Gentle Touch

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Shawn butuh segulung kapas dan kasa untuk menghentikan mimisannya. Untung aku cepat-cepat memeluk Heath biar dia nggak ngamuk lagi ke anaknya. Aku mengajaknya ke kamar. Dia cuma bertahan satu jam dalam pelukanku sebelum keluar kamar lagu. Kukira, dia mau ngelabrak Shawn lagi. Ternyata dia ke ruang kerja. Aku menahan kantuk menungguinya duduk di depan komputer. Aku nggak berani tanya karena ekspresinya terlihat masih sangat marah.

Setengah jam kemudian, dia menatapku dari balik layar tipis komputernya. "Dia melakukan hal yang buruk?" Suaranya tegas seperti polisi yang bertanya pada kriminal.

Aku menggeleng. "Dia memang pegang aku dengan kasar, tapi nggak macam-macam. Dia ... dia menguping."

"Aku mendengar obrolan kalian," katanya sambil memperlihatkan HP padaku. Di HP itu ada rekaman CCTV dengan gambar berwarna dan suara yang cukup jernih. Semua omongan Shawn terlihat di situ.

Heath memasang kamera di semua tempat? Pantas saja dia heboh sendiri waktu perbaikan rumah kemarin, bukannya menyuruh orang mengerjakannya.

Heath berdiri. "Dia akan ke Houston besok pagi."

Aku memegang tangannya. "Heath! Jangan keras sama dia."

"Kenapa?"

"Dia ... dia anakmu, kan? Dia ngomong begitu karena khawatir aku punya niat buruk sama kamu. Dia sayang sama kamu."

Dia mengerjap beberapa kali. Lama dia memperhatikanku seperti mencari sesuatu dalam mataku. Semoga itu artinya dia mempertimbangkan ucapanku.

"Dia mungkin cemburu sama kamu. Kan dia anakmu, tapi kamu malah memperhatikan aku dan sibuk sama aku sampai kamu nggak tahu kalau dia digituin sama emaknya. Kalau jadi dia, mungkin aku bakal tantrum juga."

Aku diam sebentar melihat reaksinya. Saat kupikir dia nggak pengin ngomong apa-apa, kutambahkan, "Dia butuh ... gentle touch. Dia butuh cinta bapaknya. Selama ini dia memang punya Ted, tapi beda rasanya perhatian dari bapak beneran sama bapak-bapakan."

Akhirnya, dia menjilat bibir dan berdeham. Aku memainkan jarinya.

"Heath, jangan marah, ya."

Dia menarik bibir sedikit, lalu pergi ke luar ruang kerja. Aku tetap di dalam, membiarkan mereka menghabiskan waktu berdua. Tapi, waktu melihat HP Heath ketinggalan di sebelahku, pengin juga dong aku mengintip mereka lewat CCTV.

Shawn duduk di ruang makan. Dari tumpukan kapas di sebelahnya, kelihatannya lukanya cukup parah. Di hidungnya masih terselip kapas yang sudah berdarah. Heath menghampirinya dan memberinya soda dingin. Ekspresi Shawn terlihat masih marah.

"Nak, maafkan aku."

Shawn nggak ngomong apa-apa. Dia mengganti kapas di hidungnya dengan yang baru.

"Dia baru mengalami hal buruk saat aku tidak bisa melindunginya. Kau membuatku tidak nyaman dengan perbuatanmu."

"Aku hanya bertanya padanya."

"Kenapa kau tidak bertanya dengan sopan? Dia bukan hanya gadis 23 tahun. Dia kekasihku. Tugasku untuk melindunginya."

Mereka diam dan sama-sama menunduk. Shawn akhirnya meminum soda yang diberikan Heath. Mungkin ini berarti dia sudah memaafkan bapaknya.

"Aku hanya penasaran kenapa dia memilihmu?" Kata Shawn pelan. "Dia ... masih muda dan menarik. Dia ... kalau dia adalah adik dari Drey Syailendra, seharusnya dia bisa melakukan apa saja. Dia bisa pergi ke mana saja. Kenapa tempat ini? Kenapa denganmu? Kau tahu, kau jauh lebih tua. Jangan tersinggung, Dad. Aku ... melihat foto-fotonya dengan laki-laki lain di Google. Aku juga membaca berita tentang kemungkinan dia dekat dengan Adam Rockwood. Kenapa dia memilihmu?"

Heath menunduk. Kelihatannya dia tersenyum. Aku cuma bisa melihat sosok sampingnya saja. Aku nggak bisa memastikan.

"Dia menempel seperti tato," kata Heath pelan. "Aku juga merasa kasihan padanya terjebak dengan laki-laki sepertiku di tempat seperti ini. Seharusnya dia bisa di luar sana, bersenang-senang di Paris, menarik perhatian banyak laki-laki, memamerkan kekayaan di Instagram, membeli barang-barang mahal untuk mendapat teman-teman kaya, atau keliling dunia dengan pesawat pribadi. Kakak iparnya sangat memanjakannya. Sayang, dia memilih bersama laki-laki tua tidak berguna sepertiku."

"Itu kenapa kau takut kehilangan dia?"

"Aku mencintainya, Nak. Aku bukan hanya ingin memilikinya. Aku ingin mengabdi padanya."

"Kau tidak pernah mencintai mom?"

"Entahlah." Heath diam sebentar. "Aku ... itu sudah lama sekali."

Shawn menyandarkan punggung.

"Besok pagi Martinez akan menjemputmu untuk pergi ke Houston. Dia yang akan menyetir mobilmu. Di sana kau bisa istirahat satu hari sebelum laki-laki bernama Franco DeAlma menjemputmu ke New York. Aku akan mengirimkan foto mereka padamu." Heath memeriksa kantong celananya. Mungkin dia sadar kalau HP-nya ketinggalan. Dia berpaling tepat pada kamera, lalu tersenyum.

Aku ketahuan!

"Kalian akan menikah, Dad?"

Nah, anak pintar. Pertanyaan bagus. Tapi, Heath sudah tahu kalau aku menguping. Dia menatap kamera sebentar sebelum menjawab, "Kenapa kau mengurusi urusanku? Kemasi barang-barangmu dan istirahatlah!" Dia berdiri dan meninggalkan Shawn.

Setelah sampai di depan ruang kerja, dia memandangiku dengan kepala miring dan senyum puas.

"Kok bisa tahu, sih?" tanyaku kesal.

Dia nggak ngomong apa-apa. Dia menggendongku ke luar ruang kerja. Di ruang tengah, kami bertemu dengan Shawn yang mengelap noda darah di dagunya. Heath nggak berhenti atau menyapanya. Dia terus membawaku ke kamar seolah nggak lihat apa-apa.

"Aku suka caramu memelukku tadi," katanya setelah menurunkanku di tempat tidur.

"Tapi kamu lari."

Dia tertawa. "Sekarang tidak," katanya sambil memelukku seperti tadi. Kali ini detakan di dadanya nggak sekeras tadi. Napasnya juga teratur.

"Kamu langsung tidur, Heath?"

"Aku minum penenang tadi. Ingat?" katanya tanpa membuka mata. "Astaga, lembut sekali di sini," katanya sambil menenggelamkan wajah di leherku.

Baru beberapa menit kubelai rambutnya, suara napasnya sudah seperti orang ngorok. Dia menggeliat pelan, tanda kalau dia sudah lelap sekali. Kucium keningnya pelan.

"I love you, Firefly. Love you sooo much," bisikku setelah menciumnya lagi.

Kadang aku heran bagaimana Heath bisa begitu tenang dan berapi-api dalam waktu yang hampir sama. Kalau aku, nggak bakal bisa langsung ngobrol tenang sama Shawn begitu. Aku pasti bakal terus ngomel semalaman sebelum bisa duduk bersantai lagi sama orang yang bikin aku emosi.

Kalau lihat Heath tidur begini, nggak bakal ada yang menyangka kalau dia bisa langsung kasar sama anaknya kaya tadi. Kukira nasib Shawn bakal tragis kalau lihat ekspresi Heath tadi.

Semoga besok anak itu nggak macam-macam lagi.

Ah, ternyata memang bapak sama anak itu hampir mirip. Doaku agar Shawn nggak macam-macam kayanya percuma. Pas bangun tidur, kulihat Shawn sudah duduk di meja dapur, memandangiku. Dia sudah pakai baju siap pergi, celana bolong yang norak sok gaul itu.

Bagaimana caranya aku masak? Mana perutku sudah keroncongan.

"Bisakah kau menyingkir?" tanyaku pelan tanpa melihat matanya.

"Kau membenciku?"

"Aku membenci apa yang kau lakukan."

"Maaf."

"Oke." Aku menggeleng cepat. "Tolong, aku lapar sekali."

"Boleh aku yang memasak untukmu? Untuk ucapan maaf?"

"Tidak usah repot. Aku bisa masak sendiri untukku dan calon suamiku."

"Kau yakin kalian akan menikah?"

"Menikah atau tidak bukan urusanmu, kan?"

"Kau akan meninggalkannya untuk orang lain?"

"Dengar, Shawn. Aku mencintainya dengan seluruh jiwaku. Aku tidak akan meninggalkannya walau dia membuangku."

Kuputuskan untuk membawa sebotol susu, keju, dan roti gandum ke kamar. Aku makan di kamar saja daripada ngobrol sama anak ini. Kepalanya kaya dari batu. Apa nggak cukup hidungnya dibikin bengkok sama bapaknya?

Waktu aku berbalik mau meninggalkan dapur, Shawn berkata lagi, "tidak mau sarapan dengan calon anak tirimu?"

Aku lapar dan marah banget sama dia. Gaya ngomongnya tuh bikin kesal. Aku berbalik dam membanting botol susu di meja makan. "Apa maumu?" hardikku sambil melotot padanya.

Kukira, dia bakal membalasku, ternyata dia malah menunduk.

"Good morning, Son."

Heath menyentuh pinggulku. "Good morning, Bee." Dia mencium leherku. "Apa yang kau makan?"

Dia berjalan ke arah Shawn dan menarik kaki anaknya agar turun dari meja dapur.

Karena sudah ada Heath di sini, aku duduk di kursi dan mulai minum susu dinginku. Heath memanaskan wajan dan mengambil keranjang telur dengan santai. Shawn duduk di depanku masih dengan kepala tertunduk.

Anak pintar. Pasti dia nggak mau ambil risiko kena tabok bapaknya lagi.

Setelah menyelesaikan telur-telur mata sapinya, Heath membagikan ke piring kami. Seorang mendapat dua telur mata sapi dan dua sosis sapi besar. Mumpung masih panas, kuletakkan lapisan keju yang langsung meleleh di atas sosisku.

"Bee, aku lupa. Fifi mengirim pesan." Heath mengeluarkan HP-ku dari kantong celana tidurnya.

Dia bawa HP-ku?

Fifi mengirimkan banyak gambar orang minta maaf dan pesan : G, maaf. Kemarin aku repot banget jadi Dave yang pegang HP-ku. Sebenarnya aku ada di dekat dia, cuma lagi ngobrol sama wedding planner. Doain ya, G.

Di bawahnya ada pesan lagi : This summer, G. Kamu bakal ke New York, kan?

Mereka mau nikah?

Aku balas pesannya : Aku bakal bawa kado paling spesial, Fi. Aku sayang kalian. ♡♡♡

"Heath," panggilku saat Heath menuangkan minyak zaitun untuk salad. "Mereka mau nikah musim panas ini."

"Wow! Selamat."

"Coachella nanti bakal jadi bachelor party mereka."

"Aku tidak sabar," katanya sambil mengaduk salad.

"Can somebody talk in english?" gerutu Shawn sambil memotong sosisnya.

Heath meletakkan mangkok salad di meja. "Ada banyak keuntungan mempelajari bahasa lain, Nak. Kau bisa menggoda gadismu dengan bahasa yang kau suka." Dia mengedipkan mata padaku.

"Kalau aku keluar dari tempat ini sejak dulu, mungkin aku sudah fasih mempelajari banyak bahasa sepertimu, Dad."

Heath tertawa. "Aku mempelajari bahasa Perancis dan Rusia saat masih ada di kelas enam. Nak, kau tidak perlu ke mana-ana untuk belajar banyak hal. Yang kau perlukan adalah keinginan untuk melakukannya."

"Kau pasti punya banyak waktu luang, Dad. Kau bisa belajar bahasa asing sambil meniduri Mom."

Aku berhenti mengunyah. Shawn memang perlu ditendang mulutnya. Kukira Heath bakal marah lagi. Ternyata, dia masih tetap mengunyah salad seperti biasa. Anak tengil itu juga seperti nggak ada dosanya. Dia tetap makan sampai isi piringnya habis. Kok bisa sih dia ngomong begitu? Pangkal hidungnya masih biru loh bekas dihajar Heath semalam.

"Martinez akan datang sebentar lagi. Kau sudah menyiapkan barangmu?"

Shawn melempar lap tangan ke meja. "Kau mengusirku?"

"Kukira kau ingin secepatnya sampai Houston dan menikmati kebebasan di sana." Heath meminum air putihnya.

Shawn diam saja. Dia malah terang-terangan memperhatikanku. Aku memilih berkonsentrasi ke piringku. Kumasukkan potongan besar sosis ke mulut biar punya alasan untuk nggak ikut obrolan mereka.

"Nak, begini." Heath melipat tangan di meja. "Aku bisa saja menghajarmu sampai tidak bisa melakukan apa-apa seumur hidup. Aku menghormati gadisku dengan tidak melakukan itu di depannya. Asal kau tahu, dengan sikap seperti itu kau tidak akan selamat di New York. Kalau kau tidak mengubah sikapmu, aku khawatir kau hanya perlu tiga hari untuk mati di sana. Tidak akan ada yang menjagamu, Shawn. Tidak akan ada lagi yang membelamu."

Shawn kelihatannya tersinggung, tapi ekspresi Heath membuatnya memilih diam. Dia sudah pernah merasakan contoh kekejaman Heath. Aku yakin dia cukup pintar untuk nggak main-main lagi.

Kami menghabiskan makanan di meja dalam diam. Sesekali Heath mengajakku atau Shawn ngobrol yang cuma kami jawab seperlunya. Sampai akhirnya Heath menciumku dengan ... panas.

"Ini yang ingin kau lihat, Nak?" katanya sambil berpaling pada anaknya. "Setiap pasangan memiliki cerita mereka sendiri. Kau tidak bisa hanya melihat dan menyimpulkan apa yang terjadi di antara mereka. Untuk kau ketahui, aku tidak pernah merasa seberuntung dan seegois ini."

"Dari mana kau tahu dia mencintaimu juga."

Pemgin kupelintir mulut ni bocah.

Heath tertawa. "Tidak mudah mencintai laki-laki seperti aku, Nak." Heath menatapku. "Gadis ini sudah lompat ke neraka untuk mencintaiku," katanya sambil menyelipkan rambutku ke belakang telinga.

Suara bel pintu depan membuat kami berdiri dari meja makan. Itu pasti Martinez. Shawn beranjak ke kamar dan keluar dengan dua tas besarnya. Heath mengandeng pinggangku ke pintu depan.

Yang namanya Martinez itu bapak-bapak berkumis yang terlihat selalu tersenyum lebar. Wajahnya sangat mirip sama Mario Bros. Mungkin, kalau di sebelahnya ada Archie dan River pakai baju jamur mereka bisa masuk ke dalam game yang dulu dimainkan Tundra.

Heath memperkenalkanku pada Martinez dan mengajak bapak itu ngobrol di teras depan. Shawn keluar sepuluh menit kemudian, tapi nggak langsung menghampiri Martinez dan bapaknya. Dia malah duduk di dekat pot yang tanamannya belum jadi sambil terus menatapku.

Tahu nggak apa doaku? Aku pengin punya ketapel kaya dulu terus kutembak jidatnya pakai batu. Biar bocor sekalian tu bocah.

Heath yang kelihatannya sadar sama kelakuan anaknya, berdiri untuk menyalami Martinez dan mengucapkan kata basa-basi agar selamat sampai tujuan.

Shawn mengulurkan tangan padaku. "Maaf sudah merepotkanmu. Kuharap kita bisa berteman jika suatu hari bertemu lagi."

Aku menyambut tangannya. "Yah. Aku juga. Stay alive!"

Dia menarik bibir sampai jadi tipis sekali. "Kuakui, aku cemburu pada kalian."

"Aku tahu," kataku saat menarik tangan dari genggamannya. "Kalau ada di posisimu, mungkin aku juga akan cemburu."

Heath menghampiri dan memeluk anaknya. Dia membisikkan sesuatu yang membuat Shawn mengangguk-angguk terus, lalu mencium kepala anaknya dan menepuk bahu anaknya berkali-kali.

"I love you, Son."

Mata Shawn berkaca-kaca. "I love you, Dad."

Sebenarnya, aku juga pengin terharu sama adegan itu. Tapi, aku jadi kaget sama mobil yang baru masuk ke pekarangan. Ada Chevy merah yang seperti disetir orang mabuk.

Heath mendesis, "Fuck!" sambil menoleh padaku.

Kenapa?

Mobil itu berhenti. Caroline keluar dengan membawa senapan berburu. Aku menjerit.

"MOM!" jerit Shawn. "DAD!"

"Bawa dia! Bawa dia!" seru Heath ke Martinez. Dengan cekatan, Martinez memaksa Shawn masuk ke mobil. Aku sempat kaget saat Mustang Shawn melaju keluar dari halaman. Aku nggak menyangka bapak gendut itu bisa menyetir secekatan itu.

Caroline mengokang senapannya.

"Masuk! Bee, masuk dan kunci pintu. Dengar?" kata Heath padaku. "MASUK!"

Kalau aku masuk dia gimana?

"YOU LET HIM GO? WHY, ASSHOLE?!" jerit Caroline. Suaranya putus asa. Dari jalannya terlihat kalau dia mabuk parah. Tangannya yang memegang senapan bergetar.

"MASUK!" teriak Heath lagi.

Aku berlari ke rumah tepat saat Caroline meledakkan senapannya. Burung liar yang suka nongkrong di rumah burung buatan Heath berterbangan.

"We need to talk, Honey." Itu suara Heath.

Aku mengikuti perintah Heath. Aku masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Heath pasti bisa menghadapi ini. Dia jagoan. Dia hebat. Dia terlatih.

"Let me see your bitch!"

"Hey, Caroline! Hey, let me see your face. Why do you look so angry? It's ok, Love. Everything's ok."

Aku mengintip di jendela. Heath memegangi wajah Caroline. Di tangan kanan Caroline senapan itu menghadap ke tanah. Tangannya masih gemetar.

"Don't you dare to touch me, Ass hole!"

"Don't you love me?" tanya Heath tanpa melepaskan tangan dari wajah Caroline.

"Fuck!" Caroline mendorong Heath. Dia menodongkan senapan ke dada Heath. "I gave you all of my heart, Ass hole. You give me nothing. You marry that bitch? COME HERE, SLUT! LET ME FUCK YOUR FACE!"

Heath menampar Caroline. "NO ONE TALK TO MY GIRL LIKE THAT."

Caroline yang jatuh ke tanah memegangi wajahnya. Sari jarak ini saja aku bisa lihat bekas pukulan Heath membekas merah di twajah Caroline.

Heath nggak pernah memukul perempuan. Kenapa Heath begitu? Karena aku?

Caroline merangkak untuk meraih senapannya. Heath menendang senapan itu. Dia menunduk untuk mengatakan sesuatu pada Caroline. Aku nggak bisa dengar, tapi sepertinya itu kata-ata jelek. Caroline menjerit melengking. Dia menyerang Heath membabi buta. Dia mencakari wajah Heath dan menarik kausnya. Heath cuma diam dan pasrah. Mungkin, dia tahu kalau dia salah.

Aku nggak tahan melihat Heath digitukan. Aku tahu dia cowok, tapi tetap saja dicakar itu nggak enak.

Aku keluar dari rumah. "Please stop!" rengekku yang ternyata cuma suara desisan saja.

Heath berbalik padaku. Ekspresinya marah. Aku terdiam di tempat. Aku takut lihat Heath semarah itu.

Caroline berhenti dan menatapku. "Oh, there you are."

Dia berlari ke senapannya. Heath menyusul. Dia menarik rambut Caroline yang lebih dulu dipegangnya. Kepalanya tertarik ke belakang. Heath menangkapnya dan menjatuhkannya ke tanah. Dengan dua tangan dia memeluk Caroline erat-erat.

Sudah aman? Mungkin Heath butuh ruang untuk berbicara dengan Caroline. Mungkin Caroline memang perlu diajak bicara seperti kemarin.

Aku masuk lagi ke dalam rumah, mengikuti perintah Heath. Aku bersadar pada pintu sambil berharap nggak ada hal buruk lagi.

Tolong damaikan mereka, Tuhan. Tolong tenangkan Caroline. Tolong selamatkan Heath dan Caroline. Tiga hari lagi kami akan pergi. Tiga hari lagi kami akan keluar dari tempat ini.

Lalu, suara senapan itu terdengar lagi, nyaring di antara kicauan burung musim semi.

♡♡♡

Ada apa lagi ini?

Caroline lepas kandang. Wkwkwkwkw...

Siapa yang ditembak?

Apa Heath bakalan mati?

Apa Caroline yang mati?

Apa Glacie yang tertembak?

Tunggu next part ya... Barely Breath.

Tenang, mamak saya belum bisa baca Wattpad, kok. Saya masih bebas menyiksa tokoh. Hahahahaha...

Apakah bakalan ada kisah anak lebah koma jilid dua?

Apakah akan ada pemakaman lagi?

Nanti saya share beling-beling fitnahnya di story IG yak. Hohoho...

Mohon maaf part ini kemarin nggak sengaja kepencet waktu lagi mencoba memasukkan foto. Sampai sekarang saya masih belum bisa masukin foto. Mungkin Wattpad sudah mabok fotonya Heath ya. Wkwkwkwk...

Maaf ya saya sudah jarang balas-balas komen lagi. Saya lagi nerusin cerita ini. Hangover banget sama ceritanya. Setiap mulai ngetik, pasti saya langsung nangis melihat cinta yang indah semua tokoh di dalam cerita ini.

Semoga nanti kalian juga begitu.

Salam sayang,
Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro