Virgin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku nggak tahu kenapa aku pengin telepon Dave setelah itu. Aku tahu dia masih kerja. Dia baru sampai di Washington pagi ini. Jadwal di sana padat banget. Aku tahu aku bakal ganggu dia. Tapi, kurasa cuma dia yang ngerti jalan ceritaku sama Heath. Cuma dia yang tahu bagaimana rasanya patah hati yang sepatah-patahnya.

"Glace, aku briefing," bisik Dave di telepon.

"Sori, Dave. Aku cuma mau bilang kalau Heath ... sama cewek lain."

Oke. Aku sebenarnya nggak pengin cengeng. Mau gimana lagi. Aku sudah menangis sejak teleponan sama Archie itu.

"Kok bisa?" tanya Dave lagi setelah diam sebentar.

"Tadi Archie video call. Terus aku lihat Heath sama cewek di resto. Dia sampai rela ninggalin Archie makan sendirian, loh. Padahal setahuku dia nggak kaya gitu."

Dave diam saja.

"Sori ya, Dave. Aku malah telepon kamu. Aku nggak tahu lagi harus telepon siapa. Aku ... aku bingung. Ternyata memang aku nggak ada gunanya buat dia. Kukira dia juga mikirin aku sejak kami pisah. Ternyata, dia benar-benar melupakan aku."

Aku pengin berusaha nggak nangis, tapi nggak bisa. Air mataku tetap ngalir samlai hidungku mampet.

"Glace, maaf ya. Saat kaya gini aku malah jauh dari kamu."

"Nggak apa-apa. Aku cuma pengin ada yang dengar curhatanku aja. Bye, Dave. Kapan-kapan kita ketemu lagi."

"Kamu jadi balik ke Indonesia?"

"Kayanya jadi. Buat apa juga aku di sini?"

"Aaron?"

Aku terdiam. Iya, sih. Seharusnya aku memikirkan Aaron. Kenapa aku harus memikirkan Heath?

Kuembuskan napas keras-keras. "nanti deh kupikirkan."

"Take care, Glace. Kalau ada apa-apa, telepon lagi aku, ya. Nggak apa-apa, kok. Aku pernah ngerasain yang kaya gitu."

Aku tertawa. "Sok bijak lo!"

"Bye!" katanya sambil menutup telepon.

Aku nggak bisa bohong kalau hari itu aku nangis terus lagi. Walau aku sudah pergi ke tempat spa, tetep aja aku nggak bisa berhenti nangis. Mbak-mbak kulit hitam gemuk yang mau mijitin aku sampai bingung.

"Sorry, I'm just ... it just ..." Aku nangis kenceng. "Broken heart."

Nggak kuduga, mbak itu malah memelukku. Dia diam aja sampai lama banget. Kayanya dia sengaja membiarkanku nangis di pelukannya.

"I've been there," katanya dengan suara lembut kaya mamak-mamak. "Aku mencintai seorang laki-laki. Aku punya anak dari dia. Tapi, waktu aku melahirkan, dia pergi untuk menikahi gadis lain di Nevada."

"Kok bangke?" kataku dalam bahasa Indonesia. Pas sadar dia nggak ngerti, kuralat, "sorry. I am from Indonesia. It means ass hole."

Dia tertawa. "Yes, he is. But life must go on, right? I'm with better man right now. He loves me and I love him so much. My girl loves him too. Guess what, we are sooo damn happy right now. Not rich, but happy." Dia tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang besar-besar dan putih bersih. "Tepat seperti yang kuinginkan."

Kata-katanya membuatku tenang. Iya sih memang. Savanna juga bilang gitu. Mungkin saja aku ketemu Heath biar paham dikit gimana cowok bajingan itu. Di luar kelihatannya sayang banget, ternyata dia nyosor ke yang lain.

Mungkin ini juga pertanda kalau aku seharusnya nyari cowok yang nggak terlalu jauh beda umur. Yah, cinta memang buta, tapi otak nggak. Dia mungkin kesal sama aku yang masih butuh diajarin terus.

Mbak kulit hitam itu memijatku sampai tidur. Kali ini aku tidur dengan tenang banget. Aku bahkan nggak mimpi Heath atau Violet itu lagi. Pas bangun, aku merasa segar.

Mbak-mbak tadi memintaku berendam susu yang dicampur dengan mawar dan minyak esensial. Setelah minum segelas jus jeruk yang seger banget, terus pipis, aku tidur lagi pas berendam.

Ini hidupku. Nggak ada Heath cap bawang yang bisa bikin aku nangis lagi. Malam ini, aku bakal ke tempat Aaron. Aku bakal memulai hidup baru. Aku mau pulang ke Jakarta dan jadi Glacie biasa. Mungkin aku bakal jatuh cinta sama Aaron. Mungkin juga orang lain. Tapi, aku janji bakal terus hidup.

Walau sekarang hatiku rasanya nggak keruan.

Pas aku selesai berendam, Savanna menelepon. Di video call dia lagi tiduran di tempat tidur sambil baca. Dia pakai kacamata yang bikin kelihatan tambah imut.

"I miss you, Glace."

"I miss you more, Ana." Aku mencium layar HP sambil cekikikan. "Kacamatamu keren. Sekarang udah minus matamu?"

"Nggak. Kata dokter mataku capek." Dia melepas kacamata dan meletakkan buku di samping tampat tidur. "How are you?"

"Sehat dan waras," jawabku. "Kata Archie kalian mau ke sini?"

Savanna tertawa. "Harusnya itu jadi kejutan. Kami mau kejutin kamu besok. Kok malah tahu duluan."

"Besok jam berapa?"

"Kayanya besok paginya baru sampai sana. Itu kalau nggak delay pesawatnya. Di sini lagi banyak angin. Kami pakai pesawatnya Drey. Jadi, kayanya bakal nunggu sampai cuaca bersahabat."

Aku pengin tanya apa Heath ikut sama mereka. Tapi ...

"Heath ikut, kok. Tenang aja," kata Savanna seolah tahu apa yang kupikirkan. "Archie maksa dia untuk ikut. Katanya kamu kangen dia."

"Nggak usah dipaksa kalau dia nggak mau." Dia ke sini karena Archie, bukan aku.

"Glace," panggil Savanna. "Dia juga kangen kamu, kok. Cuma, seharusnya dia ngurusin Oilco yang katanya mau pindah kantor itu."

"Aku nggak mikirin dia, kok. Malam ini aku mau jalan sama Aaron. Mau ada party di Rockwood tower. Lakimu mana? Dengar, Drey? Party-nya di Rockwood, loh."

Savanna tertawa. "Memang kenapa?"

"Lakimu marahan sama Adam Rockwood."

"Kenapa?"

Eh? Kayanya nggak usah cerita aja deh ke Savanna. Nggak enak ngungkit mertuanya yang udah meninggal.

"Tauk deh," kataku berusaha berkelit. "Eh, Karin gimana katanya ngamuk?"

Savanna tertawa lagi. "Iya bener. Dia ngamuk banget. Tundra juga. Sampai suara teriakannya di telepon tuh kedengaran ke mana-mana. Drey sampai bingung harus jawab apa. Mereka mau kamu dikawal sampai Indonesia dengan selamat."

"Aku seneng banget."

"Karena mereka sayang sama kamu?"

"Karena lakimu dimarahin mereka."

Savanna ngakak kenceng. "Kalian kapan sih akurnya? Dulu pas pertama ketemu kamu suka banget sama dia kan?"

"Itu pas dia masih jaim. Pas kukira mulutnya waras. Ternyata mulutnya lebih jahat dari lambe gosip."

"Tapi dia sayang banget sama kamu, Glace. Setiap hari dia ngamati kelakuanmu di hotel. Dia senang kamu akhirnya dekat sama Aaron. Dia cerita semua ke aku dan Archie. Tapi, Archie nggak setuju. Dia mau kamu sama Heath. Dia mau Heath jadi uncle-ya."

Acuhkan keinginan Archie. Anak kecil iti absurd. Ryn malah mau nikahin semua cowok cakep yang ditemuinya.

"Dia ngamati semua kelakuanku di hotel?" tanyaku coba menggali keterangan dari savanna.

Dia juga lihat Dave dong? Kok nggak ngamuk? Apa karena aku jadi sama Aaron?

"Iya. Aku nggak lihat semua videonya sih. Aku percaya kamu bisa menemukan jodohmu. Dia bilang dia bakal bahagia kalau kamu sama Aaron."

Aku berusaha tersenyum. "Aaron memang manis banget, Ana. He's too good to be true."

"Ya udah. Sama dia aja."

Apa Savanna tahu kalau Heath sudah punya cewek di sana?

"Ana, kamu tahu soal Heath?"

Kayanya dia tahu arah omonganku. Ekspresinya berubah.

"Glace, nanti kalian bisa ngobrol langsung. Aku nggak enak soalnya aku nggak ngerti banyak soal dia. Menurutku ... dia sering banget keluar sekarang. Kadang dia pulang malam. Kadang nggak pulang sama sekali. Aku pernah dengar dia telepon dan ... aku dengar suara cewek, sih. Drey seperti biasa nggak ngomong apa-apa walau kayanya tahu."

"Ya udah." Rasanya tuh kaya ada yang netesin lukaku pakai cuka.

"Ya udah?"

"Ya udah kalau gitu. Aku mau dandan dulu buat ke acaranya Aaron. Aku nggak mau menghabiskan waktu mikirin cowok yang nggak mikirin aku. Di sini ada cowok yang benar-benar memikirkan aku. Kenapa aku nggak buka hati buat dia?"

Savanna tersenyum. "That's my girl. I love you, Glace."

"I love you too, Savanna."

"Nanti kami langsung bikin heboh di tempatmu."

"Can't wait."

Savanna mencium layar HP sebelum mematikan panggilannya.

Aku bernapas panjang dan dalam, berusaha mengusir rasa sesak pergi. Tapi, pas di dalam mobil kembali ke hotel, aku menangis lagi.

Dave bilang dunia ini nggak adil. Dunia jahat sama dia. Mungkin karena dia nggak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Dia suka sama cewek yang nggak bisa dimiliki. Sekarang, dia malah jadian sama cewek yang nggak disayanginya karena nafsu.

Aku tahu bagaimana perasaanmu, Dave. Kamu menahan perasaan sesakit ini selama ini, Dave. Hebat. Aku yang baru sebentar aja rasanya tersiksa banget.

Mana sekarang dia harus berdamai melihat orang yang disayanginya bahagia sama cowok lain sementara dirinya sendiri nggak keruan.

Ya, seperti aku.

Setelah dandan, HP-ku bunyi lagi. Drey menelepon. Buat apa? Tumben banget. Buat bilang kalau besok dia ke sini bawa pasukan dan menghancurkan hidupku?

"Apa?" jawabku ketus.

"Hi, maaf. Ini aku, Heath."

Astaga!

Kuatkan aku ... kuatkan aku ...

"Aku menggantikan Drey meneleponmu. Mobil untukmu sudah menunggu. Ada beberapa orang laki-laki yang akan menemanimu ke sana. Mereka akan menjagamu selama ada di Rockwood tower. Maaf membuatmu tidak nyaman. Drey meminta perlindungan selama kamu ada di Rockwood tower."

Aku harus bilang apa? Aku harus bilang kalau aku sudah menangisinya siang-malam? Apa aku harus bilang kalau aku sudah capek nangis terus? Apa dia nggak tahu kalau aku sudah pakai maskara dan eye liner?

"Halo? Apa kamu mendengarku?"

Aku dengar semua. Tapi, bagaimana caranya ngomong?

"Sebentar, Drey ingin bicara padamu."

"Glacie, pulang kalau kamu merasa ada yang tidak beres. Buang badge atau benda apapun yang kamu dapatkan dari tempat itu ke tempat sampah terdekat. Jangan jauh-jauh dari Aaron. Apa kamu mendengarku?"

Mereka itu ngerti nggak sih kalau dandan itu lama banget dan butuh mood? Sudah dandan satu jam, eh, mereka bikin aku nangis gini.

"Fuck off, Drey. Bilang sama dia juga." Kututup telepon, lalu menangis lagi.

Kok mereka kampret banget, sih?

Dengar tadi? Heath nggak manggil aku 'Little bee' lagi. Dia juga nggak manggil namaku sama sekali. Aku sekarang cuma adik majikannya yang harus dilindungi. Itu saja.

Terus, buat apa aku nangis? Kok ngeselin banget! Dia di sana aja santai. Kenapa aku di sini nangis sampai nggak bisa move on gini?

Dia di sana sudah sama cewek lain. Terus, aku di sini kaya orang bego. Apa yang kuharapkan dari dia?

Apa yang kuharapkan dari cowok yang nggak punya hati?

"Ok, Glacie. Let's get this shit off of me."

Aku berdiri lagi. Kuhapus eye liner yang sudah belepotan di bagian bawah mata. Kuputuskan unutuk memakai dandanan yang lebih sederhana untuk mengganti make up yang sekarang. Setengah jam kemudian, aku sudah siap. Cantik.

"Something doesn't kill you make you stronger, Glacie."

Aku kaya. Aku cantik. Aku punya apa saja yang diinginkan manusia. Kalau Aaron nggak suka sama aku, besok kubeli semua cowok cakep yang ada di New York. Sampai di Indonesia, kusebar duit biar cowok-cowok nempel ke aku semua. So what?!

Mobil yang tadi disebut Drey sudah menunggu di depan hotel. Limosin dengan supir bapak-bapak bertubuh tegap. Selain itu ada seorang lagi yang duduk di bagian depan. Kalau dari postur dan gaya mereka, mungkin mereka dari militer.

Aku duduk sendiri di bagian belakang mobil yang luas ini. Seharusnya Drey memilihkan mobil yang lebih compact. Aku lebih suka tempat yang sempit. Mobil ini mengingatkan aku padanya. Yah, dia yang sekarang nggak ingat aku sama sekali.

Kukira acaranya Aaron bakal seperti acara pameran-pameran biasa. Ternyata ini lebih mirip Met Gala yang ada di TV atau acara red carpetnya Academy Award gitu.

Mampus. Aku salah kostum banget. Kukira segini aja sudah cukup. paling cuma lihat alat-alat yang dipakai game terus makan malam gitu doang.

Lihat, orang-orang pada pakai gaun malam yang seksi glamor gitu. Kenapa aku cuma pakai segini doang? Apa nggak bikin malu di depan Aaron nanti?

Memang sih ini punya Armani, tapi memangnya mereka peduli?

Sejak turun dari mobil, aku sudah disambut sama red carpet. Serius beneran karpet merah tuh jalanannya dilapisi karpet warna merah. Di bagian dindingnya diberi spanduk lebar banget bertuliskan sponsor-sponsor yang ikur serta dalam acara ini. Banyak brand terkenal dan orang-orang yang selama ini cuma kulihat di TV yang datang.

Aku hampir menjerit waktu melihat beberapa selebriti berjalan di dekatku. Sampai ada pemilik-pemilik media sosial juga yang datang. Mereka semua berpasangan. Terus, aku kaya orang bego gini turun dari mobil sendiri.

Mulanya, orang-orang nggak mengenali aku. Sampai seorang cewek berwajah ceria mendatangiku. Dia tersenyum lebar sambil bilang, "Glacier Syailendra?" dengan suara agak keras.

Hah?

"Ah, I ..."

Sebelum aku sempat melakukan klarifikasi, orang-orang langsung menghujaniku dengan lampu kamera.

Kok gini? Kalau aku pakai nama belakang Drey kan aku jadi bininya, kan? Geli banget, sumpah.

Tapi kayanya nggak ada yang peduli sama apa yang kuomongkan. Jadi, daripada ketangkap basah kaya orang kampung, aku tersenyum dan melambai pada kamera-kamera itu sambil berjalan ke arah yang ditunjukkan cewek tadi. Suka nggak suka, aku sudah terlanjur jadi bagian dari Syailendra. Aku nggak punya nama belakang. Mungkin dengan menyematkan nama belakang Drey, mereka jadi lebih mudah mengenali aku.

Masih nggak ikhlas, sih. Mau gimana lagi?

Sekalipun aku sudah berusaha mengeluarkan senyum terbaik, tetap saja yang keluar senyum canggung kaya orang nahan kentut gini. Aduh, gimana sih si Aaron? Dia nggak bilang kalau acaranya bakal kaya gini? Atau aku yang bego?

Pantas saja si Drey sampai menyiapkan bodyguard dan limosin segala.

Waktu melihat nama besar Atkins di langit-langit ruang penerima tamu, tahu apa yang ada di kepalaku?

Adegan Savanna sama Drey di Syailendra Ballroom. Aku takut banget kalau Aaron ternyata serusak Drey pikirannya. Siapa tahu dia tahu aku jalan sama Dave terus cemburu terus sekarang ...

Aduh! Jangan, deh. Aku nggak sekuat Savanna. Aku bisa langsung gantung diri di depan semua orang kalau sampai kejadiannya kaya gitu.

Aaron yang sedang diwawancarai menoleh dan tersenyum kepadaku. Dia mengulurkan tangan untuk menyambutku. Aku kaget waktu dia langsung memegang pinggangku dan mencium pipiku, lalu berkata pada wartawan yang penuh sesak di depannya, "This little girl makes my perfect day."

Aku harus ngomong apa? Mereka ngomong barengan. Aku nggak bisa menangkap apa yang mereka omongkan. Seorang laki-laki bertanya kepadaku dengan suara yang lebih cukup jelas, tapi tetap saja nggak bisa kutangkap maksudnya.

"Pardon?" tanyaku agar dia memperjelas omongannya.

"Apa kamu saudara Drey Syailendra?"

Aku tertawa, agak canggung. Aku menatap Aaron, lali berkata, "No, I'm ... I don't have Syailendra name. Aku adik ipar Drey. Aku sendiri terkejut saat dipanggil dengan nama Glacier Syailendra tadi. You know, aku dari Indonesia. Aku hanya diberi satu nama tanpa nama belakang."

Aaron mengeratkan tangannya di pinggangku. "Tunggu sampai kalian bisa memanggilnya dengan nama belakangku."

Hah? Maksudnya?

"Jadi, kalian memiliki hubungan resmi?" tanya seorang perempuan yang menyodorkan microphone berlabel RTN milik Rockwood.

Aaron tertawa. "Tanyakan padanya. Dia belum menjawab pertanyaanku. Apa kita punya hubungan, Glacie?"

Kalau aku bisa melihat mukaku sendiri, mungkin aku bakal nampar mulutku. Jelas aku sadar banget kalau sekarang aku cuma megap-megap kaya ikan mas koki. Aku nggak tahu harus ngomong apa. Kok dia malah nembak aku di sini? Di depan orang-orang?

Dia menaikkan alis, menungguku.

Aku menelan ludah. "Yeah, sure. We ..."

Aduh, bahasa Inggrisnya apaan?

"Oh, God! Aaron, what should I say?"

Orang-orang tertawa atas jawabanku.

Dia juga tertawa, lalu memelukku erat. "Look at her! She's so cute! That's why I love her from the first time."

Aduh! Aku harus bilang apa?

Apa lagi yang kamu cari, Glacie? Heath sudah nggak mungkin mau balik ke kamu lagi. Sekarang ada cowok yang serius sama kamu. Kenapa nggak sama dia saja?

"That's why I love to be his girl," kataku sambil membalas pelukan Aaron.

Orang-orang tertawa dan lampu kamera terlihat lebih brutal dari sebelumnya.

Aaron berbisik kepadaku, "Ikuti gadis itu, dia akan membawamu ke ruang pesta. Aku harus menyelesaikan urusan dengan mereka."

"Ok," jawabku singkat sambil menoleh pada gadis yang tadi mengantarkanku ke sini.

"Hey, hanya itu?" tanya Aaron dengan mengeratkan pegangannya pada pinggangku.

"What?" tanyaku bingung.

"How about ... this?" Lalu, dia menciumku. Ciumannya hangat dan basah. Dia nggak peduli dilihat banyak orang. Dia nggak peduli wartawan mungkin akan menjadikan foto kami sebagai headline koran besok.

Dia melepaskanku. Wajahnya merah. Mungkin wajahku juga. Dia seperti pengin ngomong sesuatu, tapi ternyata dia cuma tersenyum saja sampai aku pergi bersama mbak-mbak bule tadi.

Apa Aaron memang serius sama aku? Apa dia memang benar-benar pengin ngajak aku berhubungan dengan komitmen? Dia benar mau nikah sama aku?

Apa dia memang jodohku?

Aku berterima kasih sama mbak-mbak yang mengantarku ke ruang makan malam. Hari ini halanganku lagi deras-derasnya. Aku pengin duduk sebentar sambil makan dengan santai gitu. Begitu diantar ke ruang yang penuh dengan kursi makan, aku langsung lega banget.

Aku duduk di sebelah Aaron di meja bulat besar. Ada dua orang yang duduk di meja yang sama denganku. Rasanya, aku kenal wajah mereka. Tapi, aku nggak kenal banget sama mereka. Jadi, yang kulakukan adalah tersenyum ke mereka, berharap mereka nggak mengajukan pertanyaan macam-macam atau dengan bahasa lain.

Ada empat kursi yang masih kosong. Mungkin belum datang. Aku nggak terlalu kaget waktu melihat Adam Rockwood dan seorang laki-laki berkumis yang memperkenalkan diri sebagai Abe-saja-aku-bukan-apa-apanya. Tapi aku kaget banget ternyata yang duduk di satu kursi lainnya adalah Gary Newman dan bapak-bapak berwajah tegas. Dari wajahnya saja kelihatan banget kalau dia ningrat. Wajahnya nggak terlalu mirip Gary.

Kali ini Gary punya beberapa jenggot warna cokelat terang yang kelihatannya mati-matian berjuang untuk tumbuh subur. Apa dia pakai wak doyok sekerdus?

Gary pindah duduk ke sebelahku, di tempat yang seharusnya diduduki Aaron. "Aku melihatmu bersama Atkins tadi," katanya setengah berbisik. "Aku ... kecewa."

Nah, terus aku harus bilang apa?

"Gary, I'm so sorry. Kita tidak ada komunikasi lagi setelah waktu itu. Kupikir kamu sudah melupakanku."

"Really? Melupakan gadis sepertimu? Aku butuh enam kali amnesia agar bisa benar-benar melupakanmu."

"Gary!" aku jadi ikut mendesis juga.

"Glacie, aku cuma..."

"Pertemuan kita terlalu sebentar untuk membuatmu mencintaiku. Rasanya ..."

"Harus berapa lama aku menjadi temanmu agar kamu merasakan apa yang kurasakan, Glacie?"

"Gary, your father's sitting in front of us."

"And I'm gonna tell him I love you."

"Gary!"

Dia menggenggam tanganku di bawah meja. "Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkanmu?"

"Mister Newman!"

Kami semua menoleh pada suara Aaron yang terdengar nyaring. Dia tersenyum lebar menyalami ayah Gari yang dari tadi ngobrol seru dengan Adam dan Abe.

Kutarik tanganku dengan keras karena Gary nggak juga melepaskan tanganku. "We can be a friend, Gary. Kamu tidak akan bisa memaksa orang menyukaimu, tapi kamu bisa memulai hubungan dengan menjadi teman yang baik."

"Mister Newman?" Aaron memanggil Gary dengan tangan terulur.

Wajah Gary terlihat keras saat berdiri dan berpaling kepadanya. Tapi ternyata dia tetap tersenyum dan menyalami Aaron seperti biasa. "Selamat! Ini exhibition yang luar biasa."

"Thank you. Kami bukan apa-apa tanpa kalian."

Mereka tertawa, lalu Gary kembali ke tempat duduknya di antara ayahnya dan Adam Rockwood. Aaron melepas kancing kemeja, lalu duduk di kursinya.

Kalian tahukan bagaimana cowok kalau berhadapan dengan rival? Mereka jadi sombong dan tukang pamer. Begitu juga Aaron yang mencium pipiku setelah ada di posisi duduk enak. Sepanjang acara itu juga dia hampir selalu memegangi tanganku, tanpa malu di depan orang-orang yang semeja dengan kami.

Kalian seharusnya lihat Bagaimana muka Gary. Aku sampai kasihan sama dia. Sepanjang acara aku berharap dia nggak kejang.

"Bagaimana kamu bertemu dengannya?" tanya Aaron setelah makan malam itu.

Kami sudah nggak duduk di meja lagi. Setelah makan malam sambil mendengarkan rangkaian kata sambutan dan pep talk dari semua orang yang memiliki andil dalam acara ini, kami beranjak ke ruang pameran. Kalau kalian kira ruang yang dipakai buat reunian kemarin itu adalah ruang terkeren di Rockwood building ini, salah besar. Ternyata ruang ini nggak kalah keren.

Ruangan ini bikin aku berpikir lagi ada di dalam film science fiction. Lampu biru dan semua barang-barang elektronik yang bisa bikin cowok betah nggak pulang dari tempat ini lengkap pokoknya. Timnya Aaron tahu benar apa yang disukai pemain game.

"Kenapa kamu ingin tahu?" tanyaku yang sebenarnya ingin menggodanya. Ternyata dia terpancing. Dia kelihatan kesal.

"Aku tidak suka dia berada dekat denganmu."

Aku tersenyum sambil membelai pipinya. "Aku juga, kok." Aku berkedip. "Kami bertemu di Jogjakarta."

Dia kelihatan mau bertanya lagi. Tapi, seorang laki-laki yang membawa tablet tipis berbisik kepadanya.

"Maaf, Darling. Aku harus pergi dulu. Enjoy the party." Dia mencium keningku sebelum pergi.

Aaron kembali sibuk memandu dan memberikan sambutan untuk tamu VIP (Termasuk di dalamnya Gary Newman yang mukanya kaya cucian nggak disetrika sebulanan) saat kami memasuki ruangan itu.

Aku mundur dari barisan, berpura-pura asyik melihat salah satu booth. Aku nggak ngerti mereka ngomong apa. Belajar bahasa inggris aja sudah cukup bikin rambutku rontok, apalagi sampai belajar bahasa game yang nggak banget ini.

"Miss Glacie," sapa Adam yang tersenyum di bagian lain booth yang kumasuki. Aku membalas senyumnya dengan ramah.

"Kamu punya gedung yang keren sekali, Mister Rockwood."

"Sudah kukatakan, panggil aku Adam saja." Dia tertawa ringan.

"Sorry, Adam."

Kami diam lagi. Dia mengerutkan kening sambil melihat ke arah lain. Kelihatannya, dia memikirkan bahan obrolan.

"Bagaimana dengan ... Drey?" tanya Adam setelah jeda diam yang cukup lama.

Ah, dia kangen temannya ya?

"Baik. Dia jauh lebih baik sekarang. Dia bersama orang-orang yang dicintainya."

"Great," ucapnya pelan. Dia menunduk, lalu melihat ke arah lain. Tapi, nggak juga pamitan untuk pergi dariku. Kayanya ada yang pengin dia omongin.

Apa dia pengin baikan sama Drey?

Yah, aku tahu rasanya ditinggalkan sahabat. Kadang, ada rasa kangen kalau ingat kebersamaan dulu. Bisa jadi juga Adam merasa bersalah.

"Aku akan menyampaikan salammu untuk Drey kalau kamu mau," kataku mencoba membuka obrolan yang kayanya bakal jadi curhatan ini.

Dia tertawa, kikuk. "Dia membenciku."

"Dia membenci semua manusia di bumi kecuali istri dan anaknya. Percayalah."

Adam tertawa. "Dia tidak berubah?"

"Semakin parah. Mulutnya tajam sekali."

Puas aku dapat teman buat ngerumpiin Drey. Dengar nggak kamu, Drey?

"You know, kadang aku merindukannya. Dia teman yang baik." Berkali-kali dia menjilati bibir bawah sambil melihat ke arah lain. "Aku menyesal."

"Hey, aku mengerti," jawabku. "Drey memang pemarah, tapi dia juga pemaaf, kok."

"Sungguh?" Dia menaikkan alis. "Kurasa tidak."

Aku tertawa. "Kelihatannya memang begitu. Orang itu punya harga diri yang disimpan di langit."

"Bagaimana denganmu dan Aaron?"

Karena pertanyaan ini, refleks aku menoleh ke Aaron yang cuma terdengar suaranya di pengeras suara saja.

"Uhm ... kami ... berteman dan dia menyenangkan."

"Drey tahu hubungan kalian?"

"Drey yang memintaku bertemu dengan Aaron."

Dia mengangkat alis. "Sungguh?"

"Ya. Memang kenapa?"

Dia mengusap bibir dengan jempol. Matanya mengamatiku sampai aku merasa nggak enak.

"Apa ada masalah?" tanyaku sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga, kali-kali aja ada dandananku yang dianggapnya nggak cocok sama Aaron.

Dia memandang ke belakang dan ke tempat lain, seperti memastikan nggak ada yang nguping. Ini gaya khas orang yang mau ngajak ngerumpi sebenarnya. Apa ada sesuatu dari Aaron yang nggak kuketahui?

"Boleh kita bicara di tempat lain, Miss Glacie?" Adam menyentuh punggungku dan mengulurkan tangannya ke arah lain. Demi kekepoan yang menyesakkan dada, aku mengikutinya.

Apa ada yang mau dikasih tahu tentang Aaron atau Drey?

Kami berjalan ke bagian lain ruangan. Dia mengajakku naik lift kaca tembus pandang yang dibuka dengan kartu khusus darinya. "Ini lift yang langsung membawa ke penthouse-ku."

"Uhm, kenapa harus ke penthouse-mu?"

Wajah Adam mengeras. "Miss Glacie, kami; aku, Drey, dan Aaron dulu berteman cukup dekat sebelum semua berantakan... karena perempuan."

Aku mengangguk. "Aaron sudah menceritakan itu kepadaku."

"Kami adalah ... serigala buas. Kami memiliki kebiasaan yang tidak dimiliki orang biasa."

"Kumpulan laki-laki kaya yang suka memainkan perempuan?"

Dia mengangkat alis, terkejut dengan jawabanku sepertinya.

"Adam, aku dikelilingi laki-laki seperti kalian. Aku ... sampai berpikir rasanya tidak mungkin mendapatkan laki-laki yang ... virgin."

Dia tertawa. "itu cuma mitos."

Bangke! Terus, apa cewek yang bertahan untuk perawan sampai nikah selalu dapat sisaan?

"Ya, aku tahu," jawabku tanpa menunjukkan ekspresi kesal. Padahal, aku bertanya dalam hati apa masih ada perjaka sungguhan di dunia ini?

Lift berdenting pelan. Pintunya terbuka. Adam mengulurkan tangan untuk memintaku lebih dulu keluar dari lift berpintu kaca itu.

"Itu pintu penthouse Aaron."

Eh?

"Dia tidak mengatakan punya penthouse di sini."

"Hanya aku yang tahu dia memiliki penthouse di sini. Dia ... punya kecenderungan yang tidak bisa dilihat orang lain. Di sinilah dia melakukannya."

Apa? Menyendiri? Koleksi cewek? Main game sampai pagi? Kerja di depan komputer nggak kenal waktu?

Adam memberikan kartunya kepadaku. "Aku ada di lantai atas. Aku tinggal dengan istri dan anak kami. Saat ini mereka sedang berada di rumah venus, kakakku, sampai minggu depan." Dia diam sebentar, memperhatikanku. "Kalau membutuhkan sesuatu, kamu bisa menghubungiku."

Eh? Apa maksudnya?

"Terima kasih. Tapi, kurasa aku tidak butuh kartu ini. Aku juga tidak akan ..."

"Just keep it. Please. Kartu ini merupakan akses tak terbatas di gedung ini."

Aduh, aku nggak enak. Masa dikasih kunci rumah suami orang. kalau aku dicolok pisau sama istrinya disangka pelakor gimana? Drey aja kalau berani ngasih kunci rumah ke cewek lain bakalan dicabut tulang-tulangnya sama Savanna.

Tapi, aku nggak berani kan nolak lagi. Mukanya Adam tuh kaya orang yang nggak suka ditolak. Aku agak takut sama dia.

"Thank's," jawabku sambil memasukkan kartu itu ke dalam tas tangan. Asal aku nggak bilang siapa-siapa, kayanya aman saja, kan?

Kukira, Adam mau memperlihatkan apa, ternyata dia membawaku ke lift lagi. Kami turun ke tempat acara itu lagi.

"Adam, kalau kamu mau, besok aku bisa mengatur makan siang dengan Drey. Kalau bersama istrinya dia jadi lebih ... jinak."

Dia tertawa lagi. "Terima kasih banyak, Miss Glacie. Aku hargai usahamu."

"Kamu mau?"

"Apa aku bisa mengajak istriku juga?"

"Tentu saja boleh. Boleh aku menyimpan nomormu? Aku akan menghubungimu lagi nanti. Aku bisa membuat rencana dengan Savanna untuk pertemuan kalian."

Dia tertawa sambil menggigit bibir waktu kuserahkan HP kepadanya.

"Hidup Drey pasti bahagia memiliki adik sepertimu." Dia menyerahkan HP kepadaku.

"Asal kamu tahu, kami hampir saling membunuh."

Dai tertawa keras sekali sampai lift terbuka. Aaron yang sedang berbicara dengan orang di dekat lift menoleh kepada kami.

"Hey, dari mana kalian?" Aaron mendekatiku dan memeluk pinggangku. "Aku mencarimu dari tadi."

"Kami mencari tempat tenang untuk merancang rencana. Aku ingin Adam berbaikan dengan Drey," jawabku saat Aaron mengecup kepalaku.

"Really? Kamu punya sekutu, Man!" Aaron menepuk bahu Adam. "Kuharap semua berjalan lancar."

Adam menaikkan alis dan menunduk. "Aku tidak berharap banyak," katanya. "Aku hanya ingin minta maaf. Sungguh, itu menghantuiku."

Aaron tersenyum dan menepuk lengan Adam beberapa kali. Seorang laki-laki datang dan membisikkan sesuatu kepadanya. Aaron mengangkat alis dan mencium pipiku. "Maaf aku harus pergi lagi. Nanti kita bertemu lagi, Honey."

Little bee. Aku ini Little bee.

Astaga! Apa yang ada di kepalaku ini?

"Ya. Aku akan menunggu," jawabku sebelum dia pergi meninggalkan kami.

Adam memperhatikan Aaron yang meninggalkan kami, lalu menoleh kepadaku. Dia nggak mengatakan apa-apa. Dia hanya menggeleng.

"Aku ingin mengantarmu pulang," katanya pelan setelah mengerjap beberapa kali.

Ni bapak-bapak apa otaknya rusak apa gimana? Tadi dia ngajak aku ke penthouse-nya. Sekarang malah mau ngantar aku pulang.

"Terima kasih. Aku pulang dengan bodyguard bayaran Drey."

"Di mana mereka?"

Aku melihat sekeliling. "Mungkin di sekitar sini. Entahlah."

Ih, iya juga sih. Harusnya kan mereka di sini. Buat apa jadi pengawal kalau nggak ngawal aku?

Adam memperhatikanku lama sekali. Dia seperti orang yang gelisah. Ini bikin aku sendiri merasa nggak enak. Serius, deh. Sepertinya, dia menyimpan sesuatu yang nggak mengerikan. Apa sebenarnya dia jahat?

"Miss Glacie, aku sudah banyak melihat gadis dalam hidupku. Mungkin lebih banyak dari jumlah teman-teman sekolahmu. Aku ... aku mengenali siapa di antara gadis-gadis itu yang ... perawan. Saat melihatmu, aku mengenalimu sebagai salah satu di antaranya. Aku hanya ingin menyarankan ..."

"Miss ..." Seseorang menyenggol tanganku. Waktu aku berbalik, ternyata salah satu pengawal suruhannya Drey. "Tolong ikut kami," katanya dengan suara tegas. Dia tidak memandang Adam. Dia memegang--agak menarik sebenarnya--tanganku menjauhi Adam.

"I'm sorry, Miss. Mr Syailendra meminta kami untuk menjauhkanmu dari Mr. Rockwood," katanya setelah kami sampai di tempat yang lebih ramai.

Aku menoleh ke tempat Adam berdiri tadi. Ada banyak orang yang berlalu-lalang. Aku sudah nggak bisa melihat Adam lagi.

Dia memang agak aneh. Aku nggak tahu kenapa. Tapi, perasaanku mengatakan kalau nggak perlu takut sama dia. Sekalipun dia memang aneh.

Terus, kunci penthouse-nya buat apa?

Aku diantar lagi ke tengah ruang pameran. Aaron masih memandu tamu-tamunya ke booth yang berwarna hitam-putih.

"Kami akan terus menjagamu, Miss," kata laki-laki besar itu sebelum meninggalkanku.

Baru saja aku mau merapat ke Aaron waktu pinggangku disentuh dan aku hampir menjerit.

"Sorry," kata Gary pelan.

"Damn! Aku baru saja diseret ke sini oleh mereka dan sekarang kamu mengejutkanku."

Dia berkedip. "Apa yang mereka lakukan?"

"Nothing. Mereka cuma ... menjagaku." Walau aku nggak tahu kenapa Drey harus menjauhkanku dari Adam. Apa karena dia masih dendam?

"Bagaimana dengan kita?" tanya Gary tanpa malu.

"What do you mean?"

"Glacie, kapan pun kamu merasa hubunganmu dengan Aaron tidak berjalan baik, tolong hubungi aku. Aku akan menunggumu."

"Kenapa kamu tidak mencari gadis lain?"

"Karena tidak semua gadis sepertimu."

"Gary, aku ..."

"Love!" Aku merasa Aaron mencium bagian belakang kepalaku. "Aku mencarimu."

Gary melihat ke arah lain.

"Bagaimana kalau kamu menemaniku sebentar lagi sebelum kita kembali? Sungguh, aku lelah sekali."

Aku nggak bisa ngomong apa-apa waktu Aaron menggandengku menjauhi Gary. Sebenarnya nggak enak sih sama Gary. Cuman, ya dia aneh sih. Pertemuan kami berapa kali coba, eh dia ngajak nikah aja. Kenal aja belum, gimana aku bisa suka sama dia?

"Tolong jangan sakiti aku, Baby." Aaron berbisik sambil memelukku dari belakang. "Aku tidak ingin melepaskanmu."

"Maaf. Kami cuma ngobrol."

Aaron cowok normal yang punya cemburu dan obsesi, beda sama cowok yang malah nawarkan aku sama cowok lain itu. Wajar kalau dia kesal sama Gary atau cowok lain yang dekat sama aku.

"Ceritakan lago bagaimana kalian bisa bertemu?" Dia bertanya saat DJ memulai lagu yang agak pelan. Agak pelan di sini bukan berarti musiknya slow, ya.

"Di Jogjakarta, Indonesia," bisikku pada Aaron yang menunduk agar bisa mendengarku dengan jelas. "Kami tidak sengaja bertemu di starbucks dan dia kejang. Aku membantunya membawa ke rumah sakit. Drey memanggil ambulan untuknya."

"Dia berterima kasih sekali padamu. Kamu tahu bagaimana cara menangani kejang?"

"Waktu kecil aku pernah kejang. Kakak-kakakku dilatih untuk menolongku. Ternyata, latihan itu membuatku bisa menolong orang lain."

Dia tersenyum. "Kalau aku kejang, apa kamu mau menolongku?"

"Jangan! Kejang itu sakit."

"Tapi kamu membuat hatiku sakit dari tadi."

Aaron ...

Dia menciumku lagi. Sebuah ciuman lembut yang membuatku merasa nggak di bumi lagi.

Saat dia melepaskan ciumannya, aku menginginkannya lagi. Tapi, apa katanya kalau aku merengek minta dicium?

"Jangan pergi dariku." Dia mengecupku. "Aku membutuhkanmu."

Dia menggenggam tanganku melewati orang-orang yang ada di ruangan itu. Aku sampai setengah berlari agar bisa mengikuti langkahnya yang cepat. Sampai di dalam lift kaca yang tadi kumasuki, dia menciumku lagi. Hanya ciuman kilat sebelum aku menoleh ke luar lift. Adam Rockwood menatapku dengan wajah mengeras sebelum dia meneguk minumannya.

Apa yang diinginkan orang itu?

"Kenapa?" tanya Aaron pelan. "Adam mengganggumu?"

Aku menggeleng. Nggak mungkin kan aku kasih tahu dia kalau tadi habis dikasih kunci penthouse-nya Adam? Nanti bubar persahabatan mereka.

"Aku cuma merasa dia ... aneh."

Aaron tertawa. "Dia Rockwood, Sayang. Rockwood memang aneh."

Aku bernapas keras. "Syailendra juga aneh."

"Apa aku aneh?"

Aku tertawa padanya. "Ya. Kamu juga."

Dia mengangkat alis.

"Di antara semua gadis yang ada di sini, kamu memilihku. Itu ... aneh."

Dia tertawa. "Kamu tidak tahu betapa banyak aku bersyukur saat melihatmu. Kamu mengabulkan semua mimpiku," katanya sebelum menciumku lagi.

Penthouse Aaron tuh keren banget. Letaknya di hampir atapnya Rockwood tower. Kubilang hampir karena di bagian miring lainnya, di atas punya Aaron ini, masih ada penthouse-nya Adam yang tadi dia bilang. Punya Aaron ini nggak ada kolam renangnya. Aaron nggak keberatan karena dia agak ngeri sama ketinggian katanya.

Ada jendela besar yang cakep banget. Jendela itu menghadap ke Brooklyn Bridge yang keren banget. Lampu-lampu malam terlihat seperti bintang. Laut yang membatasi Manhattan dengan Brooklyn terlihat memantulkan lampu-lampu kota. Sepertinya, aku ada di dunia fiksi yang nggak ada batasannya. Pasti kalau siang tempat ini tambah keren.

Kukeluarkan HP dari tas tanganku. Nggak tahan rasanya nggak foto-foto di sini. Bodo amat dibilang norak sama Drey. Mulut dia sih terlalu gatal kalau lihat orang bahagia. Sini aku mau bayar Paris Hilton buat ngesot.

Tapi ... nanti Heath lihat aku di sini.

Bodo amat!

"Do you see me, Heath? I'm with someone who can treat me better. Watch me, Heath!" bisikku pada kamera HP. Yah, walau sebenarnya aku pengin nangis setiap nama iti disebut.

Kuputuskan untuk membawa HP itu ke mana-mana biar Heath tahu apa yang bisa Aaron lakukan ke aku. Biar dia belajar cara memperlakukan cewek yang benar tuh kaya gimana.

"Hey!" Aaron kembali setelah ganti baju. Sekarang, dia pakai kaus sama jaket saja. Memang sih di sini agak dingin. Aku juga pengin pinjam jaketnya kalau boleh.

"This is amazing," komentarku untuk pemandangan yang kulihat.

"Do you like it?"

Aku tersenyum dan berkata, "ya, I like it."

"But you look better than that window and I like you more than that city view."

"Thank you," jawabku sambil meremas HP.

Diabetes sudah ada obatnya, kan?

"Kenapa kamu membawa ponsel itu terus? Apa kamu menunggu telepon dari seseorang?"

Aduh! Malunya!

"Nope. Aku ... aku cuma ingin mengambil gambar langit dari sini. So beautiful."

Dia tersenyum, lalu berdiri di belakangku. "Yeah, it is. Like you. Beautiful."

Aku merinding. Suara Aaron terasa lembut dan aneh. Aku pengin berbalik melihatnya, tapi nggak berani gerak.

"Aku senang kamu di sini." Dia mengusap leherku. Perlahan, tangannya membelai pungggungku, lalu melingkar di perutku.

Astaga! Kenapa rasanya begini?

Kakiku gemetar. Aku merasa sesuatu bergerak dari bagian bawahku. Rasanya geli, tapi aku merasa ingin disentuh. Apa ini?

Aaron menciumi leherku. "Aku suka aromamu, Glacie. Manis. Seperti gula." Jilatannya di bahuku terasa hangat dan basah. "Ya begitu, Sayang. Mendesah untukku."

Mendesah? Aku? Masa aku mendesah?

"Aaron ..."

"Ya?"

Aku berbalik kepadanya. Sebelum aku mengatakan apa-apa, dia menggigit bibirku. Dia mengangkat pantatku agar aku menempel pada tubuhnya. Apa yang harus kulakukan? Menyerah padanya? Tapi ...

Kudorong pelan tubuhnya sampai dia melepaskan bibirku.

"Aaron, I have my period. Remember? I ... I can't."

Dia tersenyum. "That's fine, Baby. I'm ok with blood." Dia menggigit ujung telingaku. "I love it."

Hah? Nggak jijik? Aku aja jijik.

Serius, nih?

"But this is my first time, Aaron. I ..."

"First time? Are you sure?"

Aku mengangguk.

"Dia tidak menyentuhmu?"

Dia siapa? Heath?

Aku mengerjap beberapa kali. "No ... we just ..."

"That's fine, Baby. Just enjoy mine," katanya sebelum menciumku lagi. Dia menarik rambutku tanpa peduli aku mengerang menahan sakit. "Shame on him."

Kenapa dia? Apa dia punya kelainan seperti Drey? Tapi ... aku bukan Savanna yang diam saja kalau kesakitan. Mana bisa aku bercinta kalau kesakitan. Kukira dia cowok lembut.

Sambil terus berciuman, Aaron membawaku berjalan. Dia menempelkanku di dinding. Pelan, dia menggesekkan bagian bawahnya pada tubuhku. Seluruh tubuhku menggigil. Aku juga ingin dia menyentuhku lebih banyak. Aku ingin dia membelaiku lagi.

Terus, gimana? Aku kan halangan.

Aku membuka mata, mencoba mencari alasan untuk lari dari dia.

Lalu, aku melihat foto besar itu menempel di dinding tanpa pigura. Foto cewek yang sangat kukenal. Sienna Shelby. Sekalipun foto itu hitam-putih, aku jelas bisa mengenalinya. Wajah manis Sienna yang pasti bikin cowok-cowok luluh, berbanding terbalik dengan kelakuannya yang cuma diketahui beberapa orang sana.

Kudorong tubuhnya lagi.

Dia menghentikan ciumannya, lalu mundur. "Kenapa?"

"Is it ... Sienna?" Aku menunjuk foto besar itu.

Aaron menoleh ke arah yang kutunjuk, lalu tersenyum. "Ya. Sebelum dia menikah dan menghancurkan hidupku."

"Tapi, dia menikah dengan ... Drey."

"Dan mematahkan hatiku."

Maksudnya apa? Dia marah sama Drey?

"Aaron, Drey tidak ingin menikah dengannya. Drey dipaksa untuk menikah dengannya."

Dia tersenyum. "Ya, aku tahu. Drey mengatakan padaku tidak akan menikahinya. Tapi ... dia menikahinya."

"Karena Drey marah pada kakakku. Dia tidak menginginkan Sienna. Dia hanya ..."

Aaron mendekatkan wajahnya padaku. "That's why I choose you, Baby," bisiknya pelan.

Karena aku ipar Drey? Karena aku adiknya Savanna? Karena dia dendam pada Drey?

Tangannya erat di pinggangku. "Just watch me doing something good to you." Dia menempelkan tubuhku pada tubuhnya. Aku bisa merasakan bagian bawahnya tepat pada bagian bawahku. "I know you want it too."

"Aaron, aku ... menstruasi. Aku ... tidak bisa begini," kataku di sela gemetar yang diberikannya pada tubuhku. Aku pengin lari. Aku pengin pergi. Tapi, kenapa tubuhku masih merespon sentuhannya?

"Baby, sudah kukatakan, aku suka darah. Darahmu pasti terasa manis."

"Drey will kill you."

Dia tersenyum. "Tidak. Jika aku lebih dulu melakukannya padamu."

"You said you love me."

"I do. I fucking love you. That's why it feels so complicated, Baby." Tangannya menyelip ke bagian bawah rokku. Dia membelai kakiku dengan lembut. Tangannya terasa hangat.

"Nikmati malam ini, Baby. Keperawanan tidak bisa dirasakan dua kali." Dia menjilati telingaku. "I just wanna feel this sweet revenge."

Dendam? Kenapa harus padaku? Aku nggak kenal Drey waktu itu. Bukan aku yang nikah sama Drey.

Aku ingin menangis. Aku mau lari. Tapi, ke mana?

Ya, Tuhan. Apa ini? Kenapa begini? Aku cuma mau melewati malam ini dengan baik. Besok aku ketemu keluargaku lagi. Aku mau balik ke Jakarta. Aku mau hidup baru. Aku mau hidup yang biasa, jauh dari orang-orang kaya aneh ini, jauh dari glamornya kehidupan. Aku cuma ingin hidup sederhana yang bahagia.

Kenapa aku malah ada di sini, Tuhan?

Tolong aku! Tolong aku!

Heath ...

***

Aduh Glacie kenapaaaa...

Aaron ternyataaa... benarkah? Apa Glacie cuma salah paham sama Aaron? Apa ini bukan sekedar fitnahan Author belaka?

Heath ... kamu nyungsep di mana? Kenapa kamu sekeji itu melupakan cewek yang siang malam nangisin kamu?

Semangat, Glacie! Jangan nyerah begitu saja! Ingat pesan ini:

Mari kita doakan agar Glacie bisa selamat dan dapat hidup bahagia seperti yang diinginkannya.

Terima kasih banyak atas vote, comment, dan share cerita seru ini ke media sosial kalian. ♡♡♡ rameee banget kita hip hip hura sama Glacie.

See you next part ♡♡♡


Love you, Little bees.

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro