Coping 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari pertama memulai sesuatu.

The first step is the hardest, untai salah seorang penyanyi yang dulu lagunya sering sekali diputar oleh temanku semasa sekolah. Aku ingat betul, di koleksi lagunya yang sangat sedikit dan monoton itu, lagu tadi menjadi salah satu favoritnya. Herannya, dia tidak pernah bosan mendengarkan lagu itu. Alhasil, aku yang selama dua tahun menjadi teman sebangkunya mau tidak mau juga harus menikmati lagu itu dan voila, lagu itu masih saja terngiang di kepala kecilku ini.

Pukul 14.20 WIB, keadaan di kamar kos sebelah ternyata masih sama seperti dua jam yang lalu. Kupikir, dua jam aku pergi ke kampus untuk mengerjakan ujian tengah semester akan cukup memberi para tamu penghuni kamar sebelah waktu untuk berkemas. Nahas, ternyata aku masih belum beruntung.
Padahal, aku harus bertemu dengan penghuni kamar sebelah. Empat mata.

Sayup–sayup, aku mendengar salah satu dari mereka bersikukuh agar temannya yang lain segera bergegas. Karena, perkuliahan mereka--yang kebetulan berada di lain universitas denganku--akan segera dimulai. Gawat, batinku. Jika aku tidak segera menemui penghuni kamar sebelah, hidupku tidak akan selamat. Bisa kujamin kalau aku akan sangat sulit menemuinya di lain waktu. Terlebih, keperluan ini begitu mendesak. Alarm listrik di garasi bawah tidak akan berhenti berbunyi kalau aku tidak cepat bertindak.

Alhasil, dengan sekuat tenaga menahan bisikan setan di belakang kepalaku yang memintaku untuk menunda pertemuan dengan penghuni kamar sebelah, aku nekat mengayunkan kakiku ke luar kamar. Rasanya seperti aku sudah kehilangan akal. Untung saja, aku berhasil tiba di depan pintu kamar sebelah dan tidak lari pontang–panting pergi ke kamarku kembali.

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Ada enam pasang mata yang harus kuhadapi hanya untuk menghentikan bunyi alarm listrik. Entah mendapat bisikan dari mana, mulutku tiba–tiba saja mengeluarkan suara. Kata demi kata tanpa basa–basi keluar dari mulutku, tanpa repot-repot beramah–tamah pada tamu–tamu penghuni kamar sebelah. Walaupun, ingin sekali rasanya aku melontarkan candaan yang pasti akan diucapkan oleh penghuni lama yang kini tugas rutinnya digantikan olehku. Namun, apa daya, otakku tidak mengijinkan si amatir ini melontarkan kalimat-kalimat ramah-tamah.

Akhirnya, setelah kurang lebih dua menit menegangkan berdiri di depan pintu kamar sebelah, lembaran uang nominal dua puluh ribu dan lima ribuan berhasil mendarat dengan aman di genggamanku. Setelahnya, dua kakiku ini bergegas kembali ke kamar, sebelum nyawaku melayang lebih jauh akibat harus berlama-lama ditatap enam pasang mata asing. Mengerikan.

Setidaknya, setelah ini hanya tersisa dua kamar lagi yang harus aku datangi.

Yah, hanya dua lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro