1 ~ Wish

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Biasanya, Alma Daisy Septiannanda akan tiba di sekolah tepat satu menit sebelum bel tanda masuk dibunyikan. Alasan utama, ia malas berlama-lama di dalam kelas sementara yang lain sibuk mengobrol dengan teman-temannya. Gadis yang biasa dipanggil Alma itu enggan, terlihat terabaikan seperti orang tidak punya teman. Walau sebenarnya memang demikian.

Namun, hari ini ia sengaja datang sepuluh menit lebih awal. Konsekuensi mengikuti pelajaran dari jendela luar kelas sebagai hukuman, untuk murid yang telat di pelajaran Matematika, merupakan kendala. Selain malu, siapa mau jika poin yang sudah didapatkan dengan susah payah, harus hilang dalam hitungan jam.

Jika satu poin adalah jawaban benar dari lima soal, maka sepuluh soal adalah satu kehilangan terbesar. Secuil kelalaian dapat membuat angka merah dalam buku laporan akhir semesteran. Kesalahannya bukan seberapa, tapi kemarahan mama akan terdengar bising di telinga sampai seharian.

Sebenarnya Alma tidak terlalu mementingkan nilai di banyak pelajaran. Ia hanya suka bahasa Indonesia dengan pelajarannya. Kendatipun bukan termasuk ilmu pasti, tapi mengerti ide pokok dalam sebuah paragraf bukanlah hal yang mudah. Disitulah letak serunya.

Jika guru Matematika dikenal tegas, maka Ibu Nilam seorang yang santai dalam mengajar. Ketika murid-murid sibuk mencatat, maka ia akan fokus menatap laptop. Membuat status dan mengomentari postingan orang-orang di Facebook.

Demi jarak yang terasa jauh ditempuh, rasa-rasanya Alma ingin segera tiba di dalam kelas. Berjalan sendirian—menunduk merasa malu, melangkah terasa kaku, merupakan tantangan besar. Murid lain seperti memerhatikan, padahal itu hanya buah dari pikiran. Sikap overthinking itu yang terkadang menyiksa hati. Padahal orang lain hanya sibuk pada diri sendiri.

Mendadak langkahnya terhenti ketika sebuah bola menggelinding sampai di depan kakinya. Bersamaan dengan itu, seseorang berteriak dari tengah lapangan.

“Oy! Lempar sini bolanya, tolong!”

Alma langsung menoleh ke sumber suara. Ia sempat terpaku. Tidak ada lagi orang lain—terdekat—selain dirinya yang bisa melakukan hal tersebut.

“Eh, buruan!” Yang lain mulai menyahut. Jadilah murid yang ada di sekitarnya menoleh dan cukup memerhatikan.

Tidak mau lebih lama jadi bahan tontonan, Alma segera membungkuk, meraih bola itu dan tanpa ancang-ancang langsung melemparkannya ke tengah lapangan—di mana murid laki-laki tengah bermain basket di sana. Namun, karena ayunannya yang pelan, otomatis benda berwarna oranye itu tidak terlempar jauh.

“Yaelah, itu, sih, ngelempar bola bekel.” Sontak saja mereka tertawa. Alma benar-benar merasa tersudutkan dan sangat malu, sehingga tanpa berbasa-basi, ia buru-buru mengambil langkah untuk pergi. Kedua pipinya pasti sudah merona semerah tomat.

Sesampainya di dalam kelas, Alma lantas disuguhkan oleh pemandangan yang sebenarnya sudah biasa terjadi. Tiga atau empat orang siswi di kelasnya sering menghabiskan waktu kosong sebelum jam pelajaran dimulai dengan berpacaran. Mereka tidak canggung, apalagi malu bercanda berduaan. Tertawa cekikikan, lalu saling rangkul.

Dari dulu ia perhatikan. Seseorang yang gampang punya pacar itu, pasti yang good looking. Lalu pintar dan pandai bergaul. Populer di sekolah. Jika dipikir-pikir, Alma tidak dalam kualifikasi itu.  Jangankan bisa punya pacar, ada cowok yang mau mengajaknya bicara saja sudah lebih dari bagus.

Tiba-tiba perasaan ingin merasakan hal yang sama seperti gadis-gadis yang punya pacar itu, muncul.

Indah kali, ya. Merasa diperhatikan.
Merasa ada yang jaga. Jadi kayak dibutuhkan.

“Galan! Galan! Galan! Please, dong, bagi nomor lo yang baru!”

Lamunan Alma menguar. Perhatian yang ada di kelas pun jadi teralihkan, saat seorang gadis dengan suara nyaringnya bersuara—mengejar pemuda bertubuh tinggi—yang tanpa acuh terus berjalan, hingga sampai di bangkunya. Duduk di sana, tepat di kursi sebelah Alma.

“Iya, Galan. Ih, pelit, amat, sih!” sahut gadis satunya. Bibir tipisnya sampai menukik turun, pertanda kesal. Alma yang ada di dekat mereka, hanya diam menyaksikan. Kegiatan itu pun sudah sering terjadi.

“Eh, denger, ya, kalian berdua. Kalau gue kasih nomor yang baru, ya buat apa gue ganti, oncom?” sewotnya. “Ganggu banget, deh, kalian pada. Udah pergi sana! Hust-hust!”

Lima jarinya berayun tepat di depan muka kedua gadis itu, seperti sedang mengusir anak bebek.

“Nggak, kita nggak akan pergi sebelum lo kasih nomornya.”

“Haduh ..., rese.” Cowok itu sampai membanting buku yang baru saja ia keluarkan dari dalam tas ke atas meja.

“Mau kalian ngerengek pun, gue nggak bakal kasih.”

“Ya udah, nggak mau tau. Kita bakal di sini. Iya, kan, Mil?” kata si rambut pendek tetap kekeuh pada pendiriannya.

Sabodo,” Laki-laki bernama Galan itu tidak kalah angkuh. “Cuma gue kasih tau aja, hari ini pelajaran pertama Bu Ratna. Kalau mau tetap di sini, ya, silakan.”

Mendengar pernyataan tersebut, kedua gadis itu saling menatap dengan tatapan gamang. Namun, belum berniat untuk undur diri dan menyerah dengan mudah.

“Al, lo udah ngerjain pr-nya belum?” tanya Galan, yang lebih penting mengabaikan dua anak itik itu dan fokus saja pada tugas rumahnya yang belum selesai.

Alma buru-buru mengangguk.

“Ya udah, gue lihat, dong!” Kedua alisnya langsung naik turun, sementara senyum lebarnya terkesan dibuat-buat. “Cuma tinggal nomor, satu, dua, tiga, empat, sama lima, kok.”

Itu, sih, semuanya, kata Alma ngedumel dalam hati.

“Tenang aja, nanti gue traktir bakso.”

Mulut kedua gadis itu langsung menganga lebar, dan dengan gerak cepat merebut buku di tangan Galan. “Sini-sini, biar gue aja yang ngerjain.”

“Enak aja, gue duluan.”

“Gue!”

“Gue!”

Galan mengembuskan napas panjang seraya geleng-geleng kepala melihat tingkah konyol mereka. Sedangkan Alma, terpaku, bengong sendiri.

“Buku gue nanti sobek!” geramnya sambil merebut bukunya lagi. “Lagian otak kalian masih dibawah gue, mau sok-sokan ngerjain soal Matematika jurusan IPA?” Jelas Galan meragukan kemampuan mereka. Terbukti, keduanya langsung terdiam dengan ekspresi kesal.

“Udah, Al. Mana buku lo, cepetan. Nanti keburu, Bel.”

Alma tidak punya pilihan lain. Walau dengan setengah hati, ia membuka tas dan mengeluarkan buku Matematikanya. Semalaman dengan susah payah ia mengerjakan semua soal itu, tapi sekarang dengan seenaknya disalin Galan.

“Wah ... ketampanan pangeran Galan itu berlipat-lipat, ya, kalau lagi mode serius gini,” tutur si rambut panjang berbando polkadot, memuji keindahan ciptaan Tuhan dalam wujud manusia itu.

“Iya, ih, gue rasanya pengen mati.”

“Ya udah, mati, aja. Bagus malah,” timpal Galan, membuat Alma berusaha menahan senyumnya.

“Ih ... Galan, nggak ngerti banget.”

“Tapi bener kata Galan. Kalau lo mati, saingan gue berkurang.”

“Sili!” sewotnya, yang seakan ingin menerkam.

“Hehe, iya canda gue canda.”

Setelah selesai menyalin semua jawaban ke dalam bukunya, Galan pura-pura berekspresi terkejut ketika melihat dua gadis itu masih setia di sana—memperhatikannya dengan senyum-senyum seperti orang kecanduan.

“Eh, Sili, Mili. Mau sampe kapan kalian di sini?”

“Ya, lo tau mau kita, Gal.”

Galan sampai mengacak rambutnya karena merasa frustrasi. “Apa, sih, yang harus gue lakuin supaya kalian berhenti gangguin gue?”

Melihat semeraut wajah Galan, Alma jadi berpikir ulang. Susah juga jadi orang tampan dan disukai banyak orang. Bersyukur dengan keadaan memang lebih baik.

“Kalau lo punya pacar mungkin kita bakalan mundur,” kata Mili, terlihat asal bicara. Karena setau dua gadis itu, setelah Galan putus dengan Kaila, tidak ada gadis yang benar-benar didekati oleh pemuda itu. Jadi, syarat itu pasti tidak mungkin dilakukan Galan dalam waktu dekat.

Untuk sebentar Galan mengernyit. Terdiam dan tiba-tiba berpikir seraya menoleh pada Alma. Ide brilian pun langsung muncul.

Kemudian Galan tertawa merasa konyol. “Kalian berdua nggak tau? Gimana, sih, kok, kurang update.

“Kenapa? Jangan bikin kita takut, deh.” Tampang mereka berdua terlihat cemas.

“Ya, gimana, ya. Gue udah punya pacar.”

What?!” Tidak hanya Sili, Mili, yang terkejut. Alma pun begitu.

“Si-siapa?” tanya Mili agak ragu. Takut saja mendengar dan menerima kenyataan yang pahit.

“Ini.” Telunjuk Galan langsung mengarah pada Alma, sementara tangan kirinya menggenggam tangan kanan gadis itu—menunjukkan jika mereka benar sepasang kekasih. Sontak saja mata Alma membeliak menerima perlakuan spontan tersebut. “Alma pacar gue.”

“Hah? Nggak mungkin....”

nuraiqlla
1 Juli 2021
10:17

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro