Batin_Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Saya terima nikah dan kawinnya, Pratiwi Agustin binti Sunarto dengan maskawin tersebut dibayar tunai!"

Yuda mengucapkan dengan lantang perjanjian maha besar itu di hadapan banyak orang. Ia kini telah sah sebagai suami dari Tiwi, perempuan yang juga merupakan adik kelasnya saat duduk di bangku SMA. Mereka bertemu enam bulan yang lalu di pernikahan Noni, sahabat Tiwi yang juga sepupu Yuda. Pertemuan itu berlanjut ke komunikasi yang cukup sering melalui ponsel. Mereka pun akhirnya membawa hubungan tersebut ke jenjang yang lebih serius.

"Alhamdulillah, sah juga, Wi," cetus Noni yang dengan setia mendampingi sahabatnya itu bahkan saat sebelum make up tadi.

Tiwi tersenyum manis. Ada perasaan haru yang menyeruak di kalbu. Matanya mulai berkaca-kaca. Sekarang, sudah tidak ada lagi pandangan miring tentangnya. Ia bukan lagi perawan tua seperti ejekan dari orang-orang. Di usia yang menginjak angka 30 tahun ini, ia akhirnya bertemu dengan jodohnya, Yuda Setiawan.

Noni pun mengajak Tiwi keluar kamar. Mereka menuju tempat akad nikah. Sang pengantin perempuan kemudian duduk di samping laki-laki yang baru saja menghalalkannya itu. Pasangan pengantin itu lalu melakukan serangkaian kegiatan dari penandatanganan berkas, penyerahan mahar, hingga pemasangan cincin di jari masing-masing.

"Dik, akhirnya aku bisa menggenggam tangan ini."

Yuda meraih jemari Tiwi. Mereka sudah duduk manis di pelaminan. Akad nikah tadi langsung berlanjut ke resepsi. Perhelatan acara tersebut dilakukan di rumah Tiwi.

"Terima kasih ya, Mas. Udah mau bersabar nggak nyentuh aku selama ini," ucap Tiwi dengan mata berbinar. Ia memang berkomitmen untuk tidak bersentuhan saat mulai menjalin kasih dengan Yuda. Pun sama dengan sang suami yang menghargai prinsipnya itu. Tiwi bersyukur, proses menuju pernikahan tidak dilalui dengan hal-hal yang mengundang dosa.

"Sama-sama, Dik. Aku bangga punya istri yang kuat menjaga kehormatan diri," tutur Yuda dengan tatapan penuh rasa syukur.

Tiwi bukanlah perempuan agamis. Ia memegang prinsip seperti itu karena trauma pernah pacaran saat masih kuliah dulu. Ternyata, mantan pacarnya adalah seorang pemuja free sex. Beruntung Tiwi bisa terlepas dari laki-laki buaya darat itu. Hal tersebut membuatnya malas menjalin kasih dengan laki-laki lain. Hingga pertemuan dengan Yuda yang akhirnya mampu menggetarkan hatinya yang sempat trauma.

"Resepsinya sampai jam berapa?" tanya Yuda.

"Sampai tamunya sepi." Tiwi menjawab tanpa menoleh ke arah Yuda.

"Hah?! Sampai malam?" tanya Yuda tercengang.

"Iyalah. Emangnya kita di gedung? Kalau di rumah, apalagi kampung kayak gini, ya, seperti ini, Mas."

Yuda mendesah pasrah. Ia sudah tidak sabar untuk berduaan bersama sang istri di dalam kamar. Dirinya sudah sangat menantikan saat-saat indah sebagai pengantin baru itu.

"Habis isya kita kabur aja, Mas. Nggak usah nunggu tamu-tamu Bapak habis. Kepalaku udah cenut-cenut." Tiwi memegang kepala yang ditutupi kerudung dengan hiasan kepala berwarna emas menyerupai bunga.

"Setengah jam lagi, Dik. Sip, sip," ujar Yuda setelah melihat layar ponsel. Ia lalu mengepalkan tangannya dengan bahagia.

Tiwi tergelak melihat suaminya yang kegirangan. Ia juga sudah tidak kuat duduk di pelaminan. Matanya sudah ingin terpejam karena rasa kantuk yang menyerang. Tiwi ingin cepat tidur nyeyak.

Setengah jam kemudian, Tiwi dan Yuda berhasil masuk ke kamar pengantin tanpa menunggu tamu-tamu orang tua mereka berhenti datang. Tiwi pun segera melepas semua pernik-pernik pakaian pengantin. Ia dibantu oleh perias untuk melakukan semuanya, bahkan untuk menghapus make up juga. Tiwi sudah tidak ada tenaga. Ia pasrah saja seraya berbaring dan memejamkan mata. Ia puas bisa bertemu dengan kasur hari ini.

"Mbak Tiwi, saya pulang dulu," kata Mbak Perias berpamitan.

"Oh, udah selesai ya, Mbak? Makasih banyak, ya." Tiwi perlahan bangkit dari posisinya. Matanya masih terlalu berat untuk dibuka.

"Tidur lagi saja, Mbak." Perias menahan Tiwi yang akan mengantarnya keluar kamar.

"Oh, nggak apa-apa, Mbak. Saya mau sekalian ke kamar mandi," ucap Tiwi sembari tersenyum. Ia lalu mengantar sang perias hingga ke ruang tamu.

Yuda yang baru selesai mendirikan salat Isya di musala rumah, sudah kembali ke kamar dan berbaring di atas kasur. Namun, ia tidak mendapati istrinya di sana.

"Istriku ke mana?"

Saat Yuda akan keluar mencari Tiwi, pintu kamar dibuka dari luar. Wajah Tiwi tampak basah. Ia baru saja mengambil air wudu.

"Mau salat, Dik?"

Tiwi mengangguk seraya memakai mukena. "Mas tidur aja dulu. Pasti capek banget."

"Enggak mau," jawab Yuda singkat. Laki-laki dengan tubuh tinggi dan tegap itu mengedipkan sebelah mata. "Aku nggak capek sama sekali."

"Hah? Nggak mungkin." Tiwi mencibir suaminya. "Tadi katanya udah kangen kasur."

"Ya ... maksudnya di kasur nggak tidur," jelas Yuda sembari mengedipkan sebelah mata ke istrinya.

Tiwi menyipitkan mata. Ia bisa menebak maksud Yuda. "Nggak bisa ditunda besok?"

"Jangan dong, Sayang. Aku bisa tersiksa kalau hanya membiarkan istriku yang cantik ini untuk dilihatin aja." Yuda menangkupkan kedua tangan sembari memohon dengan wajah memelas.

Tiwi tergelak. Sejujurnya, dirinya belum siap untuk melalui malam pertama untuk melayani suami. Namun, ia sangat paham jika itu adalah kewajiban istri. Tiwi masih gugup untuk sekadar membayangkannya.


"Cepetan gih, salatnya," ujar Yuda tidak sabar. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro