This is How It Ends

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selama tinggal di rumah besar Drey, kami nggak sekamar lagi. Bisa dibumihanguskan sama Drey nanti kalau sampai Heath ketahuan sekamar sama aku. Cuman, sebelum Drey datang (Waktu kedatangan Drey dimundurkan seminggu lagi karena Archie tiba-tiba demam), kami bebas dong. Tapi, percaya deh. Heath nggak pernah macam-macam. Bahkan cium aku pun nggak. Aku nggak masalah, kok. Asal di sampingnya aja aku sudah seneng banget.

Mungkin juga dia butuh waktu untuk memulihkan rasa sakitnya. Aku janji akan bantu dia. Aku bakal jadi pacar yang baik buat dia.

Pacar?

Iyalah. Sebutan apalagi coba?

Heath juga sepertinya belajar dari kesalahannya. Dia nggak mau lagi ninggalin aku. Dia selalu mengajak aku ke mana dia pergi. Kadang, kalau memang dia nggak bisa ngajak aku, dia bakal ninggalin aku di rumah sambil terus telepon selama beberapa jam sekali. Bukan untuk tanya aku lagi ngapain, tapi untuk tanya apa yang kuinginkan.

"Kenapa nanya terus?" tanyaku pas dia menelepon untuk ke-26 kalinya hari itu.

Dia tertawa pelan, lalu berkata, "Kemarin aku membaca buku. Katanya, tahu apa yang dilakukan saja tidak cukup untuk membuat gadis itu merasa diperhatikan. Seorang gadis membutuhkan sesuatu untuk membuktikan kalau kekasihnya terus memikirkan dia."

Wajahku jadi terasa hangat. Dia baca buku buat ngerti aku? Dia berusaha untuk jadi cowok terbaik buat aku?

Ini bikin aku sejuta kali lebih merasa bersalah sama dia.

"Makasih, Heath. Gue tahu kalau lo sayang banget sama gue."

Dia diam sebentar.

"Sebenarnya, aku tidak ingin menutup telepon. Aku ingin terus bicara denganmu," katanya pelan. "Tapi aku harus pergi."

Aku tertawa. "Gue tunggu di rumah, Heath. Gue bakal selalu nunggu lo. Stay save, Firefly."

Kayanya dia tersenyum juga. "I love you, Bee."

Aku tahu, kesetiaan itu bukan cuma nungguin dia pulang. Kesetiaan itu benar-benar menjaga hati biar nggak ada orang lain selain dia. Jadi, aku berhenti komunikasi sama Dave. Sekalipun Heath bilang nggak masalah kalau aku tetap berteman sama Dave, tetap aja aku merasa nggak enak. Bukan cuma sama dia sih, tapi sama diriku sendiri.

Kalau lagi nggak kerja, dia mengajakku jalan-jalan. Kami parkir mobil (Kami selalu bawa mobil karena rumah Drey agak jauh dari pusat kota) dan jalan kaki menikmati jalanan licin bersalju. (gila, di sini tuh jalanan bisa licin banget gini. Nggak ada deh jalanan bolong kaya di Jakarta. Trotoarnya aja licin. Terus, demi turis yang pakai setir kiri di negaranya, di jalanannya kadang ada tulisan right and left biar orang nggak bingung arah.) Heath selalu menggandengku sekalipun tangan kami sama-sama pakai sarung tangan. Kalau nggak, dia memasukkan tanganku ke saku mantelnya. Pokoknya kami nempel banget.

Mungkin kalian bakal bertanya, "Glace, lo ke London nggak cerita atau foto atau apa gitu? Cerita kek lo ngunjungi apaan, gimana rasanya, beli apaan gitu. Biar nggak kaya bohongan lo di sana."

Oke, Guys! Aku kasih tahu, ya. Untuk saat ini, mataku buta sama sekali. Di mataku nggak ada yang kelihatan selain Heath, cowokku yang manis banget. 

Waktu Heath menjelaskan tentang pengalaman kebingungannya soal arah pas pertama kali ke London, aku cuma mandangi matanya kaya orang bego dan nggak dengar apapun yang diomongkannya. Mata birunya jadi terlihat lebih muda kalau kena cahaya. Aku jadi mikir gimana nanti mata anak kami. Apa dia bakal punya mata biru dan rambut hitamku? Apa anakku nanti bakal mirip sama Heath banget kaya Archie yang copy-paste bapaknya?

Waktu nonton pergantian pasukan di Buckingham, yang kurasakan cuma deg-degan nggak keruan karena Heath memelukku dari belakang. Dagunya bertumpu di kepalaku dan kadang di bahuku. Memang sih dia sudah sering memelukku dari belakang. Tapi, tetap saja setiap dia melakukannya, aku jadi nggak konsen. Bawaannya pengin ambruk terus ke pelukannya. Alih-alih melihat parade pasukan penjaga ratu berkuda yang berganti posisi, aku malah elus-elus tangan Heath sambil cengar-cengir nggak keruan.

Saat suara terompet terdengar keras, aku sampai terlonjak saking seriusnya aku melamunkan Heath.

Dia berbisik di telingaku, "Itu tanda kalau dua pasukan harus saling memberi hormat sebelum berpindah posisi. Pasukan yang baru datang akan menggantikan posisi pasukan yang lama."

Siapa peduli dengan pasukan-pasukan itu? Ksatria kesayanganku berdiri tepat di belakangku.

Jauh setelah kejadian itu, aku menyesal sekali nggak menikmati berjalan di tempat-tempat keren dan romantis yang sering muncul di film. Aku jadi kangen ke sana lagi.

Saat Heath menjelaskan soal Victoria Memorial atau Green Park, yang ada di kepalaku hanya senyumnya, mata birunya yang menyipit saat tertawa, juga garis-garis di wajahnya yang membuatku ingin terus menatapnya.

"Kenapa? Ada apa di wajahku?" tanya Heath tiba-tiba. Mungkin dia sadar kalau aku sudah memandanginya lama.

"Gue jatuh cinta," kataku sambil tersenyum. "Gue nggak tahu kenapa semakin lihat lo gue semakin sayang."

Dia tersenyum lebar. Setelah memejamkan matanya sambil menarik napas dalam-dalam, dia berkata, "Kukira aku sendiri yang berpikir begitu. Ternyata, kamu juga?"

Aku mengangguk. "Sesak banget. Sekalipun lo di samping gue setiap saat, gue pengin terus megang tangan lo." Kugandeng tangannya yang tertutup sarung tangan kulit warna hitam. "Kaya gini."

Dia memandangi wajahku sambil tersenyum. 

"Jangan lepasin gue, Heath. Nanti gue nangis."

"Karena jatuh?"

"Karena cinta sama lo tuh dalem banget. Kalau lo lepas, gue tenggelam. Pegangan tangan lo yang bikin gue tetap bertahan dan ingat napas."

Malam itu, untuk pertama kalinya Heath benar-benar menciumku. Di antara hujan salju ringan, di tengah Green Park yang hitam putih, di antara pandangan orang-orang asing, kami berciuman dengan sangat manis.

Seperti apa rasa ciuman Heath?

Aku nggak tahu gimana seharusnya orang berciuman. Tapi, kurasa Dave benar. Ciuman itu menunjukkan karakter laki-laki.

Heath bikin aku menginginkan lebih. Saat dia meremas rambutku, rasanya aku ingin lebih banyak merasakan dirinya. Kutarik mantelnya juga. Aku ingin dia merasakanku. Saat dia menyentuh bagian belakangku dan menarikku merapat padanya, aku ingin lebih banyak. Aku ingin mendapatkan lebih dari sekedar ciuman. Aku ingin lebih dari sekedar rasa tarikan saat lidahku berada di dalam mulutnya. Aku ingin lebih dari sekedar merasakan kehangatan bibirnya.

Apa ini salah?

Dia melepaskan bibirnya sebentar, lalu memandangiku. Dari mulutnya keluar uap hangat yang terlihat seperti asap di antara salju. Setelah memejamkan mata dan tersenyum, dia menciumku lagi. Kali ini lebih lembut dan lebih dalam dari sebelumnya.

Setelah ciuman itu, Heath jadi lebih banyak tersenyum. Sekalipun di rambutku menempel banyak salju, rasanya hangat banget pas lihat senyumannya. Dia menggenggam tanganku sampai rumah dan tidak berhenti memandangiku saat kami makan malam.

"Night, Little Bee," katanya saat mengantarkanku ke kamar. Dia meninggalkan kecupan lembut di kepalaku sebelum turun ke ruang kerja.

Kukira setelah kerja, dia benar-benar tidur di kamarnya. Ternyata, pas tengah malam, aku terlonjak sambil menjerit. Heath berdiri di dekat tempat tidurku, memandangiku.

"Apa sih lo? Astaga!" 

Melihatku menjerit-jerit gitu, bukannya minta maaf eh, dia malah senyum. 

"Aku merindukanmu."

"Lo tahu kan kalau gue benci adegan Edward melototin Bella pas tidur? Psiko!"

Dia terkekeh. "Maaf," katanya sambil menyalakan lampu meja. "Lebih baik?" tanyanya sambil duduk di pinggir tempat tidurku. "Aku baru menyelesaikan pekerjaanku dan aku merindukanmu. Boleh aku tidur di sini?"

Aku mengangguk sambil menaikkan selimut sampai ke daguku. Masalahnya, aku tidur cuma pakai baju tidur tipis dan tanpa dalaman. Bisa bikin perkara kan kalau begini ceritanya? Mana bekas ciuman Heath di mulutku masih terasa banget.

Heath melepas sepatunya dan berbaring di sebelahku. "Aku suka aromamu sekalipun kamu tidak memakai parfum."

"Memang gue baunya gimana?"

Dia tertawa pelan. "Aku tidak tahu. Tapi ... aku hapal aromamu."

Aku diam saja. Di malam yang sunyi dan dingin ini yang terdengar cuma napas berat Heath dan detak jantungku sendiri. Aku jadi nggak bisa berpikir.

Ah, biasanya juga aku memang nggak bisa berpikir, sih.

"Bee?"

"Apa?"

"Apa yang kamu inginkan?"

"Heath Grahamm."

Dia tertawa pelan. 

"Apa lagi?" tanya Heath sambil menggerakkan kepala sepaerti sedang meregangkan otot leher.

Aku menelan ludah. "Gue cuma mau lo, Heath. Yah, hidup sama lo. Jalan sama lo. Terus ..." 

Apa kalau aku bilang 'nikah' dia bakal menolak seperti Drey? Apa dia bakal takut komitmen seperti Drey pas masih labil dulu? 

"Terus apa?" tanya Heath sambil berbaring miring, menatapku. 

Mata birunya jadi berkilauan terkena sinar remang lampu meja yang ada di belakangnya. Kalau sudah begini, aku bisa apa selain jujur? Tapi, kalau kejujuran membuat dia jauh dariku ...

"Nggak ada, Heath. Gue nggak pengin apa-apa selain lo."

"Kamu tidak ingin ... uhm, seperti yang gadis-gadis inginkan?"

"Apa?"

"Pernikahan? Gaun yang indah? Keluarga yang bahagia?"

"Mau, Heath. Gue mau banget. Sumpah, gue mau banget. Tapi, gue nggak bakalan minta itu dari lo kalau lo emang belum siap. Gue tahu lo butuh waktu untuk membangun komitmen sama diri lo sendiri. Gue ..." Aku menelan ludah lagi saat dia mulai menyisipkan rambut ke belakang telingaku. "Gue nggak nuntut apa-apa dari lo kalau lo memang nggak mau. Gue cuma nggak pengin jauh dari lo, Heath. Gue nggak pengin pisah sama lo."

Dia nggak tersenyum atau terlihat bahagia. Dia cuma memandangiku dengan wajah datar sambil terus membelai rambutku.

"Aku mencintaimu, Little Bee. Sangat."

Aku nggak bisa menjawab ucapan cintanya tanpa nangis. "Gue juga cinta lo, Heath." 

Apapun yang dia simpan di masa lalu, apapun yang bikin dia kacau saat ini, aku nggak mau ambil bagian dari kekacauan itu. Mungkin dia butuh waktu untuk memperbaiki hatinya atau apapun yang rusak di dalam dirinya. Aku bakal menunggu. Sampai kapanpun dia mau. Aku bakal menunggu dengan sabar.

Nggak ada yang bikin aku mengubah keputusan ini.

Lalu, keesokan harinya, aku mendapat WA ini dari kakak ipar tersayang yang paling julid dunia-akherat.

Punya ipar kaya gini nih bikin pengin nyumpah terus, kan?

Heath malah ngakak pas kuperlihatkan WA Drey ini.

Kalau dilihat dari kostum kami, ini diambil beberapa hari lalu pas Heath ngajak aku jalan-jalan ke jalan apa gitu buat nontonin anak-anak main salju di taman. Kami jalan kaki beberapa blok sambil ngobrol dan minum white tea yang enak banget di kedai yang mirip Savanna-nya Tundra sama Karin. (Saat ini aku baru tahu kalau menurut adat sini, makanan yang dimakan sambil minum teh tuh ada urutannya. Nggak boleh asal mangap gitu aja. Dimulai dari makanan paling berat kaya sandwhich dan diakhiri dengan makanan paling manis.)

"Aku memang merasa ada yang mengikuti kita waktu itu," katanya sambil mengembalikan HP-ku. 

"Dia tuh emang kampret paling nyebelin di muka bumi," gerutuku sambil mencakar permukaan meja makan dengan ujung garpu. Biar aja dia ngamuk liat mejanya kegores gini.

Heath meregangkan otot punggungnya sampai bunyi kretek-kretek gitu. Seharian dia memang di ruang kerja terus, sih.

"Dia begitu karena mengkhawatirkan kita," katanya setelah bersandar di kursi makan. Tangannya memainkan daging ikan yang tertusuk garpunya. 

"Lo tahu kenapa Drey segitu nggak sukanya kita barengan?"

Dia memiringkan kepala saat menoleh padaku. "Dia bukan tidak suka kita bersama, Bee. Dia hanya tidak ingin salah satu di antara kita terluka."

"Lo atau gue?"

Dia tersenyum, lalu kembali memakan makanannya dalam diam. Dia nggak menjawabku. Sebagai cewek yang baik dan berkomitmen untuk nggak melanggar batasan privasi Heath sampai dia sendiri yang membukanya, aku juga nggak bertanya lagi. Sekalipun ganjel dan mulutku gatel banget, aku bertahan untuk nggak tanya lagi.

Kabar kedatangan Drey hampir bersamaan dengan telepon dari Dave. Terus, aku kaget, dong pas kukasih tahu, si Dave malah bilang, "Boleh aku ikut makan malam dengan kalian?"

"Hah? Lo mau memulai perang dunia, Dave? Lo tahu kerasnya si Drey kaya gimana, kan? Dia bisa cabik-cabik lo kalau Savanna meleng dikit. Pulang-pulang jadi mayit lo."

Dave diam sebentar. Mungkin dia mempertimbangkan omonganku. 

"Bagaimana kalau kita makan malam di tempat yang sama, tapi agak jauh dari mereka? Aku pengin lihat Savanna, Glace," rengeknya setelah beberapa kali menghela napas panjang.

"Lo ini masokis ya?"

Dia menghela napas berat. "Nggak, Glace. Aku cuma pengin memastikan kalau savanna bahagia. Aku juga pengin lihat anakku."

"ASTAGA! ARCHIE ITU ANAK DREY, DODOL!"

Jeritanku membuat Heath mengangkat alis dan menusuk kupungnya dengan jari. Aku melotot ke dia.

Dave mendengus kesal. "Coba tanya Heath apa kita bisa seperti usulku tadi?"

Setelah berdiskusi dengan Heath, akhirnya dia setuju. Kami akan makan di restoran Perancis di malam kedatangan Drey. Heath bakal bilang sama Drey kalau aku jalan sama cowokku. Ini bakal jadi alibi bagus. Drey juga mungkin akan percaya kalau aku sama Heath nggak ada apa-apa. Dave juga bisa melihat Savanna dari jauh.

Heath memilih Clos Maggiore di Covent Garden. Katanya di sana ada kepiting dan lobster yang bisa kumakan dengan bebas. Di sana juga ada balkon yang bisa kupakai untuk makan dengan Dave sambil stalking Savanna.

Saat sampai pada hari yang dijanjikan, kami menjemput Dave sebelum Drey sekeluarga sampai rumah. Lalu, aku dan Dave naik taksi menuju King street. Heath menciumku agak lama sebelum taksi kami pergi.

Di dalam taksi, Dave berkata, "Kukira kalian nggak akan memaafkanku."

Aku mengangkat bahu. "Kukira dia nggak bakal maafin gue."

Dave memasang dasi kupu-kupunya. "Dia orang yang sangat baik, Glace. Kamu beruntung."

"Gue jadi inget lo. Apa yang lo rasakan waktu Savanna pulang dari tempat Drey itu?"

Dia menunduk. "Pertama kali melihatnya, aku sangat sedih, Dia babak belur dan menyedihkan. Waktu tahu apa yang terjadi, aku hancur. Tapi, aku nggak punya pilihan lain selain memaafkan Ana. Aku mencintainya dan ingin sekali menikahinya. Memaafkan dia dan meninggalkannya sama sakitnya, Glace. Jadi, aku memilih untuk terus bersamanya. Sayang, dia nggak mau."

Kusentuh tangannya. "Mungkin itu juga yang dipikirkan Heath."

Dia memilih untuk tetap bersamaku dan memaafkanku karena berpisah juga pasti bikin dia tambah sedih.

"Oh, ya. Nih buat kamu." Dave memberikan kotak warna perak kecil kepadaku.

"Apa ini?"

"Ucapan maaf, ucapan terima kasih, dan hadiah yang kujanjikan karena kamu berhasil nampar Drey."

Aku tertawa. "Ciyeeee... yang sukses nyebut nama rival tanpa baper."

Dia tertawa sambil menutup wajah. "Sialan," desisnya sambil berpaling menatap jendela.

Kubuka kotak kecil yang dia kasih. Kalung dengan bandul clover yang lucu. Aku tersenyum geli.

"Lo ngasih ini buat nyindir gue atau menyatakan kalau lo bisa move on?"

"Eh? Kenapa?"

"Serius lo nggak tahu sejarahnya?"

Dari kerutan di jidatnya sih kayanya dia nggak tahu.

"Savanna sama Drey ketemu pertama kali di Clover bank. Bawa keberuntungan banget emang clover itu."

"Fuck!"

Aku ngakak kenceng banget sampai supirnya kaget.

"Sorry," kataku ke pak supir. Terus, ku balik lagi ke Dave. "Tapi gue suka, kok. Thank's ya."

"Jangan!" katanya waktu aku mau pakai kalung itu.

"Kenapa? Ada jampi-jampinya?"

Dia tersenyum sambil bilang, "nggak cocok sama gaunmu. Simpan aja. Besok aja dipakai."

"Emang dosa gitu kalau pakai perhiasan nggak cocok sama gaun?"

"Aku risih lihatnya. Cewek yang pakai perhiasan berlebihan itu kaya kampung banget. Tampangmu sudah kampung. Jangan ditambah lagi."

"Bangke lo!" umpatku sambil menendangnya sampai terjepit ke pojok kursi.

Lalu, setelah sadar kalau beginilah awal ciuman celaka kami dulu, aku terdiam.

"Sori," kataku pelan sambil menata lagi gaunku yang tersingkap. Aku kebiasaan barbar sih. Jadi, berasa nggak pantas pakai gaun begini.

Moga aja Dave nggak mikir macam-macam.

"Makasih ya hadiahnya. Tapi lo belum kasih hadiah ultah. Tadi lo nggak nyebutin hadiah ultah, kan? Jadi utang lo masih ada sama gue."

Dia tertawa pelan. "Hadiah ultahnya, aku bakal jadi man of honor-mu nanti kalau kalian nikah."

Kumasukkan kotak kecik itu ke dalam tas tangan sambil mengeluh.

"Kenapa?" tanya Dave pelan.

"Dia belum siap nikah, Dave."

"Masa sih? Dia kan sudah berumur dan sayang banget sama kamu. Kukira malah dia sudah nyiapin sesuatu buat kalian."

Aku menggeleng. "Dia ... ada yang nggak bisa dia ceritain ke gue. Nggak tahu apa. Rasanya, dia punya masa lalu yang buruk yang bikin dia nggak siap nikah sekarang."

"Terus? Kamu gimana?"

Aku menoleh ke Dave. "Gue sayang dia, Dave. Gue yakin dengan pilihan gue. Sepuluh atau dua puluh tahun lagi nungguin dia juga gue rela."

"Dulu Savanna pergi dari Drey karena Drey nggak mau nikah kan katanya?"

Aku mengangguk. "Drey merasa nggak bisa jadi bapak yang baik. Dia ngerasa nggak bisa mewariskan darah buruk dari keluarganya."

Dave terdiam.

Aku melanjutkan, "sekarang buktinya dia bisa jadi bapak yang sayang banget sama keluarganya. Lo lihat kan gimana dia ngerawat Savanna sama Archie pas Savanna koma dulu? Gue yakin Heath juga bisa begitu."

Dave tersenyum padaku. "Aku percaya sama dia. Aku dukung kamu walau nanti aku duluan punya anak-istri."

"Sama siapa?"

Dia mengangkat bahu. "Masa sih aku nggak dapat jodohku walau sudah keliling dunia?"

"Jangan-jangan jodoh lo beneran Ryn?"

Dia ngakak. "Cantik banget ya dia sekarang? Aku lihat di FB Karin. Gemes banget sama anak itu."

"Makanya, buruan bikin anak. Nikah yang bener. Cari cewek yang bener biar bisa lo nikahi. Jangan cuma cari kupu-kupu doang."

Dia menoleh padaku sambil tersenyum. Dia kelihatannya mau ngomong sesuatu.

"Apa?" tanyaku yang malas menunggu kelanjutan omongannya.

Dia menggeleng.

Lalu, kami berdua membisu sepanjang perjalanan. 

Tadi, dengan logat British, Heath berpesan pada supir taksinya untuk mengantar kami berputar dulu sebelum ke resto itu. Heath mengatur agar kami nggak terlalu lama menunggu di tempat itu dan nggak ketemu dengan Drey di pintu depan. Kalau sempat ketemu, pasti Drey bisa langsung ngamuk dan jadi drama banget.

Begitu keluar dari taksi, Dave menuntun tanganku seolah kami adalah pasangan. Dia juga memegang pinggangku saat kami masuk ke restoran itu. Kalau Drey meriksa CCTV resto ini, pasti yakin kalau kami pasangan.

Heath sudah memesankan kami meja atas nama Dave Malik. Meja kami ada di bagian atas yang bisa melihat ke seluruh bagian pintu masuk. Meja atas nama Drey Syailendra ada tepat di bawah kami. 

Bagaimana caranya kami tahu?

Di meja itu sudah disiapkan sebuket besar mawar merah untuk Savanna dan kursi makan anak-anak tinggi untuk Archie. Yah, susah kan ya kalau konglomerat sudah open table. Minta digelarin karpet merah polkadot ungu aja pasti bakal dilakukan.

Drey datang setengah jam setelah kami sampai. Heath menggendong Archie. Di sampingnya ada Savanna yang berjalan sambil menunduk. Terus, si Monster julid itu keluar dari mobil sambil mematikan HP. Orang itu keterlaluan anehnya. Biasanya di Indonesia yang panas membara itu dia rajin pakai mantel. Sekarang di tempat yang bersalju gini dia malah pakai baju seadanya kaya orang kehabisan duit gitu. Lucu, kan?

Heath beberapa kali mengirimkan SMS kepadaku yang isinya sama: "Kamu cantik, Little bee."

Aku cuma bisa cengar-cengir ke-GR-an sambil membalas, "Gimana kalau lo naik terus cium gue? Masa udah dandan cantik gini lo cuekin?"

Aku bisa melihat dari sini, dia tertawa sambil memandangi HP-nya. Lalu, Archie minta gendong dia lagi. Bocah yang pakai sweater hitam yang sama dengan baju bapaknya itu berbisik pada Heath. Lalu, Heath menciuminya dnegan gemas. Apa yang mereka bicarakan?

Heath dan Archie meninggalkan meja. Archie menunjuk ke deretan patung kecil di bagian lain restoran.

"Mereka selalu begitu?" tanya Dave yang dari tadi nggak lepas memandang Savanna dan Drey.

"Apa?" tanyaku karena bingung apa maksud pertanyaannya.

"Ciuman terus begitu? Tangan Drey dari tadi nggak lepas dari Ana."

"Yah, kan dia suaminya. Masa nggak boleh? Lo aja yang cemburu nggak jelas."

Dia membanting punggung ke kursi. Mukanya cemberut banget.

"Dave, coba lihat ini," kataku sambil menarik jasnya. Dave ikut maju lagi dan lihat Savanna dan Drey benar-benar. Drey memainkan ceri di es krim Archie sambil ngobrol dengan Savanna. Kalau tebakanku benar, sebentar lagi bakal ada pertunjukkan seru.

"Apa?" tanya Dave.

"Lihat," desisku lagi.

"Kamu pakai parfum apa, sih? Enak baunya."

Aku melirik kesal ke Dave. "Shut the fuck off! Lo mau lihat nggak sih? Lihat tuh!"

Drey menggigit ceri merah di tangannya sambil tertawa pada apapun yang diceritakan Savanna. Lalu, Savanna mendongak dan Drey memberikan ceri di mulutnya ke mulut Savanna. Setelah Savanna mengulum ceri itu, Drey meminta lagi cerinya. Kali ini, Dey mengigit ceri di mulut Savanna. Mereka berdua mengunyah potongan ceri di mulut masing-masing sambil tersenyum.

"Mamam tuh sakit hati!" kataku sambil berusaha menampilkan senyum puas.

Dave menelan ludah. "Mereka memang begitu?"

"Buat mereka, dunia milik mereka. Orang lain cuma penumpang gelap yang buta dan nggak punya memori. Asal jauh dari Archie, mereka bakal kumat begitu. Di mana pun dan kapan pun."

"Mereka benar-benar jatuh cinta, ya?"

Aku mengangguk.

"Dave, move on yah? Lo tuh bersin aja bakal dapat serenteng cewek, loh. Tapi ingat, jangan dimainin lagi, yah?"

"Kamu bilang serenteng? Terus buat apa serenteng kalau cuma satu yang boleh kunikahi?"

Kucubit lengannya. "Lo keterlaluan banget."

Dia tertawa. Yah, walau aku tahu kalau tawanya itu cuma untuk menutupi sakit hati saja. Bayangkan saja dia harus melihat cewek yang dicintainya cipokan setengah mampus gitu sama suaminya. 

"Kalau lo mau pergi, gue temenin deh. Nanti gue minta taksinya turunin lo di four season dan gue turun di rumah Drey."

Dia menggeleng. "I'm fine," ucapnya sambil tersenyum lebar, terus menatap ke meja Drey lagi. Sekarang Drey lagi bisik-bisik ke Savanna.

"Ya udah. Takjub aja gue lihat lo betah banget stalking mantan kaya gitu. Kalau gue sih mending nggak usah lihat sama sekali."

Dia tertawa. "Kadang kenyataan pahit itu bisa jadi obat, Glace." Dia menarik lapyang dilipat bentuk angsa di depannya. "Jujur aja aku merasa agak lega lihat Savanna bahagia. Sekalipun aku berharap dia bisa jadi janda secepatnya, tapi aku nggak sesakit hati yang kupikirkan ternyata."

"Kenapa?"

Dia mengangkat bahu. "Nggak tahu. Aku juga heran ternyata aku lebih santai menonton mereka daripada yang kuperkirakan."

Aku memandanginya dengan bingung. "Lo aneh, Dave. Lo sakit jiwa."

Dia tertawa lagi. Kali ini agak lama. "Doain ya, aku bisa move on dari dia," katanya sambil meremas tanganku.

Dave? Kamu ini sebenarnya goblok, gila, tulus, atau apa sih? Kok bisa kamu senyum kaya gitu? Kalau aku sih pasti nggak berhenti nangis lihat Heath sama cewek lain. Lihat dia gendong Archie aja aku iri banget. Aku pengin dia gendong anakku. Anak kami.

"Mau makan? Aku mau coba lobster yang dibilang Heath itu," kata Dave sambil menoleh ke arah bapak-bapak waitress yang berdiri tegap di ujung ruangan.

Dave berbicara dengan pramusaji soal makanan yang dipesannya. Aku menatap Heath yang sedang menggendong Archie yang berusaha menyentuh air mancur kecil. Lalu, mataku menangkap Drey dan Savanna yang sekarang mulai makan. Drey menciumi bagian belakang kepala istrinya sambil menyibakkan rambut istrinya biar nggak kena piring waktu menunduk.

Aku tersenyum melihat kelakuan mereka. Aku bertanya-tanya dalam hati apa nanti aku juga punya suami yang mau memegangi rambutku kalau aku harus makan sambil nunduk?

Tiba-tiba, Drey menoleh ke belakang, lalu mendongak. Dia menatapku.

Chandelier kristal yang terang memantulkan cahaya kekuningan teduh ke mata cokelatnya. Aku seharusnya tahu kalau mata itu penuh amarah.

Yang bisa kulakukan hanya menelan ludah dan berusaha untuk tetap bernapas.

Mampus aku! Mampus!

♡♡♡

Woaaaa... Glacie ketahuan kakak ipar julid. Wkwkwkwk...

Drey itu instingnya tajam bener. Tahu aja dia dirumpiin di belakang.

Apa yang terjadi setelah ini? Dave digampar Drey? Ada drama Glacie diseret-seret Drey? Heath kena marah?

Tunggu aja yak. Wkwkwkwkwk...

Eh, bentar saya mau cerita lagi tentang pengalaman ajaib saya. Empet juga kalau nggak diceritain. Kali aja kalian bisa mengambil hikmahnya. Wkwkwkwk...

Beberapa waktu lalu, saya kan bobok di rumah sakit. Yah, cuma numpang bobok doang sih biar antimainstream gitu. Kalau kaya Heath sama Glacie yang nginap di hotel kan sudah biasa. Nah, saya nginep di tempat yang nggak biasa. Hahaha...

*dikeplak

Biasanya kalau bobok di rumah sakit kan saya tuh di VIP yang sendirian. (Dibayarin dong sama Drey. Gue slepet kutang lejen kalok dia nggak mau bayarin. Ngiahahaha...) Nah, kali ini saya dapat rejeki bobok di bangsal karena kamarnya penuh semua. Jadi, selama semalam saya bobok di bangsal dulu sampai ada ruang yang kosong keesokan harinya. (Saking banyaknya orang sakit. Kalian jaga kesehatan, yak.)

Pas malam, saya tidur sama si Ayank, kan. Yah, satu ranjang berdua gitu kaya Glacie sama Heath. (Gosah bayangin. Sumpah sempit banget! Pengin saya tendang aja biar bisa puas bobok sendiri.) Nah, pas tengah malam, saya dengar di ranjang sebelah yang ditutup gorden doang tuh ada yang nangis. Sambil nangis dia meratap gitu. Kayanya dia berantem sama suaminya. Yang saya sempat dengar tuh, "Mas kok gitu sih? Kan aku sudah usaha, Mas." 

Yah, kurang lebih gitu, deh. Suaranya lembut banget. Suara cowoknya nggak kedengaran. Si cewek aja terus yang mendominasi dengan tangisan dan rengekan. Saya sampai kasihan. Saya melek aja kali-kali suaminya main kasar atau gimana. Ternyata, niat saya untuk melek dan jagain mereka tuh gagal. Saya ketiduran. Hahaha...

Pas pagi, saya mau pindah kamar, gorden di kanan kiri saya dibuka. Kagetlah saya pas lihat ranjang di kanan kiri saya kosong. Ternyata di ruangan itu yang sebaris sama saya cuma saya sendiri. Ranjang lainnya sudah berapa hari kosong :(((

Bisa apa saya selain gigit selang inpus?
Semalam ternyata nggak ada yang pakai ranjang di sebelah saya. Nggak ada cewek yang nangis dan nggak ada yang berantem sama suaminya.

Kalau boleh, pengin banget saat itu juga saya nyetir ranjang rumah sakit biar bisa sampe rumah. Huhuhu...

Untung... saya segera dapat kamar VIP dan legaaa ... bisa sendirian.

Tinggal di kamar sendirian juga saya kira bakalan aman. Ternyata, pas tengah malam ada yang ketok pintu kamar. Pas colek-colek Heath (eh, salah) Odey maksud saya. Ternyata dia udah merem. Pas lihat jam sekitar jam 1-an. Nggak mungkin kan ada perawat yang ganggu pasien jam segitu?

Ketukan berhenti terus nyambung lagi beberapa menit kemudian. Ketukan monoton yang bikin merinding. Terus, dengan kedodolan Glacie dan kenekatan Savanna, saya ngomong sama siapapun yang ada di balik pintu, "Siapapun kamu, aku nggak takut. Tapi, kita main fair-fair-an aja. Jangan pakai nongol sembarangan kalau aku pipis di WC. Jangan nongol di bawah tempat tidur juga. Ngeri lihat mukamu serem banget gitu."

habis itu, suara ketukannya berhenti sama sekali.

Mungkin yang ngetuk sakit hati karena dibilangin mukanya seram. Hahaha... Kebayang dia melipir sambil bilang:

Udah deh, kalau nggak terpaksaaaaaa banget, saya nggak bakalan mau nginep di rumah sakit. Mending di rumah deh sejelek-jeleknya. Huhuhu...

Terima kasih banyak untuk kalian yang sudah menunggu update cerita ini dengan sangat sabar. Semoga kesabaran kalian terbayar dengan part ini, yak

Part berikutnya hari Sabtu nanti bisa kalian persiapkan mental melihat kejulidan Drey lagi. "Best Place in The World" akan tayang hari Sabtu ya.

with love,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro