Magic

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku masih ingat apa yang kurasakan saat "kembali". 

Kepalaku seperti disengat listrik. Tiba-tiba, seperti ada api yang disemburkan ke dadaku. Aku berjingkat dan berusaha menjerit. Sesuatu menghalangi tenggorokanku. Mual sekali rasanya. Aku ingin melompat. Aku ingin berlari. Aku ingin melakukan apa saja untuk pergi dari siksaan ini.

Seseorang memegangiku. Siapa? laki-laki. Wajahnya mirip sekali dengan Rosie dalam mimpiku tadi. 

Mimpi? Apa itu memang mimpi? Apa orang mati bisa bermimpi?

Lalu, kegelapan menelanku lagi. Tubuhku terasa ringan. Aku tidak mengingat apa-apa. Aku tidak mengenal siapa-siapa. Aku berada di tempat yang tidak ada waktu dan kenangan.

Sendirian. Seperti biasa.

Aku terbangun saat seseorang menyentuh tanganku. Bukan. Yang membangunkanku bukan sentuhan itu. Suara tangisan itu yang membangunkanku. Seorang gadis menangis dengan wajah tertelungkup di sebelahku. 

Siapa?

Aku berusaha membuka mata. Berat. Perih juga.

Pelan, Glacie! Pelan! Coba lihat siapa yang menangis.

Fifi? Dia menangis di sebelahku?

Aku pengin manggil dia, tapi yang keluar dari mulutku cuma erangan. Ada yang mengganjal di mulutku. Nggak enak banget. Apa sih ini?

Dia dengar. Dia mengangkat kepalanya. Dia panik? 

Perawat berbaju biru muda menyentuh kepalaku. Dia berdiri di sebelahku melakukan sesuatu yang nggak bisa kulihat. Aku nggak bisa menggerakkan leherku soalnya. Yang bisa kulakukan cuma lirik-lirik aja. Itu juga sakit banget kalau terlalu melirik ke samping.

"Jangan banyak bergerak, Sayang. Aku tahu rasanya tidak enak. Tapi jangan bergerak. Rileks saja. Semua rasa sakit ini akan berlalu," kata perempuan tua itu dalam bahasa Inggris yang berlogat aneh. Mungkin Eropa timur.

Setelah membelai kepalaku, dia berkata lagi, "Kamu anak yang kuat, Sayang. Aku tahu, kamu pasti bisa bertahan."

Aku? Kuat?

Aku memang kuat. Selama ini aku menghadapi semua sendirian. Aku bertahan dengan kesendirian. Aku lebih kuat daripada yang mereka pikirkan. Aku harus bertahan.

"Hey," kata Fifi setelah perawat itu pergi. "Gimana rasanya?"

Aku pengin jawab panjang lebar. Aku pengin ceritain semua. Tapi, mulutku nggak bisa ngomong. Rasanya, aku nggak punya tenaga untuk ngomong. Aku capek banget.

"Kakakmu nggak bisa ke sini. Penerbangan mereka ditunda karena ada badai di atlantik. Perubahan cuacanya ekstrim banget. Kata kakakmu, mungkin mereka bakal sampai di sini besok atau lusa." Fifi menggenggam tanganku. "Istirahat aja, Glace. Nanti kalau sudah enakan, kamu bisa minta apa saja."

Kupejamkan mata, mengikuti nasihat Fifi. Seluruh tubuhku memang sakit semua. Tulang-tulangku seperti remuk. Suntikan yang diberikan perawat tadi nggak mengurangi rasa sakitnya sama sekali. Kalau boleh, aku pengin tidur lebih lama lagi. Aku pengin kembali ke kegelapan tadi. Di sana nggak ada rasa sakit seperti ini. Di sana tubuhku rasanya ringan sekali.

Nggak lama kemudian, aku tertidur lagi. 

Perawat kulit hitam yang bibirnya dipoles lipstik cokelat itu bilang sudah tiga hari aku dalam keadaan koma. Dia juga bilang kalau mereka hampir menyerah. Tulang tengkorakku retak, leherku cidera berat, tiga tulang rusukku patah, daging di pahaku sobek karena benda yang menghabiskan waktu dua jam untuk dilepaskan dari kakiku, dan aku kehabisan banyak darah. Kondisiku lebih parah dari korban kecelakaan.

Waktu awal-awal bangun, katanya aku berada dalam fase histeria yang mengerikan. Aku menjerit dan menangis sampai mereka harus ngasih aku obat penenang. Histeria ini berlangsung selama dua hari. Efek obat penenang ini bikin aku muntah pas bangun. Ini membuat leherku makin terasa sakit.

Semua cerita ini cuma kudapat dari kesaksian perawat. Aku nggak ingat apa-apa sama sekali. Aku merasa masih tidur pulas. Menurut perawat bisa jadi aku nggak ingat fase itu karena trauma berat di kepalaku. Entahlah. Aku nggak ngerti.

Katanya, paling parah pas Dave datang, aku langsung menjerit dan kejang.

"Kamu menendang semuanya. Tapi, anak lelaki itu terus memanggil namamu. Dia berusaha memegang tanganmu walau kamu muntah seperti selang pemadam kebakaran. Kami takut dia meremukkan rusukmu lagi dengan tubuh besarnya," kata perawat setengah baya yang menyuntikkan obat ke infusku. "Dia memohon pada kami untuk tidak menyuntikkan obat penenang. Dia percaya kamu bisa tenang dengan sendiri. Tapi, memberimu obat penenang itu lebih baik daripada kamu mengalami cidera otak yang lebih parah."

"Kenapa dia tidak mengizinkan kalian memberiku obat penenang?"

"Karena dia tahu efeknya seburuk yang kamu rasakan saat ini." Perawat itu tersenyum dengan dua tangan masuk ke dalam kantong seragamnya. "Aku menepuk bahunya saat dia menangis. Kau tahu, wajah merah seperti bayi. Dia memelukmu sambil mengatakan sesuatu dalam bahasa asing."

"Bahasa Indonesia. Kami orang Indonesia."

"Oh, sungguh?" Perawat itu tertawa. "Kukira dia kaukasia."

"Ibunya dari Milan. Dia mewarisi banyak dari ibunya."

Perawat itu tertawa. "Dia membuat perawat di sini jadi sinting. Kalau dia ada di sini, mereka berusaha mencari alasan untuk masuk ke ruanganmu. Dia ramah dan murah senyum."

Aku berusaha tersenyum. "Dari dulu dia memang baik sekali."

Aku berdeham beberapa kali. Suaraku masih aneh. Soalnya tenggorokanku masih sakit. Mungkin efek rajin jerit-jerit itu kali, ya?

"Pacarnya juga sangat manis. Dia membawakan kami puding buatan ibunya." Dia membelai kepalaku. "Kamu beruntung memiliki sahabat seperti mereka."

Mungkin.

Mungkin aku memang seberuntung itu.

Fifi, Dave, dan Adam jadi pengunjung setia yang menungguiku selama koma. Kata perawat itu, mereka yang bergantian mengunjungiku dan berbicara padaku. Keluargaku juga secara rutin menelepon ke mereka untuk menanyakan perkembanganku.

"Siapa? Kakakku?" tanyaku sambil tersenyum memikirkan Savanna yang panik. "Savanna?"

"Bukan. Laki-laki. Suaranya dingin. Uhm, Heath Grahamm. Ya, kurasa itu namanya. Kami beberapa kali mencatat namanya."

Heath? Kamu peduli? Kamu memikirkanku?

Atau, kamu cuma ingin menertawakanku? Ini sudah seminggu lebih aku di rumah sakit. Kamu masih belum datang.

"Aku harus pergi. Mister Rockwood akan datang sebentar lagi. Dia pasti akan marah kalau aku belum memberikan laporan."

"Laporan apa?"

"Laporan kesehatanmu. Mister Grahamm dan Mister Rockwood adalah dua pengguna data harianmu. Aku harus melaporkan semua pada mereka. Bahkan hasil MRI terakhir kemarin."

Mereka peduli?

Baru setelah perawat itu sampai di pintu, Adam masuk ke kamarku.

Aku hampir menjerit melihat Adam yang masuk ke kamarku dengan wajah babak belur. Kurasa, hidungnya juga jadi bengkok. Dia juga memakai korset dan tongkat untuk membantunya berjalan. Waktu kutanya, dia cuma tersenyum sambil mengatakan, "Aku kalah cepat."

"Kukira kamu jagoan," kataku menggodanya.

Dia tertawa. "Aku tidak menyangka dia mengayunkan tongkat secepat itu." Dia mengangkat bahu. "Kukira, kami masih bisa berbicara sebagai sahabat."

Aku memejamkan mata menahan rasa sakit di kepalaku yang tiba-tiba datang saat mengingat malam mengerikan itu.

"Terima kasih, Adam," kataku dengan suara serak. 

Adam menunduk. "Aku minta maaf kepadamu. Seharusnya aku memaksamu pulang."

Aku sadar kalau air mataku keluar. Pandanganku kabur. Seberapa sering pun kukerjapkan mata, air mata itu nggak mau berhenti.

"I'm scared," bisikku dengan suara gemetar. 

Adam menggenggam tanganku dan menunduk. "Hey, kamu aman sekarang. Kamu bersama teman-temanmu yang baik. Kakakmu dan Drey akan datang sebentar lagi. Tidak ada yang bisa menyakitimu di sini. Ok?"

Aku memejamkan mata. "Apa Drey sengaja menyuruhku dengan dia?"

Dia menggeleng. "Cuma aku yang tahu siapa dia. Ini yang membuatku menyesal tidak bisa mengatakan kepadamu. Aku bodoh."

"Cuma kamu?"

Dia menarik napas dalam-dalam. "Dulu, dia membunuh dua orang gadis sekaligus saat berhubungan seksual. Dia mengatakan menyesal dan tidak akan mengulang lagi kalau aku membantunya. Kupikir, dia menepati janjinya. Malam sebelum kejadian itu, aku baru tahu kalau Jennifer Chen, pacarnya tidak pernah sampai ke rumah orangtuanya di Hongkong. Gadis itu menghilang. Kepada orangtua Jennifer, Aaron berkata gadis itu meninggalkannya. Kepada semua orang dia berkata gadis malang itu kembali ke orangtuanya."

"Iya. Dia juga cerita kepadaku kalau pacarnya yang berasal dari Cina pergi karena dijodohkan."

"Jennifer gadis yang sangat baik. Dia mengelola yayasan sosial untuk anak berkebutuhan khusus."

"Kamu mengenalnya?"

Dia menarik bibir ke bawah, "Tidak ada yang tidak mengenal Jen. Dia sering melakukan gerakan amal. RTN punya acara khusus untuk meliput kegiatannya."

"Aku beruntung," bisikku pelan.

"Sangat." Adam tersenyum sambil mengulurkan tisu kepadaku. "Maaf, izinkan aku yang melakukannya. Wajahmu masih agak bengkak."

Kubiarkan dia menyeka air mata. Sebenarnya sih aku bertanya juga seperti apa wajahku sekarang  apa seperti wajah Adam? Perawat tidak mengizinkanku melihat cermin. Katanya nanti saja kalau bengkaknya sudah hilang.

"Lalu, Sienna? Apa Drey tahu kalau Aaron punya hubungan dengan Sienna?"

Adam berdeham beberapa kali. "Mereka bertemu di Paris saat ulang tahun Drey. Kukira, Drey tidak akan menjalin hubungan dengan Sienna. Yah, kau tahu. Drey tidak pernah serius pada seorang gadis. Kukira memang Sienna akan bersama Aaron. Aku terkejut akhirnya Drey menikahi Sienna."

Ulang tahun di Paris? Pas dia sudah ketemu Savanna dan berusaha melupakan Savanna itu?

Ah, satu drama memancing drama lainnya. Hidup kita memang nggak pernah sendirian. Hal kecil yang kita lakukan bisa berimbas pada kehidupan orang di sekitar kita.

Aku menelan ludah dengan susah payah. "Waktu kamu mengira aku adik Sienna?"

"Justru aku mengkhawatirkanmu saat tahu kamu bukan adik Sienna. Seharusnya aku memberitahukan padamu sejak awal." Dia tertawa pelan. "Sewaktu melihatmu dengan Dave Malik di lobi Rockwood Building, kukira dia pacarmu. Aku jadi agak tenang. Ternyata bukan."

"Drey sudah menghubungimu?"

Adam tertawa. "Kamu bisa menunggu sampai matahari terbelah kalau ingin melihat dia berbicara denganku."

"Aku akan membuatnya bersujud di kakimu."

Dia tertawa lagi. "Miss Glacie, bagiku kami masih dalam persaudaraan yang sama. Aku akan menjagamu seperti adikku sendiri, tidak peduli dia mengucapkan terima kasih atau tidak."

"Aku ... menyalahkannya," kataku pelan.

Adam mengangkat alis, menunggu jawabanku.

"Dia memaksaku menjalin hubungan dengan Aaron."

Nggak tahu kenapa, setiap menyebutkan nama itu, aku pengin marah. Panas banget rasanya dadaku. Apa ini yang namanya dendam?

Adam mengeratkan genggamannya. "Karena memang di mata Drey, Aaron Atkins sebaik itu, Miss Glacie. Seharusnya aku yang disalahkan karena hanya aku yang tahu keburukannya."

Sebenarnya, aku ingin mencari orang yang bisa disalahkan atas hal ini. Aku ingin marah pada seseorang. Aku ingin mengamuk. Aku ingin menghancurkan sesuatu. Tapi, buat siapa? Buat apa? Semua itu nggak bikin waktu berputar balik ke waktu itu lagi.

"Waktu aku tertidur kemarin, aku berharap tidak bangun. Aku berharap tidak ada di sini lagi. Aku berharap tidak merasakan sakit lagi. Ternyata, aku memilih ada di sini untuk merasakan semua rasa sakit ini lagi."

Mungkin, omonganku ini nggak ada gunanya buat Adam. Aku cuma pengin ada yang dengar ceritaku.

"Miss Glacie, pilihanmu tepat. Teman-temanmu mengharapkan kesembuhanmu. Mereka mau melakukan apa saja asal kamu selamat. Banyak yang mencintaimu di sini."

Banyak? Sungguh? Lalu, kenapa aku selalu sendirian? Kenapa aku selalu ditinggalkan? Kenapa aku selalu jadi benda yang dititipkan seolah mereka ingin melepas tanggung jawab atasku?

Ada suara pintu yang dibuka. Adam mengangkat kepala dan tersenyum. "Temanmu datang," katanya. "Bagaimana hari ini, Man?"

Aku berusaha menoleh pada orang yang berjabat tangan dengan Adam. Dave. Dia masih memakai jaket kulitnya. Rambutnya dibiarkan acak-acakan.

Dave tertawa. "Akhirnya, mereka menendangku."

"Damn!" desis Adam.

"Aku yang salah. Aku melarikan diri pada saat penting." Dia menoleh padaku, lalu bicara dengan bahasa Indonesia, "gimana?"

"Better. Where's Fifi?" tanyaku dalam bahasa Inggris biar Dave ngerti nggak enak kalau pakai bahasa Indonesia di depan Adam.

"Dia masih di tempat parkir. Dia menyuruhku masuk lebih dulu," jawab Dave dengan bahasa Inggris. "Butuh sesuatu?"

Aku pengin menggeleng, tapi nggak bisa. "Mesin waktu," jawabku yang sebenarnya cuma pengin bercanda aja, tapi kayanya mereka berdua menganggap serius. Ekspresi mereka berubah jadi sedih.

"Hey! Aku kan cuma bercanda," ralatku sambil berusaha tersenyum.

Dave menarik kursi yang ada di dekatnya agar bisa duduk di sebelahku. Dia menggenggam tanganku dengan lembut. "Aku senang kamu sudah bisa bercanda."

"Well, siapa yang menendangmu?"

Dia tertawa, lalu menunduk. "Aku dipecat."

"Hah? What?"

"Aku pergi sebelum urusan di DC selesai."

Untukku? Dia dipecat gara-gara aku?

"I'm sorry. Seharusnya aku tidak mengganggumu."

Dia menepuk tanganku. "Aku akan sangat kecewa kalau kamu tidak memberitahuku. Aku ... kami ... mengkhawatirkanmu."

"Dave ..."

"Fifi sampai di gedung lebih dulu daripada polisi," kata Adam sambil tersenyum. "Gadis itu mengamuk saat petugas keamanan menahannya di pintu masuk. Dia melempar laki-laki itu dengan sepatu waktu polisi membawanya turun. Man, kamu punya pacar yang luar biasa."

Dave tersenyum sambil menunduk.

"Di mana orang itu?"

Adam dan Dave berpandangan.

"Penjara," kata Adam pelan.

"Oh," jawabku yang entah untuk apa.

Drey pasti membuatnya membusuk di penjara. Aku yakin. Tapi, aku ingin melihatnya lebih menderita lagi. Aku ingin melihatnya hancur seperti dia menghancurkanku.

Kami bertiga memutuskan untuk diam. Dave memainkan ujung selimutku, sementara Adam cuma berdiri melihat ke lantai. Entah apa yang mereka pikirkan. Aku sendiri nggak mikir apa-apa. Aku terlalu capek untuk berpikir.

Pintu terbuka lagi. Fifi masuk dengan membawa buket bunga yang besar. Dave membantu membukakan pintu buat dia.

"G, sudah lama bangunnya? Nih tadi kami petik di jalan buat kamu. Perawatnya bilang kamu nggak boleh makan apapun selain bubur rumah sakit. Jadi, kami bawakan ini aja," kata Fifi dengan bahasa Indonesia yang ceria. "Hi, Adam! How are you? My father said your performance was so great last night."

Adam tersenyum. "Thank you."

"Kenapa bukan Dave yang bawa?" tanyaku waktu Fifi meletakkan buket bunga yang kelihatan berat itu

"Karena dia habis berantem sama orang," jawab Fifi sambil mengikik geli. "Dia uring-uringan sejak kamu di rumah sakit. Dia kurang tidur." Fifi menyisipkan jari ke rambut Dave.

"Well, karena di sini sudah ramai dengan anak muda, aku sebaiknya tahu diri." Dia tersenyum padaku. "Cepat sembuh, miss Glacie," katanya sambil mengecup keningku.

"Titip salam untuk istrimu," kataku pelan.

Dia tersenyum. "Istriku minta maaf tidak bisa menjengukmu. Dia dalam kondisi kehamilan yang sulit. Aku bingung. Dia muntah setiap melihat wajahku."

Fifi spontan tertawa. Aku juga pengin ketawa, tapi tenggorokanku kering banget.

"Ibuku juga dulu begitu waktu hamil adik bungsuku. Dia mengusir ayah dari rumah. Selama enam bulan, ayah harus rela tidur di ruang tamu atau tidak pulang sama sekali demi ibuku."

Adam tertawa. "Geez! Kukira aku satu-satunya laki-laki sial. Kirimkan salam hormatku untuk ayahmu," kata Adam sambil menyalami Fifi.

"Baiklah. Sampai ketemu lagi. Brother!" Dia menyalami Dave yang cuma diam dari tadi. "Please give me a call. Rockwood membutuhkan bantuan saat ini." Dia menyerahkan kartu nama warna hitam dengan logo Rockwood berwarna emas di satu sisinya.

Dave tersenyum dan menerima kartu itu. "Thank you, Man. Kamu tidak harus melakukannya."

"No. Aku tidak melakukannya untukmu. Aku melakukannya untuk bisnis," katanya sambil berkedip dengan mata yang nggak bengkak padaku. "See you again, Miss Glacie. Aku akan mencari penutup mata sementara agar terlihat lebih tampan."

Aku pengin tertawa, tapi dadaku sakit. Mereka memakaikan korset ketat agar rusukku bisa sembuh. Jadi, setiap aku ngomong atau ketawa, rasanya seperti kurang napas.

"Oh, wait!" kata Adam sambil berbalik lagi. "Mister Newman. Gary Newman bertanya apakah dia bisa menemuimu? Dia berkali-kali bertanya kepadaku."

"Apa tampangku sudah cukup baik untuk menerima tamu?"

Dia tertawa. "Aku tidak bisa berbohong kalau kamu memang berantakan. Tapi, semua pahlawan punya luka perang, kan?"

"Aku? Pahlawan?"

"Kamu sebut apa lagi orang yang berhasil menyelamatkan gadis kecil di dalam dirimu? Kamu pahlawan paling cantik yang pulang dari peperangan."

Mau nggak mau aku tersenyum mendengar pujian Adam.

"See you again, Adam!" kataku berusaha terdengar ceria.

"Kenapa tampangmu gitu, Dave?" tanyaku setelah Adam keluar dari ruangan.

Dave tuh mukanya asem banget. Bukannya jawab, dia malah menggeleng terus duduk lagi di kursinya.

Setelah menata bunga di gelas kaca besar, Fifi memaksa tidur di sebelahku. Dia nggak ngomong apa-apa selain memelukku.

"Need something?" Dave akhirnya ngomong juga.

"Minum aja. Aku haus terus."

"Karena kemarin kamu nggak minum sama sekali," jelasnya sambil menyodorkan botol air mineral dan pipet plastik ke mulutku.

Rasa air putih tuh seger banget. Kuminum lagi sampai perutku kembung. Tapi, Dave menahan pipetnya.

"Jangan terlalu banyak nanti kamu muntah lagi." Dia menutup lagi botol air mineral.

"Tapi ..."

"Udah nurut aja!" bisik Fifi di sebelahku. "Eh, bentar," kata Fifi sambil merogoh tasnya. Dia menyerahkan HP kepadaku.

"HP-mu diambil untuk barang bukti. Lagian sudah hancur. Terus, ada kurir yang mengirimkan HP ini ke sini katanya ini kiriman Drey buat kamu. Terus Heath grahamm telepon aku. Nggak tahu kok bisa dapat nomorku. Katanya kapan pun kamu bangun, aku harus hubungi dia. Hari ini aku sudah absen, kok. Kelihatannya juga dia sudah tahu. Katanya mereka mungkin akan sampai lebih dulu daripada kakakmu yang dari Indonesia."

Tundra bakalan datang? Ruangan ini pasti jadi rame banget.

"Makasih, ya."

"No prob, Babe. Yang penting kamu sudah sadar sekarang." Dia mencium pipiku. "Mama titip salam buat kamu. Mama pengin bawakan puding yang kemarin kamu suka itu. Tapi, nggak dibolehin dokter."

"Masakan mamamu jagoan." Aku lapar sih sebenarnya. Tapi, memang kata perawat tadi aku belum boleh makan sembarangan dulu.

Kami diam lagi. Fifi tertidur di sebelahku. Napasnya terasa lembut di bahuku. Agak sakit sih sebenarnya dijadikan sandaran begini. Leherku seperti tertarik. Tapi, hangat. Aku suka.

"Dave?" panggilku pelan. "Kamu beneran dipecat?"

Dave yang sedang memainkan kartu dari Adam nggak menoleh padaku. Apa dia sakit hati habis dipecat?

"Dave?" panggilku lagi.

Dia akhirnya menoleh.

"Dave, sekarang aku nggak bisa cakar mukamu. Tolong jawab aku."

Dia merapatkan bibir, lalu merapatkan kursinya ke tempat tidurku. "Iya," jawabnya pendek. "Udahlah! Nggak usah diomongin lagi. Aku memang mau istirahat dulu. Aku pengin mencoba sesuatu yang beda nanti."

"Jadi bintang film porno?"

"Sialan!"

"Pas, kok. Tampangmu itu dapat adegan sama om-om gitu."

Dia tertawa. Fifi menggeliat di sampingku, lalu lanjut ngorok pelan.

"Sudah berapa malam Fifi nggak tidur?" tanyaku pelan.

"Sejak kejadian itu."

Air mataku keluar pelan-pelan. "Kalian baik banget sama aku. Nggak nyangka ternyata aku bisa punya sahabat kaya kalian."

Dave tersenyum dan membelai tanganku. "That's what a friend for."

Iya, untuk inilah aku kembali. Untuk teman-teman yang baru kutemukan setelah sekian lama. Ternyata, aku harus menyebrangi samudra dulu untuk bisa bertemu dengan teman yang kusayangi.

"Thank you," ucapku sambil memejamkan mata.

Aku nggak pernah sesenang ini ada di rumah sakit. Fifi mewarnai dan menghiasi kukuku sampai mirip sama barisan Spongebob. Ibunya memberiku puding cokelat yang enak banget.

Dave nggak banyak gunanya, sih. Dia jadi pendiam. Mungkin karena habis dipecat itu. Tapi, mungkin juga ada banyak hal yang dipikirkannya. Aku pengin kasih dia kekuatan, tapi aku sendiri nggak ngerti apa-apa. Tawaran Adam aja ditolak. Dia bilang ingin menikmati fase nganggur dulu beberapa waktu. 

Gary datang pas sudah sore. Dave si Kepo biang gosip itu awalnya nekat duduk di dekatku waktu Gary datang. Fifi sampai mendelik-mendelik ngasih kode, dia nggak mau bergerak. Akhirnya, Fifi nyeret dia keluar.

Sebenarnya nggak apa-apa, sih. Aku nggak bakal ngomong macam-macam sama Gary, kan?

"I'm sorry about this," katanya dengan tampang sedih banget.

"Don't. Please. Aku baik-baik saja. Yah, paling tidak, aku akan baik-baik saja."

Dia menggeser kursi yang tadi diduduki Dave ke dekatku. Dia menggenggam tanganku yang nggak diinfus. "Seharusnya aku bisa melindungimu."

"I'm not a princess. I can save myself," kataku dengan nada sombong biar dia senyum. Ternyata, dia malah menghela napas berat.

"Aku terkejut saat mendengar breaking news malam itu. Aku sudah ada di rumah saat mendengarnya. Dengan cepat aku kembali ke Rockwood Tower. Tapi, mereka sudah membawamu ke rumah sakit."

"Pertolongan yang hebat. Aku takjub dengan sistem keamanan di negara ini."

"So, please stay here. With me. Aku berjanji akan melindungimu setiap saat."

Eh?

Gary? Apa dia suamiku? Rambutnya pirang. Apa dia yang akan jadi ayah dari anak-anakku?

"Terima kasih banyak, Gary. Aku menunggu keluargaku. Sekarang, aku tidak ingin memikirkan apa-apa."

Dia kelihatan kecewa. "I'm sorry."

"It's ok, Gary. Aku senang mengetahui ada yang benar-benar peduli kepadaku."

Gary baru mau ngomong lagi waktu Dave masuk bersama perawat. Fifi mengikuti di belakangnya dengan tampang kesal.

"Maaf, sudah waktunya minum obat," kata perawat itu sambil memeriksa kondisiku. Seperti biasa, menempelkan termometer ke ketiak, memeriksa tekanan darah, memeriksa mataku dengan senter untuk lihat masih ada dua-duanya apa nggak, dan menyuntikkan obat ke selang infus. Aku masih belum bisa menelan dengan baik. Jadi, obatnya disuntikkan dan dimasukkan ke tenggorokanku dengan pipet seperti anak bayi.

Setelah perawat itu pergi, seperti biasa aku mulai teler. Entah bagian obat mana yang bikin ngantuk banget setiap dikasih. Aku nggak bisa banyak ngomong. Kubiarkan Dave, Gary, dan Fifi ngobrol bertiga sementara aku tidur pulas.

Waktu tengah malam aku terjaga, kurasa aku melihat Rosie duduk di kakiku. Dia menyibakkan rambut pirangnya sambil tersenyum. Nggak lama, dia menekan jari di bibir sambil mendesis, "sssshhh ... Daddy's sleeping."

'Daddy'?

Aku berusaha melihat ke arah yang ditunjuknya. Gary, Dave, dan Fifi tertidur di sofa. Kelihatannya mereka ngobrol sampai larut malam. Gary masih pakai baju rapi kelihatannya. Di meja depan mereka ada bungkus makanan yang sudah kosong dan kartu uno punya Fifi.

Siapa yang dimaksud?

Gary?

Dave menggeliat bangun. Dia memindahkan Fifi yang tidur di pangkuannya ke sofa dan menyelimuti gadis itu dengan jaketnya.

Aku jadi  baper. Dulu Heath gitukan aku. Sekarang dia mungkin lagi gitukan cewek pirang yang waktu itu.

Dave melihat ke arahku, terus tersenyum waktu berjalan menghampiriku. "Mau apa?" Dia berbisik.

"Minum," jawabku dengan berbisik juga.

Dia mengambilkan botol air mineral baru dan meminumkan dengan pipet plastik lagi.

"Sudah," katanya. "Jangan kebanyakan. Nanti kantong pipismu penuh lagi."

"Iya. Agak sakit kalau pipis," kataku. Keteter itu memang sakit banget.

"Mau gimana lagi. Daripada kamu ngompol."

Aku tersenyum.

"Waktu tidur sama Heath, aku ngompol."

Aku jadi ingat malam itu. Heath cuma senyum doang melihat bagian bawah celananya basah.

"Dia tahu semua kejelekanku. Mungkin, itu yang bikin dia lari dari aku."

"Dia nggak lari."

Aku mengangkat bahu. "Setelah semua yag terjadi, mungkin dia bakal lari."

"Kenapa? Terjadi apa?"

"Masa kamu nggak lihat, Dave? Aku ini cewek korban perkosaan. Siapa yang mau sama aku?"

Dia tersenyum sambil menunjuk jidatku seenaknya. "Drama!"

Dia duduk di tempat tidurku. "Aaron nggak sempat ngapa-ngapain kamu. Tenang aja."

"Kata siapa?"

"Kata dokter. Fifi tanya sama dokternya."

Aku lega banget. Aku bersyukur banyak-banyak sambil memejamkan mata.

"Seriously?" kata Dave dengan nada mengejek.

"Apa?"

"Kamu lebih berat sama keperawananmu daripada semua yang terjadi sama kamu ini?"

"Emang kenapa?"

"Moron," katanya lagi. "Laki-laki yang mencintaimu nggak butuh itu untuk menikah denganmu."

"Oh, kamu ngomong gitu karena kamu sudah ngicip banyak cewek. Pergaulanmu udah rusak. Dengar, Dave. This is my plan, aku bakal balik ke Indonesia dan nikah sama orang Indonesia baik-baik. I need this virginity to marry him. You got that?"

"Terserah. Setahuku, kalau aku mau nikah, aku bakal nikah sama cewek yang kucintai nggak peduli dia perawan atau nggak."

Ah, ya. Dave emang gitu. Makanya dia rela nerima balik Savanna sekalipun sudah dihamili Drey.

"Kemarin aku tegang banget, Glace. Kamu berkali-kali kejang terus histeris gitu. Kukira kamu gegar otak atau yang lebih buruk lagi, Glace. Aku senang lihat kamu sehat. Pas baca hasil pemeriksaan, aku lega banget. Hebat kamu."

Aku nggak tahu kenapa pujian Dave terasa menggelitik. Aku cuma senyum dan mengangkat bahu, "Aku kan nggak punya otak. Gimana bisa gegar otak?"

Dia menahan tawa sampai mukanya merah.

"Sori. Aku lupa."

"Seneng banget kayanya punya teman nggak ada otaknya."

Dia menggigit kepalan tangannya biar nggak ngakak.

"Jadi, kamu bakal nikahi Fifi?"

Dia terlihat terkejut sama pertanyaanku.  Setelah menghela napas, dia menjawab, "pikiranku belum sampai situ."

"Kamu memang nggak punya pikiran, Dave. Eh, terus kapan kamu mau nikah? Umurmu sudah tua, loh."

Dia tertawa, lalu berbaring di tempat tidurku. Kepalanya di samping kakiku. Kukira dia beneran mau tidur. Kukira mau apa, ternyata dia cuma mau mencubit hidungku dengan jari kakinya. Karena nggak bisa bergerak, yang kulakukan cuma melotot aja ke dia.

"Balas itu dulu baru aku cerita. Eh, hidungmu pakai filler, ya?"

Kampret! Kampret! Kampret! Kalau aku nggak kaya gini aja sudah kulempar dia ke jendela. Monyong! Dave monyong!

Dave menyeret kursi biar bisa duduk di depan tempat tidurku. Dia bacakan aku cerita porno absurd yang kami dapat dari Facebook. Aku mengikik geli sampai rusukku terasa sakit banget.

"Jangan ngakak mulu! Nanti pipismu penuh lagi."

"Cerewet! Bukan kamu juga yang ganti."

Dia manyun. "Aku takut nanti bocor terus tumpah."

"Kan ada tombol darurat, Bapak pintar." Aku pengin banget ngelempar dia pakai apa gitu.

"Sudah mau tidur?" tanya Dave sambil menarik telunjukku.

"Iya. Tapi, kamu di situ aja."

"Kenapa?"

"Biar aku punya alasan untuk bangun lagi."

Dia tersenyum. "Kamu pasti bakal bangun lagi. Seharusnya, aku yang mati duluan."

"Kenapa? Karena kamu yang lebih tua?"

"Hu-um."

"Kematian nggak mandang usia, Dave."

"Kalau gitu, kamu bangun ya besok. Banyak yang nunggu kamu di sini." Dia membelai pipiku. "Masih sakit? Sudah nggak bengkak, kok."

Aku tersenyum. "Besok, aku boleh lihat cermin, ya?"

"Iya. Tidur dah." Dia menguap. "Aku juga ngantuk banget."

"Sini. Dekat-dekat," kataku sambil menepuk pelan tempat tidurku.

Dia memajukan kursinya terus menopang kepala dengan tangan di tempat tidurku. "Cukup?" Dia bertanya sambil mengangkat alis.

Kubelai pipinya sambil bercerita, "Dave, kemarin pas nggak sadar, aku merasa ada di tempat lain. Aku lihat kamu, Fifi, sama Adam. Kalian yang bikin aku pengin balik lagi. Terus, aku lihat anak kecil. Anak itu bilang kalau dia anakku. Aku penasaran, Dave. Siapa yang bakal jadi suamiku, ya?"

Dia tersenyum kecil. "Hubunganmu sama Heath apa nggak bisa diselamatkan?"

Aku menelan ludah. "Aku pasrah, Dave. Pasrah banget. Siapa pun dan kapan pun jodohku datang, aku terima kok." Aku berusaha tersenyum lagi, kubelai lagi pipinya. "Kamu yang harapannya masih besar. Nikah gih buruan. Ortu Fifi baik, kan? Aku pengin lihat kalian bahagia."

"Nanti," katanya pelan. "Kalau aku sudah yakin dengan perasaanku, aku bakal nikah, kok."

"Yakin? Sialan. Sudab bobok enak masih belum yakin juga?"

"Bobok enak itu pakai penis. Nikah bukan hanya penis, Sayang."

"Kampret," bisikku kesal sambil berusaha mencubit pipinya. Sayang, tanganku lemas. Jadi, ku cuma bisa menusuk pipinya dengan telunjuk.

Kurasa, aku tersenyum. Dia juga tersenyum.  Aku baru sadar kalau dia sudah punya senyum di sekitar mata. Kapan dia merasa tua dan memikirkan keluarga? Jangan kaya Drey, deh. Kasihan Fifi.

"Sudah, tidur! Ngoceh aja," desis Dave.

Dia mengambil tanganku yang mengusap pipinya. Ditepuk-tepuknya tanganku pelan seperti Savanna nepuk pantat Archie kalau anak itu mau tidur.

Waktu sudah tertidur, aku melihat anak itu lagi. Dia berlari di kegelapan. Dia menatapku dan berkata, "Mommy, itu Daddy!" sambil menunjuk ke arah kegelapan. Lalu, ia menghilang dan aku sendirian.

Waktu aku bangun, Fifi sudah duduk di sofa dengan rambut basah. Ruangan beraroma kopi segar. Gary menggenggam segelas kopi panas, lalu tersenyum kepadaku.

"Selamat pagi," katanya sambil berjalan mendekat ke tempat tidurku.

Aku pengin menggeliat, tapi nggak bisa. Tulang-tulangku kaya remuk semua. Kayanya bakal enak banget kalau dipijat terus dikretek-kretek gitu tulangku.

"Pagi, Gary," jawabku dengan suara serak.

"Bagaimana keadaanmu?" Dia mengeluarkan senyum yang bikin jantungku berdetak lebih keras. Apa benar dia cowok yang ditakdirkan untukku? Apa benar dia cowok yang bakal jadi ayah anak-anakku?

"Not bad," jawabku pelan.

Dave baru kembali dari pantry. Dia juga bawa gelas berasap yang kayanya berisi kopi juga. Dia menoleh kepadaku dengan alis terangkat sebelum ikut duduk di sofa sama Fifi. Kelihatannya mereka ngomongin aku. Fifi menoleh kepadaku terus senyum.

Gary menyisir rambut dengan jari. "Maaf, aku tidak bisa menemanimu lama di sini. Ayahku meminta agar aku ikut dengannya ke pertemuan di Philladelphia."

Aku berusaha tersenyum. "Tidak masalah, Gary. Sepertinya aku tidak akan ke mana-mana untuk waktu yang lama."

Dia menggenggam tanganku. "Kuharap kamu cepat sembuh."

"Kuharap juga begitu."

Aku harus bilang apa ke dia? Apa dia juga mendapat mimpi yang sama?

"Oh, ya. Aku menawarkan pekerjaan untuk temanmu. Tapi, dia tidak mau."

Dave? Aku cuma bisa tertawa. Jangan-jangan dia memang benar mau ngelamar jadi pemain bokep.

"Biarkan saja. Mungkin dia lelah dengan pekerjaan lamanya. Dia butuh waktu untuk move on."

Dia tersenyum. "Ini yang kusuka darimu. Kamu selalu mengatakan sesuatu yang membuatku berpikir kalau yang kupikirkan salah. Kamu membuatku tahu apa yang dipikirkan orang lain."

Aku jadi geli sendiri. Maksudnya apa, sih?

"Aku berteman dengannya, Gary. Aku mengenalnya."

Dia meremas lembut tanganku. "Aku juga ingin mengenalmu, Glacie. Aku ingin mengenalmu lebih banyak."

Aku bisa apa selain cuma senyum? Apa dia pikir setelah kejadian dengan Aaron aku bisa dengan instan jatuh ke dia?

"Aku pergi," katanya sambil mengecup keningku.

Lalu, tanpa mengucapkan apa-apa pada Fifi dan Dave, dia berjalan ke luar kamarku. Fifi dan Dave berpandangan.

"Kaget?" tanyaku pada mereka dengan suara agak keras.

"Nggak. Udah biasa," kata Fifi sambil tertawa. "Semalam tuh dia juga aneh banget. Dia adu mulut sama Dave soal rumus matematika. Dia ngoceh aja kaya menjelaskan teorema yang penting banget. Pas Dave senyum, dia langsung baper. Dia kira Dave ngetawain dia. Padahal cuma mau tebar pesona kan, Babe?"

Dave ngakak sampai kopinya tumpah.

"Dave, kenapa nggak diterima tawaran kerjaannya? Adam juga nawarin, kan? Aku nggak tahu kalau kamu suka nganggur."

Dia menyeringai. "Aku jadi punya banyak waktu buat nakal, kan?"

"Kampret," kataku tak berdaya. 

Dave terkekeh. Fifi mencubit hidungnya.

"Minum, G?" Fifi menyodorkan air mineral dengan pipet. "Katanya kamu sudah boleh cuci muka, kok. Aku ambilkan, ya? Bentar lagi dokternya visit, kan?"

"Udah boleh ngaca belum?"

Fifi tertawa. "Boleh. Tapi aku nggak bawa. Itu ada cermin nempel di kamar sebelah sama kamar mandi. Kamu mau Dave jebol cerminnya?"

Aku ngakak sampai rusukku sakit.

"Sabar, deh. Nanti, deh kalau balik lagi aku bawa cermin buat kamu, ya?"

"Makasih, ya."

Dia membelai kepalaku. "Nggak usah makasih. Ini kan gunanya teman. Kalau aku ada di posisimu, aku yakin kamu bakal melakukan hal yang sama buatku."

"GR banget!"

Dia tertawa. "We love you, G. Kami senang kamu sekuat ini."

Aku nggak bisa ngomong. Aku terharu banget. Dave melihat kami terus sambil minum kopinya pelan-pelan.

Hidup menuntunku pada mereka mungkin karena Tuhan tahu yang kubutuhkan adalah sahabat seperti mereka.

Yang kusuka, dia dan Fifi jadi lebih dekat sekarang. Dave ngobrol baik-baik sama Fifi. Syukurlah. Dulu kan Dave cuek-cuekan gitu. Aku sampai gemes sama dia.

Moga aja mereka memang jodoh. Aku pengin kasih hadiah tiket liburan bulan madu ke mereka.

Kalau pas mereka lagi nggak ada di sini, aku jadi mudah nangis. Beberapa kali aku memencet tombol darurat dan cari perkara biar ada perawat yang mau duduk di sampingku. Bukannya apa, sih. aku merasa ketakutan. Kalau lagi sendiri, terus aku melihat ke arah jendela, rasanya aku melihat bayangan Aaron di situ. Aku sempat mendengar ada yang mengetuk jendela. Pas menoleh ke arah jendela, aku melihat siluet Aaron sedang menyeringai di situ. jadilah aku menjerit sekeras mungkin.

"Sebentar lagi keluargamu bakal ngumpul, kok," kata Fifi sambil menyisir rambutku. "Mereka pasti bakal datang. Badai di Atlantik sudah reda. Mereka pasti segera ke sini."

"Mereka bakal bawa aku pulang ke Jakarta."

"Nanti aku bakal nyusul, deh. Biasanya setahun sekali keluargaku balik ke Indonesia. Masih ada opung di sana."

"Cowokmu?"

Fifi menoleh pada Dave yang sekarang sibuk sama HP. "Dia tahu ke mana harus pergi," katanya sambil lanjut menyisir rambutku. "Lehermu gimana?"

"Better."

"Get well soon, Darling. Sebentar lagi musim semi. Aku bakal ajak kamu jalan-jalan."

"Aku pengin ke Las Vegas."

Fifi tertawa. "Ngapain? Main judi?"

"Pengin aja. Selama ini kan cuma lihat Las Vegas dari film. Mengingat aku sudah pernah hampir mati dan ini kesempatan keduaku, kenapa aku nggak keliling Amerika? Aku nggak tahu kapan aku mati, kan?"

"Kebetulan," kata Dave keras sampai kami berdua sama-sama terlonjak kaget. "aku dapat job di Vegas bulan April. Nanti kita ke sana."

"Coachella juga," bisikku yang disambut sama jeritan Fifi. 

"Let's rock, Babe!" Dia memeluk Dave.

"Makanya, sembuh dulu!" Dave mengusap kepalaku. "Nggak mungkin kita ke sana kalau kepalamu yang masih pakai begituan."

Aku tertawa, lalu berusaha menyandarkan kepala ke bantal. "I will, Dave. Kalau aku sudah sembuh, mulutmu jadi sasaran pertama tendangan mautku."

"Jangan. Ini buat aku cipokan, dong," kata Fifi manja.

"Pergi sana kalau mau begituan. jangan nodai kamarku yang suci ini." Pas aku ngomong begini, pas HP-ku bunyi. 

Savanna.

Fifi memberikan HP ke aku. Tampangnya Dave agak berubah. Kelihatannya dia berusaha menutupi kebaperannya.

"Glace?" Suaranya terdengar serak.

"Halo? Kamu ingat sama aku?"

"Sori, Glace. Kami sudah di JFK. Kami dalam perjalanan ke sana sekarang. I love you, Glace."

"Udah. Aku sudah nggak apa-apa, kok. Aku sudah sehat. Nggak usah dijenguk juga nggak apa-apa."

Agak gondok juga sih sama mereka. Tapi, bukan salah mereka juga kalau ada badai di Atlantik. Kalau dipaksa ke sini juga pasti mereka bakalan kenapa-napa. 

Cuma, rasanya tetap saja sakit hati.

"Glace ... Tunggu, ya. Kami mau antar anak-anak ke hotel dulu, terus langsung ke sana."

Di belakangnya terdengar suara Archie yang nangis jejeritan dan Drey yang berusaha menenangkannya. Mungkin anak itu juga gelisah karena lama di pesawat. Sampai Savanna menutup telepon, Archie masih juga menangis.

Pengin marah jadi nggak tega kalau begini.

"Glace, kami balik ya," kata Dave pelan. 

"Kok balik?"

Dia mengangkat bahu. "Kamu nggak berharap suasana nanti jadi awkward kan kalau ada aku?"

Benar juga, sih. Apalagi kondisiku kaya gini.

Fifi yang kelihatannya belum tahu hubungan Dave sama keluargaku memasang tampang bingung. "Kenapa?"

"Nanti kalau ada apa-apa, Fifi yang ke sini. Aku nggak ke sini dulu," kata Dave sambil mengecup pipiku. "Cepat sembuh, ya. Kalau kamu sudah bisa chating, jangan lupa ke grup." Dia tersenyum ganjen.

"OK."

Fifi buru-buru mengambil tasnya sambil mengerutkan kening. Terus, dia berbalik kepadaku. "Kamu punya hutang cerita ke aku," katanya sambil melemparkan cium jauh. "I love you, G."

"Love you, Fi."

Ruangan sepi lagi.

Aku tersenyum melihat kertas gambar yang ditempel Fifi di dinding, gambar tiga sahabat yang saling berpelukan.

Terima kasih, Tuhan. Terima kasih telah mengizinkan aku kembali untuk mereka. Terima kasih telah menunjukkan kalau aku masih bisa merasakan persahabatan yang manis ini.

Sudah lewat jam makan siang waktu mereka sampai di Rockwood Health Center. Yah, mungkin sudah masuk sore. Aku nggak lihat jam soalnya baru bangun tidur waktu itu.

Setelah Savanna menelepon, Claire meneleponku dan bilang kalau dia ikut sedih dan minta maaf nggak bisa jenguk. Dia dapat tugas jagain Archie yang rewel berat karena jet lag.

Begitu masuk ke kamarku, Savanna langsung berlari ke tempat tidurku dan memelukku. Dia menangis sesenggukan di pelukanku. Dari matanya yang bengkak, kelihatannya dia sudah menghabiskan berjam-jam menangis. 

"Glace, maafin aku. Ya ampun, Glace. Kamu sampai kaya gini."

"Udah, aku nggak apa-apa, kok. Udah sehat ini," kataku nggak tega juga lihat Savanna nangis. Mamak satu ini kalau sudah nangis susah berhentinya. Tahan banget dia berhari-hari nangis melow gitu.

"Karin sama Tundra juga dalam perjalanan ke sini. Pas aku ke sini tadi Karin bilang sudah sampai di JFK."

Drey berjalan masuk tanpa ngomong apa-apa. Dia menggenggam lembut tanganku yang diinfus. Senyumnya kelihatan sedih sekali. Kutarik tanganku yang digenggamnya. Bukan karena tangannya terasa dingin, tapi karena aku males banget masih ngomong sama dia.

Yang pengin kulakukan adalah colok matanya pakai jarum infus. Dikit aja nggak bikin buta, kan?

Lalu, orang itu, orang yang membuat jantungku seperti melompat ke luar itu, masuk ke kamar dengan wajah tanpa ekspresi. Dia nggak mendekatiku seperti Drey dan Savanna. Dia langsung mengangkat kursi, lalu duduk di pojokan, jauh dariku. Dia terus memandangiku tanpa bergerak.

Walau jauh, aku merasakan kemarahannya. Aku merasakan kejahatannya.

Aku menyukainya.

***

Kira-kira, apa yang dilakukan Heath setelah ini? Apa yang dilakukan Drey setelah ini? 

Kenapa Heath pasang tampang sok cool gitu? Kan gemes sayah jadinya. 

Jangan-jangan, begitu ngomong, Heath langsung bilang gini:

Oh yaaa...
Saya mau kasih tahu...
Filthy Shade of Drey, Savanna, dan Nasty Glacie sudah masuk ke mirror web. Huhuhu.... sedihnyaaaa....

Apa sih mirror web itu?
Mirror web itu website yang digunakan untuk menduplikasi web lain. Gunanya buat nyari iklan dong. Google adsense kan bayarannya dolar. Terus buat masukin virus sama malware juga. Nggak tahu, deh. Yang ngerti ginian si Heath.

Kemarin saya buka salah satu link tersebut. Langsung deh HP saya kemasukan pop up advertising sampai down. Sampai saya back up semua data ke flash drive. Kalau nggak, habislah kerjaan saya. Huhuhu...

Wattpad udah nggak bisa di-private lagi. Jadi, satu-satunya cara buat melindungi cerita saya adalah dengan unpublish. Tapi, saya nggak sampai hati untuk melakukannya. Saya tahu kalian masih suka mengulang baca.

Jadi, saya meminta agar teman-teman membantu untuk tidak membuka cerita tersebut sekalipun ditampilkan berupa iklan via google. Selain bikin happy mereka yang jahat (1 klik mereka dapet duit looo) juga untuk melindungi HP kalian dari kejahatan cyber.

Pihak Wattpad sendiri sudah memberikan keterangan melalui para ambassador mengenai isu lama yang marak lagi ini. Beberapa penulis sampai rela unpublish cerita demi menjaga dari plagiasi. Saya beneran bingung. Hahahaha... nggak tega banget. Yang follow saya di Facebook dan rajin lihat story saya pasti tahu berapa penerbit yang ngelamar Drey dan saya tolak demi teman-teman bisa terus sayang-sayangan sama Drey.

Terusss...
Saya mau minta tolong jika nanti di mana saja kalian menemukan cerita-cerita saya diplagiasi, mohon bantuan untuk report ke saya linknya untuk ditindak lanjut, ya.

Agak takut, nih. Soalnya cerita yang di-copas itu bisa diapakan saja sama mereka, bahkan dijadikan buku. Nggak kebayang kan kalau besok ada buku Nasty Glacie tapi nama authornya bukan saya. Huwaaaaa....

Sabar ... sabar ...

Semoga mirror web itu bisa segera ditutup dengan cara apapun. Aamiin...

See you next part, Little bees! Bakal ngomong apa yah si Karin ke Drey? Mingkem segala bahasa tuh bapak julid. Bwahahahahaha....

Terima kasih banyak sudah meluberkan inbox Instagram saya dengan ngakak bareng. Looooooooooveee... it!

Love,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro