Bab 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Amber berdiri di dekat pintu, menatap keriuhan di sekitarnya. Terlihat sekilas dari depan seperti lounge pada umumnya tanpa dekorasi mencolok tapi ternyata di dalamnya sungguh luar biasa ramai. Malam belum terlalu larut tapi pengunjung sudah membludak. Penari berpakain minim berada di atas pentas, meliukkan tubuh mereka. Sofa melingkar sudah penuh oleh para tamu. Semua yang datang memakai setelan untuk laki-laki dan gaun untuk perempuan. Ada peraturan khusus kalau orang miskin dilarang masuk tempat ini. Peraturan yang sangat menghina dan kurang ajar, tapi tidak ada yang berani melawan terutama karena pemilik tempat ini bukan orang sembarangan.

Dua pramusaji mendatangi mereka, sepasang laki-laki dan perempuan dengan setelan hitam penuh gaya. Menunjuk satu sofa yang berada di tengah.

"Atas nama Tuan Dimitri? Silakan ikuti saya."

Amber berjalan bersama Dimitri diikuti anak buah yang lain menuju sofa. Memesan minuman untuk semua orang. Mereka tidak ada yang berbincang, hanya menyesap minuman masing-masing tanpa kata. Amber mengamati para tamu yang bersliweran, dengan aksesoris mahal di tubuh mereka. Para eksekutif muda, pemilik bisnis ternama, ataupun anak orang kaya dan manja yang menghambur-hamburkan uang keluarganya. Semua adalah sasaran empuk bagi bisnis Carlos.

Keluarga Orieska sendiri punya banyak klub malam, lounge maupun hotel yang tersebar di seluruh negeri. Mereka masih mentolerir minuman keras dan obat-obat terlarang selama dalam batas terntu tapi tidak dengan perdagangan perempuan. Keluarga Orieska dari dulu berkomitmen untuk tidak masuk dalam bisnis prostitusi. Mereka lebih fokus pada bisnis, investasi, dan lainnya. River memegang kendali bisnis paling banyak di antara mereka bertiga. Amber fokus pada investasi, sedangkan Raven lebih suka memegang kendali kepemimpinan. Semua sumber daya manusia yang berada di dalam keluarga mereka, berada di bawah pimpinan Raven.

"Miss, arah jam sembilan. Memakai jas merah."

Kata-kata Dimitri dijawab dengan anggukan oleh Amber. Ia meneguk minuman, bangkit dari sofa dan melenggang ke arah lantai dansa. Dengan penuh percaya diri menari dan mengikuti irama musik yang menghentak. Dimitri ikut bangkit, bergerak perlahan di antara para pengunjung untuk menjaga dan mengawai Amber. Menolak berbagai ajakan para perempuan berpakaian minim yang datang ke arahnya.

Amber terus menggoyangkan kepala, mengangkat tangan ke udara dan berusaha tidak peduli saat Carlos yang memaki jas merah mendatanginya,

"Wow, coba lihat siapa yang datang? Amber, Princes Orieska. Sungguh kehormatan bertemu denganmu."

Menjentikkan jemari di depan Carlos, Amber terus meliukkan tubuh. Melihat bagaimana mata Carlos berkilat saat melihatnya. Bukan rahasia lagi, laki-laki itu dari dulu menyukainya.

"Carlos, apa kabar?" sapanya basa-basi.

Carlos berusaha meraih tangan Amber, tapi luput. Amber bergerak lincah untuk menghindari tangkapannya. Tersenyum kecil pada laki-laki yang terlihat kecewa.

"Kabar baik, my dear. Kenapa kamu datang tidak memberitahuku?"

"Untuk apa memberitahumu? Aku hanya ingin bersenang-senang."

"Hei, aku bisa menyediakan tempat khusus untukmu. Bila perlu, menutup tempat ini demi kamu."

Carlos tergelak, sekali lagi berusaha meraih Amber kali ini sasarannya di pinggang yang ramping. Amber membiarkan jemari laki-laki itu menjamah pinggangnya dan berputar untuk menghindari. Carlos memang selalu seperti ini, tidak bisa menjaga tangannya setiap kali dekat dengan Amber. Seakan segala sesuatu yang ada di depannya harus dimiliki. Padahal Carlos sendiri sudah punya banyak perempuan simpanan yang terdiri atas artis, pebisnis, maupun gadis-gadis muda. Amber tidak akan sudi dekat-dekat dengannya kalau bukan demi mencari informasi.

"Terima kasih, tapi aku ingin bersenang-senang sendiri."

Amber mengakhiri tarian, melangkah cepat menuju sofanya. Anak buahnya menghilang entah kemana, tersisa sangat Dimitri yang mengikutinya. Carlos pun mengekor dan duduk di sampingnya.

"Apakah sesuatu terjadi padamu, dear? Kenapa kamu terlihat begitu gundah?"

Amber membiarkan Carlos mengisi gelasnya sebelum bersulang.

"Tidak pernah aku lihat sebelumnya seorang Amber gundah gulana."

"Masalah pribadi," jawab Amber dengan enggan.

"Apakah aku boleh tahu?"

"Untuk apa? Masalahku tidak ada hubungannya denganmu."

Carlos mengangkat bahu. "Entahlah, barangkali bisa membantumu."

Menghela napas panjang, Amber tidak menolak saat Carlos mengisi kembali gelasnya sampai penuh. Ia menandaskan tanpa banyak kata. Minum tanpa beban akan menghilangkan kecurigaan dari dalam diri Carlos. Kalau dirinya terlihat hati-hati dan pemilih, Carlos pasti bisa menebak kalau ia sedang bersandiwara. Tidak ingin kedatangannya sia-sia, ia memanfaatkan perasaan suka dari laki-laki di sebelahnya.

"Sedikit cek-cok dengan Mommy. Perbedaan pendapat, biasalah itu."

Carlos mendekat, menatap Amber dengan penuh harap dan rasa prihati pura-pura. "Wah, ada apakah? Tidak biasanya Madam begitu keras padamu?"

"Memang, tapi aku harus mengakui semua ini salahku. Pertama soal barang kami yang menghilang di pelabuhan dan aku tidak tahu siapa yang mengambilnya. Belum lagi masalah lain yang timbul karena itu."

Amber sengaja mengulur nada bicara untuk melihat reaksi Carlos. Ia memutar gelas di tangan, dengan wajah yang dibuat semuram mungkin. Menunggu saat tepat untuk melanjutkan cerita, harus diucapkan sedramatis mungkin.

"Masalah lain seperti apa?"

Tersenyum muram, Amber membenturkan gelasnya pada gelas Carlos yang digenggam erat. "Mommy bilang, aku harus menikah dan tidak boleh ditentang."

Wajah Carlos melongo. "Perjodohan?"

"Benar."

"Dengan siapa?"

"Salah satu kenalan Mommy."

"Tapi, ini bukan abad 19, ya ampun. Kamu ini perempuan dewasa, Amber. Masih menurut pada orang tua?"

"Carlos, mungkin kamu tidak mengerti tapi saat daddy meninggal kami semua sudah berjanji untuk menuruti apa kata Mommy dan tidak boleh membantah. Apapun perkataan dan perintah Mommy, wajib hukumnya bagi kami untuk mematuhi."

"Termasuk menikah?"

"Yes, karena justru itu poin utama dari semua ini. Kamu tahu, untuk kalangan kita terkadang menikah untuk mencari kebahagiaan tapi untuk aliansi."

Carlos mengangguk setuju. "Kamu benar, dan sepertinya itu yang akan menjadi tujuan kamu menikah."

"Seratus persen benar. Aku harus menerima tawaran pernikahan, kalau tidak bisa menemukan lokasi di mana barang-barang kami berada. Rasanya memang mengesalkan. Orang-orang sialan itu berani sekali bermain-main denganku. Kalau sampai aku tahu siapa pelakunya, sudah pasti akan kupotong-potong tubuhnya! Gara-gara dia aku harus menikah dengan laki-laki yang tidak kukenal! Brengsek!"

Amber membanting gelas ke atas meja hingga isinya tumpah mengenai permukaan kaca. Memberi tanda samar pada Dimitri yang bergegas bangkit. Ia merasa sudah cukup lama berada di tempat ini dan tidak perlu menunda-nunda atau Carlos akan makin curiga.

"Hei, kamu mau kemana?" tanya Carlos saat melihat Amber bangkit.

"Pulang, ah, bukan. Menyusuri jalanan pelabuhan itu lagi dan berusaha menemukan orang yang mengacaukan hidupku."

Carlos ikut bangkit, mengikuti langkah Amber. "Tidak perlu membayar, aku yang traktir!"

"Terima kasih, dari dulu kamu selalu baik." Amber mengusap cepat dagu Carlos. "Aku akan datang lagi kalau butuh teman bicara karena kamu seorang pendengar yang baik."

"Kapan saja, Cantik. Bukan hanya telingaku untukmu tapi juga bahuku tersedia sebagai tempat bersandar. Datanglah kapan pun kamu butuh aku."

Amber meninggalkan lounge yang hiruk pikuk. Berpikir kalau tempat itu tidak cocok dikatakan sebagai lounge melaikan klub malam. Mengerti kalau Carlos sengaja menyamarkan nama untuk menghindari pembayaran pajak. Bukan urusannya, yang terpenting tugasnya sudah selesai. Ia yakin Carlos akan berusaha mendekatinya dan tebakannya benar. Satu pesan masuk ke ponsel saat ia melangkah ke lift.

"Cantik, aku siap menjadi temanmu."

Tidak perlu membalas, Carlos harus dibuat penasaran dan tidak boleh ada anggapan kalau dirinya sengaja mendekati. Tapi, ia bisa memastikan akan datang kalau Carlos mengajaknya bertemu lagi karena pasti ada tawaran entah soal menemukan barangnya atau menggagalkan perjodohannya. Carlos tidak perlu tahu kalau dirinya sudah menikah.

Keluar dari lift, Amber menyusuri lounge yang tempat Jesse berkelahi. Sudah dirapikan dan dibersihkan, pecahan kaca tidak lagi ada di lantai. Rupanya sudah ada penyeselesaian. Ia menebak kalau Jesse pasti sudah pergi dengan perenpuan muda itu. Tidak aneh memang, sepertinya hubungan mereka cukup dekat. Seharusnya Jesse berterus terang kalau punya kekasih. Dipikir lagi itu tidak ada hubungan dengannya.

"Akhirnya, kamu keluar juga." Dari sofa dekat pintu keluar, Jesse menyapa sambil menguap. "Aku menunggumu lama sekali."

Amber terkejut sampai lupa bicara. "Kamu menungguku? Untuk apa?"

"Masih tanya untuk apa, tentu saja untuk mengajakmu pulang bersama. Ngomong-ngomong apakah kamu sudah makan malam?"

Amber ingin menjawab sudah, tapi perutnya justru berkata lain. Berkriuk keras sekali dan mau tidak mau ia menggeleng.

"Belum makan."

Jesse tersenyum cerah. "Ayo, kita makan. Mau makan apa?"

Sebenarnya Amber ingin bertanya kenapa Jesse ingin mengajaknya makan bersama, tapi menyingkirkan rasa penasaran itu. Sepertinya ia harus terbiasa pada kompromi-kompromi pernikahan, termasuk salah satunya dengan makan bersama. Bukan hal besar sepasang suami istri makan dan mengobrol santai, dirinya harus menerima keadaan itu meski terpaksa.

"Kita pergi ke restoran milik River."

Jesse bersikukuh untuk mengendarai mobil sendiri, Amber ikut bersamanya. Saat ini kepalanya sedikit pening karena alkohol. Rasa sakit di tubuh, ditambah dengan minum alkohol dalam jumlah banyak, Amber merasa tubuhnya tidak nyaman. Ia membiarkan Jesse yang menyetir. Merebahkan kepala ke kursi dan memejam. Tanpa sadar terlelap di samping Jesse.

Dari kursinya Jesse melirik istrinya yang tertidur. Amber terlihat lelah dan sedikit pucat. Apakah merasa sakit? Tercium aroma alkohol dan ia mendesah. Bisa jadi Amber sedang mabuk. Jesse menebak-nebak siapa kira-kira orang yang ditemui Amber di lounge VIP? Kenapa ia tidak boleh ikut? Apakah menyangkut masalah gangster atau hal lain? Pikiran Jesse meliar, hingga tanpa sadar kendaraan mencapai tempat tujuannya.

Ia terkejut saat menatap restoran yang ramai, dan sedikit heran karena tempat ini lebih menyerupakai diskotik. Ia menoleh ke arah istrinya, ingin bertanya apakah mereka tiba di tempat yang benar? Tapi Jesse mengurungkan niatnya saat melihat Dimitri dan yang lain keluar dari mobil.

Jesse membuka sabuk pengaman, mendekati kursi Amber dan menepuk-nepuk lembut pipinya.

"Amber, bangun. Kita sudah sampai."

Amber membuka mata dan terdiam saat menyadari betapa dekat jarak antara dirinya dengan Jesse. Bibir mereka nyaris bersentuhan dan hangat napas suaminya bisa ia rasakan.

"Akhirnya, kamu bangun juga. Ayo, turun!"

Dengan cepat Amber mendorong bahu Jesse. Membuka sabuk pengaman dan melompat turun. Berusaha tenang meskipun dadanya berdebar keras. Ia melangkah paling depan, berdampingan dengan Jesse. Tiba di pintu, musik terhenti dan semua orang membungkuk bersamaan.

"Selamat malam dan selamat datang, Miss Amber!"
.
.
.
Di karyakarsa bab 55.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro