Bagian 09 : Perhatian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jungkook alergi dengan hal-hal yang berkaitan dengan seafood. Dokter pun telah mendiagnosis Jungkok seperti itu ketika Jihyo langsung meminta bantu pada pihak apartemen, menghubungi ambulans hingga berakhir di Seoul University Hospital. Satu-satunya rumah sakit yang jaraknya tidak terlalu jauh dari apartemen ketimbang rumah sakit lainnya.

Bisa bayangkan bagaimana khawatirnya Jihyo. Otak dan hatinya tidak bisa tenang-menduga bahwasanya ia akan kehilangan Jungkook setelah melihat tubuh Jungkook yang putih pucat mendadak kemerahan.

"Pasien mengalami tingkat alergi yang tinggi. Itulah kenapa setiap mengkomsumsinya, ia berakhir pingsan disertai gejala-gejala lainnya. Akan tetapi, jika hal ini terus terjadi, kematian bisa saja menghampiri pasien. Oleh karena itu, pola makanannya harus lebih diperhatikan lagi." Itulah kata dokter sebelum meninggalkkan Jihyo yang termangu. Seluruh sarafnya seakan ingin berhenti beroperasi sesaat mendengar kata kematian.

Jihyo menggelengkan kepala. "Senior harus tetap hidup. Tidak, kejadian ini tidak akan terjadi lagi," kata Jihyo dengan mata berkaca-kaca. Ia mengamati amat lekat eksistensi Jungkook yang terbaring dengan penanganan intensif di ruangan ICU. Telapak tangannya perlahan mengusap kaca yang menjadi perantara antara dirinya dengan Jungkook hingga dirinya hanya bisa mengintip. Hal itu karena ia belum bisa menemui Jungkook untuk beberapa jam ke depan.

Jihyo lantas memejamkan mata. "Jung, aku minta maaf. Aku-"

"Apa yang sebenarnya kau inginkan Jihyo? Sungguh, tidakkah kau begitu berlebihan? Kau ingin membunuh sahabatku, ya? Akan kusuntikkan kau cairan potassium chloride agar pergerakan jantungmu berhenti terlebih dahulu. Sial!" Suara itu terdengar memekik, tidak lupa Jihyo merasakan tubuhnya disentak oleh seorang pria yang ia cukup kenali karena sering bersama dengan Jungkook.

Ya, dia adalah Kim Dante, seorang dokter spesialis anak yang mengabdikan diri di Seoul University Hospital dan menjadi sahabat baik Jungkook. Setidaknya, itulah yang direkam otak masa lalu Jihyo. Akan tetapi, Jihyo tidak menduga akan bertemu seperti ini. Pasalnya, ia hanya bertemu dengan teman-teman Jungkook ketika di hari pernikahan mereka dan hari kematian Jungkook.

Rasanya, Jihyo tersengat akan arus listrik. Tidak bisa mengatakan apapun saat dihantam pernyataan menyakitkan hati. Dengan santainya, ia melihat Dante memegang kedua kerah jaket yang dikenakan oleh Jihyo. Benar-benar serangan dadakan.

"Aku akan membunuhmu terlebih dahulu jika terjadi hal buruk kepadanya. Kau hanya orang asing bagi kami dan aku sama sekali tidak takut untuk melakukannya," kata Dante yang langsung menghempas tangannya pada kerah jaket yang Jihyo kenakan. Tidak berpikir jika orang sekitar akan menganggapnya sebagai pria pengecut yang hanya berani pada seorang wanita yang hamil pula. Bahkan, Dante langsung melenggang masuk ke dalam ruangan tersebut-seolah-olah tidak akan ada yang melarang sebab ia mengenakan jas dokter dari rumah sakit itu.

Kepala Jihyo dbuat tertunduk. Tak pernah ia terpikir untuk membunuh Jungkook setelah sumpahnya keluar. Makanan yang ia masak, murni untuk mengibarkan bendera perdamaian. Hanya saja, kesialan terjadi padanya yang sama sekali tidak tahu jika Jungkook memiliki alergi yang parah.

Senior, aku minta maaf.

Sementara Dante yang masuk ke dalam ruangan inap Jungkook, mulai merekahkan senyum lega ketika memeriksa keadaan yang mengatakan kondisinya perlahan stabil. Sungguh, dasarnya Jungkook memang memiliki metabolisme yang kuat, tetapi ia tetaplah seorang manusia-kapan saja akan mengangkat kedua tangan seperti ini. Dante oun hanya bisa mengusap wajah tampannya dengan beriringan helaan napas kasar yang keluar. "Kau harus tetap baik-baik saja, Jung. Tidak bagus rasanya mati keracunan akibat masakan istrimu. Kau harus lebih berhati-hati! Kau harus mendengarkanku, hei," kata Dante pada orang yang tidak sadarkan diri.

Dante tahu, tetapi ia ingin mengoceh setelah melewati beberapa operasi besar hari ini. "Seharusnya, kau menceraikan dia, Jung. Kau memiliki kuasa dan dasarnya memang memiliki pontesi kuat untuk mendapatkan hak asuh anak. Kau-"

"Dante, hentikan omong kosongmu sebelum aku mencuri cairan potassium chloride dan menyuntikkannya padamu," kata Jungkook sembari membuka mata, tetapi ia sontak meringis kesakitan. Secara spontan ia memegangi kepalanya.

Dante dibuat terkejut, tetapi ia mengambil gerakan spontan dengan membantu sahabatnya yang tengah kesakitan. "Hei, hati-hati. Kau seharusnya berbaring saja. Setelah ini, aku akan memangil dokter yang seharusnya berjaga di sini untuk memeriksa kondisimu lebih lanjut."

Namun, Jungkook memilih untuk mengabaikannya. Tidak, Jungkook bahkan melayangkan tatapan tajam pada Dante yang merasa tidak melakukan apapun.

"Aku baru datang, kenapa kau menatap seolah-olah aku adalah musuhmu?"

"Di mana istriku?" Sekali lagi, Jungkook mengabaikan pertanyaan Dante. Bahkan, ia menanyakan pertanyaan yang di luar prediksi Dante dan menurutnya, terdengar sedikit menyebalkan.

"Kau mencari iblis yang berniat untuk membunuhmu? Apa kau sudah gila?" kata Dante yang mulai kesal, tangannya mengepal kuat-tidak bisa tenang dalam kondisi seperti ini.

Hanya saja, Dante tidak memahami jika ia semakin memercikkan aura yang begitu dingin pada Jungkook. Hal-hal yang dikatakan oleh Dante, sangatlah membuat suasana hati Jungkook hancur karena Jungkook tidak suka saat seseorang-siapapun itu menghina istrinya.

"Dia tidak membunuhku. Ini hanya kecelakaan kecil dan jangan bilang, kau menghentikan dia yang ada di balik pintu dengan cara ingin menyuntikkan cairan potassium chloride, Dante?"

Dante yang baru ingin berujar, mengatupkan kedua bibir. Seakan merasa dirinya tertangkap basah telah mencuri sesuatu. Ia pun sangat terkejut ketika Jungkook membuat sebuah tebakan yang tepat sasaran. Sebenarnya bukan hal biasa. Itu adalah ancaman yang sering Dante keluarkan pada orang-orang yang membuatnya kesal. Di dalam cerita ini pun, bukan Dante namanya yang akan berusaha menyembunyikan sesuatu yang dianggap salah padahal ia merasa sudah benar melakukannya.

"Dia hanya berakting, Jung. Lupakan dia dan fokus pada kesehatanmu. Intinya, kau harus memahami satu hal! Dia mencoba untuk meracunimu dengan menyodorkan makanan yang tidak bisa kau konsumsi. Kau seharusnya bisa paham!" Dante mencoba menjelasksan banyak hal pada Jungkook yang selalu saja keras kepala di beberapa kesempatan.

Hal itu seperti saat ini. Tetapi dengan santai, Jungkook menganggukkan kepala. "Persetanan dengan dia melakukan akting atau tidak, karena aku memakannya atas keinginanku sendiri. Aku sudah tahu jika terdapat seafood di dalamnya!" balas Jungkook yang tak kalah sengit. Sudah banyak perdebatan yang ia lalui saat terjun ke dunia hukum, sehingga ia tidak ingin melewatkan beberapa perdebatan terlebih jika itu menyeret istrinya.

Dante benar-benar merasa frustrasi. Seperti biasa, Jungkook juga keras kepala-mungkin lebih parah dari dirinya. "Jung, apa kau sudah gila?"

"Ya, terserah kau menganggap seperti apa! Aku hanya ingin istriku. Keluar dan suruhlah Jihyo masuk ke dalam sini. Aku yakin, dia masih ada di sana karena aku sangat yakin jika apa yang terjadi di luar daripada kehendaknya. Mohon pengertiannya, Dante!"

Dante dibuat kehabisan kata-kata, pun tak ada kuasa untuk menolak permintaan Jungkook. Ia melenggang keluar tanpa mengatakan apapun. Memang benar, Jihyo masih ada di sana-berdiri di belakang pintu dengan ekspresi terkejut-seakan tertangkap basah tengah melihat kondisi suaminya. Dante mencoba mengamati, rasanya mustahil melihat gadis yang ia anggap sebagai iblis tak tahu diri masih berada di sini. Bukankah ia seharusnya tidak peduli? Atau setidaknya meninggalkan Jungkook terkapar begitu saja, seperti yang lalu-lalu.

Helaan napas menguar begitu saja. "Drama yang memuakkan! Entah apa yang kau rencanakan, tetapi kau berhasil membuat Jungkook seperti orang bodoh. Masuklah, dia ingin menemuimu." Lantas Dante melenggang setelah memberitahu Jihyo. Disibakkannya kedua sisi jas kebanggaan yang ia miliki dan berlalu sembari bersiul.

Walau sedikit bingung dengan perkataan Dante, Jihyo bergegas memasuki ruangan yang penuh akan semerbak obat-obatan. Perasaannya berkecamuk, pun kedua kakinya yang melangkah terasa gemetaran. Jihyo serasa ingin menangis melihat Jungkook terbaring di ranjang rumah sakit-matanya terpejam rapat, tetapi langkah kaki Jihyo yang semakin dipercepat empu terdengar, menyentakkan Jungkook dalam buaian kegelapan.

Jungkook lekas menoleh dengan senyum tipis yang merekah. Bahagia akan dugannya yang benar. Jihyo membawanya ke rumah sakit dan masih menunggu dirinya. "Jihyo, aku-"

"Senior, aku meminta maaf. Tetapi aku bersumpah demi Tuhan! Aku tak bermaksud untuk meracuni atau membunuhmu! Aku sama sekali tidak tahu jika kau ternyata memiliki alergi. Aku hanya mencoba memasak apa yang ada di kulkas dan di sana ada itu. Aku sungguh meminta maaf," kata Jihyo yang menundukkan kepala.

"Aku tidak ingin membunuhmu, Senior! Aku tidak mungkin membunuh suamiku sendiri. Aku tidak bermaksud membuatmu berbaring lemah di rumah sakit. Aku ...." Kalimat Jihyo terhenti, tetapi digantikan dengan tangis yang pecah-mengisi kesunyian ruangan yang mereka tempati dan hati Jungkook yang terpaku akan kekhawatiran Jihyo begitu dalam.

Sungguh, ia seperti tidak mengenal kepribadian istrinya yang satu ini.

"Jihyo, aku menyuruhmu masuk bukan untuk menyudutkanmu. Hei, aku baik-baik saja. Aku yang sepenuhnya salah karena memakan makanan yang sudah kuketahui berbahaya untuk tubuhku. Aku tidak bisa menolak masakan pertama darimu," balas Jungkook yang kemudian terkekeh.

Kepala Jihyo sedikit terangkat, tampak sembab dengan air mata, tidak lupa hidungnya yang mulai memerah. "Kenapa Senior memakannya? Senior seharusnya berterus terang, aku bisa memasak yang lain. Lalu, kenapa pula Senior menyetok berbagai olahan seafood kalau begitu? Apa Senior ingin membahayakan tubuh Senior hingga tiba di mana Senior akan meninggalkan kami? Apa itu yang Senior ingin lakukan?" Suara Jihyo terdengar bergetar. Ia bahkan melampiaskan ketakutannya dengan memilin ujung jaket yang ia gunakan.

Benar-benar, Jungkook terhenyak. Kami-kata itu tidak pernah ia bayangkan akan keluar dari bibir Jihyo yang selalu ingin membelah dua kata itu-tidak, bahkan Jihyo tidak menginginkan adanya kata kami, tetapi seolah-olah ada sihir yang melingkari mereka, Jihyo begitu santai mengatakannya, bahkan dibarengi dengan rasa ketakutan jika kata kami menghilang.

Jungkook semakin bingung dengan perubahan mendadak yang menghantam, walau sebenarnya ia juga suka. Akan tetapi, tangisan sang istri sungguh mengiris hati Jungkook, hingga perlahan Jungkook memperbaiki posisinya. Dengan gerakan spontan, ia menuntun jemari-jemari kekarnya untuk mengusap kedua lembah pipi yang basah, sembari kepalanya ikut menggeleng.

"Aku minta maaf. Aku tidak akan mengulanginya. Sudah, ya? Jangan menangis lagi. Bayi yang diperutmu akan ikut sedih. Ia bisa merasakan kesedihan ibunya."

Bukannya memperbaiki kondisi, Jihyo merasa semakin bersalah. Tangisnya semakin besar terdengar, Jungkook pun dibuat terkejut. Bertanya, apakah ia salah dalam berkata? Namun, pertanyaan besar di kepala Jungkook harus ditumpuk dengan pelukan yang tiba-tiba dilakukan oleh Jihyo-seperti pelukan yang dilakukan dikantor tadi.

"Senior, aku minta maaf dan jangan tingalkan aku dan bayi kita. Aku mohon ...." Suara itu terdengar mengiringi pelukan yang terjadi di antara mereka. Jungkook semakin heran dengan semuanya, tetapi ia tidak menampik jika menyukai perubahan ini. Walau merasa seperti tak berlandas, Jungkook membalas pelukan hangat yang terjadi-memberikan usapan hangat dan berusaha menenangkan istrinya

"Jangan khawatir, aku tidak akan meninggalkan kalian. Kita akan tetap bersamanya, sampai kapan pun itu."

***

Jungkook berada di rumah sakit selama dua hari. Selama itu ia mengambil cuti, sehingga beberapa pertemuan untuk membahas masalah sengketa tanah dilimpahkan oleh Sohyun dan selama itu pula, Jihyo rutin merawat Jungkook. Setelah ia mengurus kuliahnya, Jihyo lekas menemui sang suami di rumah sakit yang memang dasarnya memiliki jarak yang tak begitu jauh untuk ke kampus-bisa dilalui dengan berjalan kaki. Dalam hal itu, Jihyo begitu memerhatikan apa yang Jungkook makan dan beberapa keperluannya-benar-benar ia melakukan posisinya sebagai seorang istri dengan tulus.

Jungkook bahkan merasakannya dan jika ia memang sedang bermimpi, ia berharap Tuhan tidak membangunkannya-ia tidak keberatan jika terus tertidur. Memang, Jungkook belum bisa mendefiniskan apakah dirinya mencintai sang istri, tetapi ia merasakan dirinya selalu ingin bersama dengan Jihyo-melewati segala hal yang akan dilalui di masa depan nanti, bersama dengan anak mereka.

Senyum lekas merekah di wajah Jungkook. Rasanya menyenangkan melewati hari-hari manis. Hingga saat ini, ketika Jihyo merapikan barang-barang yang mereka bawa ke rumah sakit untuk lekas kembali ke rumah. Dengan telaten Jihyo melakukannya, membuat hati kecil Jungkook tergerak. Ia bangkit dari duduknya di atas ranjang untuk mendekat ke arahnya.

"Apa masih ada yang kau butuhkan? Aku bisa bantu."

Namun, Jihyo menggelengkan kepala. "Tidak ada, semuanya sudah selesai. Ayo kita pulang," kata Jihyo. Jungkook nyatanya tidak menyadari jika Jihyo telah menyelesaikan pekerjaannya. Dengan begitu tenang, langsung meraih tas jinjing berisi beberapa barang lalu ditariknya Jungkook bak anak kecil meninggalkan rumah sakit. Sialnya, Jungkook tidak menolak bahkan tidak mengatakan apapun. Ia menikmati setiap perlakuan yang diberikan Jihyo dalam diam. Walau semua perhatian itu masih terasa membingungkan-begitu tiba-tiba.

"Senior harus mendengarku mulai sekarang. Senior mulai besok akan membawa bekal ke kantor. Aku akan menyiapkannya. Apa yang boleh di makan dan tidak boleh sudah kudiskusikan dengan Dokter Liam," jelas Jihyo yang saat ini menggenggam jemari Jungkook, tidak ingin melepas seakan Jungkook adalah sesuatu yang harus dijaga-perkara alergi kemarin.

Terdengar aneh, karena Jungkook sama sekali tidak pernah membawa bekal. Hanya ketika berada di taman kanak-kanak, tetapi ia memilih untuk menurut. Lagipula, kapan lagi Jihyo akan memasakkannya. "Jika tidak merepotkan."

"Tidak sama sekali. Tenang saja."

"Terima kasih."

Jihyo mengangguk. "Sama-sama." Lantas mereka berhenti di bagian lobi untuk menantikan taksi yang telah dipesan secara online karena Jihyo yang sama sekali tidak tahu menyetir. Mustahil juga jika Jungkook menyetir. Jihyo tidak akan memberi izin dan ya, ia merasa harus belajar menyetir sebagai bentuk jaga-jaga jika kejadian darurat terjadi.

Sontak saja, Jihyo menoleh pada Jungkook yang mengerutkan dahi. Tiba-tiba menahan ringisan kesakitan yang berakhir membuat Jihyo panik. "Apa Senior baik-baik saja? Senior kesakitan, sepertinya kita harus kembali melakukan konsultasi dan Senior harus menambah cuti. Jika tidak-"

"Hei, aku baik-baik saja, Jihyo. Tenangkan dirimu." Jungkook memegang kedua pundak Jihyo yang gemetar, tampak wajahnya yang begitu khawatir. Mendadak Jungkook merasa bersalah. Istrinya sangat bekerja keras di tengah dirinya mengandung.

Jungkook menghela napas, mencoba untuk tenang tetapi ia sangat ingin mengutarakan sesuatu pada Jihyo secara langsung. "Katakan padaku, apa yang terjadi sehingga kau bertingkah seperti ini, Ji? Aku merasa tidak mengenalimu."

Hola guys! Aku update, maaf ya kemarin nggak sempat update, aku sibuk poll.

Semoga suka dengan bab ini dan tandain kalau ada typo!

See u pokoknya!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro