Bab 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bibir mereka menyatu, ciuman kedua di hari ini dan Amber masih kebingungan atas apa yang terjadi. Tangan Jesse menekan lengannya sementara tubuhnya berada tetap di atasnya. Kakinya tanpa sadar membuka, dengan pinggul Jesse menekan pinggulnya. Bibir mereka saling memagut dengan lembut. Pengaruh alkohol membuat keduanya terhanyut dalam kemesraan. Amber bisa saja menendang suaminya menjauh tapi sekarang ini tubuhnya terasa lemas karena ciuman yang panas.

Jesse mencecap anggur di bibir Amber dengan senang hati. Mengupas lapisan demi lapisan dari bibir yang lembut dan ranum. Menyukai desahan yang femininin yang membuat hasratnya melonjak. Ia sering mencumbu perempuan, memmbuat mereka menjerit histeris karena gairah. Ia juga menikmati setiap sentuhan serta kelembutan dari mereka. Namun, Amber sangatlah berbeda. Sama sekali tidak ada sikap feminin ataupun kelembutan untuknya. Setiap kali mereka bersama hanya ada sikap bermusuhan. Ia terbiasa menjadi pujaan dan dielu-elukan banyak orang, Amber yang begitu acuh tak acuh padanya membuat harga dirinya terluka. Semakin banyak yang dipikirkannya semakin dalam ciuman Jesse.

Di lain pihak, Amber juga merasa sedikit bingung. Ciuman yang makin lama makin brutal justru membuatnya terhanyut dan tertantang untuk membalas. Tanpa sadar bibirnya juga melumat bibir Jesse dan membiarkan tubuhnya melemas untuk menerima tubuh suaminya.

"Bibirmu lembut, tubuhmu harum, istriku yang tangguh dan hebat." Jesse mencercau setengah mabuk oleh ciuman dan anggur. "Ingin rasanya merobek pakaianmu untuk melihat siapa dirimu sebenarnya. Bagaimana kalau kita lakukan itu?"

"Jangan coba-coba," desis Amber.

Jesse mengangkat bibirnya dari bibir Amber. "Aku yakin pakaianmu berkualitas nomor satu jadi tidak mudah dirobek. Bagaimana kalau sebagai gantinya kita angkat ke atas."

Amber tidak sempat berkelit saat Jesse kembali melumat bibirnya. Keduanya lengannya diikat di atas kepala dan satu tangan Jesse mengangkat ujung kaosnya hingga ke dada. Ciuman suaminya berpindah dari bibir kini ke pusarnya. Amber tidak tahan lagi, mengangkat satu kaki ke atas dan memutuskan semua sentuhan serta ciuman mereka. Ia memang setengah mabuk tapi masih cukup sadar diri untuk tidak melewati batas. Membanting tubuh Jesse ke samping, ia bangkit sambil bersungt-sungut.

"Sekali lagi kamu melakukan itu, aku patahkan lehermu!"

Manarik turun kaosnya, Amber melangkah cepat ke arah kamar yang akan ditempati. Menarik pintu hingga membuka lalu membantingnya dari dalam. Meninggalkan Jesse yang terbaring di atas kasur karet dengan mata nyalang menatap langit-langit. Apa yang baru saja terjadi sungguh di luar perkiraannya. Tanpa sadar Jesse tersenyum. Ternyata Amber masih punya sisi kewanitaan yang mudah tersentuh oleh kelembutan. Ia baru saja membuktikannya. Jesse tidak tahu, apakah selama satu tahun ke depan masih tetap hidup karena menikah dengan Amber sama saja menghadapi musuh yang setiap saat bisa datang.

**

Keesokan harinya, Amber terbangun pagi-pagi buta. Ia mendesah, sambil memijat bahunya yang pegal. Mengerjap untuk menyesuaikan dengan pencahayaan remang-remang dari gorden yang sedikit tersingkap. Pukul lima pagi, harusnya ia masih berbaring sambil menikmati hari libur setelah acara pernikahan. Bukankah ia layak mendapatkan bulan madu? Sayangnya tanggung jawabnya jauh lebih besar dari pada itu. Amy baru saja menelepon, mengatakan ada sesuatu yang mencurigakan di pelabuhan. Amber bergegas bangkit, masuk ke kamar mandi untuk buang air kecil dan mencuci muka. Berdiri menatap bayangannya di cermin, ia mendesah. Wajah kusut dengan mata cekung kurang tidur. Seandainya ini adalah rumahnya sendiri, tidur beberapa jam tetap saja terasa nyaman.

Barang-barangnya masih ada di koper. Amber membuka salah satu koper dan menarik pakaian di dalamnya. Memakai celana hitam yang sudah dipakai tadi malam, kali ini dengan kaos lengan pendek dan jaket kulit. Setelah menguncir rambut, ia mengoleskan pelembab ke wajah. Pekerjaan boleh saja bertarung dan mengintai musuh tapi wajah harus tetap dirawat.

Keluar dari kamar, Amber berdiri ragu-ragu di depan pintu. Menatap ke arah pintu kamar Jesse. Ia bingung apakah harus berpamitan atau tidak. Setelah menimbang-nimbang akhirnya memutuskan untuk langsung pergi.Tidak perlu berbasa-basi apalagi berpamitan, mereka bukan pasangan yang sesungguhnya. Jesse tidak akan mempermasalahkan semua yang dilakukannya.

Di lorong sudah ada Dimitri dan dua anak buah yang menunggu. Mereka menyusuri lorong dalam diam lalu masuk ke lift. Menggunakan dua mobil, mereka berempat menuju pelabuhan. Amber melakukan panggilan cepat dengan Uttu untuk memeriksa situasi di sana. Matahari sudah terik saat mereka tiba di sana.

"Miss, harap tunggu sebentar. Saya akan memeriksa keadaan." Dimitri mematikan mesin, turun lebih dulu dan meninggalkan Amber.

Amber merapikan headset di telinga, alat untuk berkomunikasi dengan anak buahnya. "Amy, posisi di mana?"

Terdengar bunyi gemerisik, Amy menyahut. "Di samping geladak utama. Miss, kapan semakin mendekat."

"Awasi terus!"

Membuka dashboard untuk mengambil kacamta dan memakainya, Amber menatap ke arah Dimitri yang menghilang. Suasana pelabuhan masih belum terlalu ramai. Bisa jadi karena tidak ada bongkar muat. Amber mendapatkan informasi dari mata-matanya, kalau hari ini orang yang mengambil barang-barangnya akan ada di sini. Mata-matanya terbunuh saat ingin mengungkapkan identitas orang itu. Memgambil segala resiko, Amber memburu langsung si pencuri. Bagaimana pun caranya, ia harus mendapatkan kembali apa yang menjadi miliknya dan bila perlu, membunuh si pencuri.

Suara rentetan tembakan terdengar di kejauhan. Amber berteriak di headsetnya. "Amy, Dimitri, laporkan situasi!"

Amber berpindah ke belakang kemudi, memegang senjata di tangan. Terdengar suara Amy tersengal. "Lima penembak di tempat saya!"

Tak lama suara Dimitri menyusul. "Di jalanan ada sekitar dua puluh orang. Miss, kita disergap! Sebaiknya Miss mundur dan cari bantuan!"

"Kalian bertahan! Aku kesana!"

Amber melakukan panggilan pada Raven dan meminta dikirim anak buah yang posisinya berada dekat dengan pelabuhan. Ia menjalankan kendaraan, memberi tanda pada anak buahnya yang berada di kendaraan lain dan mereka menuju tempat pertempuran.

"Dimitri, kamu di mana? Aku menjemputmu!"

"Pertigaan kecil, Miss!"

"Bertahanlah!"

Membuka kaca jendela, satu tangan memegang stir dan tangan yang lain menembak. Amber menerjang jalanan yang sedang hujan peluru. Menembak musuh yang sedang mengancam, dua orang mati seketika karena pulurunya. Ia membanting setir lalu memutar di ujung jalan, dan kali ini menembak ke arah sebaliknya. Mobil berputar seratus delapan puluh derajat, dengan desingan peluru meluncur dari senjata milik Amber.

"Miss, mundur! Terlalu berbahaya!" Amy berteriak.

Amber mendengkus. "Mereka ini sengaja mengepung kita. Bunuh semuaa, sisakan satu orang untuk ditanyai. Dimitri, apa kau melihatku?"

"Iya, Miss. Saya siap!"

Amber menginjak rem, memundurkan mobil dengan cepat, tepat di pertigaan berhenti sesaat dan membuka kaca, Dimitri melompat dari balik tumpukan ban dan meluncur masuk ke mobil. Memperbaiki posisi duduk, memgambil senjata dari jok belakang dan mulai menembak.

Satu peluru meluncur masuk ke mobil dan hampir mengenai wajah Amber. Serempetan itu membuat pipi Amber tergores. Ia meringis, masih dengan kemudi di tangan dan menembak dengan tepat. Lambat laun tembakan terhenti, tubuh-tubuh tergelak di jalanan tertembus peluru. Beberapa di antaranya para pekerja pelabuhan yang menjadi korban salah tembak. Amber merasa kasihan untuk mereka.

"Dimitri, kuburkan dengan baik para pekerja. Cari tahu keluarganya dan berikan uang santunan."

"Siap, Miss."

Menghentikan kendaraan di tengah jalan, Amber keluar bersama Dimitri. Mengusap pipinya yang perih dan berdarah. Dari ujung jalan Amy dan Uttu muncul, menyeret seorang laki-laki yang kakinya terluka. Sepanjang jalan darah merembes keluar dan laki-laki itu menjerit kesakitan. Tidak ada yang peduli dengannya. Amy berhenti tepat di hadapan Amber.

"Salah satu anak buah Mara, Miss," lapornya.

Amber mengernyit. "Mara Gang? Sisa-sisanya?"

"Bisa jadi, dia tidak mau mengaku."

Menunduk untuk mengamati laki-laki itu, Amber bertanya dengan suara ringan layaknya sahabat yang sedang bertukar pikiran.

"Jadi, kamu anak buahnya Mara? Siapa yang menjadi pimpinan kalian sekarang?"

Laki-laki itu menyeringai, meludahkan darah tepat di ujung sepatu Amber lalu menjerit saat Dimitri menendang kepalanya.

"Kurang ajar!"

Amber mengangkat tangan, menahan emosi anak buahnya. "Dimitri, kalau dia tidak mengaku dalam sepuluh detik. Kau boleh memotong kakinya."

Sebagai tanggapan atas perkataan Amber, Dimitri menghunus pisau besar dari sepatu. "Bagaimana kalau kita sayat dulu sebelum dipotong?"

Amber tersenyum dingin pada laki-laki yang terbelalak ketakutan di hadapannya. "Aku rasa itu setimpal, Bagaimana? Masih tidak mau mengakui siapa pimpinan kalian sekarang? Apakah adiknya Mara? Setahuku dia punya adik."

Anak buah Mara menggeleng. "Ti-dak tahu, sungguh! Aku hanya disuruh."

"Bohong! Tidak mungkin kau tidak tahu siapa pimpinanmu!"

"Itu benar, aku tidak tahu apa-apa. Hanya prajurit kecil!"

Laki-laki itu berusaha merebut senjata milik Amber, dalam sekali tebas lehernya tersayat oleh pisau Dimitri. Darah menciprati jaket Amber dan membuatnya mendesah jijik.

"Laki-laki bodoh! Dia pikir bisa melawan kita."

Bangkit dari tempatnya berjongkok, Amber merogoh rokok dan menyulutnya. Mengedarkan pada anak buahnya yang lain dan bersama-sama mereka menikmati nikotin di jalanan yang penuh mayat.

"Kita harus lebih hati-hati sekarang. Adiknya Mara muncul dan kita tidak tahu siapa dia. Dimitri, kerahkan mata-mata terbaikmu dan cari siapa adik Mara yang sesungguhnya."

"Baik. Miss."

Masalah yang menimpa Amber kini bertambah, setelah pertikaian dengan pihak Black Eagle, kini harus menghadapi Mara Gang. Ia harus bertemu River dan Raven untuk membahas masalah ini lebuh lanjut.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 35.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro