PROLOG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PROLOG

Riuh sorak sorai murid SMAN 21 Bintang Bangsa mulai terdengar meriah seantero sekolah ketika dua kelompok anak basket kelas dua belas memasuki lapangan untuk mengikuti acara perlombaan olahraga di setiap tahun setelah ujian kenaikan kelas selesai. Tidak hanya anak perempuan yang dibuat heboh, siswa laki-laki pun tidak kalah menghebohkannya saat si ketua eskul basket datang menginjakkan kakinya di atas lapangan menyambut semua penonton. Laki-laki berpostur tubuh tinggi, rambut hitam dengan ikat kepala asal, bonusnya tampan. Tidak aneh jika banyak anak perempuan berlomba mencuri-curi perhatian bahkan sampai berteriak-teriak histeris memanggil namanya. Namun sayang, lelaki yang mereka idolakan itu sama sekali tidak menampakkan senyum sedikitpun. Hatinya tetap fokus pada perlombaan yang akan diikutinya beberapa menit ke depan. IPA versus IPS. Kini posisinya berada di kelas IPS. Ia tetap harus berusaha demi menaikkan nama kelas dua belas IPS 1 yang menurutnya selalu dipandang sebelah mata oleh guru-guru. Sekilas mata sayunya melirik sengit ke arah penonton, tepatnya ke arah sekumpulan kelas sebelas IPS 1, pada gadis berambut hitam dikepang yang kini sibuk menatap layar ponsel. Enggan untuk melihatnya yang justru dielu-elu kan semua penonton perempuan. Ia berdecih pelan, menoleh ke arah seorang pria yang kini berjalan mendekat sambil membawa bola basket ke arahnya.

"Sabda, kamu kaptennya?" tanya seorang pria yang merupakan wasit sekaligus guru olahraga lelaki itu.

Lelaki yang bernama Sabda itu mengangguk lantas mendekat, "Ya, Pak."

Pria itu mengalihkan pandangan pada tim kelas dua belas IPA 1. "Kaptennya mana?"

"Saya, Pak. Restu." Seorang lelaki berkulit cokelat datang mendekat lantas berdiri bersisian dengan Sabda. Mereka saling melempar senyum sportif kala sang wasit memberikan intruksi untuk pertandingan final. Tersisa dua tim yang akan memperebutkan piala perlombaan olahraga tahun ini.

Selesai memberikan intruksi permainan, kedua tim mulai bersiap-siap di tempat masing-masing. Sabda mengembuskan napas, menatap lekat bola basket di tangan sang wasit. Begitu juga dengan lawan mainnya. Mereka begitu fokus sebelum wasit melempar bola ke atas untuk mereka perebutkan. Pertandingan pun dimulai.

Media: Sabda (Yamazaki Kento)

*

"Menang?! Masa?" tanya gadis berambut hitam kepang yang barusaja kembali dari toilet dan tidak sempat menonton seluruh acara babak final pertandingan basket sampai selesai. Gadis itu menunjukkan ekspresi tidak percaya, berdecih. Matanya melirik ke arah sekumpulan anak lelaki kelas dua belas IPS 1 berbondong-bondong mengerumuni lelaki bernama Sabda yang kini sibuk tersenyum dengan piala di tangannya.

"Ya ampun, Lintang. Kayaknya lo harus bisa melampaui dia, deh. Bisa-bisa nama lo bakal tenggelam gara-gara foto dan statusnya sebagai anak hits itu mulai naik! Lo harus tampil badass pas nanti penutupan acara!" seru Karin, sahabatnya yang kini mengusap dagu berpikir.

Lintang menghela napas, matanya masih menatap sengit Sabda di tengah lapangan. Seulas seringai terbit di bibirnya, "Gue punya ide, Rin."

"Ide? Apa?"

Bukannya menjawab, Lintang justru berjalan menjauh meninggalkan Karin menuju ke tengah lapang basket. Tepatnya menghampiri Sabda. Melihat tindakan nekad Lintang, Karin membulatkan mata tidak percaya, lantas berlari menyusul Lintang yang terus saja berjalan penuh percaya diri ke arah Sabda. Karin menggaruk rambut pendeknya gemas, panik melihat Sabda menyadari kedatangan Lintang.

Karin berbisik, "Lin, Lintang sadar woi!"

Bukannya berhenti Lintang justru semakin percaya diri saat dirinya sudah sampai tepat di hadapan Sabda. Melihat kedatangan dua adik kelas menghampiri Sabda, sontak semua anak lelaki di sana mulai menggoda mereka. Begitu pun dengan Sabda sendiri. Ia nampak puas dengan ekspresi Lintang yang kini berani menatapnya secara terang-terangan.

"Sab, sikat!"

"Hajar Boss!"

Mendengar godaan teman sekelasnya, Sabda lantas memperingati mereka untuk segera pergi membawa piala di tangannya. "Bawa ini ke kelas. Gue ada urusan bentar."

Mereka semua berdecak, meninggalkan Sabda dengan siulan dan nyanyian menggoda menuju kelas dua belas IPS 1. Melihatnya Karin di belakang Lintang berusaha menahan tawa.

"Selamat ya. Sekarang lo udah sukses buat kelas lo bangga dengan prestasi lo." Lintang tersenyum manis, lantas dibalas Sabda dengan senyuman sengit. Menunduk, menatap wajah Lintang yang hanya sedadanya. Lintang yang menyadarinya berdecak, senyumnya lenyap seketika, "Eh, Sabda sialan. Jangan mandang gue kayak gitu. Kesannya gue itu gak bisa setara sama lo."

Sabda tertawa pelan, "Dasar pendek. Makanya olahraga. Main basket. Bisa buat tinggi. Lebih sehat."

Lintang mengeryit, "Maksud lo?-"

"Bukan cuma sehat," Sabda menunduk, menyejajarkan wajahnya dengan wajah Lintang, "kita juga bisa populer. Lebih dari anak seni. Kayak lo."

Mendengar ucapan Sabda yang menurutnya telak menohok kelebihan dan bakatnya dalam seni dan musik, Lintang mengembuskan napas kesal. Sebelah tangannya yang menggantung tiba-tiba mengepal sempurna. Ia benar-benar marah.

Karin di belakangnya mulai menarik mundur bahu Lintang pelan, "Ma-maaf Kak Sabda. Kita harus pergi-"

"Lo ganteng deh, Sabda."

Mendengar pernyataan Lintang barusaja sontak Sabda mengerjapkan mata terkejut. Begitu juga dengan Karin yang kini membulatkan matanya sempurna. "Lin, kita balik. Lo mulai error."

Sabda yang terlanjur tidak percaya lantas menyimpan punggung tangannya pada kening Lintang. "Lo sakit?"

Lintang menggeleng, melepas tangan Sabda. "Lo ganteng dan hebat. Gue harap besok lo nonton gue di penutupan acara olahraga."

Sabda tertegun, menatap kepergian Lintang meninggalkannya dengan penuh pertanyaan di benak. Ia menggeleng jengah lantas pergi menuju kelas. Begitu banyak foto dirinya yang mulai dipasang dimana-mana. Entah di sosial media bahkan di seluruh mading sekolah. Fotonya sukses menggeser semua siswa berbakat lain termasuk foto Lintang yang tergeser menjadi urutan ke lima. Urutan terakhir siswa populer di sekolah.

Keesokan harinya, acara penutupan pertandingan olahraga ditutup oleh penampilan anak eskul Seni dan Budaya. Acara digelar tepat di aula sekolah sehingga semua siswa dan guru dapat menyaksikan acara yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya. Di antaranya penampilan pertama adalah tarian adat kombinasi dari 33 provinsi di Indonesia. Acara begitu meriah hingga terdengar sampai keluar sekolah. Semua siswa begitu antusias menyaksikan penampilan para penari. Tidak sedikit dari mereka berlomba-lomba merekam dan mengambil gambar mereka untuk mereka posting di sosial media mereka.

Begitu juga dengan Lintang. Gadis itu berada di antara para penari. Kebetulan dia kebagian menggunakan pakaian adat Jawa Barat berupa kebaya polos dengan hiasan-hiasan seperti kain kebat karembong, bebeur, hiasan polos dengan sulaman, tusuk konde, bros, kalung cincin, dan selop berwarna putih yang memberikan kesan cantik khas mojang priangan. Ia menari berlenggak-lenggok dengan senyuman yang tidak pernah luntur di bibirnya. Sontak semua siswa lelaki begitu menikmati penampilan para penari, khususnya pada Lintang. Tidak sedikit dari mereka bersiul menggoda dan terus mengelu-elukan nama Lintang.

Di sisi lain, Karin begitu antusias merekam penampilan Lintang dan memasukannya ke sosial media sesuai perintah Lintang. Ia berseru gemas, melihat Lintang begitu mendapat ratusan like dan komentar pujian dari netizen. Matanya tak sengaja melihat Sabda berdiri tidak jauh darinya. Diam-diam Karin ikut merekam aksi Sabda menonton penampilan Lintang. Dan benar, tatapannya jatuh pada Lintang. Hanya pada Lintang. Karin terkekeh, menyimpan rekaman tersebut untuk dilihat Lintang selepas nanti.

Acara selanjutnya adalah penampilan aksi band sekolah yang mulai membawakan lagu-lagu dari Sheila on 7. Semua murid di aula mulai memadati aula layaknya konser besar-besar an. Kecuali Lintang yang sedang bersiap-siap untuk penampilan selanjutnya. Ia berganti pakaian menggunakan kaus berenda putih dilapisi rompi kulit dengan tali berwarna cokelat dan rok gelombang berwarna merah tua yang terbelah samping kiri sampai selutut. Berhiaskan topi koboi hitam ditambah sepatu boot berwarna hitam membuatnya nampak sangat cantik. Tidak lupa, ia mengikat rambut panjangnya yang sengaja ia sambung menggunakan rambut palsu berwarna cokelat. Sempurna. Ia keluar dari ruang ganti dan sukses mengundang perhatian semua panitia anggota Osis di ruangan persiapan.

"Lintang. Sudah Band Rocklake kamu tampil ya." Seorang panitia datang mengingatkan Lintang yang sedang membuka peti biola miliknya. Ia berdecak kagum, "Duh, gebetan Sabda bening amat. Semangat!"

Lintang menyengir, "Makasih!"

Acara selanjutnya yaitu penampilan kolaborasi Lintang dengan Band Rocklake membawakan lagu dari Lindsey Stirling yang berjudul Roundtable Rival. Ketika menginjakkan kaki di depan aula, Lintang langsung menjadi pusat perhatian menggantikan Band Rocklake sebelumnya. Bukan hanya anak perempuan, para fans laki-laki pun berebut untuk memotret aksi permainan biola yang begitu epik telak mengundang perhatian semua orang, termasuk para guru-guru yang selalu mengundangnya hadir di acara-acara tertentu. Tidak heran Lintang selalu mendapat tawaran mengikuti lomba dan orkestra. Melihat aksi Lintang kini memainkan biola diiringi tarian lincahnya yang begitu menggemparkan aula, dengan cepat Karin mulai merekam momen tersebut. Ia benar-benar kagum dan bangga dengan sahabatnya itu.

"Pecah gila Lintang!!!" Karin ikut berteriak histeris di antara penonton, kamera ponselnya kembali menangkap keberadaan Sabda. Cowok tampan itu ikut tersenyum kagum menyembunyikan ke dua tangannya di dalam saku. Namun beberapa menit kemudian Sabda mengeluarkan ponsel lantas merekam dan memotret Lintang dari kejauhan. Tidak tanggung-tanggung ia ikut bertepuk tangan saat setelah penampilan Lintang bersama Band Rocklake selesai.

Penonton kembali dibuat penasaran saat Lintang masih berada di depan aula, hanya dirinya sendiri di depan mikrofon dengan biola miliknya. Dengan satu tarikan, Lintang melepas rok gelombang panjangnya berganti dengan celana putih pendek yang menyatu dengan kaos putih berenda di dalam rompi kulitnya. Gesekan biola kembali memeriahkan acara saat Lintang membawakan lagu Meraih Bintang dari Via Vallen yang merupakan lagu Asean Games 2018. Di belakangnya datang para penari latar berpakaian merah dan putih diiringi Zea, siswi asal kelas dua belas. Semua penonton mulai hanyut dan ikut bernyanyi bersama dengan meriah. Di akhir penampilan, semua penari berbaris memperagakan gambaran bendera merah dan putih.

"KEREN!!!"

Semua penonton mulai bertepuk tangan kagum, mengabadikan penampilan para penari dari eskul Seni dan Budaya. Saat semua penari berpakaian merah meninggalkan aula, Lintang kembali melakukan aksinya dengan gesekan biola miliknya. Semua penari berpakaian putih mulai kembali menari di sekitarnya. Tarian ballet. Lintang mulai membawakan lagu Shatter Me dari Lindsey Stirling feat Lzzy Hale bersama Zea. Gadis itu begitu anggun dan menawan saat memainkan biola dengan tarian ballet kesukaannya. Semua penonton kembali dibuat kagum melihat penampilan dari Lintang. Penampilan paling epik yang disuguhkan oleh eskul Seni dan Budaya.

Acara demi acara penutupan olahraga berjalan dengan baik. Selesai tampil di aula, Lintang kembali bersama semua anak eskul Seni dan Budaya menuju backstage. Mereka merasa puas dengan semua penampilan yang dibawakan semua anggota eskul Seni. Senyum lega mulai menghiasi wajah lelah mereka. Zea, selaku ketua eskul menyuruh semua anggota berkumpul, lantas berseru melakukan yel-yel eskul Seni dan Budaya. Semua anggota eskul begitu bersemangat, lantas tertawa dan berpelukan bersama.

"Gila, gue pikir gak bakal seheboh tadi!" Karin muncul dari pintu backstage berlari memeluk Lintang.

"Dokumentasi?" tanya Lintang berbisik. Matanya tak sengaja menangkap sosok Sabda berdiri di depan pintu backstage. "Netizen? Instagram gimana, Rin?"

Karin meregangkan pelukannya, berbisik, "Melebihi ekspektasi!"

"SERIUS?!" Mengetahui aksinya mampu membius penonton netizen di instagram miliknya, Lintang kembali memeluk Karin bahagia. "Akhirnya, Rin. Makasih ya."

"Iya-iya." Karin berdeham, menyadari kehadiran Sabda di depan pintu. "Tuh. Sabda liatin lo dari tadi."

Lintang melepaskan pelukannya, menoleh ke arah Sabda. Ia melempar senyum, lantas berjalan menghampiri Sabda yang ikut membalas senyum Lintang. "Cari siapa, Sab? Zea?"

Sabda menunduk, menatap Lintang yang hanya setinggi dadanya. "Lo pendek, sih. Gue pegel harus nunduk mulu. Tinggi an apa."

Lintang melotot, berkacak pinggang, "Mau lo apa? Gak usah ngeledek juga kali."

Sabda tertawa, mengacak rambut Lintang gemas, "Lo keren tadi. Gak nyangka gue punya adik kayak lo. Badass! Epic! Gue suka."

"Adik?! Sorry, gue gak mau punya Abang sombong kayak lo!" Lintang mengerucutkan bibir ke samping, menyadari bahwa Sabda hanya menganggapnya seperti anak kecil, terutama pada tinggi badannya. Bukan sebagai rivalnya dalam memperebutkan gelar siswa berbakat dan populer di sekolah. Atau lebih dari itu, menyukainya. "Liat aja nanti, minggu depan, foto siapa yang akan bertahan di urutan pertama mading sekolah. Lo? Atau violinis berbakat kayak gue."

Mendengarnya Sabda berdecih, "Gak usah nunggu lama. Foto gue pasti gak bakal ganti berbulan-bulan di urutan pertama."

"Oh, ya? Siapa takut! Dasar nyebelin!" Lintang menabrak tangan Sabda lantas pergi meninggalkannya disusul Karin dari belakang.

Sepanjang perjalanan menuju kelas, Lintang mulai digandrungi anak lelaki yang berusaha meminta foto dengannya, namun Lintang cepat-cepat menolaknya dengan sopan dan tegas. Bukan apa-apa, tiba-tiba moodnya hancur saat mengetahui Sabda masih saja tidak menyadari akan perasaannya. Lintang menyukai Sabda sejak kelas sepuluh. Hingga sampai sekarang Lintang masih berusaha menarik perhatian Sabda, namun dengan cara yang salah. Menjadikannya rival bukan menambah kesan baik pada dirinya, malah Sabda bisa saja semakin membencinya dengan semua pujian palsunya.

"Lin-lintang! Tunggu! Lo mulai, deh!" Karin berlari menyusul Lintang yang kini sudah sampai di meja belajarnya. "Makanya, gue bilang jangan sampai lo berharap sama cogan kayak dia."

Lintang berdecak jengkel, melempar topi koboinya ke atas meja. "Gue kurang apaan sih, Rin? Perasaan semua cowok pada mau sama gue, kenapa dia enggak? Gue kurang tinggi, ya?"

"Bukan itu, Lintang. Mungkin lo harus bisa buat dia sadar dengan lo harus bisa lebih tinggi dari dia. Bukan soal badan, ya. Tapi prestasi. Gue yakin dia mulai suka sama lo. Liat deh," Karin merogoh ponselnya lantas memutar video Sabda yang ia rekam sebelumnya. "Tuh, dia itu mulai kagum sama lo. Dia mulai suka sama lo!"

Melihat video itu Lintang sontak berseru tidak percaya, "Anjir! Jarang banget gue liat Sabda tepuk tangan buat gue! Ya ampun! Gue speechless!"

"Makanya. Jangan dulu nyerah, Lin. Selangkah lagi aja, gue jamin, Sabda bakal enchanted sama lo."

Lintang menghela napas, berusaha menetralisir detak jantungnya yang mulai berdegup cepat. Ia mulai salah tingkah hanya dengan melihat reaksi Sabda saat dirinya tampil beberapa jam lalu. Rasanya tidak mungkin seorang Sabda, cowok super menyebalkan asal kelas dua belas IPS itu mengaguminya sampai seperti itu. Memotret bahkan merekamnya secara diam-diam. Lintang menggeleng tidak percaya. Senyuman haru mulai mengembang di bibir merahnya.

"Gue makin suka! Gue suka sama lo, Sabda!"

________

Maaf ya cast Lintang sedang dalam masa pencarian. Yang awalnya Chelse Islan itu menurutku dan dipikir-pikir dan baru terpikir agak kurang cocok, karena Lintang sendiri terbilang masih abege labil, imut, dan perawakannya kecil. Mirip loli-loli gitu mwehehe..

Sedangkan untuk Sabda, aku pilih Yamazaki Kento, karena doi masih terbilang cocok jadi karakter 18 tahun -nan ke atas. Random lah. Karena visualnya mempengaruhi ke bab cerita selanjutnya.

 Dan untuk Lindsey Stirling. My Queen <3 Aku terinspirasi banget sama dia. Dan jadilah Lintang diberkati kemampuan bermain biola sambil menari ballet hehe..

Baru prolog nih :v lanjut?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro