

Deg

Hati momy Olin kini bak ditikam sembilu tajam hingga rasanya perih tak karuan. Ucapan selamat dan fakta yang baru saja ia dengar, entah kenapa begitu menampar perasaanya hingga ia hanya sanggup tersenyum getir menutupi perasaan kalutnya.

Ia sungguh tak tahu menahu tentang putra bungsunya yang ternyata sudah mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi. Ia tak pernah tahu kapan Domi mengikuti tesnya dan ia bahkan tak tahu jika anaknya telah memilih sebuah jurusan untuk masa depannya.

Namun di atas segala ketidaktahuan momy Olin tentang Domi yang sudah mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi, hal lain yang lebih memukul perasaan seorang momy Olin adalah fakta bahwa putra bungsunya itu lulus di jurusan yang sudah ia wanti-wanti untuk tak dilirik oleh salah satu dari para putranya.

Dan yang semakin melukai hati momy Olin lainnya ialah, Domi lulus di universitas yang notabene berada di luar Jakarta.

Lengkaplah sudah semuanya. Momy Olin kecewa dan tak tahu harus bersikap bagaimana lagi.

"Bu, Domi itu anak yang cerdas, saya yakin dia bisa sukses menjalani pendidikan kedokterannya ! Titip salam sama Domi ya bu, saya pamit ke kasir duluan...."

Wali kelas bernama ibu Lydia itu berlalu dari pandangan. Ia meninggalkan momy Olin yang tampak tersenyum getir dan linglung di tempatnya. Ibu tiga anak itu total terguncang dan ia seakan tak sanggup lagi untuk melanjutkan langkah kakinya.

👣👣👣

Momy Olin berjalan gontai memasuki rumahnya ketika sang surya hampir sempurna pulang ke peraduan. Di tangan kanan dan kirinya ia menenteng beberapa plastik belanjaan yang cukup berat hingga Vier yang melihatnya dengan sigap langsung membantu.

"Momy beli apaan aja ni ? Banyak banget kayaknya belanjaannya," ujar Vier sembari membantu sang momy meletakkan belanjaan ke dapur.

"Momy mau masak enak rencananya, Bang."

Jawaban momy Olin itu terdengar lemah.

"Momy kenapa ? Momy sakit ? Kok wajah Momy pucat?" cecar Vier sedikit panik, sebab ia baru menyadari wajah sang momy yang tampak pucat pasi.

"Gak kok ,Bang. Momy cuma kecapekan," ujarnya berkilah.

"Daddymu ke mana, Bang ?"

"Daddy pergi nge-gym sama Dek Uky, paling bentar lagi pulang, Mom !"

Vier memberikan segelas air putih pada sang Momy yang tampak kelelahan itu.

"Abang kok gak ikut Daddy dan Uky nge-gym ?"

"Gak Mom, Abang mau persiapan ngapel calon istri aja !" ungkap Vier tanpa segan, sebab memang benar Lea kini sudah menjadi calon istrinya.

Pertemuan antar keluarga Vier dan Lea beberapa bulan lalu menghasilkan kesepakatan bahwa Vier dan Lea akan melangsungkan pertunangan tahun depan, lalu disusul dengan pernikahan di tahun berikutnya. Keputusan ini diambil atas pertimbangan, Lea yang ingin fokus merampungkan pendidikannya yang tinggal sedikit lagi.

"Lalu Domi di mana, Bang ?" tanya momy Olin lagi, terdengar semakin sendu.

"Domdom ada di kamarnya Mom tadi. Paling kalau gak ada di kamar, dia ada di sebelah tempat Unjin atau Lulu...."

Momy Olin yang mendengar hal itu pun hanya mengangguk lemah tak bersemangat, lalu mulai beranjak menuju kamarnya untuk membersihkan diri setelah sebelumnya ia pamit terlebih dahulu pada putra sulungnya itu.

👣👣👣

Usai membersihkan diri dan coba menenangkan hati, kini momy Olin pun telah kembali ke dapur dan mulai mengolah bahan makanan untuk santap malam keluarganya. Tengah asik mengiris-iris beberapa bawang, kemunculan putra bungsunya di dapur cukup membuatnya sedikit terkejut sebab kenyataannya sejak tadi momy Olin banyak melamun, memikirkan banyak hal.

"Mom, masak apa ?"

Sapa ceria itu terlontar seperti biasa dari seorang Dominio Alcander. Remaja berwajah polos itu pun mendaratkan sebuah ciuman singkat di pipi momy-nya lalu kemudian bergerak mencari minuman dingin di lemari pendingin makanan.

"Momy pulang jam berapa, Mom ? Kok Domdom gak ngeh Momy datang ya ?" tanya putra bungsu Alcander itu tanpa peka pada sang sikap sang momy yang sejak tadi hanya diam saja.

"Dom... tadi Momy ketemu Bu Lydia di supermarket. Dia ngucapin selamat ke Momy !" ucap momy Olin mulai buka suara.

"Oh ya ? Bu Lydia ngucapin selamat apa Mom ?" tanya Domi polos, sembari masih sesekali meneguk minuman dingin ditangannya.

"Ngucapin selamat atas kelulusan Domi di fakultas kedokteran UGM !"

Uhuukkk

Domi spontan memuntahkan minuman yang sedang ia teguk. Ucapan sang momy yang barusan ia dengan benar-benar mengejutkannya dan kini si bungsu itu jadi salah tingkah di tempatnya.

Momy Olin menghentikan aktivitasnya mengiris bawang dan memutar balik tubuhnya menatap pada putranya yang tadi sempat ia punggungi.

Tatapan tajam penuh intimidasi itupun ia layangkan pada putra bungsu kesayangannya itu, seakan ia menuntut sebuah penjelasan dari semua fakta yang kini telah terbongkar.

Momy Olin tahu, dengan hanya melihat reaksi Domi yang begitu terkejut dan kini salah tingkah, telah sedikit-banyak menjelaskan tentang fakta tersebut. Namun momy Olin tentu tak puas hanya sampai di situ, ia ingin putranya itu menjelaskan semua secara langsung padanya.

"Jadi, coba Domi jelaskan apa maksud dari ucapan selamat yang diucapkan Ibu Lydia itu ? Apa benar Domi udah lulus di fakultas kedokteran UGM ?!"

Pertanyaan itu seakan terdengar menyeramkan di telinga seorang Domi. Tatapan sendu penuh kecewa yang tersirat dari sorot mata momy Olin itupun cukup mengintimidasi Domi hingga ia tak sanggup untuk menjelaskan barang sepatah kata pun.

"Ng... itu Mom ... itu ... Domdom bisa jelasin... ng... itu...."

"Itu apa ? Apa yang mau Domi jelaskan ? Mau menjelaskan bahwa Domi sudah membohongi Momy ?" cecar momy Olin, mulai terpancing emosi.

Rasa kecewa di hatinya seakan memicu perasaan kesal dan ingin sekali ia murka namun berusaha ia tahan sekuat tenaganya.

"Ng... Domdom bisa jelasin, Mom. Domi gak bermaksud bohongin Momy, tapi----"

"Tapi faktanya memang Domi bohongin Momy ! Domi ngerahasiain semua ini dari Momy dan Domi melanggar apa yang sudah Momy wanti-wanti !"

"Kenapa Domi lakuin ini ke Momy ?! Domi mau memberontak sama Momy ?! Domi udah gak menghargai Momy lagi ?! Iya ?!"

"Gak gitu,Mom.Domi cuma butuh waktu untuk ngomong sama,Momy...."

Momy Olin membalikkan tubuhnya, memunggungi Domi kembali. Di sana air matanya menetes, di pipi yang tadi dihadiahi kecupan oleh Domi. Hatinya terasa sesak, momy Olin tak sanggup jika harus melanjutkan debat.

Maka wanita paruh baya itu lebih memilih pergi dan mengakhiri aktivitas memasaknya. Ia sungguh tak sanggup terlibat tengkar dengan putranya.

"Mom ... Domi bisa jelasin !"

Ucapan itu hanya sanggup Domi ungkapkan tanpa bisa ia lakukan. Jangankan untuk menjelaskan, menatap pada kedua iris mata momy Olin saja ia sudah bergetar hebat hingga tak sanggup berucap.

"Mom, kenapa ?"

Raut kebingungan melingkupi wajah daddy Dami dan juga Uky yang baru saja tiba di rumah dan melihat momy Olin berlari terburu-buru memasuki kamar. Vier yang baru saja akan bersiap pergi pun jadi tersita perhatiannya, terlebih saat ia melihat Domi mengekori sang momy sambil mengucapkan kata maaf.

Petang itu keluarga Alcander dilingkupi kelimpungan. Daddy Dami yang kebingungan pun menuntut sebuah penjelasan dan Domi pun akhirnya mengungkapkan semua kebenarannya.

👣👣👣

Segala duduk perkara kini telah Domi ungkap pada sang Daddy. Vier dan Uky pun turut membantu adik bungsunya itu menjelaskan semuanya, sebab selama ini memang kedua abang itulah yang membantu Domi merahasiakan perkara ini dari sang momy.

Daddy Dami tampak memijat keningnya sambil menyandarkan tubuh, menggambarkan sedikit kekecewaan terhadap para putranya. Ia tak membenarkan perbuatan para putranya yang merahasiakan hal penting seperti ini, namun ia tak bisa juga menyalahkan, sebab para putranya punya alasan kuat mengapa mereka melakukan hal demikian.

Sesungguhnya daddy Dami amatlah bangga mendengar sang putra bungsu yang telah berhasil menjebol kelulusan di Universitas Negeri sekelas UGM dengan mengambil jurusan kedokteran. Ia akui Domi memang putra yang cerdas, ia tak meragukan kemampuan Domi namun fakta tentang sang istri yang tak pernah ingin ada putra mereka terjun ke dunia kesehatan sedikit membebaninya.

Bukan hanya saat sekarang, sejak daddy Dami masih pacaran dan awal menikah dengan momy Olin dulu, istrinya itu selalu mengatakan dengan tegas ia tak ingin ada salah satu dari anaknya di masa depan mengikuti jejaknya sebagai seorang tenaga kesehatan. Alasan kuat yang melatarbelakangi semua itu sudah jelas, karena momy Olin tak ingin anaknya merasakan kesulitan yang ia rasakan.

Ruang kerja daddy Dami petang itu dilingkupi keheningan. Daddy Dami masih berdiam sembari memikirkan solusi apa yang terbaik untuk bisa membuat sang istri mengerti. Sementara para putra Alcander tampak kebingungan dalam diam.

"Dad... maafin kita karena sudah merahasiakan semua ini. Kami gak bermaksud untuk membohongi Daddy dan Momy, tapi Abang membantu Domi merahasiakan ini semua karena Abang tau gimana serius dan niatnya Domi buat meraih cita-citanya."

"Domi memilih jurusan ini bukan semata dia asal pilih, tapi dia memilih atas dasar keinginan hatinya. Abang yakin Domi sanggup, dia cerdas dan punya potensi besar. Dan yang terutama Domi ingin membanggakan Daddy dan Momy."

Vier sebagai sulung yang juga bertanggung jawab atas semua perkara ini mulai mengungkapkan pembelaannya untuk sang adik. Tak bisa dipungkiri, selama Domi menjalani proses pendaftaran hingga seleksi masuk perguruan tinggi, Vierlah yang menggelontorkan dana serta memberi dukungan pada Domi.

Tak hanya Vier, bahkan Uky pun turut membantu Domi dalam mempelajari soal-soal untuk seleksi masuk. Bahkan Uky juga mendaftarkan sang adik pada sebuah lembaga bimbel.

Daddy Dami tampak bergerak meraih tangan putra bungsunya yang tergeletak lemah di atas meja. Ia menggenggam jemari mungil itu dan menatap lembut pada putra bungsunya.

Penjelasan yang Vier ungkapkan sangatlah masuk akal, jika daddy Dami berada di posisi Vier dan Uky pun ia akan melakukan hal yang sama demi mendukung cita-cita saudaranya.

"Dom... Daddy bangga sama Domdom. Daddy sangat senang putra Daddy akan menjadi seorang dokter di masa depan. Tapi Daddy ingin tanya satu hal pada Domi... Apa Domi sepenuhnya yakin dengan pilihan Domi ini ?"

Domi mengangguk mantap.

"Domi akan menjalani pilihan Domi dengan tekun ?" Domi mengangguk mantap.

"Domi siap dengan segala konsekuensi dan resikonya ?" Domi kembali mengangguk.

"Domi siap hidup berjauhan dari keluarga selama pendidikan ?"

"Domi harus siap Dad. Tapi kalau Momy gak memberi restu, Domi juga gak ingin memaksakan...."

Bicara Domi terdengar lirih. Ia tertunduk lemah, hatinya berbalut sendu dan kesedihan. Ia sungguh tak menyangka memperjuangkan impian akan seterjal ini jalannya.

"Domi gak usah khawatir, Daddy akan coba bicara dan melunakkan Momy mu !"

Secercah harapan seakan memberi angin segara pada Domi. Ia kini sudah mengantongi restu dari sang Daddy dan Daddy Dami akan membantunya bicara pada sang momy.

Namun meskipun demikian, Domi belum bisa 100 persen melegakan diri. Ia masih merasa sangsi bahwa momy Olin akan memberi restu pada pilihannya.

Di tengah pembicaraan serius daddy Dami dan ketiga putranya, di luar ruang kerja sana tiba-tiba saja terdengar teriakan kencang yang memanggil nama trio Alcander. Suara itu sangatlah familiar, suara itu adalah suara Unjin yang berteriak mengatakan momy Olin pingsan di dapur.

👣👣👣

Malam itu suasana keluarga Alcander benar-benar kacau. Unjin menemukan momy Olin pingsan dengan tubuh pucat dan berkeringat dingin. Daddy Dami dan ketiga putranya pun menjadi panik bukan kepalang. Mereka semua segera melarikan momy Olin ke rumah sakit dan kini berakhirlah momy Olin dirawat inap dengan diagnosa infeksi lambung.

Sepanjang berada di UGD hingga masuk di ruang rawat inap, momy Olin tak banyak bicara dan hanya berdiam diri saja. Berkali-kali Domi coba mendekat dan berbicara pada momy Olin, namun si momy hanya membisu dan membuang pandangan ke arah berlawanan.

Domi tentu terpukul melihat semua kejadian ini. Rasa bersalah kian menyiksa batinnya dan Domi mengutuk dirinya sendiri karena menjadi penyebab semua kekacauan tersebut.

Keesokan harinya setelah suasana tegang semalam terlewatkan. Momy Olin pagi ini bangun dengan perasaan yang amat sangat sendu. Pemandangan matanya pagi ini begitu haru, saat ia melihat suami dan para putranya berjaga di sekelilingnya.

Tak seberapa jauh dari tempat tidur momy Olin, suami tercintanya tidur tenang di tempat tidur khusus penunggu. Vier tidur melengkung di sopa tamu, Uky tidur dengan posisi duduk dan kepala tertunduk di sisi kanannya, sementara Domi tidur dengan posisi yang sama di sisi kiri sembari menggenggam tangan momy Olin yang terpasang infus.

Hati momy Olin terasa nyeri, dadanya sesak dan air mata pun kini keluar lagi tanpa bisa ia kendalikan. Ada rasa menyesal karena sudah membuat orang tersayangnya menjadi susah, namun perasaan kecewa yang melukainya juga tak mau kalah mendominasi hati dan perasaanya.

Momy Olin buru-buru memejamkan matanya kembali saat ia menyadari sang suami telah bangun dari tidur pulasnya. Daddy Dami bergerak membangunkan para putranya, sebab pagi itu mereka harus pergi ke gereja.

Hari itu adalah hari minggu pagi yang cerah, namun tak secerah suasana keluarga Alcander. Setelah Daddy dan para putra Alcander bangun, Daddy Dami, Vier dan Domi berpamitan untuk pulang ke rumah dan bersiap beribadah pagi itu, sementara Uky memilih tinggal di rumah sakit untuk menemani sang momy.

Karena melihat momy Olin masih tertidur pulas tanpa pergerakan, daddy Dami pun tak tega untuk membangunkan dan langsung pergi tanpa membuat gangguan.

Setelah Daddy Dami, Vier dan Domi berlalu, Uky bergerak memperbaiki selimut yang membalut tubuh momy Olin. Ia kemudian menggenggam lembut jemari sang momy dan menatap lekat pada wajah wanita paruh baya yang telah melahirkan dan membesarkannya itu.

"Mom... Abang tau, momy hanya pura-pura tidur ! Bicara saja pada Abang apa yang Momy rasakan."

Uky adalah putra yang paling peka pada sang momy. Sejak ia terbangun dan menatap pada wajah sang momy, ia sudah bisa tahu momynya tak benar-benar tidur. Ia tahu, momy Olin hanya menghindari interaksi bersama Domi.

"Mom...."

Panggilan Uky itu akhirnya perlahan membuat momy Olin membuka matanya. Wanita paruh baya yang tampak sangat pucat itu langsung menatap pada sang putra dan meneteskan air mata.

Tak ada yang bisa momy Olin tahan lagi, tak ada yang bisa momy Olin sembunyikan dari putranya yang satu ini. Ia pun bergerak memeluk Uky dan menumpahkan tangis kecewanya di dalam dekap putranya.

"Maafin Momy,Bang. Maafin Momy karena berlaku berlebihan pada kalian... Momy hanya takut, Momy hanya tak ingin anak-anak Momy merasakan sulit... Momy sayang kalian...."

Tangis momy Olin tumpah bersama ungkapan kecewa dan permintaan maafnya. Ia menangis tersedu-sedu meluapkan seluruh perasaaannya dan Uky dengan begitu dewasa menenangkan sang momy.

"Mom... Kami mengerti ketakutan Momy. Kami juga tau Momy bersikap seperti ini karena Momy sayang sama kami... Maafin kami juga, maafin Domi, Uky dan Abang Vier yang sudah lancang merahasiakan semua ini dari Momy... Kami sungguh gak bermaksud membohongi Momy...."

Uky melepaskan tubuh lemah momy Olin dari dekapnya. Ia menyeka dengan lembut air mata yang membanjiri wajah sang momy hingga tandas. Hati Uky terasa perih melihat air mata itu menutupi wajah cantik sang momy.

"Bang... Momy gak sanggup membayangkan gimana nasib Domdom selama pendidikan nanti ! Kuliah kedokteran itu gak mudah Bang... Momy juga gak sanggup kalau harus berjauhan dari Domdom... Gimana jadinya kalau Domdom hidup sendirian di Jogja sana ?!"

"Mom... Ini adalah pilihan Domi... Dia punya impian dan tekad yang kuat dengan memilih jurusan ini. Domi itu anak yang cerdas, Abang yakin Domi mampu ngejalaninnya !"

"Perkara hidup sendiri di Jogja, Momy harus bisa coba mengikhlaskan. Domi pasti akan baik-baik aja... Dia udah gede Mom... Gak ada yang perlu Momy khawatirkan !"

Uky mencoba memberi pandangan untuk menenangkan ketakutan momy Olin yang berlebihan. Ia ingin meyakinkan sang momy bahwa semuanya akan baik-baik saja, asalkan momy mau mengikhlaskan.

"Tapi Momy gak bisa berjauhan sama anak-anak Momy bang... Cukup, Momy berjauhan sama Daddy, tapi sama kalian jangan !"

"Mom... Masa ini akan terus bergulir. Usia kami akan terus bertambah dan kami akan dewasa. Suatu saat nanti pun kami akan memiliki kehidupan sendiri bersama keluarga kami... Biarlah Domi belajar hidup mandiri, toh ini untuk pendidikannya ! Cuma beberapa tahun Mom dan lagi pula Domi bisa pulang saat liburan...."

Momy Olin terdiam meresapi semua ucapan Uky. Ia menimbang dan memikirkan segalanya. Memikirkan kekhawatirannya, memikirkan nasib para putranya, dan memikirkan nasib dirinya jika ia ditinggal oleh para putranya satu per satu.

"Daddy masih akan terus berlayar, Domdom akan ninggalin Momy ke Jogja untuk kuliah, abis itu Abang Vier juga akan meninggalkan rumah karena menikah. Terus abis itu Abang Uky juga akan ikut ninggalin Momy kan ? Kenapa kalian tega sama Momy ?!"

"Mom... Bukan kita tega, tapi emang begini jalan yang Tuhan berikan... Momy adalah ibu yang hebat, kita meninggalkan rumah bukan berarti kita meninggalkan Momy begitu saja ! Kami tetap anak-anak Momy yang akan kembali ke pelukan Momy... Ini hanya masalah waktu Mom, cepat atau lambat kami pun akan punya kehidupan baru...."

Momy Olin kembali terisak dalam kesesakan hatinya. Ia benar-benar tak menyangka bahwa waktu berlalu begitu cepat hingga tiba saat di mana ia harus merelakan para putranya yang satu per satu akan meninggalkannya.

Rasanya sakit, tapi momy Olin pun tak bisa egois mempertahankan keinginannya untuk terus bisa mendekap para putranya.

"Mom... Berilah Domi restu untuk pendidikannya. Dia udah berjuang keras menyingkirkan banyak saingan demi meraih impiannya... Perkara hidup sendiri di Jogja, gak usah momy khawatirkan, anggaplah itu sedikit melatih Domi untuk mandiri...."

Momy Olin kembali terdiam. Ia menatap sendu pada putra yang coba melunakkan hatinya itu.

"Bang... Boleh Momy minta satu permintaan sama Abang ?" lirih Momy Olin.

"Momy minta apa ? Kalau Abang bisa kabulkan pasti akan Abang kabulkan...."

"Boleh Momy minta Abang untuk tetap di sisi Momy ? Momy akan melepas Domdom untuk kuliah ke Jogja dan memberi restu Domdom menjadi dokter. Tapi Momy mohon Abang jangan tinggalkan Momy, karena abang Vier sudah pasti akan meninggalkan rumah juga setelah menikah nanti !"

"Momy mau, abang tetap stay di rumah nemenin Momy. Kalau abang menikah nanti, bawalah istri abang tinggal bersama Momy... Jangan tinggalin Momy...."

Permohonan momy Olin itu terdengar mengiba dan penuh harapan. Perasaan Uky jadi bimbang dan rasa tak tega melingkupi dirinya.

Ia tahu ketakutan sang momy terlalu berlebihan. Namun ia juga berusaha memahami bahwa pasti tak mudah bagi sang momy ditinggal oleh meraka satu per satu suatu saat nanti.

Uky tak pernah tau bagaimana nasibnya di kemudian hari, di mana ia nanti akan bekerja dan menemukan jodohnya. Tapi sepertinya Uky memang harus mengorbankan dirinya. Hati kecilnya tak sampai hati melihat sang momy yang memohon dengan begitu mengiba padanya.

"Abang gak akan ninggalin Momy ! Abang gak akan ninggalin Daddy ! Abang akan ada di sisi kalian dan jagain kalian di masa tua nanti... Momy gak perlu khawatir...."

"Bener bang ? Abang gak akan ninggalin rumah sekalipun Abang udah menikah nanti ?" tanya momy Olin, memastikan.

"Iya Mom... Abang gak akan ke mana-mana. Abang dan keluarga Abang nanti akan tinggal bersama Momy dan Daddy...."

Haru biru melingkupi perasaan momy Olin pagi itu. Perasaan kecewa, rasa takut serta amarah yang sempat ia rasakan tadi,.kini seakan menguap terbang lalu musnah.

Ia merengkuh kembali tubuh putranya ke dalam dekap hangatnya. Membelai lembut punggung kokoh Uky yang suatu saat nanti akan menjadi tumpuannya di masa senja.

Inilah yang membuat momy Olin jauh lebih terbuka pada Uky dibandingkan putranya yang lain, sebab Uky bisa memberi pandangan lain untuk dirinya. Uky bisa jauh lebih dewasa dan mengerti akan segala kekhawatiran hatinya. Putranya itu selalu berhasil menenangkan gelisahnya.

👣👣👣

"Dom... Momy merestui pilihan Domdom, asal Domdom bisa bertanggung jawab akan pilihan tersebut ! Momy akan mengizinkan Domdom untuk menempuh pendidikan di Jogja, dengan catatan jangan kecewakan Momy dan jaga diri baik-baik di sana...."

Sejak hari itu, momy Olin akhirnya merestui pilihan yang sudah putra bungsunya itu tentukan. Momy Olin belajar untuk mengikhlaskan, meski kekhawatiran tentu masih terus-terusan menghantuinya.

Tapi seperti yang dikatakan Uky, ini adalah jalan Tuhan. Sang kuasa telah menggariskan takdir si bungsu yang manja itu untuk menjadi seorang dokter dan menempuh pendidikan di kota orang.

Momy Olin hanya bisa merelakan. Belajar membiasakan hari-hari tanpa Domi di sisinya dan terus mendoakan semoga putranya selalu dilindungi oleh Tuhan.

❤️❤️❤️

Chingudeul 🤗
Gimana sama part Domi kali ini
Sudah tuntas ya semua persoalan hehe
Besok adalah hari terakhir di mana kami akan update Epilog ya chingu

Semoga cerita kami ini membawa kebahagiaan tersendiri untuk kalian yang membacanya 😁

So ... sampai ketemu besok di ending cerita guys 🤗🤗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro