29 ~ It's Better

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi ini Alma sudah bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Masih jam setengah tujuh pagi, dan tidak biasanya. Ia masih mematut diri di depan cermin. Rambut pendek sebahu yang bagian poninya sengaja ia tarik ke belakang, lalu dijepitkan. Tiba-tiba Alma ingin tampil berbeda, dengan sedikit riasan wajah yang masih terlihat natural untuk ukuran remaja.

Setelah merasa terlihat lebih baik, Alma berbalik badan dan menarik tas punggungnya yang tergeletak di atas kasur. Saat itu juga, kedua matanya refleks mengarah pada handphone yang juga ada di sana.

Tidak terlalu banyak berharap, hanya ingin memastikan saja, Alma pun meraih benda pipih itu dan mengeceknya. Sudah hampir beberapa hari notifikasi itu selalu sepi dari pesan Asta. Pemuda itu sepertinya memang sudah tidak peduli, lebih lagi Alma pun tidak berniat untuk menghubungi lebih dulu. Ia mencoba untuk tidak acuh, dan berusaha ikhlas. Mencoba menata hati dan pikiran yang berkecamuk terus memikirkan Asta.

Kemudian tanpa minat, Alma menaruh lagi ponsel itu di meja belajar. Kali ini ia tidak akan membawanya. Jika terus berada di dekatnya, maka benda itu akan terus mengalihkan fokusnya.

“Selamat pagi, Ma!” sapa Alma setelah menuruni anak tangga, dan melihat mamanya yang sedang menyiapkan bekal untuknya.

“Pagi, Nak. Udah siap mau berangkat, ya?”

“Iya, Ma. Kakak, Adek, belum turun? Papa juga belum keluar?” Alma menoleh ke tangga menuju lantai dua. Namun, belum ada tanda-tanda yang ditanya menampakkan batang hidungnya.

“Masih siap-siap mungkin, kalau Adek masih tidur karena hari ini sekolahnya libur.”

“Enak banget. Kok, bisa?” tukasnya lagi seraya duduk dan mengambil segelas air putih.

“Gurunya mau rapat.” Kemudian Alma mengangguk mengerti.

“Kalau gitu Alma berangkat duluan, ya, Ma.”

“Lho, kok. Nggak mau sarapan dulu? Masih pagi juga, Al.”

Alma tersenyum tipis. “Nggak, deh, Ma. Alma sarapan di kantin aja.”

“Oh, ya udah kalau gitu, tapi awas jangan bohong,” imbuhnya seraya menjulurkan kotak makan untuk dibawa Alma.

Pun, dengan senang hati Alma menerima bekal tersebut. Lalu mencium punggung tangan mamanya itu. “Aku pergi dulu, ya, Ma. Assalamualaikum.”

Wa'alaikumussalam. Hati-hati, Nak.”

Alma mengangguk dan terus berjalan menuju pintu utama rumahnya. Namun, baru saja membuka pintu, Alma sudah dikejutkan dengan kehadiran Galan. Gadis itu sampai memicing, memastikan jika yang ia lihat tidaklah salah. Bagaimana pemuda itu duduk santai di motor vespanya, menunggu di luar gerbang rumah.

“Galan?” panggilnya, membuat cowok itu menoleh, lantas memasukkan ponsel yang tadi di tangannya ke dalam saku.

“Oh, hai! Lo udah keluar? Padahal baru aja gue mau kirim whatsapp.”

Alma tidak langsung menjawab dan malah cepat melangkah menghampiri. “Kamu sengaja jemput aku?”

Galan dengan pasti mengangguk mengiyakan dugaan Alma. “Mulai sekarang gue bakal anter jemput lo setiap hari ke sekolah.”

“Eh-eh, nggak usah!” Buru-buru gadis itu mengelak. “Nggak perlu repot-repot, aku biasa, kok, berangkat dan pulang sekolah sendiri.”

“Gue itu pengen berbuat baik biar dapat pahala. Dukunglah ....”

“Kalau mau berbuat baik, perbanyak sedekah,” timpalnya yang membuat Galan tersenyum datar. Kedua bahunya turun merasa kecewa. Lagian benar juga perkataan Alma.

Please, Al.” Galan mulai memohon.

Alma akhirnya menyunggingkan senyuman. “Ya udah.”

Melihat itu Galan langsung merasa senang. Dengan semangat ia segera menyalakan motor vespanya. Sebelum berangkat, Galan memberikan satu helm untuk gadis itu.

“Ayok, let's go!” seruannya yang mau tidak mau mengundang tawa santai dari Alma.

***

Kedatangan mereka nyatanya menarik perhatian murid lain. Kejadian yang tidak biasa, dan memang baru terlihat Alma dan Galan tiba di sekolah bersama—dibonceng pemuda itu.

“Kenapa, sih, mereka harus ngelihat kita kayak gitu?” keluh Alma merasa tidak enak hati. “Aku jadi ngerasa kaku, malu juga.”

“Biar ajalah. Lo harus belajar masa bodoh sama pandangan orang lain.”

“Mana bisa gitu? Mau gimana pun itu ganggu, tau.”

Bukannya menetralisir keadaan menjadi lebih baik, Galan malah dengan sengaja meraih jemari Alma dan menggenggamnya. Kepanikan sontak saja dirasakan Alma.

“Gal, apaan, sih? Lepasin, nggak?” bisiknya menjadi sangat cemas. Namun, semakin Alma berusaha, Galan malah mempererat genggamannya.

Galan tidak memedulikan rengekan gadis itu, ia malah menampakkan wajah penuh percaya dirinya. Sampai kemudian langkah mereka terhenti ketika tanpa sengaja berpapasan dengan Kaila.

“Oh, hai, Kay!” sapa Galan tanpa menurunkan senyum lebarnya sekali saja.

Berbanding terbalik dengan Alma yang langsung tersentak. Takut saja jika Kaila semakin salah paham. Walau bagaimanapun ia masih mencoba menjaga perasaan Kaila. Alma pernah ada di posisi itu, tidak merasa dihargai. Dan itu rasanya menyakitkan.

“Galan!” Alma sedikit menyentak, hingga tautan tangan mereka terlepas karena kekuatan gadis itu.

Kaila kemudian menyunggingkan senyumnya, setelah beberapa saat sempat terpaku. Sikap itu membuat Alma terheran-heran dalam diam.

“Kalian, serasi banget, ya.”

Menyadari pujian tersebut, Galan merasa tersanjung. “Serius?” Kaila mengangguk mengiyakan.

“Pantas aja perhatian orang-orang langsung tertuju ke kalian. Gue harap kalian langgeng.”

“Makasih, Kay. Yang terbaik juga buat lo.”

Alma semakin terkejut dengan ucapan Kaila. Melebarkan penglihatannya, menatap penuh tanya pada Galan.

“Kalau gitu, gue duluan, ya.”

“Oke. Hati-hati!” Galan pun terlihat menanggapi dengan senang hati. Tidak ada ketegangan sama sekali di antara mereka.

“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Alma setelah Kaila sudah menghilang dari pandangan mereka.

“Seperti yang lo lihat.”

“Kalian udah baikan?” Alma makin penasaran. Sementara Galan tidak langsung menjawab dan kembali melangkah, membuat gadis itu refleks mengikuti. “Apa Kaila udah nggak cemburu?”

“Gimana, ya, jelasinnya.” Galan tampak berpikir, tapi kemudian berkata lagi, “Sejak awal gue sama Kaila memang putus baik-baik. Cuma masih ada sesuatu yang mengganjal di hati gue tentang dia sama cowok itu. Tapi, lama kelamaan gue tau jawabannya, dan selesai. Gue nggak mau ada dendam dan mengikhlaskan semuanya. Hubungan kita berakhir bukan karena siapa-siapa, tapi, ya, karena emang udah nggak jodoh.”

Alma sedikit terpaku mendengar penjelasan Galan. Pemuda itu sangat benar. Untuk apa Alma berusaha sendiri. Berjuang mendapatkan pengakuan dan perhatian, sementara di sana Asta sama sekali tidak menganggapnya. Sampai di sini saja, Alma dan Asta tidak berjodoh.

“Aku salut sama kalian berdua,” ucap Alma membuat Galan menoleh dengan kening mengernyit.

“Apanya? Nggak ada yang bisa lo contoh, Al.”

“Pemikiran kalian,” sanggahnya. “Dewasa banget.”

Alma menatap dan tersenyum tulus pada Galan, membuat cowok itu agak salah tingkah. Mendadak gugup dan wajahnya jadi memanas.

“Makasih, ya.”

“Untuk?” Galan masih bingung.

“Semuanya.”

“Apa?”

“Terima kasih udah mau berteman sama aku, jadiin aku orang yang lebih baik lagi.”

Tiba-tiba Galan tertawa merasa konyol. “Gue nggak berbuat apa-apa. Semua yang terjadi, dan perubahan itu semua karena kehendak lo sendiri.”

“Iya. Tapi kamu ada jadi penyemangat aku. Makasih.” Galan tidak bisa berkata-kata lagi. Untuk beberapa detik mereka hanya terdiam dan tetap saling menatap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro