Avenged Sevenfold

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kukira, aku kejang waktu bangun tidur lihat Heath berpose begitu. Jantungku seperti meloncat ke luar. Kenapa pas banget dia melihatku waktu aku buka mata? Apa dari tadi dia duduk mengawasiku begitu waktu aku tidur?

Ini bikin aku ingat waktu kami di Jogja dulu. Dia juga mengawasiku waktu tidur seperti ini.

Sebelum tidur tadi, Heath membersihkan wajahku seperti waktu di Jogja dulu. Tapi kali ini dia bilang nggak berani membawaku ke kamar mandi karena kondisi rusukku yang belum pulih. Jadi, dia cuma membersihkan sedikit saja. Padahal, aku berharap bisa cuci rambut. Rasanya rambutku sudah seperti sapu. Bekas hairspray sampai bau anyir darah masih menempel di rambutku.

Dan, aku gemas sekali waktu dia membaui mulutku yang berhasil kugosok bersih pakai sikat gigi yang disediakan rumah sakit.

"Boleh aku mencicipi sedikit rasa ciumanmu setelah gosok gigi?" katanya sambil menempelkan hidungnya ke bibirku.

Kucubit saja dia keras-keras sampai meringis. Kelamaan gaul sama Drey, jadi ikut usil mulutnya.

Yang paling aneh tuh Drey sama Tundra. Mereka santai banget lihat Heath merapikan rambutku. Yah, memang adegan ciuman tadi mereka nggak lihat. Tapi kan aneh lihat mereka setenang itu sama Heath. Biasanya juga langsung kaya kesurupan gitu si Tundra.

Sekarang, waktu aku bangun, cuma Heath yang menungguiku. Ada suara tawa Karin dan suara Savanna di antara kelakar Tundra dalam bahasa Inggris yang patah-patah dari ruang lain. Mungkin mereka di ruang makan. Kalau pakai bahasa Inggris berarti ada bule di antara mereka. Siapa? Adam?

"Kamu mimpi buruk?" Dia bertanya tanpa tersenyum.

Nggak deh rasanya. Aku nggak mimpi apa-apa atau aku nggak ingat tadi mimpi apa?

"Nggak ... tahu," jawabku dengan suara yang nggak yakin sama omongan sendiri.

"Kamu gelisah dan merengek. Aku khawatir kamu membuat gerakan yang bisa menciderai lehermu lagi."

Aku diam saja. Aku nggak ingat sama sekali tadi mimpi apa. Sekaligus senang sih. Heath memperhatikan banget. Dia sampai tahu gerakanku selama tidur.

"Aku bosan di sini," kataku tiba-tiba dengan suara serak bangun tidur. "Kerjaku cuma makan-tidur doang."

"Apa yang kamu inginkan?" Dia bertanya tanpa bergerak dari tempatnya.

"Jalan-jalan."

"Ke mana?"

"Ke rumahmu."

Dia tersenyum. "I am home," katanya pelan. "Kalau ingin melihat rumahku, kamu cukup bercermin saja. Itu rumahku."

Kalau cewek lain, pasti bakal bilang 'so weet'. Tapi, aku sudah lama kenal sama Heath. Itu bukan pujian. Itu caranya berkelit dari jawaban.

"Mau sampai kapan kamu menghindariku, Heath?"

Dia terlihat terkejut dengan jawabanku. Dia menunduk, memperhatikan jari-jarinya yang saling tumpang tindih.

"Kapan sih kamu mau percaya sama aku? Apa kamu takut aku lari kalau tahu siapa kamu?"

"Ya," jawabnya dengan mata tetap pada jari-jari kecokelatannya yang besar

"Aku sudah tahu, kok."

Dia mendongak. Mata birunya terlihat bingung dan terkejut sekaligus. Mata biru yang sangat kusukai.

"Heath, aku sudah cinta sama kamu. Aku sudah menghadapi hal buruk kaya gini. Apa lagi yang bisa bikin aku mundur?"

Setelah beberapa saat saling menatap, dia tersenyum dan berkata, "Terima kasih."

Cuma itu?

"Heath?" panggilku, menunggu informasi lain darinya.

Dia menarik bibir ke bawah, lalu menggeleng. Sepertinya sih dia sedang mempertimbangkan sesuatu. "This is insane," katanya dengan suara pelan, sepertinya untuk diri sendiri.

"Apa?"

Dia menatapku lagi. "Aku tidak pernah berpikir akan membawa orang lain ke dalam masa laluku."

"Kalau aku ingin jadi masa depanmu, aku juga harus mencintai masa lalumu. Iya, kan?"

"Aku tidak punya masa depan."

Argh! Aku sudah hilang kesabaran sama Pak Tua ini. 

"BODO AMAT! Aku nggak peduli sama masa depan atau masa apalah. Aku cuma mau ikut kamu ketemu keluargamu atau siapamu gitu. Aku pengin tahu lebih banyak tentang kamu. Aku pengin sama kamu. Aku bersumpah nggak akan mundur apapun yang terjadi."

Dia bengong melihatku ngomong dengan suara keras begitu. Nggak cuma dia. Keluargaku juga ikut melongo dari pintu ruang makan. Bukan cuma keluargaku, sih. Ada Fifi yang ekspresinya seperti habis menelan durian bulat-bulat dan Gary yang tersenyum lebar karena nggak ngerti aku ngomong apa.

"Hi, Glace!" sapa Gary dengan wajah cerah.

"Untung bego," kata Karin yang langsung disikut sama Savanna. Kelihatannya dia nggak suka sama Gary.

Mereka masih betah berjubel di depan pintu, mungkin menunggu Heath menjawab kata-kataku. Sayangnya, cowok itu mendadak gila sekarang. Dia menusuk-nusuk sofa dengan telunjuk seperti Archie kalau kena omel mamaknya.

"Yaelah, lama amat kelanjutannya," gerutu Karin yang lagi-lagi dapat sikut Savanna. "Gemes gue. Malu-malu amat jadi laki."

"Apa sih?!" desis Tundra yang baru menampakkan diri di samping Drey. "Bubar!"

"Aku bakal tetap sayang kok sama kamu biar kamu keras kepala kaya gitu, Heath."

"Heh! Apa sih?!" desis Tundra yang dibalas dengan senyum mengejek Drey.

Gary berjalan di belakang Drey ke arahku.

"Suruh jauh-jauh deh tu bocah dari pisau. Nggak tega gue lihatnya," kata Karin entah pada siapa. "Bentar lagi ancur tu bocah ditolak Glacie."

Drey tersenyum lebar. "Yang bisa membuat orang bunuh diri bukan hanya pisau, Karin."

"SERAH LO, SARMIJAN!" 

Drey tertawa sambil merangkul bahu Savanna yang mendorong bahu Karin dengan gemas.

Fifi mendahului Gary. Dia mencium kedua pipiku. "Apa kabar? Udah ditengok sama dia jadi cepat sehat ya kamu," bisiknya sambil tersenyum. "Dave nitip salam. Katanya kalau kamu lagi nggak ngapa-ngapain dan nggak ada orang, telepon dia."

"Ada perlu?"

Dia mengangkat bahu. "Aku kan cuma nyampaikan aja." Dia tersenyum lebar. "Gila, ya jadi kamu. Dikelilingi sama cowok-cowok cakep gitu. Ih, sirik banget, tahu! Itu Drey Syailendra aslinya rusak banget, ya? Kukira dia itu orangnya cool gitu. Kalau di TV kan jaim banget, ternyata bocor. Gila! Sampai dilempar apel tadi sama kakak iparmu. Mulutnya lemes banget."

"Kami sudah biasa saling bunuh di sini."

"Aku suka banget pas kakakmu manggil Drey 'My Lord'. Ih, gemes sama mereka. Helpless romantic banget, sih."

"Can I take a moment, please?"

Kami menoleh ke Gary yang kayanya nunggu giliran untuk berdiri di dekatku. 

"Eh! Sorry, Gary," kata Fifi sambil beralih ke sisi lain tempat tidur.

"How are you?" tanya Gary sambil memegang tanganku. 

"Better," jawabku dengan senyum lebar biar meyakinkan kalau aku sudah lebih baik beneran. "Thank's. How are you?"

"Good," jawabnya sambil mencium keningku. Iya serius dia cium keningku seolah kami punya hubungan dekat. Dia cium keningku di depan keluargaku yang selera membunuhnya lebih tinggi dari Freddy Krueger.

"You have a loud family. Awsome." Dia menggenggam tanganku dan membelai kepalaku, tanpa peduli aku sudah melotot.

Apa dia nggak lihat matanya Tundra sudah memicing begitu? Berani macam-macam, kayanya dia bakal berubah jadi kornet, deh.

Aku menatap Fifi yang juga melotot menatapku. Bibir Fifi membuka seperti membentuk kata, 'fuck' sebelum menggeleng dan menepuk jidat sendiri. 

Sebenarnya, aku pengin lihat Heath, tapi nggak berani. Dari ujung mata, kulihat dia pindah berdiri di jendela untuk memberi tempat pada mamak-mamak untuk duduk.

"Ibuku mengatakan kalau ia ingin bertemu denganmu sepulang dari Ontario. Kalau kamu sudah lebih sehat, kamu bisa ke rumahku untuk bertemu dengan keluargaku." Gary tersenyum lebar sambil terus memainkan rambutku.

Sekarang, Fifi mundur sampai ke belakang Gary sambil bilang 'fuck fuck fuck' tanpa suara dan mengacungkan jari tengahnya.

"Uhm, aku akan tanya pada kakak-kakakku," jawabku. "Aku ... selama mereka di sini, aku akan mengikuti apa yang mereka katakan. Mereka pengganti orangtuaku."

Sudah kaya anak baik belum sih jawabanku?

"Oh, sure. Aku sudah meminta izin pada Drey." Gary berpaling pada Fifi yang langsung berdiri diam. "Iya, kan?" tanya Gary yang dijawab Fifi dengan anggukan cepat sebelum kembali mengangkat jari tengah waktu Gary menatapku.

Semua orang sekarang menatap Drey. Lagi-lagi dia jadi tersangka. Kayanya setelah Gary pergi, Drey bakalan dibikin Karin berubah nama betulan, nih.

"Jadi, bagaimana denganmu?" Gary bertanya lagi.

"Apa maksudmu dengan 'bagaimana denganku'?"

"Menemui orangtuaku?"

Jadi, aku harus ngesot gitu ke rumahnya?

"Sure. No problem," jawabku dengan senyum lebar sambil berharap Gary agak punya perasaan sedikit.

"Cool," katanya dengan senyum yang membuatnya makin terlihat seperti anak kecil. "Aku tidak sabar memberi tahu ibuku. Aku akan meneleponnya sebentar."

"Yeah. Yeah. Sure."

Waktu Gary berjalan ke luar kamar, aku melirik pada Heath yang sekarang berdiri di jendela. Biasanya dia cuma senyum-senyum melihat Gary atau cowok mana pun dekat denganku. Kali ini, dia menatapku dnegan tatapan dingin. Aku memang bukan ahli pembaca gerak wajah. Tapi, kurasa dia nggak suka. Tanpa bicara apa-apa, dia pergi ke kamar yang ada di sebelah ruang makan.

"Yah, Glacie! Kamu sih!" keluh Fifi yang kelihatannya juga melihat kepergian Heath. "Kamu itu terlalu baik sama orang. Coba kamu pikir Gary itu otaknya keselip di mana coba? Kamu tuh keadaannya gini. Eh, malah disuruh ketemu sama ortunya. Coba kalau orang itu waras, dia yang ajak ortunya jenguk kamu. Biar kata kamu sudah pulang dari rumah sakit kan bisa dia datang ke rumah Drey. Perkara emaknya baru balik dari surga juga kalau dia memang niat kan dia yang bawa keluarganya berkunjung. Kamu juga iya iya aja. Kasihan kan si Heath. Kamu tadi habis bilang sayang sama dia. Sekarang malah iyain cowok lain. Gimana, sih?"

Ceramah Fifi yang diucapkan dengan suara desisan penuh semangat dan ludah yang muncrat membuatku memikirkan kesalahanku. Pintu kamar Heath tertutup. Dia ngapain di dalam? Nangis? Sedih? Kecewa?

Cemburu?

"Aku harus gimana?" tanyaku bingung, agak pengin nangis sebenarnya. Jadi merasa bersalah kan aku.

"Bilang dengan tegas ke Gary kalau kamu nggak bisa ke rumahnya. Bilang juga kalau kamu nggak bisa ketemu orangtuanya."

"Nanti dia marah."

Fifi mendengus. "Selalu ada yang akan terluka, G. Kamu nggak bisa menyenangkan semua orang. Kamu nggak bisa pacaran sama semua orang."

"Fi ... aku harus gimana?"

"Coba kamu--"

"FIFI!" jerit Savanna yang nyaris lompat keluar dari ruang makan. Wajahnya ceria banget waktu merangkul bahu Fifi. "Karin ngajak fotoan. Yuk!"

"Di mana?"

Karin merangkul Savanna yang mungil. "Ke patung Zeus Rockwood yang dari emas di depan sini. Bagus banget kena salju gitu. Yuk!"

Savanna menciumi kedua pipiku dengan gemas. "Kamu cepat sembuh ya, Sayang. Entar kita fotoan lagi."

"Oke."

Drey memasukkan tangan ke kantong jaket waktu duduk di sofa. "Hati-hati ya kalian," katanya sambil melambaikan tangan.

"Kenapa kamu nggak ikut, My Lord?"

"Aku menjaga Glacie. Siapa tahu dia kejang atau apa."

Aku hampir saja ngakak. "Bilang aja kamu nggak mau kelihatan kaya orang udik, kan?"

"Ohhhh!" Karin berkacak pinggang. "Jadi karena lo bule dan lahir di sini jadinya lo malu? Eh, Maimunah! Lo nggak usah sok, deh.  Ih, gemes. Gue cabut juga nyawa lo dari kaki."

Drey menutup wajahnya dengan topi. Lagi-lagi dia pura-pura mati.

"Drey, I'm not gonna ask you twice," kata Savanna dengan suara pelan yang terdengar lebih berbahaya daripada omelan Karin.

Nah, kalau sudah Savanna yang minta, nyawanya dicabut juga dia pasti rela. Dengan warna muka merah, Drey menghela napas dalam-dalam dan menghampiri istrinya.

"Ajak Gary deh biar dia ada teman," kataku kasih kode ke Fifi. Maksudnya biar aku bisa ngobrol sama Heath.

"Eh, Heath mana?" tanya Tundra sambil celingukan.

"Tadi masuk ke kamar itu," kataku sambil menunjuk ke kamar yang dimasuki Heath.

Tundra mengetuk kamar itu tiga kali tanpa jawaban.

"Tidur kali. Nggak usah diganggu," kata Karin. "Dari sampai kan dia sama sekali nggak tidur. Udah, biarin aja. Kesian."

Drey tersenyum lebar. "Aku juga belum tidur."

"Bodo!" Kata Karin sambil melemparkan mantel kepadanya. "Lo yang mandu kami fotoan."

Aku nggak bisa menahan tawa. Nggak bisa kubayangkan konglomerat terkenal di jagad raya ikutan foto di depan rumah sakit bareng geng norak. Aku yakin, Karin bawa tongsisnya yang pink keramat itu. Drey yang paling jangkung pasti jadi tukang pegang tongsis karena tanganya yang paling panjang.

Besok, bisa dipastikan tampang Drey ada di bagian depan koran New York. Bukan karena skandal bisnis atau masalah-masalah yang keren atau pertanyaan seputar masalahku dan Atkins, tapi karena terlihat norak bersama keluarganya yang kampung abis.

Ah, indahnya hidup.

Kesenanganku nggak bertahan lama. Waktu ruangan sepi, aku memikirkan Heath lagi.

"Heath ...."

Nggak ada jawaban. Nggak mungkin kan dia ngambek?

Mungkin dia benar-benar tidur. Wajar sih kalau dia capek sekali. Waktu kucoba telepon dua kali juga ternyata HP-nya ditinggal di sofa.

Okelah. Kutelepon Dave saja. Mungkin dia ada perlu sama aku.

"Halo?"

"Glace!" Suara Dave terdengar kaget dan buru-buru.

"Kamu ngapain?"

"Habis joging." Dia terdengar kaya lagi tertawa sambil menggos-menggos. "Mau mandi, sih."

"Ya udah. Mandi sana!"

"Nggak ah," katanya dengan suara yang lebih tenang. "Kalau kebanyakan mandi nanti kegantenganku luntur."

"Muntah, ah."

"Kan belum kuapa-apain. Masa hamil?" Dia ketawa sendiri.

"Tutup, ah!"

"JANGAN. JANGAN. Aku bercanda. Sumpah." Di tempatnya terdengar ribit sebentar. "Aku sambil ngerjain yang lain, ya. Kamu ngomong aja. Aku dengar, kok."

"Apaan, sih? Fifi bilang kamu ada perlu sama aku. Sekarang malah kamu yang sibuk sendiri."

"Pengin tahu kabarmu aja. Udah mati apa belum. Kan aku bisa siap-siap pakai baju hitam." Dia ketawa sendiri lagi sama becandaannya yang garing banget itu.

"Sudah? Kututup, ya?"

"Glace, kok kamu nggak ketawa?"

"Kamu ngapain sih? Nggak jelas gitu. Becandaanmu juga garing banget. Udah bikin berapa film porno?"

Dia ketawa keras sekali sampai harus kujauhkan HP dari telinga. Aku menunggu sampai dia selesai ngakak.

"Fifi masih di sana?" tanya Dave waktu berhenti ketawa.

"Kenapa? Udah gatel? Dia lagi fotoan sama keluargaku di sini."

"Oh."

"Kenapa?"

"Nggak."

"Dave ...."

"Hmm?"

"Ada Heath," kataku sambil melirik pintu kamar Heath, memastikan pintu itu masih tertutup. "Kami balikan."

"Terus?"

"Aku senang. Aku pengin ngamuk waktu dia datang. Tapi, pas lihat mukanya, aku jadi nggak bisa ngomong apa-apa. Aku ... apalagi pas kami ciuman. Rasanya, aku sudah nggak butuh obat. Aku sehat banget. Astaga! Dave! Indah bangeettt!"

Setelah beberapa detik, aku sadar kalau aku cekikikan dan histeris sendiri. Dari telepon nggak ada suara Dave. Pas kulihat di layar, masih tersambung, kok.

"Dave?"

"Hmm?"

Ah, dia mendengarkan ternyata.

"Cinta itu complicated banget, ya? Kenapa ya cinta itu nggak semudah orang lain yang begitu ketemu bisa langsung nikah? Paling banter ujiannya cuma diomongin tetangga."

Dia diam sebentar sebelum menjawab, "Karena kita mencintai orang yang istimewa."

"Uhm ... 'kita'? Emang kamu jatuh cinta?"

"Eh! Uhm ... kayanya sih gitu. Aku juga agak bingung waktu ngerasain. Fifi bilang ini cinta." Setelah diam lagi sebentar, dia menarik napas dalam-dalam. "Aku juga nggak ngerti kapan mulai jatuh cinta."

Ah, Dave. Akhirnya kamu jatuh cinta juga sama Fifi.

"Aaaa ... so sweet. Aku juga ikut happy buat kamu, Dave. Bahagia ya, Sayang. Jangan bikin dia sakit hati terus. You both deserve to be happy."

Dave diam lagi. Kali ini dia diam agak lama. Aku menunggu, siapa tahu dia sedang memikirkan perasaannya. Kebayang sih gimana rasanya jatuh cinta sama cewek yang hampir dibuangnya.

"Glace ..."

"Ya?"

Kutunggu sampai bermenit-menit, ternyata dia cuma diam. Nggak ada suara apapun di telepon.

"Dave?"

"Hmm?"

"Kok diam? Nggak jadi?"

"Nggak."

"Dave, cinta itu gini, ya? Aku pengin marah. Tapi rasanya lebih enak ciuman sama dia daripada marah." Aku tersenyum sebentar waktu lihat Heath masuk ke kamar mandi. "Doain ya kami bisa langgeng, Dave."

"Hmm-hmm."

"Eh, tapi kamu kan nggak pernah berdoa." Aku tertawa sama ejekanku sendiri. Karena Dave diam saja, aku jadi males ketawa sendiri.

"Dave, garing banget kamu hari ini."

"Glace, kututup ya?" katanya tiba-tiba.

"Kenapa?"

"Aku mau cebok."

"SIALAN! JADI DARI TADI KAMU BERAK?"

"Hmm-hmm."

"MATI KAMU, DAVE!" jeritku sambil mematikan telepon.

Aku nggak berhenti menyumpahi Dave sampai perawat masuk ke kamar. Apa ada yang di atasnya kurang ajar? Aku capek-capek curhat begitu dia dengan santainya bilang mau cebok.

Dengan kesal, akuu mengirim pesan, "Lain kali kubalas. Kalau kamu curhat, kukasih video eekku."

Dave menjawab dengan gambar eek bermata sampai satu layar HP penuh.

Jadi, kubalas lagi. "Taik lo!"

Dia mengakhiri obrolan kami dengan emoji orang mengejek.

"Miss Glacie?" panggil perawat tua dengan suara pelan. "Apakah menurutmu ini baik jika kami mengizinkan keluargamu kembali ke sini? Kami mempertimbangkan kondisimu yang butuh banyak istirahat."

"Terima kasih banyak," jawabku ramah. "Aku senang mereka di sini. Sekalipun aku tidur nanti, tolong biarkan mereka di sini. Aku merasa ... bahagia."

Dia tersenyum lebar. "Aku mengerti," jawabnya. "Kalau begitu, Mr. Rockwood juga akan menemuimu. Dia baru datang dan minta izin untuk menemuimu."

"Ya. Aku mau bertemu dengannya."

Dia tertawa. "Aku senang mendapat pasien seceria dirimu, Miss Glacie."

"Terima kasih," balasku ringan.

Nggak lama setelah perawat itu keluar, Adam masuk ke kamar, hampir bersamaan dengan Heath yang keluar dari kamarnya. Rambut Heath agak berantakan dan matanya berkantung. Kelihatannya dia benar-benar tidur.

Heath mengangkat alis waktu melihat tampang Adam yang masih memar. Dia mengulurkan tangan dan menyalami Adam. Mereka ngobrol sebentar dengan suara rendah. Yang sampai di telingaku cuma dengung dan tawa pelan mereka. Heath menepuk lengan Adam dengan gaya cowok. Sepertinya, Heath berterima kasih atas apa yang dilakukan Adam.

Adam mengeluarkan benda yang kelihatannya seperti berkas dari dalam mantelnya. Dia memberikan berkas itu pada Heath. Ekspresi Heath berubah setelah melihat sampul kuning. Dengan tenang, dia berjalan ke sofa dan mengambil HP-nya. Dia cuma ngomong sebentar di HP terus baca berkas itu lagi.

Adam tersenyum padaku. "Bagaimana kabarmu?"

"Apa itu?" tanyaku sambil menunjuk ke arah Heath.

Adam menjilat bibir beberapa kali sebelum menjawab, "berkas Atkins." Dia terlihat nggak nyaman ngomongnya.

"No problem. Aku ... selama tidak sendiri, aku baik-baik saja."

Adam mengangkat alis. "Apa maksudmu dengan 'selama tidak sendiri'?"

"Kalau sedang sendirian, aku merasa ... dia mengikutiku."

Adam menoleh pada Heath yang ternyata juga menoleh padaku. Setelah mereka lihat-lihatan sebentar, Adam menggeleng dan menatapku lagi, "aku akan mengatur jadwal kunjunganmu dengan konselor."

"Eh?"

"Tidak apa-apa. Dia hanya akan mendengarkan ceritamu. Kamu juga perlu seseorang untuk berbicara." Adam mendekat padaku, lalu berdiri dengan tangan di dalam kantong jaketnya. "Aku mengerti kalau malam itu buruk sekali, Miss Glacie. Kamu tidak harus segera melupakannya. Ada banyak hal yang akan membuatmu harus mengingat malam itu lagi. Justru kamu harus mengeluarkannya. Ceritakan tentang malam itu dengan cara biasa sampai kamu tidak menangis atau berdebar lagi saat menceritakannya."

"Kamu tahu?"

"Aku pernah mengalaminya."

"Kejadian buruk begitu?"

"Ya." Dia menarik kaus dan jaketnya ke atas. Di perut berototnya ada guratan luka yang mirip dengan luka di punggung Drey. Tapi, luka di perut Adam lebih bulat. "Seseorang melakukan hal buruk padaku dan istriku. Butuh waktu yang lama untuk membuat istriku pulih dari trauma. Namun, semua itu sudah berlalu. Kami melaluinya bersama-sama."

"Apa kalian juga mimpi buruk?"

"Ya. Kami mimpi buruk selama berbulan-bulan. Rasanya, aku tidak bisa keluar dari lingkaran buruk itu."

"Pelakunya?"

"Mati."

"Oh!" Aku nggak berani bertanya kenapa pelakunya meninggal. Aku takut melukai Adam lebih banyak lagi.

Aku baru mau ngomong waktu pintu diketuk. Kami semua menatap ke arah pintu. Karin dan Savanna langsung memekik melihat wajah Adam. Karena nggak enak membuat emak-emak itu histeris berjamaah, Adam memasang hoodie jaketnya.

Tundra bergerak cepat ke arah Adam yang masih terlihat kikuk. Mungkin  Adam nggak enak tampangnya bikin takut orang gitu. Harusnya dia tahu mamak-mamak itu memang lebay parah.

"Thank you for helping my sister," kata Tundra sambil menyalami Adam.

Adam memeluk Tundra. Dengan tegas tangannya menepuk bahu Tundra. "Sudah menjadi tugasku, Sir."

Drey menahan tangan Savanna yang kayanya mau menyalami Adam juga. Bapak itu memegangi istrinya kaya takut istrinya bakal terbang. Yah, kalian tahulah gimana kelakuan orang itu.

Adam maju untuk menyalami Karin.

"Thank you for everything, Mr. Rockwood," kata Karin dengan ekspresi seperti pengin nangis.

"You're welcome," jawab Adam kaku. "Just ... Adam, please."

Fifi dan Gary yang masuk belakangan juga dapat jatah salaman sama Adam. Fifi terlihat membisikkan sesuatu yang membuat Adam tertawa dan mengucapkan terima kasih beberapa kali.

Kukira bakal ada adegan gampar-gamparan lagi antara Adam dan Drey. Ternyata Drey menyambut uluran tangan Adam. Dari ekspresi Adam yang terkejut, kupikir Adam juga nggak menyangka bakal dapat sambutan seperti itu. Dia menarik Drey ke pelukannya.

"Shit! Are you gay or something?" kata Drey dengan mulut julidnya yang biasa. Adam tertawa. Kurasa yang ada di pikirannya, kalau Drey sudah mau ngejulid berarti semua sudah baik-baik saja.

"Aku ke sini untuk menyerahkan beberapa berkas yang perlu ditandatangani Miss Glacie." Dia menunjuk pada Heath yang langsung menutup dan mengulurkan berkas itu padanya. Tundra ikut membaca berkas itu dari samping Drey.

"Excuse me," kata Gary dengan tangan terangkat. "Ini sudah cukup larut. Aku akan pulang."

"Ya pergi sono. Ribet banget dari tadi yaelah bocah!" gerutu Karin dengan wajah tersenyum manis.

Karena kemampuan berbahasa Indonesia Gary sama kaya kemampuan masaknya Karin? Jadinya dia cuma membalas Karin dengan senyum saja. Lalu, Gary mendekat padaku dan menciumku. Serius. Dia cium di bibir kali ini. Aku sudah berusaha merapatkan bibir, dia nyosor terus.

Dia menggenggam tanganku yang nggak ditusuk infus, gimana caranya aku gampar dia?

"Tidur yang nyenyak, Bae!" katanya tanpa peduli Tundra yang kelihatannya sudah mulai kerasukan jin New York. Kalau bukan karena Karin yang menahannya, kurasa Tundra bisa bikin Mrs. Newman memunguti organ dalam anaknya di jalanan besok.

Kuhapus bekas bibirnya di bibiku dengan lengan baju rumah sakit.

Orang-orang masih membeku menatapku setelah Gary pergi. Kelihatannya mereka pada nggak napas menunggu reaksiku. Aku melihat Heath yang mukanya nggak enak banget. Alisnya saja berkerut sampai seperti menyatu gitu.

"Apa?" bentakku pada Heath. "Nggak lihat kalau leherku dipasung gini? Bisa apa aku kalau dia nyosor gitu?"

Seketika ruangan jadi santai lagi. Terdengar helaan napas lega beberapa orang. Aku nggak lihat siapa-siapa saja. Mataku terpaku ke cowok bermata biru yang sekarang mengangkat alis dan menarik bibirnya sampai membentuk garis lurus.

"Mau kukupaskan apel lagi?" tanya Savanna sambil membawa piring buah dan pisau, lalu duduk di sebelahku. Fifi tidur di sisi lain tempat tidurku. Karin menarik Tundra untuk duduk di sofa. Drey dan Adam masih betah berdiri berhadapan.

"Di mana sekarang dia?" tanya Drey tiba-tiba.

"Tempat paling aman di dunia, penjara." Adam mengerutkan bibir. "Tempat yang tidak bisa kamu sentuh."

Kok 'aman'?

Sekalipun bingung, aku nggak berani tanya. Tampangnya Drey sama Adam kaya mau hajar muka orang gitu pas ngomong.

"Dia mendapat tuntutan penjara seumur hidup," jelas Adam lagi. "Aku mengenal hakim dan jaksa yang menangani kasus ini."

Drey tertawa mengejek. "Kamu pikir Doberman Atkins itu akan membiarkan anaknya masuk penjara?"

"Denver Atkins," ralat Adam. "Kami sudah merundingkan hal ini. Kemungkinan besar Denver akan meminta naik banding sampai menemukan jaksa dan hakim yang bisa disuap. Bagaimana pun mereka yang mengendalikan juri, kan?"

Aku sudah pernah melihat film tentang persidangan di Amerika. Tapi, aku sama sekali nggak ngerti tentang aturan real-nya di sini. Di Indonesia saja yang benar-benar kuikuti cuma drama sidang kopi sianida dulu itu. Jadi, kuberanikan untuk bertanya, "Juri itu buat apa?" tanyaku pada Adam.

"Juri adalah orang-orang yang dipilih untuk menyuarakan keputusan seluruh warga Amerika secara simbolik di dalam sidang. Mereka memiliki kekuatan untuk menentukan tersangka bersalah atau tidak, Miss Glacie. Mereka terdiri dari orang-orang dari berbagai latar belakang dan profesi. Dalam beberapa kasus, menjadi juri berarti tantangan untuk tetap hidup. Kurasa ... Kasus ini termasuk kasus yang membahayakan nasib juri. Aku mengenal sekali bagaimana Denver Atkins."

"Pengacara Atkins?" tanya Drey sambil menutuo berkas itu dan menyerahkan pada Karin dan Tundra.

Adam menyeringai. "Mereka masih setia dengan kantor hukum Redford. Melihat namaku dan namamu sebagai musuh, kurasa Redford sendiri tidak mau mengambil masalah. Sejauh ini Redford membiarkan 'anak-anak kecil' yang berbicara di publik."

Drey mengusap jenggotnya. "What a shit! Ini kesempatan bagus untuk menjatuhkanku."

"Musuhmu banyak sekali, Drey," cibirku yang dibalas dengan kedipan sebelah mata Drey. Bapak itu kayanya bangga banget bisa koleksi musuh.

"Dulu, Redford selalu kalah dalam sidang melawan kuasa hukum Syailendra," jelas Adam sambil mendekatkan meja padaku. "Sekarang kesempatannya untuk membalik keadaan."

'Membalik keadaan'? Maksudnya sekarang orang itu punya banyak kesempatan untuk menang? Dia punya kesempatan untuk bebas setelah semua yang diperbuat?

"Jadi, ada kemungkinan ... dia selamat?"

"Unfortunately yes, Miss Glacie. I'm sorry. Pelaku hukum tetap manusia biasa. Aku akan berjuang keras agar kamu mendapat keadilan."

"And you're not alone," kata Drey sambil berjalan ke arah istrinya dan mencomot apel kupas yang akan diberikan Savanna padaku.

Adam tersenyum. "I know," katanya. Lalu dia berkata lagi, "aku memikirkan sahabat kita, satu-satunya orang yang bisa memutar balikkan hukum di dunia ini."

"Kamu sudah menghubunginya?" Drey tertawa.

"Siapa?" tanyaku nggak sabar.

Adam berbalik kepadaku, "Steve Thompson. Bajingan itu yang menjadi kuasa hukum Syailendra selama bertahun-tahun melawan Redford."

"Memangnya, kalian harus rebutan apa, sih?"

Drey menghela napas panjang. "Kami pebisnis, Glacie. Kami berdiri dengan cara menghancurkan orang lain."

"Pantes ... jahat," kataku dalam bahasa Indonesia.

Drey tersenyum sombong seperti bangga banget sama ejekan yang kuucapkan.

"Dia dalam perjalanan dari Puerto Rico. Mungkin besok pagi dia baru sampai New York," kata Adam sambil tertawa.

"Dia akan jadi pengacara Glacie?" tanya Tundra yang kelihatannya juga nggak terlalu mengerti.

"Yes, Sir. Satu yang bisa dipercaya," ucap Adam mantap. "Kita akan bicarakan ini sambil sarapan besok?" katanya pada Drey.

Sebelum Drey menjawab, aku menimpali, "Aku ingin mendengar. Aku ingin tahu apa yang kalian bicarakan."

Mereka semua melihatku, termasuk Heath.

"Kenapa?" cecarku kesal. "Apa kalian masih berpikir aku terlalu kecil untuk mendengar rencana kalian? Come on!"

Adam menoleh pada Drey seperti meminta persetujuannya. Tapi, yang bersuara malah Heath, "Apa rencanamu, Bee?"

Adam mengangkat alis waktu mendengar kata 'Bee'-nya Heath.

"Aku nggak mau dia dipenjara. Aku nggak mau dia diserahkan ke negara." Seluruh tubuhku gemetar sekarang. Bukan, aku bukan takut. Aku marah. Aku ingin mendapat keadilan tanpa ribut dengan pengadilan yang bisa diatur mereka.

"Aku ... aku nggak mau dia dipenjara," lanjutku lagi. "Aku ingin dia merasakan apa yang kurasakan."

"What is it?" tanya Heath lagi.

"Menderita dan memohon untuk mati saja."

Ruangan sunyi sampai Savanna menjatuhkan pisaunya ke lantai. Drey menunduk untuk mengambil pisau itu, lalu mengembalikan pada istrinya yang sekarang menangis.

"Aku tidak ingin melihatnya mati. Tidak. Itu terlalu mudah." Aku menatap lurus pada Heath. "Aku ingin dia memohon untuk mati."

"Kamu akan mendapatkannya, Anak lebah." Drey mengusap kepalaku beberapa kali, lalu berpaling pada Adam. "Kamu mendengarnya, kan?"

Adam yang wajahnya terlihat syok, mengangkat bahu. "Aku ...."

"Dia korban yang sebenarnya di sini," kata Drey tegas. "Dia keadilan."

Setelah lama diam dengan mata yang terus terarah padaku, akhirnya Heath berkata, "I'm in."

Adam menggosok matanya yang nggak luka beberapa kali, lalu berkata, "well ... I ...." Dia melihat Drey. "I ... this is insane. Kamu tahu, Miss Glacie. Melihat kematian orang lain itu ... mengerikan. Untuk gadis sepertimu ..."

"Aku tidak mengatakan akan melihatnya mati, Adam. Aku juga tidak ingin dia mati. Aku ingin dia memohon untuk dibunuh saja. Itu berbeda dengan membunuh."

"Ya, aku tahu ... hanya saja ...." Dia melihat Drey, lalu berkata, "fuck! She's right." sambil tertawa hambar. "Jadi, apa yang akan kita lakukan?" Dia bertanya pada Drey.

Dengan senyum ringan dan tangan yang nggak berhenti mengambil potongan apel (yang seharusnya untukku), Drey menjawab, "kita perlu bajingan Thompson itu untuk mengeluarkannya dari penjara."

Saat melihat senyum tipis di wajah Heath, aku jadi mengerti kenapa Adam mengatakan penjara adalah tempat yang paling aman.

♡♡♡

Jadi, saat inilah keluar Steve Thompson. Kayanya bakalan seru, nih. Gimana cara mereka bawa Atkins keluar dari penjara?

Ada yang kangen sama Aaron Atkins?
Hahahahhaa....

Aman kan yaaa part ini?

Amaaannnnn... saya kan baikkkk... huhuwahahahahaa...

Semalam tuh saya nggak konsen banget ngedit part ini. Ya ampon!

Salah satu mantu nggak sah kirim foto tak senonoh Dave dari IG. Wkwkwkwkwk...

Padahal udah nahan diri nggak buka IG biar konsen. Ternyata malah dikirimin. Hahahaha....

Ini foto pemotretan di Paris tepat pada hari ulang tahunnya kemarin. ♡♡♡♡♡

Semoga panjang umur dan panjang .... uhm ... panjang ... panjang apanya yaaaa? 🙈🙈🙈

Sampai ketemu hari Sabtu, ya!

Karena saya repot banget dan masih dalam masa pemulihan, kita slow saja ya update-nya? Yang penting rutin kan ya?

Hehehhe...

With all of love,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro