● My World (TeenfictWWG)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku mengerjap. Tengkukku terasa sakit, punggungku juga seperti bersandar ditempat yang kasar. Kubuka mataku perlahan, menerima cahaya yang masuk kedalam retina.

Dimana ini?

Semilir angin menggesekkan daun-daun menimbulkan bunyi berisik, burung-burung berkicauan diatas ranting sana. Aku mendongak, apa aku tertidur di dibawah pohon? Benar saja, badanku sedikit pegal karena terlalu lama duduk dengan bersandar di batang pohon.

Aku beranjak dari sana sambil membersihkan baju yang kotor sedikit basah karena bekas duduk di tanah berumput. Aku menatap sekeliling. Tempat ini terlalu asing, seingatku pohon ini juga tidak ada disekitar rumah ataupun kampung, pohon ini seperti beringin hanya saja lebih besar dan terawat. Dimana ini sebenarnya? Apa aku tersesat? Aku baru saja pulang sekolah, itupun langsung ke rumah, seingatku, sebelum akhirnya aku malah tertidur dibawah pohon besar ini ternyata.

Baiklah! Saatnya pulang.

Aku mengambil tas, buku dan alat tulis yang berserakan di tanah sebelah tempat aku duduk tadi. Sungguh! Aku tidak ingat jika tadi belajar disini. Hari masih terlalu pagi untuk waktu pulang sekolah, namun karena rapat mendadak para guru dan staf sekolah membuat semua KBM berakhir lebih cepat. Semua murid senang, ada yang langsung ingin bertemu gadgetnya atau sekedar nongkrong ria dengan temannya. Namun bagiku, pulang itu menyeramkam, karena rumah itu bagiku seperti--

"AYANA...!!!"

Bahuku menegang. Itu suara Anggi! Kenapa dia disini? Bagaimana ini? Aku harus kabur secepatnya.

"Ayana!"

Anggi mempercepat larinya seolah ingin mencegahku untuk segera pergi. Aku waspada, ternyata dia membawa dua temannya.

"Ayana, huh... huh..."

Anggi dan dua temannya mengatur nafas setelah berlari untuk mencegatku pulang. Aku harus bagaimana? Apa mereka akan berbuat sesuatu lagi denganku? Seharian ini aku tidak bertemu mereka di sekolahan, apa Anggi dan genknya berniat menggangguku diluar sekolah? Berbagai praduga negatif memenuhi memenuhi pikiran, aku memejam, memeluk tas punggungku erat.

"Ayana, jalan-jalan yuk!"

Spontan, kubuka kedua mataku.
Jalan-jalan?

"Kudengar di alun-alun pusat kota ada festival kuliner sama wahana permainan lho. Kesana yuk!" Anggi antusias.

Bagaimana jika mereka hanya menjebakku saja?

"Ngga usah mikir-mikir lagi, mumpung masih jam sembilan, sia-siakan kalau langsung pulang." bujuk Rena, salah satu teman genknya Anggi.

"Karena ini hari spesial, jadi Anggi yang bakalan traktir." tambah Mezzy, teman satunya lagi.

Aku harus bagaimana? Ayah akan marah kalau aku tidak langsung pulang, tapi aku akan dikira bolos karena pulang sepagi ini, kalau kujelaskan juga Ayah tidak akan mendengarku. Lagipula, Anggi, Rena dan Mezzy adalah anak-anak nakal, bagaimana jika aku hanya dibohongi?

"Ayok!!"

Anggi dan Rena menarik tanganku, Mezzy mendorong punggungku. Percuma menolak, langkah kakiku mengikuti mereka.

Semoga nanti baik-baik saja.

●●●●●

Benar saja, di alun-alun kota sedang ada festival kuliner yang ramai oleh ribuan orang, berdesak-desakkan mencari makanan berbeda dari satu stand ke stand lain yang memang sengaja dijual dengan harga miring. Ada juga wahana permainan seperti pasar malam, tapi sepertinya baru akan dibuka sore nanti karena masih dirakit yang kelihatannya akan membutuhkan waktu lama.

Namun bukan itu yang kumaksud, disini Anggi, Rena dan Mezzy benar-benar mentraktirku makanan. Tidak sampai disitu, keterkejutanku masih berlanjut saat Anggi juga memberiku beberapa oleh-oleh untuk dibawa pulang! Huh... ini tidak bisa dipercaya, mereka benar-benar baik padaku, berbeda dengan sikap mereka seperti hari biasa. Dan saat aku bertanya kenapa, mereka dengan simple menjawab "Kitakan teman."

Sungguh, jawaban yang sama sekali tak pernah kupikirkan. Hal-hal buruk tentang mereka yang selalu muncul di kepala menjadi lenyap seketika dengan perlakuan mereka hari ini. Bukan, bukan berarti aku tidak suka, Aku sangat senang bukan main kalau mereka jadi baik seperti sekarang ini. Aku yang pesimis jika mereka tidak akan merubah sikap dibuktikan secara nyata kalau mereka benar-benar friendly denganku. Kenakalan mereka yang sudah kesekian kalinya dikalahkan oleh sehari dengan kebaikan. Sekali lagi kuusap air mata.

"Ayana, kok nangis lagi?" kata Rena.

"Jangan sedih lagi dong... ya?" sambung Anggi.

Aku menggeleng lalu tersenyum. Aku baik-baik saja, kugerakkan beberapa jariku. Apa mereka tahu?

"Biar ngga sedih lagi, kita punya kejutan buatmu."

Anggi tersenyum misterius, Rena dan Mezzy menatapnya. Tunggu, mereka mau apa?

"Sekarang?"

"Ya, udah mau sore juga." Tak sadar, matahari mulai bersembunyi.

Ini mau kemana lagi? Seakan mengerti raut ekspresiku, dengan masih tersenyum misterius Anggi menutup mataku dengan Rena dan Mezzy yang menarik tanganku.

"Udah ikut aja."

Kakiku pun hanya mengikuti langkah mereka.

●●●●●

Bianglala?

"Yups! Kita akan naik bianglala." Rena menjawab raut tanyaku.

"Langsung aja kita naik."

Setelah hampir memakan waktu lima menit, akhirnya empat tiket wahana bianglala digenggam oleh Anggi setelah dibayarnya. Walau baru saja dibuka, orang-orang udah antri untuk mendapatkan tiket, mengingat banyaknya pengunjung yang datang mereka tidak ingin kehabisan karcis sebelum terlambat.

"Waah... semua terlihat kecil dari sini." guman Mezzy menunduk melihat pemandangan dari atas bianglala.

"Ya, dan ini mulai sedikit menakutkan,"

"Ayolah, apa kau takut?"

"Ti-tidak, aku berani."

"Benarkah?"

"Hahaha..."

Mereka tertawa bahagia karena berhasil menggoda Rena, aku ikut tersenyum, sedari tadi aku hanya mendengarkan dan sesekali menilik kebawah. Memang benar, semakin keatas wahana ini mulai menakutkan karena naik sangat tinggi, atau karena ini pengalaman pertamaku selama 17 tahun hidup di dunia mencoba bianglala. Entahlah, yang jelas ini sangat menyenangkan, apalagi bersama mereka.

Masih menjadi tanda tanya kenapa mereka tiba-tiba saja berubah, namun berprasangka buruk setelah semua ini sangat tidak baik, biarlah hari ini berjalan dengan sendirinya. Menatap surya yang hampir tenggelam dari atas bianglala menjadi cerita tersendiri bagiku, festival dan wahana yang hampir sampai ke puncaknya ini adalah tempat bersejarah bagiku, menghabiskan waktu seharian dengan teman baru diiringi canda tawa adalah cita-cita yang tak berani kumimpikan. Berlebihan memang, tapi ini sangat berarti bagi orang sepertiku. Astaga, aku cengeng sekali hari ini, kuusap sudut mataku yang berair.

"Ayana, kita punya sesuatu untukmu." Anggi menepuk pundakku.

Kulihat Mezzy membuka bungkusan yang sedari tadi dipegangnya. Aku memberi kode apa isi didalamnya? Dibalas senyum misterius oleh Anggi. Lihat saja, jawab tatapannya. Dan untuk kesekian kalinya air mata mengalir dengan sendirinya, kututup mulutku tak percaya.

"Happy birthday Ayana, happy birthday Ayana--"

Kali ini aku tak bisa menyembunyikannya. Bahkan aku sendiri lupa jika hari ini adalah hari bertambah untuk berkurangnya usiaku, aku yang biasa melewati hari jadi dengan hampa merasa begitu wah saat seseorang mengingatnya, bahkan sampai merayakannya untukku. Sungguh! Kebahagiaan yang tak bisa lagi kugambarkan.

"Buatlah permohonan dan tiup lilinnya,"

Ya, permohonan. Aku hanya ingin hari-hari seperti ini terjadi selamanya, bercanda dengan teman dan menghabiskan waktu bersama. Lalu kutiup lilinya pelan.

"Yeayy!! Panjang umur nih ya.." Rena menggodaku, aku hanya tersenyum.

"Semoga sehat selalu ya, tambah cantik juga, meski tetap aku yang lebih cantik." canda Mezzy.

"Kamu ikhlas ngga sih?" Rena memprotes.

"Iya dong, ngga kayak kamu."

"Ih apaan."

Aku terkekeh melihat pertengkaran kecil mereka, kini giliran Anggi yang menatapku.

"Selamat ulang tahun ya, semoga panjang umur, sehat dan semoga kita bisa terus berteman."

Apa maksudmu? Kitakan teman! Kugerakkan jariku.

"Iya iya, aku hanya bencanda, haha.."
Bercandanya menyeramkan, aku merenggut kesal. Anggi balas kekehan. Dasar.

"Eh, mumpung di puncak, selfi dulu yuk!"

"Oke, pake hpmu aja, Ren."

"Sip."

"Kamu juga ikut."

Aku menatap Mezzy, bolehkah?

"Tentu saja, kau kan teman kami."
Mataku berbinar terharu.

"Oke, ayo merapat. Satu... dua... say cheese..."

"Cheese." Aku hanya tersenyum.

Yah, kita teman sekarang.

●●●●●

"Bye-bye..."

"Sampai besok ya!"

Aku ikut melambaikan tangan, kuputuskan untuk berpisah didepan pintu masuk festival. Sekarang matahari sudah menghilang, namun bekas orange masih membekas diangkasa. Satu hari ini terasa singkat, berbanding balik jika di rumah-tunggu,

Rumah!

Ini sudah sangat sore untuk waktu pulang sekolah. Gawat kalau sampai ketahuan Ayah, Aku harus pulang sekarang! Sebisa mungkin aku berlari menuju rumah.

●●●●●

Huh... huh...

Keringatku membanjir, nafasku tersenggal, aku sampai di rumah lebih lama dari perkiraanku, sempat terjatuh dijalan, namun itu bukan masalah, karena masalah sebenarnya ada didepan sekarang. Ayah sudah didepan pintu sebelum sempat kuketuk pintu. Astaga! Tubuhku bergetar.

"Ikut, Ayah."

Tamatlah riwayatku!

●●●●●

Aku menunduk, mengikuti langkah Ayah dari belakang. Bagaimana ini? Apa Ayah akan percaya jika aku jelaskan? Tidak mungkin aku menyalahkan Anggi, Rena dan Mezzy, ini bukan salah mereka. Terakhir kali aku pulang terlambat, Ayah akan memukul dan mengunciku di loteng sampai ia puas, belum lagi jika aku berbohong, Ayah akan berbuat lebih dari itu.

"Ayana,"

Tubuhku menegang, suara berat Ayah sungguh menakutkan, tunggu-tadi Ayah memanggil dengan namaku?

"Selamat ulang tahun, putri Ayah."

Mataku membulat, aku mendongak menatap Ayah. Apa ini mimpi?

"Kakak! Kami sudah menunggumu. Selamat ulang tahun!!" seorang gadis kecil meniup terompetnya.

Myra?

Aku melihat sekeliling. Ada ibu dan adik yang tengah tersenyum sambil memakai topi kerucut. Mereka... merayakan hari jadiku?

"Ayo, kita tiup lilinnya dulu."

Dengan cepat kugerakkan tanganku. 'Ayah tidak marah denganku?'

"Kenapa Ayah harus marah?"

Aku terkejut, apa Ayah sudah berubah seperti Anggi dan yang lain?

"Ayo sayang tiup lilinnya." Ibu menuntunku duduk di meja makan.

"Pakai topinya, Kak." Myra memasangkan topi kerucut di kepalaku.

"Yeay... ayo kita bernyanyi! Happy birthday Kakak, happy birthday Kakak-" semangat sekali, Myra.

"Happy birthday Kakakku, Happy birthday Kakak." bahkan Ayah dan Ibu ikut bernyanyi.

"Yeayy.. selamat ulang tahun, Kak."

Kuusap kembali air mataku yang keluar. Ayah, Ibu dan Myra terlihat bahagia di hari ulang tahunku, sampai-sampai mereka juga merayakannya. Aku tidak tahu lagi mengucapkan-melakukan apa lagi, yang jelas ini adalah hari terbaik dalam hidupku.

●●●●●


"Apa kue buatan Ibu enak, sayang?"

Aku mengangguk, ini kue terbaik yang pernah makan. Cake dari Anggi dan teman-teman juga sama enaknya.


"Kakak, aku punya hadiah buat Kakak."

Sungguh? Aku merasa tidak enak dengan Myra.

"Ini dia..." Myra menunjukkan hasil menggambarnya dengan antusias, gambaran khas anak-anak yang masih berantakan, walau tak bisa dipungkiri kalau gambar ini sangat indah. Ia menggambar rumah dan 4 anggota keluarga yang berada di halamannya, keluarga itu adalah kita. Aku terharu melihatnya.

"Bagaimana?"

'Cantik, cantik sekali.'

"Hehe.."

"Ibu juga punya had--"

"Lututmu kenapa?" Ayah menyela.

'Tidak apa-apa, aku hanya terjatuh saat perjalanan pulang. Nanti juga sembuh kok.'

"Mana sayang?" Ibu ikut khawatir.

'Sungguh, tidak apa-apa. Nanti Ayana obati.'

"Janji ya?" Aku mengangguk.

"Ayah juga punya hadiah." Ayah tidak mau kalah.

Ayah berdiri berjalan kearahku. Kira-kira apa yang akan diberika-

PLAK

Setetes air turun dari mata, rasa perih menyengat menjalar dari pipi terasa begitu nyata.

A-Ayah?

Baru tadi saja aku meniup lilin kue ulang tahun, bernyanyi bersama dan mengucap permohonan,

"DASAR ANAK TIDAK TAHU DIRI!!"

Apa Ayah kembali secepat itu?

Suasana menjadi suram, bahkan Myra dan Ibu hanya menatapku dengan jijik. Sebenarnya ada apa dengan hari ini?

"ENYAH SAJA KAU DARI RUMAH, SIALAN!!"

PLAK

Air mataku kembali keluar. Yah... memang seharusnya hari ini adalah omong kosong, tidak ada yang berubah. Anggi dan yang lain pasti akan kembali melakukan hal buruk setelah hari ini, Ayah yang berubah ramah selamnya tidak akan pernah. Kenapa aku percaya pada perubahan yang tiba-tiba hari ini?

"Hey anak cacat!! Bangun kau!"

Ya, aku hanya anak tunawicara yang menjadi aib keluarga.

"ENYAH KAU DARI RUMAH INI!!"

aku hanya menjadi beban keluarga.

"SIALAN! BANGUN KAU!!"

PLAK

●●●●

Aku tersentak. Aku terbangun dengan rasa perih menyengat di pipi kanan, Ayah baru saja menamparku hingga mengenai telinga dan menyisakan rasa berdengung disana.

Apa... tadi itu hanya mimpi?

Setengah linglung aku mengingat apa yang terakhir kali terjadi, namun sebelum kesadaranku terkumpul Ayah sudah menarik kerah bajuku kasar.

"Aku tidak mau tahu, kau harus berangkat sekarang! Jangan sampai ada yang melihatmu seperti ini. Awas kau!!"

Ayah menghempaskan tubuhku keras hingga membentur tembok. Ayah tidak peduli, ia pergi begitu saja sambil membanting pintu. Aku merintih, lantaran belum lama ini punggungku mendapat beberapa luka dari Ayah.

Aku baru tersadar jika semalam ia tidak tidur di kamarku. Kugerakkan badanku sedikit, rasanya sendi-sendi ditubuhnya akan lepas jika ia bergerak lebih dari ini. Ia ingat sekarang, kemarin aku pulang terlambat karena Anggi dan kedua temannya mengunciku di toilet sekolahan, aku berhasil keluar saat malam hari dimana petugas keamanan mulai berkeliling. Alhasil aku pun sampai di rumah pada malam hari. Ayah marah besar, ia memukulku sampai puas, kulit kepalaku sobek, pipiku membengkak biru, entah bagian mana lagi yang terluka, terlalu banyak darah mengalir dari beberapa bagian. Hingga akhirnya Ayah melemparku ke gudang.
Yang jelas aku harus berangkat sekarang atau akan ada yang curiga. Walau sebenarnya tidak ada yang peduli denganku, lagipula... siapa yang mau berteman dengan orang bisu? Ayah hanya yang tidak ingin merusak reputasinya dengan memiliki anak bermasalah sepertiku yang suka bolos sekolah. Sekarang, aku harus bersih-bersih di-

Krek

Ukkh..

Rasa sakit luar biasa menjalar dari tangan kiriku setelah bunyi suara retakan. Benar juga, kemarin Ayah juga memutar tanganku saat terjatuh. Terlihat warna biru memar dari lengan bawahku, sepertinya tanganku patah. Aku harus segera menutupinya dan berangkat sekolah.

●●●●●

Dengan terseok-seok aku berangkat sekolah. Aku memakai jaket yang biasa kupakai untuk menutupi luka-lukaku, walau sama sekali tidak mengurangi rasa sakitnya. Tentu saja, ini hanya jaket! Huuh... tanganku benar-benar sakit, belum lagi perutku yang sudah sejak kemarin minta diisi. Ayah tidak memperbolehkanku makan tanpa seizinnya dan Ayah sengaja tidak memberiku makan hingga aku mengambil sendiri di dapur dan berakhir aku akan mendapat pukulan darinya.

Ayah mulai mulai memperlakukanku dengan buruk saat Ibu pergi meninggalkan rumah. Ayah yang kasar, itu sebabnya Ibu lebih memilih keluar dari rumah bersama laki-laki yang menjemputnya. Ayah selalu menyalahkanku atas perginya Ibu. Ya, aku sendiri sadar jika aku hanya beban bagi keluarga. Tak apa jika yang Ayah masih menamparku, asal Myra tidak, bagaimanpun ia selalu mengobatiku saat aku terluka karena Ayah. Sudah berkali aku bilang untuk tidak usah peduli aku, namun dengan air mata ia menolak,

"Mana mungkin aku diam saja melihat Kakak terluka."

Dan jawabannya membuatku terharu.

Aku sudah hampir sampai di sekolahan, tinggal menyeberangi jalan di perempatan lalu lintas lalu berbelok, aku akan menemukan gedung SMA dan itu sekolahku, tempat kedua setelah rumah yang menjadi tempat
penyiksaan bagiku. Anggi dan genknya akan membullyku habis-habisan sampai puas.

Sebersit pikiran untuk mengakhiri semuanya. Jika aku tidak ada, apa Ayah dan Anggi akan senang?

"Hey Nak, awass!!"

Pernah kucoba untuk bunuh diri, menggesekkan cutter di lengan sampai darah mengalir dan habis sendiri.

"Minggir, Nak!!"

"Pergi dari sana!!"

Tapi aku benci rasa sakitnya dan juga... bagaimana dengan Myra? Ia akan sendirian.

"Bahaya!!"

Aku mendongak, jalanan ini tidak biasanya sangat berisik di pagi hari. Ada apa dengan-

BIIP BIIP

"Awas..!!"

BRUK

Berbondong-bondong orang-orang mengerumuni anak itu, ada yang memanggil ambulans, beberapa mencegah supir mobil yang hendak kabur.

"Kasian anak ini."

"Apa ia masih pelajar?"

"Lukanya parah."

Dengan begini, Ayana tak perlu bunuh diri kan?

●●●●●

"Sampai kapan kita menunggunya?" dengan kesal ia mengambil makanan yang baru dipesannya.

"Sebentar lagi, aku ingin memerasnya hari ini!!" jawab temannya menggebu-gebu.

"Rena, Mezzy, ngapain sih kalian malam si bisu?! Nggak ada untungnya kali."

"Biarin lah, Nggi. Suka aku liat wajah tersiksanya, hahaha..."

"Dasar Rena si iblis!"

"Zy, kamu juga ya! Btw, kamu tu sukanya nyuruh kita buat gangguin si bisu, kok situ ngga pernah ikut si Nggi?"

"Jangan-jangan dia ngga tega lagi." Sambung Mezzy.

"Nggaklah, aku.. cuman jijik dengannya, kalau aku nyentuh dia, ntar aku nular deh jadi sama kayak dia, sama-sama bisu."

Rena dan Mezzy bergidik menatap jijik satu sama lain.

"Jahat kau, Nggi. Numbalin kita.!"

"Iya, kirain kita teman!"

Anggi hanya terkekeh.

"Berita hari ini, telah terjadi kecelakaan di perempatan jalan lalu lintas antara pengendara mobil dan seorang siswi SMA. Diduga si sopir dalam keadaan mabuk dan menabrak siswi SMA yang hendak berangkat ke sekolah. Setelah diselidiki, korban tersebut bernama adalah Ayana Pramesti, seorang siswi SMA sekitar. Info lebih lanjut, setelah jeda berikut ini."

"Ayana murid sini?"

"Si bisu itukan?"

"Miris ya."

Baik Anggi, Rena maupun Mezzy tak ada yang angkat bicara setelah mendengar berita dari televisi kantin. Masing-masing tenggelam dalam pikiran, orang yang baru saja bicarakan, sekarang hanya tinggal nama. Anggi berusaha menepis apa yang didengarnya.
Ini... bohongkan?

●●●●●

"Aku pulang."

Kosong,

Sepi,

Tidak ada yang menjawab.
Anggi berjalan lesu ke kamarnya, rumah megah yang luas ini hanya ditinggali olehnya dan beberapa maid yang mempunyai tugas masing-masing.

"Sudah untung kamu masih saya beri uang, tidakkah kau cukup di rumah saja?!!"

"Maksudmu aku harus MENGURUS rumah dan menjadi ibu rumah tangga yang kerjanya cuman ngurus rumah sama anak!! Jangan samakan aku dengan para pembantu!!"

Anggi berjalan ke ruang makan, dapat dilihat kedua orang tuanya sedang berseteru hebat disana, terbukti dengan barang-barang dapur berserakan di lantai.

"SUDAH MENJADI TUGASMU SELAMA AKU PERGI BEKERJA!!!"

"SURUH AJA PEMBANTU MENGURUS ANAKMU!!"

"ANGGI JUGA ANAKMU!!"

"Papa? Mama?"

Dua orang yang masih berseteru itu langsung menolehkan kepalanya, terkejut melihat sang anak yang berdiri didepan pintu dapur.

"A-Anggi?" panggil sang Papa, sebisa mungkin menggunakan nada halus. Mamanya hanya membuang muka.

"Kalian sudah pulang?"

"Iya, kamu masuk ke kamar dulu."

Anggi mengangguk, ia menuruti ucapan Papanya.

●●●●●

Anggi menenggelamkan kepalanya di bantal, meredam suara tangisnya yang semakin pecah. Tetesan darah dari lengan tak ia pedulikan walau membasahi kasur besarnya.

"Ayana, maafkan aku.. hiks," ia mulai sesegukan, "dari awal aku ngga berniat jahat sama kamu, hiks..."

Anggi hanyalah kesepian, orang tuanya jarang pulang, sekali bertemu mereka akan bertengkar. Ya, ia hanya ingin berteman. Namun cara yang ia jalani salah. Saat itu ia setuju saat ada adik kelas yang menawarinya untuk berteman dengan seseorang, dengan syarat ia harus menuruti apa yang juniornya itu katakan. Dan bertemulah ia dengan Mezzy dan Rena yang sekarang sudah menjadi sahabatnya. Juniornya itu selalu menyuruh mereka untuk mengganggu Ayana, lewat perintah yang diberikan ke Anggi, ketiga orang itu menjalankan aksinya untuk membully. Seperti kata Mezzy, ia tidak tega untuk membully orang yang tidak salah, makanya ia selalu menyuruh dua temannya untuk melakukan perintah sang junior. Sungguh! Ia benar-benar menyesal.

Persetan dengan sindrom self injury yang dideritanya!! Ini saja belum cukup untuk membuat Ayana memaafkannya.

DRRT DRRT

Anggi menoleh, ia enggan menerima telpon dari siapapun untuk saat ini. Jika saja ia tak melihat siapa yang menghubunginya, sudah dipastikan ia akan mengutuk orang yang berani mengganggunya. Ya, yang menelponnya adalah sang junior.

"Halo, Anggi."

"Ada apa?"

"Tunggu, nadamu aneh. Apa kau baru saja menangis?"

"Jangan pedulikan aku, kenapa kau menelponku?"

"Yah... hanya ingin mengucapkan, sayang sekali Ayana sudah tewas. Kita tak ada lagi objek untuk diganggu,"

Juniornya benar-benar iblis.

"Tugasmu selesai, kalian bertiga tak perlu lagi mengikuti perintahku."

"Yah... aku minta tolong hanya sementara, sebagai bayarannya kau mendapat temankan?"

"Iya."

Dengan begini, tidak ada lagi korban yang harus kusesali, cukup Ayana yang akan membuatku menyesal seumur hidup.

"Yaudah kalau begitu, aku tutup telponnya."

"Baik, Myra."

Diujung sana, si penelpon tersenyum lebar.

Tamat.
.
.
.
Ini adalah naskah cerita yang dikirim untuk ikut lomba TeenfictWWG tema 'Mental healthy'

Malu banget buat di post setelah baca ceritanya yang juara satu 🤧🤧 tapi biar ngga dikira ini akun silent reader  jadi ya aku publish aja 😅

Di lomba selanjutnya, aku yang akan menang 🥳🥳 /provokasi diri sendiri

Oh ya, kunjungi akun IG @saka_mea untuk hal lainnya 😂
/sebenarnya, minta follow sih.. /ditabok

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro