19 ~ Very Annoying

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mungkin ini untuk pertama kalinya Alma merasakan cemas yang berlebihan pada seorang laki-laki. Cemburu, kata lain yang sering orang sebut-sebutkan. Sayangnya ia merasakan cemburu pada seseorang yang belum pernah Alma lihat secara nyata. Sulit sekali digambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Ingin bertindak, tapi ke mana?

Bahkan Asta seperti malas untuk membalas semua pertanyaannya. Dengan teganya dia hanya membaca pesan Alma. Tidak mengabari, padahal dia sedang online.

Alma bingung harus menceritakan kegundahannya saat ini pada siapa. Mama atau Kakaknya? Mereka bisa kaget dan tidak akan percaya. Begitu tiba-tiba, itu tidak mungkin. Minta tolong pada Galan? Mana bisa, dia juga pasti akan menyebutnya konyol. Lagipula sekarang ia sedang kesal pada pemuda itu. Sedangkan semakin dipendam semakin membuatnya gusar.

Asta, kamu lagi sibuk, ya?
Kenapa, sih, nggak bales chat aku?

Berulang kali Alma menanyakan hal yang sama, tapi belum ada satupun yang dibalas olehnya.

Kamu marah? Kesel?
Aku lebih dari itu.

Heran, deh.
Kamu masih aja, ya, penasaran sama Indah.

Kali ini Asta benar-benar membalas pesan di whatsapp.

Kamu juga ngapain pakek kasih tau Indah, kamu itu pacar aku.

Lho, kamu nggak suka?

Bukan nggak suka.
Tapi terlalu tiba-tiba.
Selama ini, temen-temen aku nggak ada yang tau aku udah punya pacar.

Alma tersenyum miris.

Ah, iya. Aku lupa.
Aku ini, kan, pacar yang nggak dianggap.

Duh, Al. Bukan gitu.

Kamu malu, kan, akuin aku sebagai pacar.

Enggak.

Terus, kenapa kamu marah?
Hak aku, kan, ngasih tau Indah kalau kamu pacar aku.
Aku tuh nggak mau kamu berhubungan sama dia lagi.

Kamu kok jadi posesif gitu, sih?

Aku cuma nggak mau dibohongin kamu.

Aku bohong apa?
Aku udah jujur, aku sama Indah udah nggak ada hubungan apa-apa lagi.
Kalau dia tiba-tiba dm aku, ya aku nggak tau.
Aku nggak bisa larang dia, dong.

Udahlah. Bilang aja kalau kamu masih berharap, kan?

Ngelantur, deh, kamu.
Udahlah, aku mau ngerjain tugas kelompok dulu di rumah temen.
Nggak usah bahas soal Indah lagi karena itu bikin aku bad mood.

Temen cewek?

Ada cewek, ada cowok.

Bibir Alma kembali maju beberapa senti. Wajahnya benar-benar kusut. Ia merasa sedih karena tidak berada di dekat Asta. Kalau saja jarak rumah mereka dekat, Alma mungkin tidak akan terlalu parno seperti sekarang ini. Alma sungguh takut Asta melakukan hal yang tidak-tidak, seperti berselingkuh, sementara ia sendiri tidak tahu.

Kamu nggak usah pikir macem-macem.
Aku pergi dulu.
Bye.

Alma tidak membalasnya. Hatinya masih diliputi kebimbangan. Hubungan ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu kepercayaan dan keyakinan. Masalahnya setelah datangnya pesan pribadi dari Indah, keraguan Alma mulai muncul.

Belum juga mereda. Bunyi notifikasi tanda datangnya sebuah pesan berbunyi. Awalnya Alma pikir itu dari Asta, tapi ternyata ada dm untuk Asta dari Indah.

"Mau dia apa, sih?" gerutu Alma seraya membuka notifikasi tersebut.

Indah Maharini
Makasih, ya, Kak. Udah mau bales chat aku lagi.
Semoga tali silaturahmi kita nggak putus lagi mulai sekarang.

"Apa-apaan ini? Chat?" kening Alma mengernyit heran. Sekarang isi di kepalanya penuh dengan dugaan-dugaan yang menakutkan. "Apa jangan-jangan mereka chatan di belakang aku?"

Pun, Alma mengembuskan napas kasar. Asta sudah membohonginya. Sementara Indah sama sekali tidak memedulikan kata-katanya di instagram.

"Jadi ini caranya kamu, Ta? Sebenernya maunya cewek itu apa, sih?

***

"Al, kamu lagi ngapain di dalem? Dikunci segala."

Air mata Alma yang tanpa bisa ditahan mengalir membasahi pipinya, langsung diusap oleh punggung tangan, ketika suara kakaknya itu terdengar di telinga.

"Buka, Al. Ada tamu, tuh, di luar!" sahutnya lagi, yang membuat kening Alma mengernyit.

"Tamu? Siapa?" tanyanya pada diri sendiri.

"Cepetan, dia udah nungguin, tuh! Disuruh masuk nggak mau, kalau bukan kamu yang persilakan!"

"Hah? Siapa, sih?"

Kalau benar ada tamu, rasanya orang itu datang di waktu yang tidak tepat. Dalam keadaannya yang sekarang, hanya ingin sendirian sambil menangis meratapi nasib karena tidak tahu apa pun tentang kekasihnya.

"Iya-iya sebentar!" jawabnya, yang lantas berlari ke cermin meja rias. Memerhatikan kedua matanya yang sembab, begitupun pangkal hidung dan pipinya. "Duh!"

Kesal, ia kemudian bergegas ke kamar mandi yang ada di kamarnya untuk cuci muka. Biasanya, bekasnya akan lama hilang. "Siapa lagi? Ganggu banget, emang," gerutunya yang mulai masa bodoh. Ia pergi dengan sisa merah di sekitar matanya.

"Nah, akhirnya turun juga!" seru Ayana ketika melihat Alma menuruni anak tangga. Sedangkan mamanya masih sibuk memasak di dapur. Papa dan Aaray tengah menonton televisi, dan Ayana sepertinya sedang mengerjakan tugas kantor karena ada laptop di depannya, sambil duduk di meja makan.

"Siapa, sih? Perasaan aku nggak pesen gofood."

"Dih, ini tuh jauh lebih ganteng daripada tukang ojol. Udah sana samperin ke luar!" Lantas Ayana mengedikkan bahunya, tersenyum seperti mencurigakan. Alma jadi harap-harap cemas, sambil melangkah ragu menuju ruang tamu.

"Nanti langsung ajak masuk, ya. Kasian di luar terus!" timpal sang Papa, membuat Alma semakin penasaran.

Sehingga sesampainya di ambang pintu rumah, Alma mengintip sebentar seseorang tengah berdiri membelakanginya. Sibuk memainkan ponsel di tangan. Dari postur tubuhnya, sepertinya Alma tahu siapa orang tersebut.

"Galan?" panggilnya, dan pemuda itu pun langsung berbalik. Sontak saja Alma langsung terpaku, menatap Galan yang malah tersenyum-senyum cengengesan seakan tanpa dosa.

"Hai, Al. Malam!" sapanya seraya melambaikan tangan. Lantas tangan kirinya menelusupkan lagi benda pipih itu ke saku jin berwarna hitam yang ia kenakan sekarang.

Galan benar-benar berpakaian santai. Hanya jin hitam yang dipadukan kaus putih, dan kemeja kotak berwarna hitam abu-abu.

"Kamu? Ngapain ke sini?" tanya Alma dengan nada agak berbisik. Ia cemas didengar oleh orang rumah.

"Kenapa? Ini malam minggu, gue mau ngapel, emang nggak boleh?"

"Stt, Galan!" pekiknya masih dengan nada tertahan. Menaruh jali telunjuk di depan bibir. Raut wajahnya benar-benar menunjukkan kecemasan. "Jangan ngaco, deh. Kita ini cuma pura-pura, dan sandiwara itu cuma berlaku di sekolah. Kenapa harus dibawa-bawa sampai rumah?"

Galan lantas tertawa, sampai memegangi perutnya karena merasa lucu. "Al, Al. Lo itu kenapa, sih, serius banget jadi orang? Gue cuma mau main, nggak boleh?"

"Nggak, kamu lebih baik pulang aja, deh!" Alma benar-benar mengusir Galan. Menaruh kedua telapak tangannya di lengan pemuda itu dan mendorong-dorong agar berbalik badan lalu pergi dari sana.

"Lho-lho, Al. Kamu apa-apaan? Kenapa tamunya malah diusir begitu?" tegur Desi yang tiba-tiba datang menghampiri mereka. "Jangan begitu, ah. Nggak baik nolak rezeki."

"Rezeki apa, sih, Ma? Dia itu cuma mau mampir bentar dan sekarang urusannya udah selesai. Iya, kan?" Alma memberi isyarat agar Galan mengiyakan ucapannya. Namun, dia malah diam saja seakan sengaja menggagalkan.

"Kedatangan tamu itu bagus, Al. Bisa menggugurkan sebagian dosa kita. Jangan gitu, ah. Pamali." Desi mengomel lagi. Kali ini ia memegang lengan Galan dan menyeretnya untuk ikut masuk. "Ayo, Nak. Kita masuk. Kebetulan Tante baru selesai masak, jadi kita bisa makan malam bareng."

"Ah, nyebelin!" gerutu Alma seraya menghentakkan kakinya. Dengan berat hati dan penuh keterpaksaan, gadis itu melangkah juga mengikuti mamanya dan Galan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro