MPBB - 33

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Di dunia ini ada saja hal-hal yang tidak mungkin, luka yang tak terlihat misalnya. Sepertinya halnya yang dirasakan Alula, gadis itu mempunyai luka yang tak terlihat oleh siapapun termasuk dirinya. Hanya rasa sakit dan sesak yang ia rasakan, ia benci mencintai jika seperti ini keadaannya.

Gadis itu menatap deretan fotonya bersama Aga, cowok yang sudah ia terima menjadi pacarnya. Cowok yang dulu ia benci setengah mati karena sikap konyolnya sekarang ia cinta setengah mati pula, rasa sesak yang ia rasakan karena rasa cintanya kepada cowok itu.

Cinta tak direstui.

Alula tersenyum miris, ia mengalami hal yang dulu ia anggap biasa saja hingga bahkan setiap hari gadis itu menyayikan lagu bertema tersebut. Ia tak menyangka rasanya sesakit ini, ia tak pernah membayangkan jika cinta manisnya akan berubah menjadi seperih ini.

Haruskah ia ikhlas?

Perlahan tapi pasti, satu persatu bulir air menetes di pipinya. Gadis itu menunduk dalam, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Tok tok tok!

"Non, ada den Aga."

"Masuk, mbak." Sahut Alula, gadis itu dengan cepat mengusap air matanya dan berbalik arah menuju balkon kamarnya.

"Al, aku bawa makanan nih. Tumben rumah kamu sepi," kata Aga memasuki kamarnya dan menaruh sekotak martabak telur kesukaan Alula. Tak ada jawaban Aga menghampiri kekasihnya. "Al?"

Alula menoleh dan tersenyum.

Ekspresi Aga berubah, "kamu kenapa?"

Mata Alula kembali berkaca-kaca, gadis itu memutuskan untuk menghadap ke depan. "Aku gapapa, Ga."

"Kamu boong, Al."

Pertahanan Alula runtuh, air mata gadis itu menetes kembali. "Ayo kita selesai, Ga."

"Ma- maksud kamu apa Al?"

"Ayo kita selesaiin hubungan ini." Alula sebisa mungkin bertahan untuk tidak menangis, meskipun jejak air matanya masih ada di pipinya ia berusaha untuk berhenti menangis.

"Aku nggak mau, Al."

Alula terduduk. "Aku nggak kuat, Ga. Hati aku sakit," Isak tangis Alula terdengar hingga ke telinga Aga membuat cowok itu menunduk di hadapan Alula.

"Maaf, Al." Aga menatap Alula dengan tatapan bingung, pikiran cowok itu seperti melambung ke luar angkasa. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan, ia tak bisa meninggalkan gadisnya. Ia sangat mencintainya.

***

Seperti ini rasanya patah hati.

Sepi, sesak dan kosong. Ketiga hal itu memenuhi Alula sekarang, dilarang oleh seseorang untuk mencintai benar-benar membuat hidupnya seperti terbelenggu. Bertahan sakit, lepas terluka. Luka yang entah kapan sembuhnya, ia semakin kesal dengan jalan hidupnya sendiri.

Kenapa harus seperti ini?!

Inikah yang dinamakan pergi sulit bertahan sakit? Kenapa berat sekali, melepaskan orang yang benar-benar sudah tinggal di hatinya. Alula menghela napas panjang dan menatap kosong ke langit yang begitu cerah.

Seseorang menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Alula membuat gadis itu tersentak dan menoleh ke arah seorang cowok yang menghampiri dirinya seperti ini. Aga. Alula membuang wajahnya ke samping, ia pikir di waktu dekat ini ia sulit untuk menata hatinya yang berantakan jika cowok itu masih berada di sini- ah lebih tepatnya di hadapannya.

"Please, bertahan sebentar lagi."

Alula menoleh dan matanya menatap tepat pada manik mata cowok itu yang juga sedang menatapnya dengan tatapan sendu. Alula tidak bisa mengatakan apa pun, ia tidak bisa bertahan jika tidak ada kepastian. Jika ia bertahan lalu ternyata hasilnya menyakitkan, bagaimana?

"Aku mohon," katanya seraya memegang tangan Alula. Gadis itu berdehem karena merasa tenggorokannya tercekat, ia menatap wajah Aga yang bersungguh-sungguh.

"Entahlah, Ga. Aku bingung," kata Alula.

Aga menghembuskan napas lelah, cowok itu benar-benar seperti di ambang batasnya. "Jangan pikirkan apa pun, Al. Aku mencintaimu, Mama Papa aku nggak akan pernah bisa misahin kita. Kamu harus percaya aku, ya?"

Alula yang merasa bingung pun hanya mengangguk saja, niatnya menenangkan diri di taman malah gagal dan berakhir dengan cowok yang membuatnya tidak tenang. Aga tersenyum tipis seolah lega, nyatanya cowok itu benar-benar tidak lega karena ini semua menyangkut orang tuanya.

"Kamu mau es krim?"

Alula menatap stand yang menjual es krim lalu mengangguk sebagai jawaban untuk pertanyaan Aga, Aga tersenyum dan memintanya menunggu sebentar di sini. Cowok itu akhirnya berjalan mendekati stand es krim dan ikut mengantri di sana.

5 menit kemudian...

Alula merasa bosan dengan menunggunya karena Aga masih mengantri dan kepanasan di sana, gadis itu akhirnya berjalan mendekati Aga dan menoel tangan cowok itu. "Masih lama?" tanyanya.

"Sedikit lagi ini," katanya dan menarik tangan Alula agar berada di dekatnya, lebih tepatnya agar gadis itu tidak kepanasan karena terik matahari. "Sini, biar nggak panas."

Tubuh Aga yang memang lebih tinggi dari Alula bisa membuat gadis itu berlindung di bawahnya. Alula tersenyum menatap Aga yang berusaha agar dirinya tidak terkena sinar matahari, tak lama kemudian giliran mereka untuk memesan es krim.

Aga membelikan Alula dua cone rasa cokelat, satu cone untuk Alula dan satu cone untuk dirinya sendiri. Setelah itu mereka duduk di kursi taman yang ada di sana dengan tenang. Alula menikmati es krimnya hingga Aga mengusap pipinya dengan pelan. Alula menatap cowok di sampingnya dengan bingung, "ada apa?"

"Ada es krim di pipi kamu," kata Aga yang hanya diangguki oleh Alula. Alula memegang pipinya yang sudah bersih karena diusap Aga, kemudian dia melanjutkan menghabiskan es krimnya.

Terlintas sebuah pertanyaan dari Alula untuk Aga, gadis itu menoleh membuat Aga tersadar sedang ditatap oleh orang yang ada di sampingnya. "Kamu pernah menyesal nggak sih udah kenal aku?"

***

Aga memasuki kamarnya dengan wajah masam, ia sangat malas untuk pulang. Di tambah lagi, tatapan orang tuanya di bawah tadi bertanya-tanya seolah-olah mereka tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Padahal, mereka yang membuat semuanya menjadi runyam.

Baru saja dirinya akan merebahkan tubuhnya, pintu kamar diketuk dari luar menimbulkan bunyi nyaring karena kamarnya yang sepi. Aga menghela napas dan segera beranjak membuka pintu kamarnya.

Ibunya menatap dengan tatapan sendu, sementara Aga menghela napas berat. Ia merasa kasihan pada diri sendiri karena orang-orang rumah juga menatapnya dengan tatapan iba.

"Mama buat kamu nggak bahagia ya?"

Pertanyaan ibunya membuat Gavin memejamkan matanya sejenak dan menghela napas lagi. "Kalau Mama cuma mau nanya kapan Aga dekati Regina, jawabannya nggak akan pernah."

"Ga, Mama mau kamu bahagia."

"Kalau Mama mau Aga bahagia, stop buat dekati aku sama Regina. Regina sahabat pacar aku, secara nggak langsung Mama nyakitin semua orang!" kata Aga seraya menempelkan dahinya di pintu, ibunya yang melihat itu pun menghela napas panjang.

"Ya sudah, Mama tidak akan memaksa kamu."

***

Pstttt....
Masih ada yang nungguin nggak ya?!
Coba komen dong :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro