Hello, Tanah Timur Arunika

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab 2. Hello, Tanah Timur Arunika

"Nak, Lintang sayang kita sudah sampai."

Samar-samar Lintang mendengar suara Seraphine membangunkannya dengan lembut. Matanya mengerjap pelan, berusaha mengumpulkan nyawanya yang masih menginginkan suasana sekolah di kotanya dulu. Gadis itu mengusap wajahnya pelan, melirik ke sekitar penumpang yang berlalu lalang hendak keluar menuju stasiun pemberhentian kereta.

"Bibi Rose mana?"

"Dia sudah terlebih dulu keluar dari kereta. Tinggal kita berdua." Seraphine menjentikkan jari melihat pakaian seragam putih abu-abu milik Lintang, "Kamu tidak bisa sembarangan masuk ke dalam wilayah Kerajaan dengan pakaian seperti itu. Sebentar," nenek tua itu merogoh tasnya yang kini diduduki Bass, kucing peliharaannya, "Minggir Bass, itu bukan kursimu."

Lintang tertawa pelan, melihat Bass mengeong menjauhi tas milik Seraphine. Matanya membulat, melihat jubah bertudung berwarna merah yang dikeluarkan nenek tua itu. Memberikannya padanya.

"Pakailah sekarang, tutupi bajumu itu. Sebenarnya, ini milik Freya, anakku yang meninggal karena serangan rakyat Kerajaan Barat dulu. Tapi aku pikir, itu cocok sekali untukmu, Lintang. Aku yakin, cucuku Lily tidak akan keberatan jika kamu yang memakainya."

"Kenapa warna merah? Kenapa tidak hijau?"

Nenek Seraphine tersenyum sendu, mengusap jubah bertudung merah itu lembut.

"Dulu. Dulu sekali. Freya menikah dengan anakku, Jackob. Freya itu bukan anakku. Dia berasal dari dunia fana. Nala. Dan puluhan tahun setelah dirinya diketahui Raja Arunika sebagai Nala, yang sudah membantu kejayaan Kerajaan Barat, Freya menjadi seorang buronan. Tawanan Kerajaan Arunika. Anakku, Jack, merelakan Freya pergi bersama Ratu Kerajaan Barat kembali ke dunia fana. Dia menghilang hingga sampai anakku terbunuh karena berani melindunginya. Sampai sekarang, dia pergi dan meninggalkan cucu ku yang bernama Lily. Dan, sebagai gantinya, aku menginginkanmu menggunakan jubah merah ini, Lintang. Sungguh. Terima dan pakailah."

Mendengar semua cerita Nenek Seraphine, gadis itu menerimanya dengan canggung. Memakainya dengan susah payah, "Ribet banget, sih." Ia menutup rambut hitam panjangnya dengan tudung. "Kenapa harus warna merah. Udah panas, nyentrik, bikin gerah lagi."

Seraphine tertawa mendengar gerutuan gadis di depannya ini. "Justru kamu sangat cantik jika menggunakan jubah bertudung merah. Kontras dengan kulitmu yang putih. Sungguh, kamu mirip sekali dengan Freya."

"Sebentar Nek," Lintang menatap Nenek Seraphine tidak mengerti, "Apa tidak berisiko kalau aku pakai jubah ini? Bagaimana nanti aku disangka menjadi Nala?"

"Tidak cucu ku. Seseorang jika memakai jubah berwarna merah, berarti dia berasal daerah perbatasan. Antara Kerajaan Arunika dan Swastamita. Mereka memakai jubah berwarna merah. Dan Freya, muncul di kehidupan daerah perbatasan. Dia mendapat jubah itu dari temannya yang kebetulan menemukannya terdampar di laut tengah perbatasan. Dia tinggal di sana sampai akhirnya bersekolah di PSDMA. Dan bertemu dengan Jackob."

Lintang tersenyum, merasa lega, "Nenek tahu, gadis bertudung merah itu mempunyai nasib yang sangat sial di cerita dongeng. Sudah neneknya dimakan serigala, dikibulin serigala lagi." Gadis itu mengumpat pelan, "Sial banget gue hari ini. hari lahir juga bukan."

Setelah mengenakan jubah yang diberikan Seraphine, akhirnya mereka keluar dari dalam gerbong kereta. Lintang membulatkan mata tidak percaya, melihat tempat yang barusaja dipijaknya saat ini. Bangunan berbentuk candi berundak tinggi dengan jumlah yang sangat banyak. Seperti halnya Candi Prambanan yang pernah ia datangi saat liburan bersama keluarganya. Tapi yang ini berbeda, bangunan ini lebih memiliki relief ukiran yang sangat rumit dan lebih besar dibanding candi yang ia lihat sebelumnya.

Matanya melihat begitu banyak lentera bergantungan di langit malam bersama taburan bintang yang menghiasi langit malam. Tidak lupa alunan musik dan orang-orang berlalu lalang membuatnya semakin berpikir bahwa ini adalah sebuah mimpi.

Tidak ada mobil dan motor, melainkan kereta kencana bersama kuda yang menjadi alat transportasi mereka. Lintang menggeleng takjub, ikut berjalan bersama Seraphine di antara orang-orang berjubah hijau lainnya. Mungkin, hanya dirinya saja yang menggunakan jubah merah sehingga dirinya sedikit menjadi pusat perhatian semua orang di sana.

Lintang bergidik, berusaha mengenyahkan tatapan penasaran orang-orang di sana. Layaknya pasar, gadis itu melihat begitu banyak pedagang-pedagang yang menjual barang-barang dan hewan-hewan aneh di sana.

"Hai, gadis, jarang sekali aku melihat tas milikmu. Dimana kamu mendapatkannya?"

Lintang terkejut, mendapati gadis bertudung hijau cerah menghampirinya. Mata wanita itu tidak lepas melihat tas punggung Lintang yang menurutnya langka.

"Aku belinya di toko online. Kalau kamu mau, beli aja di sana. Tapi sayang, tempatnya jauh banget." Gadis itu mengangguk pamit, berjalan cepat mengikuti Seraphine dan wanita-wanita tua lainnya.

Setibanya di tempat tujuan, Seraphine menarik bahu Lintang untuk mendekat.

"Inilah tempat para petinggi Kerajaan Arunika."

Gadis itu sempat ber-wow ria, melihat bangunan di hadapannya begitu berdiri angkuh dan hebat. Coraknya mengikuti candi, bangunannya pun seperti candi, tapi anehnya, bangunan ini seperti memiliki aura mistis yang sangat menakutkan bagi siapa saja yang melihatnya.

"Dan di sebelah timur, itu tempat pemberdayaan sumber daya manusia. Sekolah yang kamu maksud sebelumnya."

Lintang melihat arah yang ditunjuk Seraphine. Bangunan yang sangat megah dengan relief yang sangat mengagumkan dan nyaman dipenglihatan. Di setiap sudut bangunan, terdapat api berwarna biru sebagai tanda bahwa itu adalah tempat mencari ilmu. Berbeda dengan bangunan di hadapannya, mereka memasang api berwarna hijau. Lintang menatapnya ngeri, melihatnya seperti bangunan yang ada di film-film horror. Seraphine menarik bahunya kembali mendekat ke arah bangunan sekolah dengan patung burung phoenix yang sedang mengepakkan sayapnya gagah. Lintang berdecak kagum, menyentuh bagian kaki patung itu.

"Sebentar lagi Lily akan bertemu denganmu."

Lintang menoleh ke arah pintu gerbang dengan langit berbentuk kubah yang menjulang tinggi beberapa meter di tempatnya berdiri. Pintu itu berdecit, terbuka perlahan hingga munculah murid-murid bertebaran mencari keberadaan orangtua mereka masing-masing. Lintang menggeleng tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. ia merindukan masa bubar pulang sekolah. Bedanya, mereka memakai jubah dan tudung dengan garis hitam di setiap lengannya. Garis emas yang menandakan tingkat kelas belajar. Untuk perempuan, mereka memakai topi berbulu angsa putih yang menyampir di sisi lengkungan topi hijau berukiran api hitam mereka. Sebaliknya dengan laki-laki, bulu mereka berasal dari elang dan rajawali. Melambangkan kegagahan dan kehebatan memimpin yang sangat agung.

Lintang berdecak kagum, melihat begitu banyak anak-anak yang bersuka cita menyambut kedatangan orangtua mereka dengan pelukan hangat dan rasa bahagia. Tak terasa airmatanya menetes di pipi. Ia merindukan ayah dan ibunya. Ia benar-benar ingin kembali pulang.

"Nenek!"

Seraphine terkejut, mendapati seorang gadis berjubah hijau cerah dengan dua garis melingkar di kedua bagian lengannya datang berhambur memeluknya erat, "Cucuku Lily! Aku sangat merindukanmu, sayang."

Lintang mengalihkan perhatiannya pada Seraphine dan cucuknya yang bernama Lily. Sungguh terharu. Gadis itu bisa melihat betapa rindunya cucu Seraphine pada neneknya itu.

Senyuman terukir di bibir gadis itu, menyeka matanya pelan. "Kamu yang namanya Lily?"

Lily meregangkan pelukannya dari Seraphine, menatap Lintang polos, "Ya, aku Lily Flora. Kamu siapa? Jubahmu? Mirip sekali dengan Ibu, Nek!"

Lintang tersenyum salah tingkah, "Aku Lintang. Lintang Asmara. Kamu sekolah di sini?"

Gadis jelita itu mengangguk manis, "Ya. Kamu juga pasti sekolah di sini, kan? Ayah Ibumu mana?"

"Sayang, dia murid baru. Ibu dan Ayahnya menitipkannya pada Nenek. Dia akan sekolah di sini. Dia berasal dari daerha perbatasan." Dusta Seraphine berkedip pada Lintang yang kini menatapnya naif. "Benar kan, Lintang?"

Lintang tergagap, melihat reaksi Lily yang begitu antusias, "Y-ya, aku murid baru. Aku mau sekolah di sini."

"Seraphine! Ternyata di sini rupanya."

Mendengar seruan Rose dari kejauhan, mereka bertiga menoleh ke arah Rose yang kini berjalan mendekati mereka, bersama seorang lelaki berjubah dan bertudung hijau tua mengikutinya dari belakang. Bedanya, jubah yang dikenakannya dilengkapi dengan senjata dan beratribut militer lengkap. Lintang yang semula tidak terlalu mempedulikan kedatangan Rose, mulai membulatkan matanya ketika melihat lelaki yang kini berjalan mendekati Seraphine, memeluknya erat sebelum akhirnya menyadari keberadaan dirinya.

"Lintang, syukurlah jika kamu sudah mengenakan jubah. Sedari tadi aku memikirkan pakaianmu sebelumnya. Kamu yang memberikannya, Seraphine?" Rose mengusap bahu Lintang lembut.

Seraphine mengangguk, "Ya, bagaimanapun dia benar-benar harus mendapat perlindungan."

"Aku setuju dengan itu." Rose melirik putranya, menariknya mendekat ke arah Lintang, "Ah, Lintang, ini putraku, namanya Gardapati Pekkala."

Lintang menahan napas, melihat lelaki itu dari dekat. Wajahnya begitu tampan. Gadis itu menelan ludah melihat lelaki itu mengulurkan tangannya, "Salam kenal, namaku Gardapati Pekkala."

"Lintang. Lintang Asmara." Lintang menerima jabatan tangan Garda, hangat dan terlindungi. Garda tersenyum, senyuman yang dapat membuat Lintang merasakan tubuhnya mendadak panas dingin.

"Ya sudah, kalau begitu kamu bisa rekomendasikan pada Professor Samudera nanti. Dia ingin sekolah denganmu."

Lintang tersenyum miris, mendengar bujukan Seraphine pada Garda di sampingnya.

"Tentu saja, Garda dengan senang hati akan membantumu dan menemanimu. Sayang. Jangan khawatir." Tambah Rose mendorong tubuh Lintang lebih mendekat. Lintang mengumpat dalam hati.

Garda menelengkan kepala, menyuruh Lintang mengikutinya.

"Okey." Lintang menghela napas, mengikuti Garda dari belakang. Rasa penasaran mulai menyelimuti benak Lintang. Gadis itu tak henti-hentinya menatap lekat punggung tegap Garda. Cepat-cepat ia menggeleng, menghilangkan rasa anehnya itu setiap melihat Garda. Matanya mulai melihat bangunan bercorak burung phoenix di samping sudut pintu. Garda terus melangkah, mengindahkan Lintang di belakangnya.

Sesaat gadis itu mengingat gadis bertudung jingga yang membawanya masuk ke dalam dunia ini.

"Garda."

Mendengar suara Lintang memanggilnya, lelaki itu menghentikan langkahnya, berbalik menatap Lintang. Mendapat tatapan seperti itu Lintang lupa akan pertanyaan yang akan diajukannya beberapa detik lalu. Gadis itu menggeleng, membuat Garda bingung sendiri melihatnya.

"Gue mau tanya sama lo, boleh?"

Garda mengernyit, "Maksudnya? Aku tidak mengerti bahasamu."

Lintang menepuk keningnya gemas, lupa bahwa lelaki di hadapannya ini bukan sosok kakak kelas gebetannya yang selalu ia usili di sekolahnya dulu. Siapa suruh gantengnya sama, batinnya merutuki. "A-aku mau tanya, soal gadis bertudung jingga."

Garda mendekat, menatapnya tidak mengerti, "Gadis bertudung jingga?"

"Ya, dia yang membawaku masuk ke dunia ini. Aku melihatnya di dalam kereta saat dia menabrakku. Aku sengaja mengejarnya dan akhirnya aku berada di sini, di duniamu ini. Aku juga tidak mengerti, kenapa aku sampai sial seperti ini." Lintang mendelik sebal, melipat kedua tangannya. "Duniaku adalah Bumi, negaraku Indonesia, dan aku tinggal di kota Jakarta. Bukan Kerajaan gak jelas di sini."

Mendengar semua penuturan dari Lintang, Garda menatapnya tidak mengerti. "Bukannya Ibu bilang padaku kamu dititipkan—"

"Manipulasi, biar lo-eh, ck!" gadis itu menepuk bibirnya lupa, "biar kamu tidak terkejut."

"Tidak, Lintang, ini benar-benar masalah yang sangat serius. Sebaiknya kamu tidak berada di sini. Aku takut kamu ditawan petinggi Kerajaan—"

"Ada masalah, Garda? Dan gadis bertudung merah, daerah perbatasan siapa namamu?"

Lintang menelan ludah memberi kode pada Garda untuk menoleh ke belakang. Ternyata pintu ruangan itu sudah terbuka, memperlihatkan seorang pria berkumis tebal dengan jubah hijau tua bercorak lekukan api berwarna emas sedang menatap mereka penuh tanda tanya. Terutama pada Lintang. Gadis itu menyikut Garda, meminta penjelasan darinya.

"Selamat malam, Prof, saya membawa teman baru saya, namanya Lintang. Orangtuanya meninggal dunia dan menitipkannya pada Nenek Seraphine. Beliau menginginkan anak ini bersekolah di sini."

Pria itu menatap Lintang penuh selidik. Yang ditatap mulai merasa risih dan salah tingkah, "Selamat malam. Nama saya Lintang Asmara. Jika Tuan berkenan, saya ingin sekali tinggal dan bersekolah di sini."

Garda tersenyum, "Bagaimana, Professor?"

Pria itu berdeham, menepuk pundak Lintang pelan, "Baiklah. Kamu bisa tinggal di asrama sekolah kami. Dan kamu, Garda, kamu boleh meninggalkan kami."

Mendengarnya Lintang menatap Garda tidak rela. Ditinggalkan bersama orang asing dan menyeramkan seperti pria berkumis di sampingnya ini benar-benar membuatnya takut.

"Lintang, selesai nanti, temui aku di depan gerbang tadi. Ibu dan Nenek Seraphine akan kembali pulang."

Lintang mengangguk lemas, melihat Garda barusaja pergi meninggalkannya.

"Ikuti langkahku." Melihat pria itu berjalan menjauh, Lintang tersadar, mengikuti langkah pria itu dengan was-was. Takut jika pria itu tiba-tiba menjadi jahat dan melakukan hal negatif yang ada dipikirannya. Pria itu menoleh, memperhatikan raut wajah gadis itu yang benar-benar tegang dan ketakutan.

"Siapa nama Ibu dan Ayahmu?"

Lintang mengerjapkan mata, tergagap, "Fanny dan Kanta Asmara." Jawabnya jujur.

"Kamu berasal dari daerah mana?"

"Jakarta."

"Jakarta?" tanya pria itu menoleh, "Saya belum pernah mendengar kota itu."

Lintang menepuk bibirnya gemas, lupa adalah sifat buruknya yang selalu datang di saat tidak tepat, "Ma-maksudnya itu, kota perbatasan, ya, kota pelabuhan perbatasan."

Bersamaan dengan itu, matanya menatap takjub bangunan bertingkat yang berada di antara batang dan pepohonan besar. Disana terlihat banyak sekali remaja perempuan berlalu lalang berada di dalam bangunan itu.

"Itu asrama perempuan."

"Keren.." ucap Lintang melihat di hadapannya pohon besar yang terdiri kamar-kamar murid perempuan. Di atasnya, terdapat pemandangan cahaya taburan bintang yang semakin membuatnya seperti berada di dalam negeri dongeng. Tanpa sadar gadis itu merasakan bahunya ditarik menjauh, mendekati wanita berjubah hijau tua, sama dengan jubah pria yang membawanya itu. 

"Selamat malam kepala sekolah. Hei, gadis cantik, siapa namamu? Apa dia murid barumu? Daerah perbatasan, ya."

Pria itu mengangguk, "Saya harap kamu bisa memberinya arahan dan kamar untuknya. Dia murid baru titipan wali murid. Saya mohon bantuanmu, Helena."

Wanita bernama Helena itu tersenyum ramah, "Tentu saja, ayo sayang kita pilih kamar yang tepat untukmu."

"Jika ada pertanyaan, tanya saja pada Helena, dia akan membantumu." Pria itu tersenyum, meninggalkan Lintang dan Helena yang kini berjalan menuju pohon asrama di hadapannya.

"Nama kamu siapa?"

Lintang mendongak, tersenyum, "Lintang Asmara, panggil saja Lintang."

"Lintang, aku akan mengantarmu menuju kamar paling ujung dekat danau. Dulu kamar itu ditempati gadis asal daerah perbatasan."

Gadis itu mengangguk pasrah. Ditempatkan dimanapun dia sudah pasrah. Matanya menelusuri setiap tangga, melewati beberapa kamar anak asrama lain yang berjejeran di sampingnya. Gadis itu menatap takjub danau di bawah pohon itu, takut. Masalahnya, jika ia sampai terpeleset dan jatuh, dia tidak bisa berenang. Pantulan cahaya bulan begitu kontras menggambarkan bulan yang menggantung di atas langit. Benar-benar di luar nalar Lintang selama ini. Gadis itu terus berdecak kagum sebelum akhirnya sampai di depan pitu kamar yang dipilih Helena. Pertengahan lantai empat paling ujung.

"Nah, kamarmu di sini. Kebetulan, hanya kamar ini yang belum ditempati siapapun. Semoga betah ya. Di dalam lemari sudah ada beberapa pakaian tebal dan jubah ganti khusus untukmu. Selamat beristirahat."

"Terima kasih, Bu Helena." Ucap Lintang tulus sebelum Helena meninggalkannya.

"Sama-sama." Helena tersenyum hangat, "Bila kamu membutuhkan sesuatu, jangan sungkan memintanya padaku."

Lintang mengangguk. Melihat Helena pergi meninggalkannya tepat di depan pintu yang masih tergantung kunci di sana. Gadis itu memutar kunci, membuka pintu kamar yang kini memperlihatkan kamar minimalis dengan fasilitas tempat tidur, kursi santai dengan api unggun, dan toilet. Ia melangkah menuju lemari kayu, membukanya. Lintang menggeleng, melihat pakaian serba berwarna merah tersusun rapi di sana.

"Merah lagi. Udah tahu suka panas, ck!" gadis itu berdecak, menutup pintu lemari sebal. Ia mulai melangkahkan kaki menuju pintu kaca transparan di samping tempat tidurnya, membukanya dengan perlahan. Angin malam begitu menyambutnya dengan lembut. Mulutnya terbuka kagum, melihat pemandangan bulan dan bintang di hadapannya begitu mempesona. Gadis itu melihat ke bawah balkon, memegang pagar pembatas balkon yang terbuat dari kayu jati. Danau yang mendapat pantulan cahaya bulan dan bintang. Ia mendesah, melihat sekeliling kamar asrama yang menurutnya benar-benar menakjubkan. Tidak menunggu lama ia berlari menuju pintu, menguncinya berniat menemui Garda, Seraphine, dan Rose di depan gerbang sekolah. 

Namun, apa yang dilihatnya saat membalikan tubuh berbeda seratus delapan puluh derajat.

"Ke-kenapa gue ada di kelas?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro