Lord of the Beast

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku nggak tahu apa yang ada di pikiran Heath. Dia seharusnya punya kesempatan untuk melakukan apa saja denganku. Dia tahu kalah aku pasrah. Kami juga nggak tidur semalam suntuk. Tapi, yang dia lakukan cuma membelai rambutku dan tersenyum. Paling pol ciuman saja.

Ah, apa sih yang ada dalam pikirannya?

Jam enam, alarm di HP-nya berbunyi.

Dia duduk di pinggir tempat tidur dan menghela napas panjang. "It's time to leave,"  ucapnya dengan suara mendesah yang sepertinya diucapkan untuk dirinya sendiri.

Leave?

Kupeluk dia dari belakang. "Kamu tinggal bilang, aku nggak bakal pergi, Heath. Aku bakal melakukan apa aja biar nggak pergi."

Dia menggenggam tanganku di dadanya. "Pergilah, Bee."

Suara dinginnya membuat hatiku lebih sakit daripada waktu ribut sama Drey semalam.

Dia melepaskan tanganku, lalu ke luar kamar tanpa suara, tanpa berpaling, tanpa mengirimkan kode apapun yang memberiku sedikit harapan.

Terus, gimana caranya aku bertahan, Heath?

Sambil nangis sesenggukan, aku mandi dan mempersiapkan diri. Kulempar semua barang ke dalam satu koper lagi yang masih kosong. Kulemparkan juga botol parfum ke cermin rias sebelum keluar kamar.

Begitu berada di luar kamar, aku menyesal melempar botol parfum ke cermin rias. Seharusnya kan kulempar ke kepala Drey.

Bapak julid sesemesta itu sudah berpelukan dengan istrinya di foyer. Saat melihatku, Savanna melepaskan pelukan suaminya dan ganti memelukku. Lagi-lagi dia beraroma Drey.

"Baik-baik ya di sana. Aku sayang kamu, Glace. Kami semua sayang kamu," kata Savanna sambil mencium pipiku.

Drey kelihatan nggak selincah biasanya. Alisnya mengernyit seperti menahan sakit. Sepertinya tulang rusuknya cidera karena Heath semalam.

"Kita pergi sekarang," katanya dengan alis terangkat.

"Kenapa sih nggak mati sekalian?"

Dia tersenyum miring. "Sekalipun mati, aku akan bangkit lagi dan menyeretmu pergi, Glace."

Aku berdecak. "Kekejianmu memang abadi, Drey."

Dia tertawa penuh kemenangan sampai mulutnya harus dibungkam pakai tangan Savanna. Sentuhan ini membuat Drey memegangi dan menciumi tangan Savana sampai ke lehernya.

Aku?

Nggak kelihatan. Aku kan nggak kasat mata kalau mereka sudah nafsuan gitu.

"Jangan ribut terus ya di pesawat," pesan Savanna sambil memeluk dan mengusap perut ramping suaminya. "Kalian bakal belasan jam di pesawat. Jangan bikin pilotnya kesal," lanjutnya sebelum dibungkam sama mulut suaminya.

Aku baru mau mengeluarkan cibiran buat mereka, saat Heath datang sambil menggendong Archie yang mengucek mata.

"Lihat, siapa yang menangis di tempat tidurnya," kata Heath dengan senyum lebar. Dia langsung melihatku.

"Hi, Buddy!" sapa Drey ceria, berusaha melupakan sakit di tubuhnya sekalipun tangannya masih memegangi perut bagian atas.

"Daddy, mau ke mana?"

Drey mengambil Archie dari pelukan Heath, lalu mengernyit menahan sakit. Mungkin Archie menduduki rusuknya yang sakit.

"Daddy mau mengantar Tante Glacie sebentar. Dia mau bertemu seseorang di New York."

"Kita pernah ke New York?"

Drey mengajak Archie dan Savanna ke bagian dalam rumah.

Aku melirik Heath yang tetap berdiri di tempatnya. Menyadari lirikanku, dia tersenyum dan mendekatiku.

"Take care," katanya sambil menggenggam tanganku.

Aku pengin nangis. Satu kata aja yang keluar dari mulutku, pasti bakal berbarengan dengan air mata. Jadi, aku memilih diam.

"Bee?"

Aku memandangi bagian bawah pintu utama di depanku. Aku bakal memandang apa saja asal jangan Heath, asal jangan mata birunya yang bikin tenggelam itu.

Kulepaskan tangannya pelan, lalu bergerak menjauhinya ke meja.

Dia mengikutiku. "Hey! Marah?" tanya Heath di telingaku. 

Aku bergidik.

"Aku punya sesuatu untukmu," katanya sambil mengeluarkan benda dari saku celana. Dia meletakkan benda hitam itu di meja. Bentuknya mirip kotak korek api atau kotak kartu kredit yang terbuat dari plastik.

"Apa ini?" tanyaku bingung.

Dia tersenyum, lalu membuka bagian tengah benda itu sampai menyerupai pistol kecil. "Tarik bagian ini dan tekan pelatuk ini. Kalau kamu sudah memakainya, tekan lagi bagian ini. Orang tidak akan tahu kalau ini bisa membunuh."

"Buat apa aku bawa ginian? Drey pasti sudah bawa juga, kan?"

Dia menyentuh pipiku dengan ujung jari. "Dia tidak akan bisa melindungimu terus. Kamu harus bisa menjaga diri, Bee."

Kuterima benda itu, lalu kutekan tombol pengamannya seperti yang diajarkan Heath tadi. "Ya, memang. Aku memang selalu sendirian. Aku harus melindungi diriku sendiri." Kutarik napas dalam-dalam. "Punya cowok juga nggak guna," kataku sambil berjalan ke luar rumah dan membanting pintu keras-keras.

Aku menangis.

Waktu mendengar Drey sekeluarga keluar dari rumah, buru-buru kuhapus air mataku dan berdeham.

"Sudah siap?" tanya Drey. Waktu aku mengangguk, dia malah menatapku heran. 

Heath berdiri di sebelahku waktu Drey berpamitan pada Savanna dan Archie. Dia memegang tanganku tanpa mengatakan apa-apa. Tangannya hangat seperti ciumannya. 

Sekalipun mulutnya diam, rasanya aku bisa mendengarnya mengatakan, 'maafkan aku, Bee.' berulang kali di kepalaku. 

"Ya ... ya ... ya ... Begini rasanya menjadi warga negara Syailendra. Pergi ke mana-mana tanpa repot berurusan sama imigrasi," kataku saat duduk di dalam pesawat pribadi Drey.

Pesawat ini berbeda dengan yang dulu dia pakai buat mengantarku ke Jogja. Pesawat kali ini lebih besar. Interiornya juga lebih bagus. Tempat duduknya dari kulit warna hitam yang lebih besar dari tempat duduk di first class-nya pesawat ke London waktu itu.

Dua pramugarinya juga cantik banget. Sejak Drey masuk, mereka senyum sambil melirik-lirik gitu. Entah ini karena ada aku atau memang sudah nggak minat sama cewek lain, Drey sama sekali nggak mandang mereka. Setelah menyajikan kopi dan kue (yang bikin Drey mandangi kue itu sambil bergumam, "Sweet cake.") Mereka duduk di bagian lain pesawat tanpa dipedulikan oleh Drey.

Tahu nggak gimana reaksi bapak julid itu sama sindiranku?

Dia tertawa, bangga dan bahagia.

"Tidak semua negara," katanya dengan tatapan sombong yang bikin pengin nendang dagunya keras-keras. 

"Baguslah. Biar kamu tahu kalau nggak semua orang bisa kamu jajah."

"Termasuk kamu?"

"Termasuk aku."

Dia memajukan duduknya dan menopang tubuh dengan tangan di lutut. Dasinya terjuntai turun bikin aku tergoda untuk menarik dasi itu sampai dia tercekik dan mati. Kalau bukan karena terbayang wajah imut Archie jadi yatim, mungkin sudah kulakukan dari tadi.

"Glacie, suatu hari kamu akan berterima kasih padaku."

"Buat apa?"

"Satu," katanya sambil mengacungkan telunjuk. "Aku sudah mencegah terjadinya kekacauan antara kamu dan Heath. Dua, aku menghindarkanmu dari bajingan seperti Dave. Tiga, aku mempertemukanmu dengan laki-laki bermartabat. Kamu pasti menyukai Aaron Atkins. Dia orang yang cerdas, menyukai seni, berdedikasi, dan sopan."

"Kalau dia kenal sama kamu, berarti dia sama rusaknya sama kamu."

Dia tertawa. "Kalau jadi kamu, aku akan menurut, Anak lebah."

"Drey, kamu tahu nggak sih kalau anak lebah tuh ulat? Larva?"

Dia tertawa. "Itulah alasan aku memanggilmu anak lebah, Bodoh."

Kali ini aku benar-benar menendang tulang keringnya, tapi dia menangkap kakiku dengan gesit.

"Jangan macam-macam dengan kakiku," katanya dengan suara dingin sambil melepaskan kakiku.

Aku menjerit marah kepadanya. "Kenapa sih kamu nggak ikut mati aja sama kakakmu?"

"Dan meninggalkan Savanna sendirian? Tidak, Glace. Aku tidak akan pernah meninggalkannya."

"Terus, kenapa kamu percaya sama Heath? Kamu nggak takut Savanna diapa-apain Heath?"

Dia tersenyum miring kaya bajingan, lalu bersandar di kursinya. Dia nggak ngomong apa-apa selain mengusap brewoknya ke bawah sambil terus memandangiku. Kalau ekspresinya begitu, dia mirip banget sama om-om yang nungguin cewek di tempat karaoke.

"Ngomong sama kamu tuh bikin darah mendidih, Drey."

Dia tetap diam.

Kuambil kantong plastik yang berisi penutup mata untuk tidur. Kupakai benda itu biar nggak melihat muka Drey lagi. Sebentar, ada yang mau aku sampaikan.

"Drey," panggilku. 

Dia mengangkat sebelah alisnya.

"Kalau sampai di New York nanti ingatkan aku kalau aku benci banget sama kamu."

Dia tertawa sambil mengambil buku bersampul hitam dari balik jasnya. "Pasti," katanya dengan tenang sambil memakai kacamata dan membuka buku dari halaman yang diberi bookmark.

Archie, kenapa sih kamu punya bapak kaya gini?

Tahu gimana cara Drey membangunkanku?

Dia menutup hidungku dengan selotip. Waktu aku gelagapan bangun tidur nggak bisa napas, dia memandangiku dengan tenang di kursinya kaya orang yang nggak ada dosanya. Dia tetap memakai kacamata dan membaca buku seperti nggak terjadi apa-apa. 

"KALAU GUE MATI GIMANA, BEGO?"

Dia memasukkan kaca matanya dengan hati-hati ke kotak bludru dan menyimpan lagi ke kantongnya. "Aku akan memilihkan peti mati terbaik untukmu, Dik."

Sialan banget kan bapak julid itu? Sekarang, aku sendirian menghadapi kekejamannya. Coba kalian lihat bagaimana dia tersenyum puas sudah berhasil mengerjaiku. Pengin nampol kok nanti dia balas lebih kejam lagi. Nggak ditampol kok bikin sakit hati.

Pilot memberitahukan kalau kami akan sampai dan harus memasang sabuk pengaman. Kuamankan barang-barangku dan kuperhatikan wajahku di cermin.

"Perbaiki jam tanganmu. Sekarang jam satu siang waktu New York. Kamu punya beberapa jam untuk dandan dan memakai baju bagus sebelum kita pergi ke pesta," jelas Drey sambil memerhatikan HP-nya.

"Pesta apa?"

"Uhm, sebut saja syukuran." Dia mengangkat bahu. "Aaron baru meluncurkan produk terbarunya beberapa minggu lalu. Dia memiliki perusahaan developer game. Airbugs? Grimsart? Ah, ya. Mana mungkin kamu mengenal semua itu."

Bangke!

Dia mengusap brewoknya beberapa kali. "Yang jelas, dia jutaan kali lebih bagus daripada lelaki metroseksual yang kamu temui itu."

Aku tertawa. "Kamu iri sama dia, Drey. Dia punya body yang lebih bagus dari kamu."

Dia tertawa juga. "Tidak penting bagaimana tubuh dibentuk, Anak lebah. Aku tidak perlu menjual bentuk tubuh untuk hidup. Untuk laki-laki, yang terpenting adalah kekuatan di balik tubuhnya."

"Di Harvard dulu diajari ngelemesin mulut ya, Drey. Aku nggak habis pikir ada aja caramu bikin sakit hati orang."

"Tentu saja. Kami diajarkan untuk lebih pintar daripada orang-orang seperti kamu."

Oke.

Aku berhenti ngomong sama dia. Kalau diteruskan, mulutnya Drey tuh bisa bikin panas terus. Sampai pesawat landing di JFK, aku menolak ngomong atau bahkan lihat muka Drey. Demi kakak dan ponakanku deh kutahan rasa pengin nampol mulutnya pake sepatu.

Begitu turun dari pesawat, kami disambut mobil listrik putih yang bagus banget. Kami diantar ke ruang khusus sebelum dijemput lagi sama orang untuk naik mobil ke luar dari bandara.

Enak banget ya jadi orang keterlaluan kaya. Apa-apa dilayani, dituruti, dan dihormati orang. Begitu dengar nama Syailendra, muka kaum bule di sini langsung berubah segan.

Dan sekarang, aku adalah bagian dari nama Syailendra itu.

New York di awal Februari mirip sekali dengan yang kubayangkan selama ini, jalanan beraspal yang  licin sekalipun bersalju, gedung tinggi, orang-orang dengan pakaian modis, mobil-mobil keren, pohon-pohon yang ditutupi salju putih, dan kesibukan yang sepertinya nggak kenal waktu. Mobil pembersih salju berlalu lalang di pinggir jalan. Beberapa polisi bergerombol di pinggir jalan sambil memegang gelas kertas berasap. Mungkin jalanan bersalju ini bikin angka kecelakaan meningkat, ya?

Atau ... lagi ada razia? Apa di sini ada mamak-mamak naik motor yang suka salah pasang lampu sign?

Karena kali ini aku jalan sama Bapak Julid yang begitu turun pesawat langsung telepon istrinya sambil merengek-rengek kangen dan nyaris phone-sex, jadi aku punya banyak kesempatan untuk melihat-lihat jalanan dari mobil dan mengambil foto di HP buat Instastory, dong.

Foto yang kupajang tadi itu foto Brooklin Bridge yang tertutup salju. Cantik, ya? Aku jadi pengin lihat tempat-tempat romantis yang jadi setting film di sini.

Oh, ya. Kami dijemput limosin yang dikirim dari The Plaze Hotel, tempat kami menginap. Katanya sih seharusnya nggak lebih dari empat puluh mebit jarak dari bandara ke hotel. Tapi kali ini kami memakan waktu lebih lama karena ada mobil sport yang terbalik di jalan. Mungkin tergelincir salju.

"Kok tinggal di hotel?" tanyaku iseng. "Kamu nggak punya rumah di sini? Penthose atau condo gitu nggak punya juga?"

Dia menjawab, "Seharusnya dulu aku membeli The Plaza untuk membuat anak lebah sepertimu kagum."

Aku mencibir. "Songong! Emang iya The Plaza dijual?"

"Ya. The Plaza dibeli seorang pengusaha timur tengah saat aku sibuk dengan kakakmu beberapa tahun lalu. Ada yang lebih baik dari sekedar bisnis." Dia mengusap brewoknya lagi.

Aku memandang ke luar mobil. "Kemarin ada konglomerat sombong gitu juga, Drey. Dia diazab mati kejepit lift terus jenazahnya kesambar petir sepuluh kali, ketabrak helikopter lewat, terus kuburannya kena tsunami."

"Kasihan," katanya tanpa belas kasihan sama sekali. "Konglomerat tolol. Seharusnya dia menyiapkan makam yang lebih baik."

Aku pernah lihat The Plaza itu pas nonton Home Alone dan The Bride Wars. Hotel bintang lima ini memang keren banget. Kesannya aku tuh kaya raya banget begitu menginjakkan kaki di sini. Furniture yang didominasi warna kayu dan emas (kata Drey, beberapa barang memang asli emas), kain sutera dan bludru, karyawan hotel yang tersenyum menjilat setiap melihat kami, dan orang-orang terkenal yang nongkrong cantik di lobi hotel. Mungkin ini alasan Drey memilih The Plaza, bukan Ritz-Carlton yang sebenarnya tetanggaan aja sama hotel ini.

Kuremas lengan Drey keras-keras waktu lihat beberapa artis Hollywood di lobi hotel.

Tahu apa katanya?

"Kamu harus ke rumahku biar tahu bagaimana jadi tetangga mereka."

Sombongnya bapak satu ini!

Kamar kami tuh Suite yang kalau di Indonesia bisa disebut apartemen super mewah.

Gila!

Begitu buka pintu, kami langsung disambut perabotan yang membuatku merasa tinggal di rumah sendiri. Eh, istana ding lebih tepatnya. Nggak mungkin perabotan supermewah gini ditaruh di rumah biasa. Awalnya kukira ini cuma satu kamar yang luas banget gitu, ternyata dua lantai, Man!

Lihat deh kamarku!

Kucuekin Drey yang lagi-lagi video call sama bininya. Aku guling-guling di tempat tidur gede yang adem banget ini sambil bikin video live di Instagram.

Pas lagi asik-asiknya pamer ke jagad raya, Drey melemparku dengan handuk.

"What the hell are you doing?" katanya tanpa minta maaf sudah masuk kamarku tanpa permisi. Dia mendekatiku, lalu mengambil HP di tanganku.

"Hi, Guys!" katanya pada layar HP. "Sorry for this shit, dia harus pergi. Jadi, aku akan mematikan siaran ini. Bye!"

Dia melemparkan HP-ku ke tempat tidur.

"Jangan seperti orang kampung, Glacie. Kita Syailendra, bukan Kardashian. Syailendra tidak perlu pengakuan publik tentang seberapa kaya kita. Syailendra berusaha tidak terlihat untuk menghindari sorotan publik. Kita ini yang mengatur ekonomi dunia, bukan social climber. Get it?"

Aku mengangguk. "Sori, Drey."

Dia bersidekap. "Aku mengerti ini momen pertamamu di tempat sebagus ini. Aku sengaja mengajakmu ke sini untuk menyenangkanmu. Biasakanlah dirimu agar tidak lagi bersikap norak saat melihat kemewahan baru, Dik."

Aku mengangguk lagi, lebih ke takutvsih lihat Drey yang ceramah dengan muka seriua gitu.

Kuakui, aku memang pengin pamer. Masa Sienna Shelby doang yang bisa pamer tidur di hotel mewah di seluruh dunia. Aku kan juga bisa kalau cuma segitu doang.

"Kamu punya apa saja, Glace. Apapun yang kumiliki sekarang adalah milikmu juga. Kamu bisa ke mana saja dan tinggal di tempat-tempat yang kamu suka. Katakan saja! Mereka pamer ke publik untuk mendapat pengakuan dan bisa menaikkan status sosial. Itu semua untuk bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik lagi. Mereka butuh tampil. Kamu tidak perlu. Kamu bisa membeli apapun yang kamu mau tanpa repot bekerja, tanpa repot mencari status sosial. Kamu juga tidak perlu pura-pura berteman dengan Paris Hilton. Aku bisa membayarnya untuk membersihkan sepatumu hari ini juga."

"Kamu pernah?"

"Apa?"

"Bayar Paris Hilton?"

Dia menunduk dan tersenyum, lalu berbalik ke pintu.

"Drey?"

Dia berpaling padaku sebentar. "Sebelum bertemu Savanna, aku memang bajingan, Dik," katanya sebelum keluar dari kamarku dan menutup pintu pelan-pelan.

Aku tertawa sambil merebahkan tubuh di kasur. Aku berpikir tentang Heath. Dia punya uang juga walau nggak seujung kukunya Drey. Kenapa dia nggak cari cewek? Kenapa dia bilang ke Savanna kalau terakhir kali ciuman pas umur 24 tahun?

Kupandangi fotonya di layar HP-ku. "Apa kamu sebaik itu, Heath?"

Kalau biasanya dengan heath aku bisa makan siang pakai baju sesukanya, bersama Drey aku harus pakai baju yang sopan dan berkelas.  Dia mengobrak-abrik koperku dan memintaku memakai baju yang dia suka, lalu berkata, "Kamu butuh gaun untuk pesta nanti malam."

"Ini kenapa?" kuangkat gaun warna putih yang sudah lama kupunya, tapi nggak pernah sempat kupakai. 

Drey mencibir sambil bilang, "Kamu akan mendatangi pesta sungguhan, bukan acara ulang tahun temanmu."

Sepanjang acara makan siang, orang-orang yang mengenal Drey berusaha menjilat dengan memperkenalkan diri dan mencoba bersalaman dengannya. Drey sih cuma memasang senyum ramah dan ucapan sopan. Tapi, aku tahu banget dia pasti pengin ngelempar mereka pakai granat. Bapak julid ini bilang ke aku, "Sudah kubilang kan kamu tidak perlu mencari popularitas dan status sosial. Berada di sampingku saja sudah membuatmu terkenal."

"Ini alasan kamu nggak mau ajak Savanna ke mana-mana?"

Dia menggeleng sambil tersenyum. "Savanna tidak menyukai keramaian. Aku kasihan melihatnya tersiksa setiap bertemu dengan banyak orang."

"Dia dari dulu begitu. Pas di rumah ada selamatan aja dia ngumpet di kamar."

Mata Drey melebar. Kalau sudah ngomongin Savanna, dia semangat banget. "Lalu?" Tuh, kan. Dia antusias banget.

"Kalau lebaran, kami semua keliling cari uang amplop. Savanna malah makan nastar di depan TV. Ayah pernah sampai harus menyeret dia ke luar dan ngunciin dia dari dalam. Maunya sih biar dia mau bergaul. Ternyata, dia malah nangis di depan pintu. Untung waktu itu ada Arya yang ngajak dia ... astaga, mulutku! Sori, Drey. Aku ... keceplosan. Soalnya, memang gitu ceritanya."

Drey nggak mengubah ekspresinya. "Apa yang dilakukannya?"

"Siapa? Arya?"

"Ya."

"Dia mengajak Savanna ke mini market besar terus jajanin Savanna es krim. Terus, dia ajak Savanna jalan buat cari duit amplop. Pas pulang, Savanna sudah bareng sama Tundra. Cuma itu yang kutahu. Itu pas mereka masih SD, sih."

Ekspresi Drey nggak berubah. Dia masih tetap menatapku sambil senyum-senyum. 

"Kenapa kamu nggak kuliti Arya hidup-hidup? Kukira kamu bakal nyakiti dia." Akhirnya pertanyaan yang sudah kupendam bertahun-tahun ini keluar juga.

Dia menghela napas panjang, lalu bersandari di kursinya. "Aku yang salah," katanya dengan suara tegas. "Aku seharusnya percaya pada Savanna. Aku seharusnya ada di sampingnya dulu. Aku seharusnya bertanya padanya sebelum mengambil keputusan." Dia menggeleng. "Aku memang keparat."

"Ini alasan kamu sekarang nyembah dia banget? Kamu sudah bikin dia bertahun-tahun menderita."

"Pertama, aku memang sangat mencintainya dan kedua ... ya, aku merasa bersalah melakukan ketololan ini kepadanya. Sampai sekarang setiap melihatnya tidur, aku tidak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri." Dia memainkan lap tangan. "Aku tidak pernah bertemu gadis setulus dia. Seharusnya aku tahu sejak awal."

"Aku juga tulus, loh."

Wajah Drey seketika berubah. Dia menatapku dengan sinis.

"Aku juga mencintai cowokku dengan tulus. Asal kamu tahu, Drey, aku juga bakal terus mencintai dia sekalipun kamu bawa aku ke akherat."

Drey tertawa. "Cowokmu yang mana? Dave Malik? Anak lebah, dia cuma memanfaatkanmu untuk menghancurkanku."

"Jiahhh! GR banget! Eh, Bapak. Kalau dia memang pengin menghancurkan kamu, kenapa dia nggak neror Savanna? Kenapa dia mundur? Drey, aku sudah ngobrol sama dia dan dia sendiri sedang berusaha untuk move on dari Savanna. Dia sendiri tersiksa."

"Lalu kenapa dia mendekatimu?"

"Aku yang ajak dia ngobrol pertama kali di Instagram. Terus, kami ketemuan nggak sengaja di London. Gitu doang. Nggak lebih." Aku menunduk. "Aku masih mengharapkan Heath."

"Heath tidak mengatakan masih berhubungan denganmu."

Eh?

Drey mengerutkan alis. "Dia memintaku mengizinkanmu dengan Dave Malik."

Heath? 

"Itu alasan kalian ribut semalam?"

Drey terus menatapku sambil menopang dagunya dengan tangan. Kalau sudah pasang pose begini, itu artinya dia sedang mencoba membaca apa yang kupikirkan. Untung aku sudah baca buku hariannya.

"Ada apa sebenarnya?" tanya Drey pelan.

"Drey, lagian kenapa sih kok kamu nggak ngebolehin aku sama Heath? Dia kan orang baik. Savanna sama Archie aja rela kamu percayakan ke dia. Kenapa aku nggak?" 

Kuulangi lagi pertanyaan di pesawat. Aku bakal terus mengulangi sampai mendapat jawaban memuaskan darinya.

"Aku sudah pernah menjawabnya, Glacie." Dia mengusap wajah dengan tangan. "Aku tahu ini berat. Aku juga tidak ingin melakukan ini. Tapi, ini demi kalian. Aku melakukan ini karena menyayangi kalian."

"Ada apa sih, Drey? Masa kamu nggak mau bilang?"

Dia mencondongkan tubuhnya. "Kalau dia tidak mengatakannya padamu, berarti dia belum siap, Glacie. Aku memang bajingan, tapi aku tidak akan mengkhianati temanku," katanya dengan wajah sedih.

Baru kali ini aku melihat Drey begitu bersimpati atas hubunganku dengan Heath. Apa karena masalah heath memang parah?

Terus, kenapa Heath malah nyodorin aku sama Dave? Cuma buat pura-pura ke Drey?

Astaga, Heath! Aku harus gimana biar bisa ngerti kamu?

Begitu selesai makan siang, ada orang yang mengantarkan kotak baju untukku. Drey menyuruhku segera dandan. Jadi, aku cepat-cepat mandi dan siap-siap sementara dia lagi lagi video call sama Savanna.

Jadi cowok itu enak banget, ya. Mereka nggak perlu repot dandan dan mikirin warna baju sama make up. Asal pakai jas sama kemeja aja sudah bisa langsung pergi ke mana pun. 

Gaun yang dipesankan Drey ini gaun putih sederhana yang kelihatan anggun. Memang sih sekalipun warnanya sama-sama putih dengan gaun yang kubawa, tapi bentuknya berbeda. gaun lengan panjang dengan leher rendah ini memang anggun banget. Aku jadi kelihatan sopan, tapi tetap seksi. Bagian bawahnya yang nggak terlalu panjang bikin kakiku terlihat lebih bagus.

Drey juga memilihkan sepatu warna nude yang manis banget. Nggak nyangka bapak julid itu punya selera bagus. Memang selama ini yang memilihkan baju untuk Savanna tuh dia.

Waktu aku selesai dandan, Savanna meneleponku. Tumben banget. Suaminya ke mana?

"Kok nggak telepon Drey?" tanyaku menggantikan kata 'halo'.

"Glace, tolong kasih tahu Drey dong buat dandan. Kalau nggak ada yang cerewetin dia nggak bakalan mau rapi."

Aku mendengus. "Ana, sori ya. Daripada cerewetin lakimu, mending aku nguras sungai Nil. Lakimu itu mulutnya mematikan. Bakal aku yang diomelin sama dia."

Savanna tertawa. 

"Emangnya kenapa bukan kamu aja yang telepon dia?"

"Sudah tadi. Tapi yah gitu deh, jawabannya cuma iya iya aja. Rambutnya itu loh."

"Ya mau gimana lagi. Entar kalau dia lebih ganteng lagi, cewek New York pada ngantri jadi pelakor."

Dia terbahak-bahak. "Boleh kalau mereka mau coba."

Dari kalimat sederhana yang diucapkan sambil ngakak ini sebenarnya tersimpan ancaman. Kalau Drey dengar, mungkin dia bakal merangkak balik ke London untuk ciumin kaki Savanna. Kalau kalian nggak tahu cerita mereka, mungkin bakal menganggap Savanna kepedean. Percaya, deh. Mereka berdua memang sama-sama monster yang nggak bakal bisa ditikung siapapun.

Kecuali kalau Drey yang mulai nakal.

"Uhm, Heath mana?" tanyaku pelan, sambil menengok ke kanan kiri, takutnya si Julid itu tiba-tiba masuk ke kamarku.

"Dia ajak Archie main salju di luar. Mereka kenalan sama anak tetangga. Heath buatkan mereka kereta dari gerobak kayu yang dulunya dipakai buat angkat kayu bakar sama pekerja di sini. Anak-anak seneng banget. Tapi, aku nggak tahan di luar. Jadi, aku di sini aja. Entar aja aku keluar."

"Mau ke mana memangnya?"

"Tadi kan aku sudah minta izin Drey mau nyari kutang. Aku kehabisan, nih."

"Napa kutangmu? Dikunyah Drey semua?"

Dia tertawa. "Anak kecil. Nggak usah banyak tanya. Kamu ... eh, Heath? Aku lagi ngobrol sama Glacie. Kamu mau ngobrol juga?"

Jantungku seperti berhenti. Sejak terakhir ketemu di London, aku nggak ngomong sama Heath sama sekali.

"Halo?" suara Archie. Nggak tahu kenapa aku jadi lega banget dengan suara bocah ini.

"Hai, Archie! Habis ngapain?"

"Tante Glaci, tolong jaga Daddy. Tell him I miss so much."

"Oke. Nanti kusampaikan. Kamu sedih nggak ada Daddy?"

"Nope. Aku main sama Heath."

"Bagus. Jaga Heath, ya."

"Heath yang jaga aku." Nggak tahu kenapa dia jadi cekikikan.

"Oke. Heath yang jaga kamu. Mana dia?"

"Tante Glaci, I miss you."

"Tante juga kangen Archie."

"Heath juga miss you. Iya kan, Heath?"

Dia di situ? Dia di dekat Archie? Dia ikut mendengarkan? Dia tahu dong tadi aku tanya-tanya tentang dia ke Archie?

"Aku mau makan kue, Tante Glaci. Jangan telepon lagi. I'm busy."

What?!

Ini anak sudah mulai keluar bibit julidnya?

Heath terdengar tertawa di belakang Archie. Nggak lama terdengar suaranya di telepon, "Take care, Bee."

Hah?!

Cuma itu doang? Dia nggak tanya apa-apa tentang aku. Dia nggak ngajak aku ngomong. Dia ...

Apa semudah itu?

Pintu kamarku diketuk.

"Apa?" tanyaku jutek pada Drey yang sudah berdiri rapi di depan pintu.

"Menangis? Apa-apaan?"

Kusentuh pipiku. Benar. Aku menangis. Kok bisa? Cuma karena dengar suara Heath tadi?

"Habis nonton," jawabku asal.

Drey melongok ke dalam kamarku. "Nonton pemandangan di jendela, lalu menangis?" Dia mengangkat alis curiga.

"Urusanmu apa? Aku mau nonton jendela, mau nonton isi septic tank pedulimu apa? Tugasmu di sini cuma mau nyarikan aku cowok yang sudi nikahi aku, kan? Ya udah. Ayo berangkat biar kamu puas."

Dia tersenyum miring, lalu mendekatkan wajahnya padaku. "Apapun yang kamu sembunyikan, rencanamu tidak akan bisa mengalahkan rencanaku," katanya dengan suara paling dingin yang pernah kudengar.

Pestanya diadakan di Ritz-Carlton hotel yang tadi kubilang tetanggaan sama The Plaza. Kata Drey, dia nggak memilihkan tempat tinggal di hotel yang sama dengan tempat pesta biar punya alasan untuk pergi saat aku mulai bosan.

Kayanya dia nggak jahat-jahat amat, kok. Dia memikirkan aku terus. Rencana yang dibuatnyabjuga rapi. Dia memikirkan kemungkinan aku nggak suka sama Aaron.

"Kita bisa mencari another bachelor di kota ini untukmu, Glace. Kita punya banyak waktu," katanya saat kami berjalan dari lift ke ballroom.

"Drey, aku mau nanya, nih."

Dia mengangkat alis, menunggu pertanyaanku.

"Kalau disuruh melupakan Savanna, kamu bisa?"

Dia menunduk dan tersenyum. "Savanna dan aku berbeda, Anak lebah."

"Bedanya?"

"Kami memang diciptakan untuk bersama. Kami berbeda dengan manusia kebanyakan."

"Beasts," desisku kesal.

Dia tertawa. "Pintar." Dia menepuk kepalaku beberapa kali. "Sekarang, perbaiki wajahmu. Kita akan bertemu dengan calon suamimu."

"Keparat," desisku lagi yang kali ini nggak digubrisnya. Dia memegang bahuku dan membawaku maju ke tengah ruangan.

"Drey!" panggil seorang cowok. Suara kerasnya membuat kami berdua dan beberapa orang di sekitar kami berpaling.

Cowok berambut cokelat terang tersenyum lebar. Dia ramping dan tingginya kurang lebih sama dengan Drey (Waktu berdiri di depan Drey aku baru tahu kalau dia agak lebih pendek sedikit dari Drey. Mungkin tinggi mereka selisih lima senti.) Wajahnya keras, mirip petinju atau orang yang biasa melakukan olahraga bela diri gitu. Dari setelannya kelihatan jelas kalau dia orang kaya dan modis seperti Drey.

Mata birunya yang kecil terlihat berkilat-kilat karena cahaya lampu atau memang terlalu senang bertemu dengan Drey. Begitu dekat, dia langsung menyalami dan memeluk Drey seperti sahabat lama.

Nah, percakapan dalam bahasa Inggris ini kuterjemahkan buat kalian, ya.

(Ah, merepotkan banget. Lain kali kalau kalian terlahir lagi, jangan tidur waktu pelajaran bahasa Inggris, deh.)

"Geez, kukira ini cuma mimpi," kata cowok itu sambil menepuk punggung Drey. "Syailendra bersaudara seperti menghilang begitu saja."

Drey cuma tertawa. (Berani taruhan? Mana mungkin dia bilang kalau kakak-kakaknya sudah jadi mayat di tangannya.)

"Dan ..." Cowok itu menatapku. 

"Adik iparku," kata Drey sambil memegang bahuku. "Glacie, ini Aaron Atkins. Aaron, ini Glacie."

Dia menyalamiku. "Senang berkenalan denganmu," katanya sambil tersenyum.

Kelihatannya dia tipe cowok yang ekspresif. Kalau lagi tersenyum, matanya juga ikut berkilat-kilat senang gitu. Lesung pipinya juga seperti memperlihatkan kalau dia ramah. Senyumnya  bukan cuma senyum simpul sok ganteng gitu. Dia tersenyum lebar seolah aku ini teman lamanya.

"Sebentar!" Dia menatap Drey lagi. "Kamu sudah menikah lagi atau ..."

"Aku sudah menikah dengan gadisku dan memiliki anak laki-laki yang luar baisa."

"Fuck!" Dia tertawa sambil menutup mulutnya dengan kepalan tangan. "Drey Syailendra akhirnya memiliki keluarga? Sialan! Kita harus cepat-cepat mengungsi. Besok pasti kiamat."

Dia tergelak bersama Drey. Lalu, kelihatannya dia menyadari kalau bahasanya kasar. Dia menatapku sambil berkata, "Maafkan bahasaku, Miss ..."

"Panggil saja Glacie. Aku tidak punya nama belakang," kataku berusaha terdengar ramah.

Dia mengangkat alis. 

"Aku dari Indonesia. Aku cuma diberi nama satu kata saja."

Dia tersenyum lagi. "Bagus. Singkat dan tidak bertele-tele. Kadang nama belakang memberimu beban yang tidak menyenangkan." Dia menepuk lengan Drey yang juga tersenyum. 

Sepertinya dia sudah tahu gimana keluarga Drey. Apa mereka dulu sahabatan?

Dia berpaling pada Drey lagi. "Lalu, mana istrimu?"

"Di London." Drey menarik napas berat. "Sebenarnya kami sednag mengunjungi teman di London. Tapi, Glacie terlihat bosan. Jadi, aku mengantarnya ke New York. Siapa tahu dia ingin melihat Valentine di New York dan berbelanja atau apa."

Mata Aaron melebar. "Dan dia sendirian di sini?"

Drey tersenyum. "Dia sudah cukup besar untuk punya baby sitter. Iya kan, Glacie?"

"I'm fine," jawabku singkat sambil memalingkan wajah dari mereka.

"Kamu akan kembali ke London?" tanya Aaron. "Hey, kenapa tanganmu kosong? Aku tidak mungkin menyajikan anggur murahan, Man. Jangan membuatku tersinggung," katanya sambil mengangkat gelas di tangannya sebelum Drey menjawab pertanyaan yang pertama.

"No, thank's," jawab Drey singkat.

Jawaban Drey ini membuat Aaron tertawa. "Kamu tidak minum lagi?" Dia menutup mulut dengan kepalan tangan lagi. Terlihat jelas kalau dia sedang tertawa mengejek Drey.

"Sial! Maaf, Miss Glacie," katanya padaku, lalu berbalik lagi pada Drey, "Malaikat seperti apa yang sudah mengubah bajingan sepertimu?"

Drey juga melirik padaku. "Aku tidak punya kata-kata yang cocok untuk mendeskripsikannya," jawab Drey sambil mengangkat bahu.

Bukannya nggak punya. Dia nggak bakal mau menceritakan tentang Savanna ke cowok lain, apalagi sampai mengenalkan Savanna ke teman-temannya. Mana mau dia ambil risiko Savanna ditikung orang.

Ah, ya. Kecuali Heath yang tahu segalanya tentang Drey.

Aaron melihat ke belakang kami. "Sebentar," katanya sambil menepuk bahu Drey. "Aku tidak bermaksud tidak sopan, tapi aku harus meninggalkan kalian. Fuck, see that guy?" Dia berbisik pada Drey dengan wajah yang berubah jadi kesal. Bukannya ikut kesal, Drey malah tertawa sambil melihat ke arah yang dituju Aaron.

"Aku di belakangmu, Man," kata Drey sambil menepuk punggung Aaron saat cowok itu meninggalkan kami.

Drey berdiri di belakangku dan berbisik. "Tampan, sopan, 28 tahun, teman yang baik, tidak punya banyak masalah, dan dia tahu benar cara bergaul."

"Predator."

Drey tertawa. "Tidak. Dia lebih menyukai hubungan intens. Aku menyukainya."

"Kenapa bukan kamu aja yang kawin sama dia?"

"Aku sudah punya Savanna. Kenapa aku harus mencari yang lain?"

Aaron berbalik dan menatap kami. Dia tersenyum, lalu berjalan lagi ke arah kami.

"Maaf, aku belum berpamitan pada Glacie." Dia mengulurkan tangan. "Semoga kamu betah di New York."

"Thank's," kataku dengan wajah yang terasa hangat. Entah senyumannya atau caranya menyalamiku yang membuat wajahku terasa hangat begini.

Setelah dia pergi, Drey menunduk untuk berbisik ke telingaku. "You're welcome."

***

Foyer itu apa?

Foyer itu bagian rumah yang menghubungkan antara pintu utama dengan bagian ruang lainnya atau tangga. Ruang ini biasanya dipakai untuk lemari mantel tamu, rak sandal rumah kalau di Jepang, dan apa aja deh. Suka-sukanya yang punya rumah. Hahahaha... tapi, bagi sebagian besar orang (jelas orang kelebihan harta benda yang punya foyer.) Foyer dimaksimalkan untuk tempat pajangan saja. Ini foyer rumah sederhana Drey di London:

Bagaimana sih pistolnya Glacie yang dikasih Heath?

Nih:

Compact banget, ya.

Sekalipun kelihatannya lucu, pistol seharga 200 dolar ini hanya merupakan benda koleksi, bukan untuk keperluan bela diri sebenarnya. Kekuatannya sama dengan revolver. Walau nggak sebagus makarov punya Savanna yang dipakai Victoria bunuh diri itu sih.

Apa sih yang nggak dilakukan Heath untuk melindungi cewek yang disayanginya?

Apa yang terjadi setelah mereka ketemu sama Aaron Atkins? Apa Aaron berhasil mengambil hati Glacie?

Kalo saya sih mending sama Aaron ajalah. Toh Heath mbulet banget. Sebel saya lama-lama.

Tunggu hari Selasa, ya. ♡♡♡

Oh yaaa...
Mau kabarin lagi nih...

Setelah menjadi bestseller books di Gramedia.com pada 3 minggu lauchingnya, Rooftop Buddies berhasil menjadi bestseller books juga di Gramedia digital. Huwaaaaa...

HP-nya Savanna ada berapa sampai borong Rooftop Buddies versi digital juga? Wkwkwkwkwk...

Buat kalian yang tinggal di luar Indonesia dan ingin membaca Rooftop Buddies, bisa download aplikasi gramedia digital dari play store dan membeli Rooftop Buddies dengan harga yang lebih murah dari buku fisiknya.

Terima kasih banyak untuk kalian yang sudah membeli dan membaca Rooftop Buddies. Semoga kalian suka dan termotivasi dengan cerita ini. Saya sayang banget sama kalian ♡♡♡♡ semoga saya juga bisa terus menulis untuk kalian.

Love you, Little bees.

Honey Deee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro