5. Hal-hal Tak Terduga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Setelah tiga hari, Ibas kembali ke Bandung. Dia berkata akan mencoba bertemu dengan adik temannya, siapa tahu cocok. Terselip perasaan tidak nyaman saat mendengar Ibas mengatakan hal tersebut. Ya sebagai sahabatnya, aku cuma takut dia mengambil keputusan yang salah nantinya.

“Lu itu cemburu!” Suara Esti mengejutkanku. Kami sedang makan siang, dan akhirnya kuceritakan apa yang Ibas katakan padaku.

“Cemburu gimana? Gue khawatir, kali.”

“Khawatir? Lu kira si Ibas bocah umur lima tahun. Dia lebih tua tiga tahun dari lu, Na.” Sahut Esti sewot. “Lagian mau Ibas kawin ama siapa, itu bukan urusan lu. Urusan lu itu cari jodoh buat diri lu sendiri. Nggak usah ribet dia mau sama siapa, selama itu cewek baik-baik, Ibas bakal tenang hidupnya.”

“Ya si cewek itu kan nggak tahu, kalau Ibas lagi ngambek dia harus dibeliin sate kambing biar senyum lagi,” lirihku.

Esti merebut ponselku. “Ini passwordnya apa? Gue mau telepon Ibas, bilang kalau lu suka ama dia, jadi dia nggak perlu mengiyakan tawaran taaruf itu.”

Kurebut lagi ponselku dari tangannya. “Sembarangan. Lu bisa bikin hubungan gue ama Ibas jadi rusak. Gue udah bilang, gue nggak suka ama dia. Dulu pun dia pacaran ama cewek lain, gue nggak pernah mau tahu. Tapi memang sekarang umurnya udah pas untuk nikah, jadi gue takut dia salah ambil jalan.”

“Gue sembur pakai es jeruk ya biar lu sadar,” sahutnya emosi. “Na, kayaknya lu perlu cari pacar. Ya bukan buat rencana nikah sih, tapi supaya lu nggak ribet ngurusin si Ibas.”

“Nggak ah!” jawabku cepat.
Esti memajukan tubuhnya dan berbisik, “Pak Lingga aja coba, Na.”

Aku melotot. “Dalam bayangan terliar gue aja ya, dia nggak masuk hitungan. Lu tahu karena apa? Beda kasta!”

“Menurut pengalaman gue sebagai penikmat drama Korea, perbedaan kasta dan status sosial itu justru bikin hubungan lu makin bergairah dan berapi-api,” ujarnya dengan mimik sok tahu.

“Riset lu sebatas nonton drama dan mau diaplikasikan ke hidup gue,” sungutku.

Sejujurnya, sejak mengetahui pria peminjam payung itu adalah Pak Lingga, aku belum berani bertatap muka dengannya. Saat dia berjalan melewati kubikelku pun aku hanya mengangguk sopan tanpa melihat ke arahnya. Ketika dia diskusi dengan beberapa rekan kerja pun, aku pura-pura sibuk mengetik ini itu yang tidak jelas juntrungannya.

Padahal kalau dipikir lagi, bukankah aku sudah bersikap baik dengan menawarkan berpayung bersama? Lalu kenapa pula aku yang merasa terintimidasi dengan kehadirannya?

***

Waktu sudah menunjukkan pukul lima lewat dua puluh menit ketika akhirnya aku bangkit dari kursi panas. Waktu bubaran kantor sebenarnya pukul setengah lima sore, namun aku bermaksud mengundurnya sedikit, dengan harapan tidak perlu berpas-pasan dengan Pak Lingga di lift.

Kenyataannya bosku itu masih duduk manis di ruangannya hingga hari hampir gelap. Setelah membereskan isi tas, kumatikan komputer dan beranjak keluar dari ruangan yang lampunya sudah dimatikan sebagian.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Saat menunggu lift, aku malah bertemu dengan Bu Rene yang baru keluar dari toilet.

Aku menyapanya dan langsung berpaling saat kulihat hidungnya memerah serta matanya sembab seperti orang yang baru saja menangis.

Sudah beberapa hari ini Bu Rene tidak lagi menjadi penguasa kantor. Suasana pun langsung berubah 180 derajat. Sekarang semua orang tampak lebih bebas mengobrol dan tertawa tanpa takut terkena omelan. Bu Rene lebih banyak berada dalam ruangannya, bahkan tidak keluar untuk makan siang.

Apa beliau dimarahi lagi oleh Pak Lingga?

Rasanya aku melihat mereka mengobrol kemarin, berarti sebenarnya hubungannya baik-baik saja kan. Lalu kenapa Bu Rene yang tampak galak bak singa betina ini tiba-tiba kehilangan cakarnya?

Isi lift yang hanya berdua tentunya akan membuat suasana menjadi canggung, aku berharap rekanku yang sedang lembur memutuskan pulang dan naik di lift yang sama denganku saat ini. Doaku bersambut, seseorang berjalan menuju kami saat pintu lift terbuka. Tapi ternyata tidak cukup menyelamatkan canggungku, karena satu orang itu adalah Pak Lingga.

***

Kalau Pangesti bersamaku saat ini, dia pasti langsung ngibrit keluar lift sambil melambaikan tangan. Dia memilih lewat tangga darurat daripada harus satu lift bersama Bu Rene dan Pak Lingga. Namun saat ini, aku yang rakyat jelata ini, hanya bisa berdiri canggung di antara mereka berdua. Perjalanan lift yang biasanya secepat pesawat jet pun kini serasa naik odong-odong, lambat bukan main.

Hingga saat pintu lift terbuka, aku melangkah tidak sabar ingin segera keluar. Namun tiba-tiba,  Bu Rene jatuh lunglai tepat di depanku. Pak Lingga dan aku spontan terkejut dan langsung mencoba membangunkan tubuh Bu Rene. Namun beliau tampaknya pingsan, bibirnya terlihat pucat dan tangannya terasa dingin.

“Tolong tahan pintu liftnya.” Suara Pak Lingga terdengar panik saat pintu lift terbuka. Beberapa sekuriti berlari membantu kami membopong tubuh Bu Rene.

“Saya telepon ambulance,” seruku.

“Terlalu lama. Supir saya sudah di lobby, kita langsung bawa ke IGD.”

Aku sudah tidak sempat berpikir dan hanya mengikuti langkah pak Lingga dan sekuriti gedung yang menggendong tubuh lemas Bu Rene.

***

Aku menunggu di selasar rumah sakit sementara Pak Lingga mengurus administrasi. Matahari sudah tenggelam sepenuhnya karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Siapa sangka sore ini yang kupikir akan berjalan baik-baik saja, malah membawaku duduk termenung dengan kaki yang luar biasa lemas.

Saat tiba di rumah sakit, Pak Lingga memintaku untuk menelepon suami Bu Rene. Kontaknya kudapatkan dari rekan HRD. Saat mengangkat telepon hingga kuberitahukan tentang kondisi istrinya, pria di seberang telepon itu terdengar tenang dan tidak banyak bicara.

Hingga akhirnya dia berkata, “saya sudah bercerai dengan Rene. Kami menerima putusan cerai minggu lalu. Jadi bukan hal yang tepat untuk menghubungi saya mengenai kondisinya.”

Pak Lingga hanya diam saat aku memberitakan tentang suami Bu Rene dan memutuskan mengurus semua administrasi dan keperluan rawat inapnya. Kuusap wajahku yang terasa lengket, rasanya begitu asing dan menyakitkan ketika mengetahui seseorang yang menjadi pasangan selama bertahun-tahun, tiba-tiba tidak ingin lagi mendengar kondisi pasangannya. Sekalipun bercerai, bukankah pria itu bisa menengok dan mengurusnya sebentar sambil menunggu keluarganya datang?

“Lapar?” Pak Lingga duduk di sampingku.

“Nggak kepikiran makan, Pak,” jawabku.

“Bu Rene sudah sadar. Kata dokter, kemungkinan efek stres dan kelelahan, jadi akan rawat inap mungkin beberapa hari.”

Aku menoleh. “Saya belum dapat nomor kontak keluarganya yang lain, apa Bu Rene perlu ditemani malam ini?”

“Tadi dia sudah menghubungi adiknya dan sedang dalam perjalanan kesini.” Pak Lingga menatapku. “Saya akan menunggu adiknya datang, kalau kamu mau pulang lebih dulu akan saya panggilkan taksi.”

Aku menggeleng. “Saya juga akan menunggu adik Bu Rene datang, baru saya bisa tenang.”

Setidaknya...itu yang bisa aku lakukan.

--------------------------------------------------

Hai hai..

Maaf karena ngaret bgt updatenya, ada satu dan lain hal di dunia nyata.

Hmm..kira2 bu rene kenapa ni?

Like dan komennya yaa. InsyaAllah segera lanjut 🤗

Love,
Vy

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro