16. Unforgettable Night

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning! 21++++++

Bukan Eithar namanya jika tidak memadamkan hasratku dalam sekejap. Konyol, aku masih saja tertarik dengan dia yang menyebalkan seperti itu. Kalau bukan suami, mungkin aku akan benar-benar mencari pelarian. Faktanya, aku terjebak. Mau mencari selingkuhan agar bisa move on dari Eithar adalah hal mustahil. Argh!
Aku mengetuk pintu kamar Kakek sebelum membuka sempurna. Tadi aku mencari Kakek di ruang makan, ternyata sudah tidak ada. Benar saja, Kakek kini duduk di sofa, menyuruhku masuk dan mempersilakan duduk di sebelahnya.

"Kek, maaf."

"Selama ini Kakek egois, ya?"

Pelan, aku mengangguk. Malu, kutundukkan wajah dan memainkan jari-jari tangan. Kakek mengusap kepalaku, mendaratkan satu kecupan yang kian membuatku merasa sedih.

"Mengurung kamu Kakek pikir adalah cara terbaik untuk melindungi kamu, Carissa. Kamu berharga buat Kakek. Kakek nggak mau kamu terjerumus hal salah di luar sana. Tapi ternyata kamu nggak bahagia dengan keputusan Kakek. Kamu selama ini diam dan nurut karena merasa berhutang budi. Gitu, Carissa?"

Lagi, aku mengangguk. Dari awal aku menyadari posisiku. Aku bisa berada di sini untuk membayar utang orang tua. Segala larangan Kakek aku ikuti. Tapi lama-lama aku sadar bahwa keadaan mencekikku. Aku mulai sesak, seolah ruang gerakku kian menyempit. Hidupku monoton, semuanya nyaris hambar.

"Selama ini Kakek berpikir rumah ini adalah tempat terbaik buat kamu."

"Apa Kakek marah aku mau langgar perintah Kakek?"

Aku menatap Kakek dipenuhi perasaan bersalah.

"Nggak sama sekali. Tujuan Kakek adalah kamu bahagia. Kalau kamu nggak bahagia, artinya Kakek gagal. Kakek setuju kamu kerja lagi. Kamu udah dewasa, Kakek nggak akan bicara panjang lebar tentang aturan yang harus kamu taati."

Tubuhku bergerak, memeluk Kakek erat. Berkali-kali kuucapkan terima kasih. Kebebasan yang kuinginkan ada di depan mata. Tapi ... aku kerja di mana, ya? Di kantor lama? Mustahil! Aku enggan bertemu Richi lagi.

"Kek."

Aku mendongak, lalu melepaskan pelukan.
"Aku kerja di mana, ya?"

"Lho, belum kepikiran ternyata? Kakek kira kamu udah ada tujuan."

Aku tersenyum kaku. Sama sekali belum ada rencana mau lamar kerja di mana. Kemarin itu aku langsung saja meminta izin pada Kakek tanpa pikir panjang.

"Kerja sekantor sama Eithar gimana?"

"Emang ada lowongan, Kek?"

"Ada," jawab Kakek mantap.

"Oh, ya? Bagian apa, Kek?"

"Asisten pribadi Eithar. Enak kan nempel suami terus?"

"Kakek ngelawak!"

Aku memanyunkan bibir, Kakek tertawa kecil. Kerja bareng dispenser yang ada aku tidak bisa berkutik. Ide buruk, intinya!

"Kamu gimana sama Eithar? Perkembangan hubungan kalian bagus?"
Bahas Eithar, aku jadi teringat adegan tadi! Ha! Ngomong-ngomong dia merasakan pening sepertiku tidak, ya?

"Nggak ada perkembangan kayaknya, Kek. Masih gini-gini aja. Dia aneh. Suka cium tiba-tiba, nantinya jutek lagi ke aku. Kayak dispenser pokoknya. Kadang aku mikir mau pisah aja sama dia. Istri mana sih yang tahan dianggurin berbulan-bulan?"

"Hush! Jangan ngomong sembarangan. Selagi Kakek masih hidup, kalian nggak akan pisah."

Ah, iya. Di hari pernikahan kami, Kakek membuatku dan Eithar bersumpah atas namanya agar tidak ada perceraian. Tapi aku masih sering tidak bisa mengontrol pikiran tentang perpisahan adalah yang terbaik. Singkatnya, aku mungkin bisa saja kabur, bersembunyi selama yang aku mau, tapi statusku akan tetap menjadi istri Eithar.

"Aku mau tanya, Kek. Aku harap kali ini Kakek jujur."

Dahi Kakek mengerut. Napasnya kemudian diembuskan panjang. Apa Kakek tahu aku akan bicara apa?

"Apa ini tentang hutang orang tuamu?"

"Ya. Aku curiga kalau cerita aslinya berbeda dengan yang Kakek bilang. Maaf, Kek, tapi apa pun itu aku merasa perlu tahu kebenarannya. Hidupku mendadak diisi drama nggak masuk akal. Nikah sama cowok kaya, tiba-tiba jadi Cinderella. Padahal katanya orang tuaku punya hutang banyak."

Kakek menatapku dalam. Mungkin ada banyak pertimbangan yang sedang dipikirkan. Entah itu sesuatu yang baik atau buruk, aku tetap ingin tahu. Orang tuaku tidak pernah bercerita punya utang pada siapa pun. Dulu kami tidak hidup mewah, bergaya sesuai keadaan kantong saja. Untuk itu aku terkejut bagaimana bisa di hari pemakaman Kakek datang dan menyatakan utang yang sangat banyak itu.
Sejauh ini aku masih berpikir positif. Kakek pasti tidak bermaksud jahat. Yang membuatku penasaran, sebenarnya apa alasan sampai aku bisa menjadi istri Eithar. Kenapa aku harus menikah, bukannya jadi pembantu tidak digaji sekalian? Aneh, bukan?

"Baik, Carissa. Kakek udah nggak ada alasan menyembunyikan semuanya. Kamu berhak tahu. Tunggu sebentar."

Pria di sisiku bangkit, berjalan ke nakas dan mengambil sesuatu dari sana. Kakek sedikit tersenyum menatap secarik kertas yang kini diserahkan padaku. Tapi senyum itu penuh kesedihan, aku dapat memastikannya.

Harusnya sekarang aku senang, tapi jantungku malah berdebar aneh. Sama sekali tidak ada bayangan hal apa yang tertulis di kertas ini. Aku masih diam, belum berani membacanya meski Kakek sudah menyuruhku. Aku tiba-tiba takut, tapi tidak tahu kenapa.

"Kamu ragu buat baca?"

"Apa Kakek nggak bisa cerita langsung?"

"Bisa." Tanganku digenggam Kakek. "Apa pun yang Kakek ceritain, kamu harus tenang. Karena semuanya udah lewat, Carissa, dan tanpa kamu sadari kamu berhubungan dengan apa yang akan Kakek bilang."

Diberi peringatan begini aku malah makin merasa tidak nyaman. Otakku kusut melihat sorot mata menyedihkan Kakek. Apa yang tidak aku ketahui selama ini? Jadi benar 'kan tentang utang itu adalah kebohongan?

Kutatap secarik kertas terlipat di tanganku. Baiklah. Ini yang aku tunggu-tunggu. Aku harus tenang, harus siap. Maka, dengan yakin aku mengangguk seraya menatap Kakek lekat.

"Sama sekali nggak ada hutang uang, Carissa. Ayah dan ibumu nggak berhutang apa pun sama Kakek."

Napasku langsung berat. Pertanyaan yang selalu kusimpan akhirnya terjawab. Aku harus tenang, tidak boleh membentak Kakek untuk menuntut kebenaran lainnya.

"Jadi apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku lirih.

"Eithar pernah kecelakaan, di dalam mobil itu ada orang tuanya juga."

Dadaku bertambah sesak. Kecelakaan? Apa kecelakaan yang di mimpiku hari itu adalah kenyataan yang pernah terjadi? Astaga.

"Orang tuamu yang menemukan Eithar. Mereka juga yang sibuk mencari bantuan karena keadaan jalan di area pegunungan itu sepi."

Mataku panas. Jadi mimpiku memang kenyataan.

"Orang tua Eithar nggak bisa diselamatkan. Eithar yang saat itu masih kelas 3 SMA trauma berat, karena dia satu-satunya yang selamat dan dia lihat darah di wajah orang tuanya."

Tangisku tumpah. Ini sama persis dengan yang ada mimpiku. Ya Tuhan. Hanya melihat dari mimpi aku bisa berteriak histeris dan ketakutan. Bagaimana keadaan Eithar hari itu? Bagaimana perasaannya ketika tahu orang tuanya tidak terselamatkan?

Teka-tekinya kian jelas. Kini aku tahu kenapa Eithar ketakutan melihat darah. Sekarang aku mengerti alasan dia menyebut darah adalah kematian. Eithar ... Eithar-ku yang malang. Aku tidak pernah tahu bahwa orang tua Eithar meninggal karena kecelakaan dan berada di mobil yang sama dengan Eithar. Aku sangat terkejut, tapi pasti ini tidak ada apanya dibanding kehancuran Eithar saat itu

"Kalau bukan orang tuamu menemukan mereka, Kakek nggak bisa bayangin yang terjadi sama Eithar karena telat penanganan. Kakek sangat berterima kasih, Carissa."

Punggungku diusap-usap Kakek. Tangisku malah makin jadi. Ada cerita setragis itu di hidup Eithar dan setelah nyaris satu tahun tinggal bersama aku baru mengetahuinya.

"Pernikahanmu dan Eithar direncanakan orang tuamu, Carissa. Alasan pastinya ada di surat itu."

"Jadi ini dari orang tuaku?"

Kakek mengangguk. Tanganku bergetar dan aku tidak punya waktu untuk menenangkan diri. Buru-buru aku membuka lipatan kertas, lalu menemukan tulisan yang sangat familier. Surat ini benar-benar ditulis Ayah.

"Baca pelan-pelan, Carissa. Dan Kakek minta maaf kalau keputusan ini ternyata melukai kamu."

Aku mengangguk seraya menutup mulut, menahan isak tangis. Hatiku berkecamuk, karena mendengar kisah menyedihkan Eithar juga karena rindu membuncah melihat tulisan Ayah. Kukulum bibir untuk meredakan emosi. Aku harus membaca surat ini dengan tenang.

Untuk Carissa Azalea Damar, anak Ayah dan Ibu satu-satunya.

Ayah pastikan saat surat ini kamu baca, kamu udah jadi istri Eithar. Maaf Carissa, kami membohongi kamu. Sama sekali nggak ada hutang uang yang harus kamu bayar dengan tubuh kamu. Semua adalah rencana untuk jaminan masa depan kamu saat Ayah dan Ibu udah nggak ada.

Nak, mungkin saat Pak Jornald datang di hari pemakaman, kamu sangat membenci kami. Kamu pasti kaget dipaksa menikah dengan laki-laki yang nggak kamu kenal, Nak. Maafkan, maafkan. Ayah dan Ibu minta maaf.

Pak Jornald merasa berhutang budi karena Ayah dan Ibu menemukan Eithar bersama orang tuanya yang kecelakaan. Kami yang membawanya ke rumah sakit, kelimpungan mencari cara untuk menghubungi keluarga korban. Itu cerita singkatnya dan yang selanjutnya, Pak Jornald mau memberi kami uang dalam jumlah besar sebagai tanda terima kasih setelah pemakaman orang tua Eithar selesai. Kami menolak itu. Kami ikhlas, Nak. Pak Jornald menghargai keputusan kami, beliau meminta jika kami butuh bantuan agar tidak segan menghubunginya.

Kami sering berkomunikasi dari telepon, saling menanyakan kabar. Ayah yakin beliau orang baik, selalu menanyakan apakah kami butuh sesuatu. Sampai akhirnya hari itu tiba, Nak. Ibumu jatuh di kamar mandi, stroke, dan komplikasi diabetes Ayah semakin parah. Yang kami pikirkan saat itu hanya kamu, Carissa. Kami khawatir kamu hidup tanpa kami, tanpa ada yang jaga.

Keputusan yang akhirnya kami ambil adalah menyerahkanmu pada Pak Jornald, menjadikan kamu istri Eithar setelah kami nggak ada. Dengan cara itu, kamu akan selalu punya orang yang menjaga kamu.

Maafkan kebohongan kami, Carissa. Ayah dan Ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk kamu. Maafkan jika pernikahan itu bukanlah yang kamu impikan. Tapi kami percaya, kamu akan baik-baik aja di bawah perlindungan Pak Jornald. Mungkin cara kami salah, tapi alasan hutang itu yang terbaik agar kamu nggak mengelak. Sekali lagi maafkan kami, Nak.

Carissa Azalea Damar, Ayah mau menghapus air matamu saat membaca tulisan ini, tapi Ayah harus rela karena nggak bisa melakukannya. Kesayangan Ayah dan Ibu, hiduplah dengan penuh syukur dan bahagia. Kami sangat menyayangimu, Sayang.

Kutempelkan surat ini ke dada, membayangkan Ayah dan Ibu-lah yang sedang aku peluk. Tangisku tidak terkendali, dadaku serasa diimpit benda berat. Aku merasa sangat bersalah karena pernah berpikir Ayah dan Ibu tega menggadaikan masa muda, kebebasan, serta masa depanku. Betapa kurang ajarnya aku menyangka mereka jahat.

"Orang tuamu khawatir kamu akan sendirian, karena keluarga besar kalian nggak ada yang mempedulikan satu sama lain. Kakek emang nggak pernah berkunjung langsung ke rumah kalian, tapi selama itu ada orang-orang Kakek yang selalu memantau keadaan di sekitar rumahmu. Kakek datang ke pemakaman ibumu, tapi mungkin kamu yang nggak memperhatikan. Barulah saat ayahmu dimakamkan, Kakek muncul di hadapanmu, Carissa. Karena itu artinya Kakek harus mulai menjalankan tugas."

Aku memeluk Kakek, tersedu-sedu. Semuanya diatur untukku, tapi dengan tidak tahu diri aku menyimpan kekesalan pada Ayah dan Ibu. Ya Tuhan, hatiku sangat pedih. Hari ini fakta besar telah terungkap. Kata-kataku urung keluar, aku hanya bisa menangis, menumpahkan segala perasaan di pelukan Kakek.

🌹🌹🌹

Pembicaraan pagi tadi berujung makan siang dan makan malamku terlewat begitu saja. Nafsu makanku lenyap tanpa sisa. Setelah mendengar penuturan Kakek tentang hubungan dengan orang tuaku, aku kembali ke kamar. Eithar tidak ada, dia pergi bekerja tanpa berpamitan. Bagus juga, karena aku butuh waktu untuk menyendiri. Mungkin Viona juga mengerti kacaunya hatiku, seharian dia tak menampakkan diri.

Semua sudah berlalu, tapi aku tetap menenggelamkan diri dalam kubangan resah. Fakta itu benar-benar mengejutkanku. Berendam air hangat jadi pilihanku untuk menyegarkan pikiran. Hendak menutup mata, fokusku teralihkan oleh suara sesuatu. Aku melonggokkan kepala ke arah pintu, memastikan perkiraanku salah. Sialnya, tebakanku benar. Eithar membuka pintu kamar mandi. Bahkan kini dia sedang berjalan mendekati bathtub. Tangannya sibuk melepaskan kancing-kancing kemeja.

Dalam sekejap aku jadi tegang. Eithar membuka kemeja bahkan celana kainnya juga. Ck! Dia mau mengerjaiku, ya? Lihat, wajahnya bahkan menyeramkan begitu. Maksudnya mau menakut-nakuti aku kalau dia bisa berbuat mesum?

"Apa, sih, Eithar? Ini kamu masuk pas aku lagi mandi. Buka kemeja, buka celana. Ish! Antrelah kalau mau mandi!"

"Kenapa harus antre? Mandi bareng bisa, 'kan?"

Eh? Gimana? Gimana?

Wajahku panas ketika dia menurunkan boxer-nya. Kupalingkan wajah. Argh! Dia mau menggodaku? Kurang ajar! Jelas-jelas dia tahu di dalam air ini aku pasti telanjang dan dia malah ikut-ikutan?

"Maju dikit, Carissa."

Hah?! Apa lagi ini?!

Dia masuk ke bathtub, berdiri di belakangku dan menyuruhku memberi ruang untuk dia ikut berendam di sini? Astaga! Yang benar saja!

"Jangan ngaco, Eithar. Aku tuh masih man- Kyaaa!"

Aku berteriak saat dia memaksa duduk di belakang punggungku. Kulit kami bersentuhan. Kami sama-sama telanjang! Hah! Cobaan apa ini, Tuhan?

"Eithar, jangan aneh-aneh, deh."

"Apanya yang aneh? Mandi bareng istri aneh?"

Kedua tangannya melingkari perutku, tubuhku dia tarik ke belakang hingga semakin menempel dengannya. Jantungku memburu merasakan sesuatu yang keras di bawah sana menyentuh bokongku. Dan aku meremang saat Eithar mengecup bahu serta leherku.

"Eithar, jangan gini. Jangan bikin aku jatuh kayak tadi pagi."

"Kali ini beneran, Carissa. Aku janji," bisiknya.

Bercanda, 'kan? Bercanda? Hah! Badanku panas! Tolong!

"Sadar 'kan kamu ngomong apa?"

"Sadar."

Punggungku dia beri kecupan. Telinga dan leherku dia kecup dan jilat. Embusan napasnya membuat kewarasanku mengikis. Aku bahkan tak ingat lagi pada keresahan sejak pagi. Malam ini aku kembali terbuai oleh pesona Eithar. Berkali-kali aku mendesah. Bibir Eithar semakin liar, tangannya juga mulai aktif. Dadaku dia remas pelan, puncaknya dia tarik-tarik. Tubuhku bergerak gelisah dalam kuasanya.

"Eithar," panggilku lemah.

"Ya, Carissa. Kamu suka?"

Hasratku telah membumbung. Aku menginginkan lebih dari sekedar kecupan dan remasan di dada. Aku menginginkan dia sepenuhnya malam ini. Lagi-lagi dia berhasil membuatku mendesah panjang ketika jari besarnya menjamah kewanitaanku. Refleks aku melebarkan kaki, memberinya akses untuk menyentuh lebih leluasa. Jari-jarinya membelai di bawah sana, menggodaku dengan cara seksi yang tak pernah kubayangkan.

Puncak dadaku telah menegang sempurna. Eithar semakin gencar memainkannya. Jarinya di bawah sana juga enggan berhenti. Bibirnya masih aktif di punggungku. Kurasa Eithar meninggalkan banyak yang kissmark di sana.

"Eithar," sebutku di antara desahan nikmat.

"Malam ini ayo kita resmikan, Carissa. Aku mau mengambil hakku sebagai kamu."

To be continued

Wkwkwk! Lagi asik malah TBC. Yahh gimana dong?😂

next bab full 21+ version ya🔥 boleh skip, karena gak dibaca juga gak ngaruh ke alur selanjutnya. Intinya mereka ehem-ehem gitu loh😆

Berendam kuyy😜

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro