Fire Me, Firefly!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah kubilang kan kalau aku benci rumah sakit?

Sudah cukup Ayah, Ibu, dan Savanna yang harus tidur di ranjang rumah sakit sempit jelek itu. Aku nggak mau ada orang lain yang kukenal tidur di tempat tidur itu lagi.

Melihat Gary masuk ke ruang UGD dalam keadaan nggak sadar itu membuatku merasa antara sedih campur takut. Mana aku nggak tahu apa-apa tentang dia. Aku cuma punya kartu identitas di dompetnya saja untuk menjelaskan ke dokter jaga tentang siapa dia. Di kantong-kantong bajunya nggak ada keterangan apapun. Aku juga nggak tahu apa-apa tentang dia.

Drey datang setengah jam kemudian bareng Savanna yang matanya terlihat lelah. Drey ke meja administrasi dan Savanna langsung memelukku. "Lo nggak apa-apa?"

"Yang kejang bukan gue," jawabku sambil mengangkat bahu.

"Gue kira lo juga ikutan." Dia tersenyum sambil memperbaiki ikatan rambutnya.

"Sialan! Lo kira kesurupan apa pakai ngikut juga?"

Dia tersenyum. "Yah, gue sudah capek khawatir, tahu." Dia mencari tempat duduk terdekat dan langsung duduk bersandar. "Kok lo bisa kenal sama ni cowok?"

Aku mengangkat bahu lagi sebelum ikut duduk di sampingnya. "Gue tadi ke coffee shop. Terus, gue ketemu sama dia. Pas dia ngajak kenalan langsung kejang."

"Lo apain? Lo setrum?"

Aku merengut. Enak aja aku dibilang nyetrum. "Gue dorong dia. Enak aja dia kurang ajar sama gue kaya gitu."

"Kurang ajar gimana?"

"Masa baru kenalan dia mau peluk gue."

"Hah? Lo aja kali yang GR?"

"Asem!"

Drey datang sambil tersenyum lebar. "Bagaimana bisa kamu menemukannya?"

Aku menaikkan alis. "Apaan?"

"Gary Newman." Drey memasukkan tangan ke kantong celananya. "Keluarganya sudah mencari ke sana-ke mari. Anak itu lari dari rumah setelah ada kabar pertunangannya dengan anak perempuan Nureyev. Aku sudah menghubungi ayahnya. Mereka akan ke sini secepatnya. Kurasa nanti malam mereka sudah di sini. Kebetulan mereka sedang di Melbourne."

"Memang dia siapa?"

"Dia anak satu-satunya Alfred Newman, pengusaha properti dari California. Dia ... agak seperti kamu. Keras kepala dan suka melawan. Tapi, dia anak baik. Dia mahasiswa termuda UCLA yang mendapat gelar master. Dia cerdas dan sangat menarik. Usianya masih 24 tahun dan kadang kurang ajar."

"Emang lo nggak?"

Drey tertawa, lalu duduk di sebelahku. Dia merentangkan tangannya di belakang punggungku. Kukira dia mau merangkul bahuku untuk memberikan nasihat atau apa. Ternyata dia mengelus pipi istrinya yang duduk di sebelah kiriku. Sialan. Baper habis kalau kaya gini.

Aku berdiri. "Pindah!" perintahku dengan kasar. Dia tertawa, lalu geser duduk di bekas tempat dudukku dan aku duduk di sebelahnya.

"Akhirnya kamu tahu diri," katanya sambil memeluk bahu istrinya. "Kamu di sini saja malam ini, Glace?"

"Keluarganya datang kapan?"

Dia menarik bibir sambil menggeleng. "Aku tidak tahu. Mereka bisa ke sini kapan saja. Nanti malam mungkin."

Aku tahu rasanya bangun dari kejang. Rasanya lemas sekali dan aku butuh Ibu. Aku selalu cari Ibu yang meluk aku. Aku nggak mau yang lain soalnya mereka nggak tahu apa yang kurasakan. Cuma ibu yang mau memeluk tanpa banyak tanya.

Sekarang Gary sendirian. Dia pasti kesepian. Apalagi dia melarikan diri dari rumah. Kurasa bakal merasa nggak enak banget pas bangun nanti.

"Gue ... nunggu ajalah, Drey. Kasihan kalau dia bangun terus sendirian."

Mereka berpandangan, lalu tersenyum.

Duh, jangan-jangan mereka ngira yang nggak-nggak, nih.

Aku menelan ludah dan melanjutkan, "Lagian nggak ada untungnya gue di rumah. Cuma lihat lo berdua nganuan dari pagi sampai malam. Dosa gue beranak-pinak."

Drey terkekeh. Dia berdiri, lalu masuk ke ruangan Gary. Aku mengikutinya dari belakang. Sebenarnya aku juga pengin tahu gimana kondisi Gary, cuman dari tadi aku takut mau ke dalam sendirian.

Drey berdiri di samping tempat tidur Gary, memandangi cowok itu sambil memiringkan kepala. "Dia sangat mirip ibunya. Tapi sifatnya terlalu mirip Alfred." Suaranya pelan, tapi aku bisa mendengar dengan jelas. "Dia lahir dengan hydrocephalus. Alfred dan Liz mati-matian menyembuhkannya." Drey mengangkat bahu. "Itu yang membuatnya mudah kejang dan menarik diri dari lingkungan sosial."

"Lo nggak kejang tapi ansos juga."

Drey mencengkram dan mutar kepalaku sampai tepat menatapnya. "Daripada berurusan dengan orang-orang palsu yang munafik seperti teman-temanmu itu, bukankah lebih baik sendirian?"

Ih, mulut Drey ini memang nggak ada yang bisa ngalahin. Aku nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Memang benar, sih. Daripada bertemu dengan cunguk-cunguk kampret itu lebih baik sendirian seperti sekarang. Toh, nggak ada satupun di antara mereka yang bisa membantuku memecahkan masalah dengan Heath.

"Jaga dia, Glacie. Aku akan meneleponmu lagi nanti. Take care, Sis." Drey mencium kepalaku sebelum pergi.

Kenapa berbeda? Tundra, Drey, dan heath sama-sama cowok. Kenapa waktu dicium Heath rasanya seperti disiram air es? Kenapa aku langsung menggigil, tapi waktu dicium Drey dan Tundra aku merasa tenang dan senang saja? Yah ... Tundra kan memang kakakku. Tapi, Drey kan orang lain. Kenapa berbeda dengan Heath, ya?

Ah, Heath. Kamu di mana, sih? Apa kamu sudah sama cewek lain yang lebih menarik? Lebih kamu jujur sih Heath. Bilang saja kalau memang ada yang bikin kamu berpaling. Aku bisa terima. Kenapa malah bilang kalau kamu sayang banget sama aku?

Astaga, kenapa aku malah mikirin Heath lagi?

Yang terakhir kuingat adalah aku duduk memeluk lutut di ujung sofa di kamar Gary. Kupasang earphone dan mendengarkan lagu-lagunya Little Mix dengan volume rendah sambil memandangi Gary yang masih tidur pulas. Aku kaget banget waktu bangun ternyata tempat tidur Gary sudah kosong.

Kukucek mata beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar sadar kalau aku masih di rumah sakit.

"Gary?" panggilku dnegan suara serak. Aku menegakkan punggung dan melihat sekeliling. Ternyata Gary berdiri di depan jendela. Seorang laki-laki membantunya memakai kemeja. Kelihatannya laki-laki itu derajatnya lebih rendah dari Gary soalnya dia menunduk waktu Gary berpaling kepadaku.

"Sleepy-head," kata Gary sambil tersenyum dan memperbaiki kancing kemejanya.

Manja banget anak ini. Dia kan sudah seumuran aku. Masih dilayani gitu. Kaya apa aja.

"Good morning," kataku tanpa peduli sama ejekannya. Aku berdiri dan merapikan tasku. HP-ku sudah dimatikan. Mungkin dia yang matikan. Moga aja dia nggak ngapa-ngapain aku waktu tidur tadi.

"You wanna go?"

"Home," jawabku singkat sambil menenteng tas. Supirku pasti sudah kering nungguin di parkiran. Perintahnya Drey sudah jelas, haram baginya untuk ke mana pun selama aku belum aman di dalam rumah.

"Why don't you stay and have a ... breakfast?" Dia melihat jam tangannya, lalu mengangkat bahu.

Aku menggeleng. "No thank's. I have to go home. My brother ..."

"Drey?"

"Ya."

"How's him?"

Wow, dia nanya tentang Drey sambil senyum manis. Tumben banget. Kemarin kelakuannya jelek banget. Sekarang apa dia sudah tobat? habis kejang otaknya jadi waras gitu?

(Oke. Gini, setelah ini aku bakal nulis obrolan kami dalam bahasa Indonesia saja biar kalian nggak repot. Kasihan nanti otak kalian kerja keras sampai sakit buat ngartiin bahasa Inggris.)

"He's fine. Dia sama istrinya, kakakku"

"Sienna Shelby?"

"NO!" Refleks banget aku menjerit. Sakit hati banget aku kalau ingat Sienna Shelby itu, apalagi kalau ingat media menyebut Savanna sebagai pelakor.

"Sorry," kataku cepat. "Dia sudah lama cerai. Sekarang dia menikah dengan kakakku dan punya anak laki-laki."

"Wow. Kenapa aku tidak tahu?"

Aku mengangkat bahu. Iya kali Drey kudu laporan sama dia terus.

Dia nyengir. "Thank you." Dia tersenyum sebentar. "For helping me."

"You're welcome."

"Kamu tahu tentang kejang?"

"Yeah. Waktu kecil, aku pernah kejang. Ibuku memberikan pelatihan pada kakak-kakakku agar tidak salah memperlakukanku saat kejang. Jadi ... ya, aku tahu."

"Sekarang apa kamu masih kejang?"

Aku menggeleng. "Sejak SD aku sudah nggak pernah kejang lagi."

"Wow, keren. Sudah kubilang seharusnya mereka berhenti memberiku obat antikejang karena itu membuat daya tahan tubuhku turun." Dia menaikkan alis sambil menatap sepatunya yang mengilap. "Mereka tidak percaya karena aku bukan dokter. Ah, seharusnya aku masuk kedokteran saja dulu."

Kucoba untuk tersenyum. "Kamu akan sembuh. Aku yakin."

Dia tersenyum juga. "Terima kasih sudah memberiku keyakinan."

Kami saling menatap dan tersenyum beberapa saat. Dia tampan. Wajahnya imut banget. Aku juga baru sadar kalau rambutnya itu berkilau. Rambut pirangnya itu agar terlalu kekanakan dan 'cantik' untuk wajahnya yang imut. Bibirnya juga terlalu merah untuk jadi bibir cowok. Matanya kecil dan biru muda, lebih muda dari mata Heath. Kalau tersenyum atau tertawa, matanya jadi semakin sipit.

"Aku harus pulang," kataku sambil menghindari kontak mata dengannya.

"Mau kuantar?"

Aku menggeleng. "Supirku menunggu dari kemarin. Kasihan kalau aku tidak pulang dengannya."

"Kamu baik sekali."

Aku mengangkat bahu. "Kami memang diajarkan untuk berbuat baik."

Dia tersenyum lebar dan mengulurkan tangan. "Terima kasih banyak atas bantuanmu."

Kujabat tangannya dengan sopan. "Sama-sama. Senang bisa ketemu kamu."

"Hei, maaf ya soal kemarin." Dia mempertahankan tanganku.

Aku nyengir. "Kamu bukan orang pertama yang kurang ajar seperti itu."

"Bagaimana kabar orang yang pertama melakukannya?"

"Drey menghancurkan kepalanya."

"Woa!" Dia menutupi mulutnya dengan tangan yang lain.

"Aku harus berhati-hati dengan kakak iparmu."

"Dia baik, kok. Dia cuma ... agak sarkas saja."

"Ya, aku pernah ngobrol dengannya. Mulutnya bisa memicu perang dunia."

Aku tertawa. "Berkali-kali aku menahan diri agar tidak membunuhnya."

"Katakan padaku kalau kamu berhasil membunuhnya."

Aku tertawa. Dia tertawa. Lalu, dia mencium tanganku sambil terus menatapku. Dia bertahan dengan pose cium tangan itu selama beberapa saat.

"Sampai jumpa lagi," ucapnya sambil tersenyum.

"Sampai jumpa," ucapku saat dia akhirnya melepaskan tanganku.

Aku menelan ludah.

Setelah mengangguk sopan pada asistennya, aku keluar kamar. Sambil berjalan, aku mengatur napas. Gary itu kenapa bikin deg-degan gitu?

Kemarin aja kasar banget. Gayanya kaya Don Juan kesurupan jin botol. Sekarang bisa manis banget gitu. Apa dia mabuk infus?

Supirku terlihat bahagia sekali waktu aku berjalan ke mobil. Dia menghabiskan air mineral dan membukakan pintu untukku dengan wajah berbinar.

"Maaf ya, Pak. Lama banget." Aku merasa bersalah juga jadinya. Seharusnya dia bisa sama keluarganya sekarang.

"Memang sudah tugas saya, Mbak. Daripada mbak kenapa-kenapa, saya lebih susah kalau meninggalkan pos."

"Drey emang nyuruhnya segitu banget ya, Pak?"

Dia tersenyum. "Pak Drey cuma mempekerjakan saya, Mbak. Yang kasih saya perintah langsung Pak Heath."

"Heath? Heath Grahamm?"

Aku agak bingung soalnya dia mengucapkan nama Heath seperti merek obat nyamuk, "Hit". Siapa tahu memang ada yang bernama Hit di lingkungan Drey.

"Iya. Saya harus laporan setiap jam ke Pak Heath. Lebih parah ngamuknya Pak Heath daripada Pak Drey."

"Kenapa Heath sampai ngamuk?"

"Yah ... Pak Heath kan memang mau Mbak aman. Kalau saya kasih laporang yang nggak lengkap, dia bisa langsung marah. Ke mana, jam berapa, bagaimana kondisi mbak, berapa lama, sama siapa, semua harus dilaporkan."

"Heath yang nyuruh? Bukan Drey?"

"Sama-sama sih, Mbak. Tapi, Pak Drey tahu beres. Kalau seperti yang mbak hilang waktu itu, saya disemprot sama Pak Drey. Bingung saya waktu itu, Mbak. Pak Heath nyuruh saya nunggu di depan rumah katanya siapa tahu Mbak pulang. Pak Drey nyuruh saya nyari Mbak sampai ketemu. Habis saya, Mbak. Cuman, ya saya aneh sama Pak Heath. Biasanya dia yang paling marah kalau laporan saya nggak lengkap. Waktu itu dia kedengaran santai."

Karena dia meluk aku semalaman, Pak.

Mobil berhenti di lampu merah. Pak Supir menoleh padaku. "Pokoknya kalau urusan Mbak, Pak Heath itu minta laporan bersih dan lengkap. Kaya orang militer, Mbak. Apalagi kalau sudah marah. Kadang ... maaf ya mbak, saya lihat yang atasan itu Pak Heath, bukan Pak Drey. Pak Heath yang ngatur-ngatur Pak Drey."

"Heath pernah marah?"

"Ngeri, Mbak. Ke mana-mana kan dia bawa pistol itu. Di sepatunya ada pistol. Di belakang jasnya ada juga. Waktu itu pernah ada yang cari gara-gara. Sama Pak Heath langsung dijatuhkan, dipegang tangannya, terus diinjak. Untung orangnya minta ampun. Kalau nggak, bisa patah bener itu tangannya."

Heath? Heath-ku? Sebrutal itu?

"Pak Heath itu kalau soal mbak harus pas seperti maunya pokoknya. Saya tu sampai mengira mbak sama Pak Heath pacaran. Ternyata kata Pak Heath mbak itu majikannya. Pak Heath cuma penjaga. Maaf lo, Mbak. Soalnya ketuaan juga, Mbak. Kalau sama Mas bule yang tadi itu mbak cocok."

Aku nyengir. "Dia cuma orang asing, Pak. Gue nggak kenal dia sama sekali. Cuma nolong doang. Heath juga ..." aku menelan ludah. "Bukan siapa-siapa." Kugigit bibir keras-keras biar nggak nangis waktu ngomong gini.

Pak Supir nggak meneruskan obrolan. Dia cuma senyum-senyum saja.

Hening di antara kami bikin aku jadi mikir yang nggak-nggak. Memang sih apa yang dikatakan Pak Supir ini nggak bisa dijadikan bahan penilaian tentang Heath. Tapi kan lumayan aku punya informasi bagus. Selama ini Heath yang memata-matai aku. Dia tahu tentang aku lebih banyak daripada Drey.

Kenapa dia begitu? Dia mau memastikan aku aman atau memang ingin memata-matai aku? Apa yang dia inginkan? Kan katanya kami cuma teman. Kami sudah nggak punya hubungan apa-apa. Katanya aku bisa cari cowok lain.

Kukirimkan SMS ke Heath pakai HP kecil yang dia kasih, "Gue punya teka-teki, Heath. Pada suatu hari ada cewek yang sendirian. Dia nggak punya siapa-siapa buat disayangi. Dia baru patah hati. Terus, ada cowok yang baik banget. Cowok itu kasih dia pelukan. Cowok itu sayangi dia. Terus, cowok itu cium dia dan membuatnya merasa jadi cewek paling spesial di dunia. Nggak lama, cowok itu malah putusin dia dan nyuruh dia pergi. Sayang, tu cewek nggak mau pergi karena sudah terlanjur sayang. Si cowok juga terus mengikuti si cewek sekalipun mulut sialnya bilang kalau di antara mereka nggak ada apa-apa. Kalau lo disuruh milih, siapa yang goblok di antara mereka?"

Kali ini dia membalas SMS-ku. "Aku memilihmu. Aku akan selalu memilihmu."

Kucoba membalasnya lagi, "Jadi, gue yang goblok?"

Dia nggak jawab.

Kubenturkan kepala ke jendela mobil berkali-kali sampai kepalaku pusing.

"Gue sudah capek nangis, Heath. Gue sudah males nangis lagi. Gue pengin lo. Gue pengin lo datang ke sini. Kenapa sih gue patah hati terus?"

"Mbak ngomong sama saya?" tanya Supir yang menatapku dari spion.

Aku menggeleng, lalu merebahkan kepala ke tempat duduk. Kupandangi langit-langit mobil yang dilapisi kulit empuk. Aku nggak bisa membayangkan wajah Heath. Aku nggak bisa kaya orang-orang yang sampai ke mana-mana lihat wajah cowok yang disukainya. Nggak tahu kenapa.

Apa mungkin karena ngingat dia bikin aku sakit banget?

Dengan apa aku move on, Heath? Hatiku masih kamu pegang. Balikin dulu hatiku biar bisa kupakai buat cintai orang lain.

Aku sempat mampir dulu ke fast food untuk sarapan. Tadi juga aku ke minimarket buat beli sikat gigi sama sabun muka. Aku sempatkan untuk bebersih sedikit biar nggak kelihatan banget kalau habis tidur lama. Mataku sampai bengkak soalnya. Nggak enak dilihat orang begini.

Setelah bosan dengan resto fast food yang makin ramai, aku memutuskan untuk pulang. Aku pengin mandi dan ganti baju sebentar. Aku pengin bawa beberapa baju buat menginap di hotel hari ini sampai besok. Heath pasti tahu kalau aku ada di hotel. Siapa tahu dia mau nyamperin aku.

Begitu sampai rumah, Savanna langsung berlari ke arahku dan menarik tanganku. "Ikut gue!" serunya sambil menarikku ke dalam.

"Gue capek banget, Ana. Sumpah!"

"Heath," desis Savanna di depan pintu ruangan yang belum pernah kumasuki. "Dia ke sini tadi pagi terus nggak keluar dari ruangan itu. Drey sampai lupa sama gue. Berarti mereka lagi serius."

Persetan sama seriusannya Drey. Aku harus ketemu Heath. Kubuka pintu ruangan itu. Mereka sedang ngobrol dengan wajah tegang. Heath terlihat mendengarkan penjelasan Drey. Kacamata yang dipakainya sama seperti waktu di pesawat dulu. Dia terlihat dua kali lebih memesona. Dia terlihat sepuluh kali lebih menyakitkan untuk dilihat.

Sementara Drey duduk membelakangi pintu. Begitu mendengarku, mereka langsung menatapku.

"Tuhan, tidak bisakah anak ini menghilang sebentar saja?" Drey membanting kertas di tangannya ke lantai.

Heath menatapku tanpa ekspresi. Apa dia juga terganggu? Apa dia juga mau banting barang seperti Drey?

Perlahan, dia tersenyum sambil berkata, "Tolong tutup pintunya, Little bee."

"Little bee?" tanya Drey dengan nada mengejek. "Really?"

Heath tersenyum sambil menunduk. "Shut the fuck off!" kata Heath pelan sambil terus tersenyum malu-malu.

Aku menurut. Kututup pintu pelan-pelan, lalu kuembuskan napas sampai paru-paruku kosong. Seluruh tubuh gemetar. Aku sampai harus berpegang pada pintu itu dan memejamkan mata beberapa saat.

Ya, ampun! Baru begitu doang dadaku langsung sakit banget. Aku jongkok di depan pintu dan nangis lagi. Apa begini rasanya ketemu sama mantan? Apa bisa dia dipanggil mantan? Kami cuma jadian satu malam.

Savanna duduk di sebelahku. Dia memelukku. Belaian di kepalaku malah bikin airmataku tambah deras.

"Gue mesti gimana, Ana?" bisikku lemas.

"Glace, kalau dia memang sayang sama lo, dia bakalan balik ke lo juga, kok."

"Drey dulu gitu?"

Savanna mengangguk. "Gue sudah ngusir dia berkali-kali, tapi dia tetap kembali. Dia nggak mau ngelepasin gue sekalipun gue punya cowok. Dia tahu ke mana hatinya pergi."

"Kalau dia beneran nggak mau gimana?"

Savanna memegang wajahku. "Apa tadi dia senyum?"

Aku mengangguk.

"Nah itu berarti dia sayang sama lo. Trust me, deh. Cowok itu seneng banget ketemu sama cewek yang disukainya."

Iya, sih. Drey tadi langsung ngamuk. Tapi, Heath malah senyum dan nyuruh aku keluar dengan sopan. Drey juga gitu ke Savanna. Dia nggak bisa ngamuk ke Savanna. Semanja dan sengeselin apapun Savanna, dia bakal senyum terus dan nuruti Savanna. Tundra juga gitu. Sekalipun dia digangguin Karin sama anak-anaknya, dia nggak pernah emosi.

"Gue tahu gimana cara balikin Heath ke lo," kata Savanna setelah kami lama berpelukan. "Tapi, lo janji bakal usaha terus, ya? Gue yakin lo sama Heath punya kesempatan, kok. Kalian ... Gue suka lihat kalian. Pokoknya lo harus berjuang, ya?"

Aku mengangguk. "Gimana caranya?"

Savanna menengok jam tangan kecilnya. "Bentar lagi. Mereka nggak suka lama ngobrol. Dua orang itu sama-sama nggak sabaran. Gue yakin bentar lagi juga kelar."

"Emang sudah berapa lama mereka ngobrol?"

"Dari jam tujuh."

"Hah? Sekarang udah jam sepuluh."

"Belum lama tahu! Buat mereka, kalau lagi meeting gini biasanya sampai tiga atau empat jam. Tadi gue lihat Drey menandatangani berkas. Sepertinya itu yang bikin lama." Dia tersenyum. "Lo sabar, deh."

Sabar? Aku harus sabar yang gimana lagi? Aku juga nggak mau begini. Aku nggak mau sama sekali. Tapi, mendengar namanya disebut saja sudah bikin aku panas dingin. Terus, apa aku harus cuekin perasaan ini begitu saja? Apa aku harus diam saja?

Sekitar sepuluh menit kemudian, Savanna menepuk bahuku. "Tunggu di sana. Gue bakal seret Drey keluar."

"Gimana caranya?"

Savanna mengedipkan mata. "Lo lupa kalau gue bininya? Gue minta dia ke Pluto buat beliin gue garem juga dia bakalan nurut. Take you time, Glace. Kayanya nggak bakalan bisa lama soalnya Tundra mau balik. Hari ini rencananya kami mau belanja oleh-oleh bareng." Dia mengedipkan mata.

Dia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. "My Lord, please help me!" serunya dengan suara manja banget.

Aku langsung duduk di kursi yang agak jauhan dari pintu itu sambil pura-pura serius main HP. Waktu Drey keluar dari pintu itu sambil merangkul pinggang Savanna, aku meliriknya sedikit.

"Kenapa anak itu?" tanya Drey dengan suara keras.

"Nggak usah pedulikan. Kayanya lagi chating sama Gary. Dari tadi dia agak kumat gitu."

Astaga! Mulutnya Savanna kenceng banget! Duh, jangan sampai Heath dengar, deh.

Drey berjalan melewatiku sambil memencet hidungku. "Aku setuju kalau dia dengan anaknya Newman itu."

Aku mendengus kesal. Nggak ada Gary Newman. Hatiku masih milik Heath. Aku tetap sayang sama Heath.

Begitu Drey sudah menyalakan mobil entah ke mana, aku masuk ke ruangan itu. Heath mendongak dari tumpukan kertas di meja Drey. Senyumnya membuatku takjub. Bagaimana bisa aku bisa merasa nggak keruan hanya dengan melihat senyum manisnya itu saja?

Dia merapikan kertas-kertas di meja. "Ke mana saja liburan ini, Little bee?"

"Nonton kakak-kakak gue bercinta."

Dia tertawa saat memasukkan kertas-kertas itu ke amplop perak yang kelihatan tebal. "Kudengar kamu bertemu dengan cowok yang manis."

"Iya," jawabku sambil menelan ludah.

"Bagus. Aku senang mencengarnya."

"Lo sendiri gimana? Sudah ketemu sama cewek lo?"

Dia menatapku. "Yang mana?"

"Yang bikin lo ninggalin gue."

Dia tersenyum lebar sampai ujung matanya berkerut dan giginya terlihat. "Aku tidak punya siapa-siapa, Little bee." Dia membawa tasnya dan berjalan mendekatiku. Dia menyentuh wajahku dengan ujung jari. "Hanya kamu yang bisa membuat aku tertawa."

"Terus, kenapa lo pergi?"

"Karena kamu lebih cocok dengan Gary Newman."

Loh?

"Lo kenal sama Gary?"

"Aku mengenal semua kenalan Drey. Aku harus mengingat semua, termasuk Gary Newman. Dia cowok baik. Kalian akan menjadi pasangan yang menarik."

"Lo ngomongnya pakai apa, sih?"

"Uhm, mulut?"

"Maksud gue, lo ... astaga, Heath! Lo tadi bilang kalau nggak ada cewek lain selain gue. Sekarang lo nyuruh gue jadian sama Gary yang baru gue kenal kemarin. Lo pikir gue apaan? Ini hati, Heath. Ini hati, bukan permen karet yang bisa lo kunyah terus lepeh sesukanya."

"Aku tidak mengunyahmu, Little bee. Walau kupikir akan sangat menyenangkan bisa mengunyahmu." Senyum lebarnya membuat lututku lemas.

"Heath ..." Aku memegangi bagian depan jasnya. "Lo tahu rasanya patah hati? Lo tahu rasanya hancur? Mending gue ketabrak truk, Heath. Jelas sakitnya. Jelas matinya. Dokter juga jelas mau nyembuhin yang mana. Kalau kaya gini, gue bingung, Heath. Gue bingung yang mana yang kudu diperbaiki."

Dia mengusap rambutku. "Aku suka rambutmu yang tidak selurus kemarin."

Kenapa omongannya nggak nyambung sama sekali? Apa dia mengalihkan perhatian? Apa dia berusaha menghindari obrolan tentang hubungan kami berdua?

"Heath ..."

"Aku suka lipstik yang kamu pakai sekarang. Aku ..." Dia membuka tutup bibirnya. Saat dia menelan ludah, aku yakin benar bibirnya gemetar.

Kenapa, Heath? Apa kamu takut untuk mengakui kalau kamu masih sayang sama aku? Apa kamu takut untuk mengakui kalau kita memang harusnya bersama?

"Kalau lo memang pengin peluk gue, kenapa nggak lo lakukan, Heath? Kenapa nggak lo peluk gue dan bawa gue lari. Gue ikhlas, kok."

Dia tersenyum. "Kita tidak harus lari, Bee. Kita tidak harus ke mana-mana. Kita hanya harus berpisah."

"Kalau gitu, bilang sama gue kalau lo nggak suka gue."

"Aku tidak bisa membohongimu."

"Lo takut sama Drey?"

Dia tersenyum. "Aku takut pada diriku sendiri, Little bee. Astaga, tolong. Aku tidak suka pembicaraan ini. Ini terlalu ... drama. Sudahlah, Bee. Aku tahu rasanya. Aku tahu yang kamu pikirkan. Aku juga merasakannya. Tapi, kamu tidak bisa bersamaku. Dengar? Aku tidak akan bisa punya hubungan apapun denganmu." Dia menggeleng dan menarik lepas tanganku dari jasnya.

Dia berbalik pergi.

"Heath!"

Kupeluk punggungnya dengan erat. Aku bukan hanya ingin mencegahnya pergi. Aku ingin merasakannya sekali lagi. Aku ingin memeluknya lagi seperti malam itu. Aku ingin merasakan debaran jantungnya seperti waktu itu. Aku ingin merasakan semua yang ingin kurasakan darinya. Setiap bagian darinya yang bikin aku merasa sakit.

"Apa yang bikin lo mau pertahankan gue?"

Dia nggak ngomong apa-apa. Dia menyisipkan jemariku di antara jemarinya lalu menempelkan tanganku di dadanya. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang cepat. Napasnya bergetar. Nggak lama, dia menciumi tanganku dan menelan ludah.

Apa kamu juga merasakan yang kurasakan, Heath? Apa kamu juga sama nyeseknya sama aku? Terus, kenapa kamu harus pergi? Nggak bisakah kamu tinggal dan bilang kalau kita bakal berjuang lagi?

"Gue sayang lo, Heath. Sayang banget."

Dia masih diam. Pegangan tangannya terasa kuat sekali. Kami hanya begini sampai lama sekali. Mungkin dia menungguku samlai selesai menangis di punggungnya. Mungkin juga dia menikmati pelukan ini. Mungkin juga sebenarnya dia ingin mengatakan banyak hal walau yang bisa dilakukannya cuma menggenggam tanganku.

"Little Bee," ucapnya sambil mencium tanganku.

"Guys!" Suara Savanna.

Aku menoleh. Savanna berdiri di dekat kami dengan tatapan takut-takut. Dia memaksakan senyum padaku.

"Bapak-bapak sudah balik. Kalau kalian mau ... uhm ... itu ... di kamar aja. Di kamar gue, deh. Mereka nggak bakal nyari ke situ. Entar gue yang tahan mereka." Savanna tersenyum lebar. "Aman, kok."

Aku baru mau ngomong, tapi Heath melepaskan tanganku. Apa dia mau ajak aku ke kamar kaya sarannya Savanna?

Dia mengambil napas panjang. "Aku harus pergi. Maaf," katanya tanpa melihatku atau Savanna.

Dia mengganti kacamatanya dengan kacamata hitam, lalu tersenyum lebar pada Drey dan Tundra yang baru masuk. Dia berkelakar dengan mereka sebentar sebelum keluar dari rumah, masuk mobil, dan pergi.

Terus, aku?

"Glace?" panggil Savanna bingung. "Kok dia pergi?"

Aku memeluk Savanna sambil menangis. Aku nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Yang bisa kulakukan cuma menangis dan terus menangis. Rasanya, aku nggak bakal bisa berhenti menangis.

♡♡♡

Pepet terus Glace! Jangan nyeraaaahhh...

Kek gini, nih:

Kalau kalian mau dapat efek baper abis baca Glacie, jangan lupa sambil dengerin lagu-lagu yang liriknya ditampilkan dalam setiap partnya.

Saya aja sambil mewek nulisnya. Huhuhu...

Jadi, buat yang nanya kenapa pada tersiksa semua? Karena mereka ganteng. Hahahaa... hobi saya adalah menyiksa cowok ganteng. Semakin ganteng semakin runyam hidupnya. Huwahahahaha... Saya kumpulin dulu cowok ganteng, terus saya siksa mereka. hahaha...

Nggak sembarangan yang bisa jadi cast cerita sayah. Seleksi saya ketat. kalau ada yang nggak pas, saya bakal bilang:

Eh yaaa... betewe, Savanna dalam foto itu matanya mirip Tundra ya kalau begitu. Sukaaaaa banget ♡♡♡

Ya sudahlah. Mari kita tunggu kelanjutan cerita ini di part selanjutnya. Terima kasih untuk kalian yang sudah share, vote, dan komen pada cerita ini. ♡♡♡

Penginnya nanti kalau sudah 20K follower bikin syukuran double up. Semoga bisa cepat yaaa♡♡♡

Sekarang, tunggu sampai Sabtu dulu, yak.

Kiss kiss kiss,
Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro