Chapter 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Langkah kecil Ara membelah genangan air di sepanjang jalan yang ia lewati. Menciptakan suara kecipak dan cipratan-cipratan air ke tulang betis hingga lutut.

Hujan masih turun dengan deras, tapi langkahnya tak surut. Ia terus berjalan dengan tergesa-gesa. Tangan kiri sibuk memegang tas belanjaan, sementara tangan kanan sibuk memegang payung. Beberapa kali langkahnya melambat karena terpaan angin yang datang dengan tiba-tiba. Namun dengan mempererat pegangan di gagang payung, segera langkahnya kembali cepat.

Ara mengeluh kesal. Sekarang sudah jam 9 malam. Harusnya ia sudah berada di rumah sejak 2 jam yang lalu. Tapi karena beberapa tugas kelompok yang harus ia selesaikan di sekolah, kepulangannya menjadi tertunda. Belum lagi ia harus mampir dulu ke pasar untuk berbelanja kebutuhan makan malam. Ah, ia khawatir dengan Harry. Adik lelakinya itu pasti sendirian di rumah.

Apakah ia sudah makan? Apakah ia ketakutan dengan hujan badai ini? Gadis itu bergumam bingung.

Langkah kakinya baru sampai di perempatan jalan, dua blok dari rumahnya ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara bergemuruh.

Spontan gadis itu berhenti lalu mengalihkan payung untuk melihat ke arah datangnya suara tersebut. Ia menggerakkan payungnya perlahan, lalu mendongak dengan hati-hati. Dan  di sana! Tepat di atas kepalanya, cabang pohon berukuran raksasa itu bergerak dengan dahsyat, menimbulkan suara gemeretak, lalu meluncur ke arah dirinya!

Kedua bola mata Ara membelalak. Kakinya ingin berlari tapi entah mengapa ia seperti kehabisan tenaga. Bahkan untuk berteriak saja ia seakan tak mampu.

Ibu! Hatinya memekik.

Dan itu terjadi dengan begitu cepat.

“Awas!” Seseorang berteriak, menubruk dirinya dengan tubuhnya sendiri, hingga gadis itu terpental, menjauh, tepat ketika cabang pohon itu berdebum ke tanah.

Ara meringis. Tubuhnya terjatuh ke aspal. Tapi anehnya ia merasa aman. Seseorang mendekap tubuhnya dengan sikap protektif.

“Kau baik-baik saja?”

Dan suara itu seakan membangunkannya dari tidur. Kedua matanya terbuka dan segera tatapan mata itu beradu dengan mata coklat memikat dari seorang pemuda yang tengah mendekap tubuhnya.

Ara menelan ludah. Keduanya berpandangan.

“Hei, kau tak apa-apa?” Pemuda itu kembali bertanya cemas. Matanya coklat terang memikat. Surai rambutnya yang lebat nampak basah oleh rintikan air hujan.

Ara menelan ludah. “Aku ... baik,” jawabnya lirih.

Pemuda itu beringsut dari atas tubuhnya lalu membantunya untuk duduk. “Syukurlah.” Ia menggumam.

Ara menatap sekelilingnya dengan bingung.

Tampak cabang pohon berserakan di atas trotoar dan sebagian jalan. Tas belanjaan berikut isinya berantakan tak karuan. Sementara payungnya, ah, entah terbang ke mana.

Tak berapa lama orang-orang mulai datang berkerumun. Beberapa pengendara mobil juga berhenti demi untuk menghindari cabang pohon yang nyaris menutup jalan. Dalam waktu singkat, situasi menjadi ramai. Suara klakson di mana-mana.

“Nona, kau tak apa-apa?”

“Apa kau terluka?”

“Apa perlu kami antar ke rumah sakit?”

Beberapa orang mendekat dan menanyainya dengan cemas.

Ara duduk dengan linglung. Masih dengan tubuh yang sedikit gemetar karena syok, ia menatap ke arah beberapa orang yang melihatnya dengan cemas.
“Aku ... baik-baik saja,” jawab Ara lirih. “Dia  ... menyelamatkanku.” Gadis itu menengok ke arah pemuda yang tadi mendekapnya. Dan ia menyadari ... pemuda itu sudah tidak ada.

Eh?

Ara melihat sekeliling dengan bingung. Dan ia benar-benar sadar, pemuda bermata coklat dengan surai lebat itu sudah tidak ada.

°°°

Ara membuka pintu dengan tergesa-gesa lalu menyeruak masuk tanpa terlebih dahulu melepas sepatu. Ia gadis yang rapi, biasanya ia akan melepas sepatunya lalu menatanya di rak dengan baik sebelum masuk ke dalam rumah. Tapi malam itu, ia seolah tak sempat melakukannya.

“Harry!” Ia menyusuri ruang tamu dan mendekat ke anak tangga, memanggil nama adik lelakinya.
Terdengar derap kaki dan beberapa saat kemudian seorang bocah berusia 7 tahun muncul, menuruni anak tangga dengan lincah.
“Kakak lama sekali.” Ia mencicit.

Ara menarik napas lega.
“Maaf Kakak terlambat pulang. Tiba-tiba saja Kakak punya tugas sekolah dan harus diselesaikan di sana.” Gadis itu meletakkan tas ranselnya di meja dekat anak tangga lalu memutar langkah menuju dapur masih sambil menenteng tas kresek berisi barang belanjaan.

Barang belanjaan itu sebenarnya sempat tercecer di jalan setelah ia mengalami insiden ‘dahan jatuh’. Tapi beberapa orang baik hati membantunya mengumpulkan kembali barang-barang belanjaan tersebut, bahkan memberikannya tas kresek baru.

“Kenapa Kakak basah kuyup dan kotor begitu? Apa Kakak habis jatuh? Kakak kehujanan? Kakak tak membawa payung?” Harry bertanya terus menerus seperti biasanya. Ara menatap tubuhnya sendiri. Ia baru tersadar bahwa ia basah kuyup, seragamnya kotor, dan ia kelihatan dekil.

“Iya, Kakak terpeleset dan terjatuh. Payungnya rusak, jadi kakak membuangnya. Tapi Kakak tak apa-apa kok,” jawabnya seraya menyunggingkan senyum manis di depan adiknya.

“Tunggulah di kamar lagi. Kakak akan membuatkanmu makan malam.” Ia memerintah lembut.

Harry menggeleng.
“Aku sudah makan malam kok.”

Kening Ara mengernyit.
“Apa kau bisa memasak sesuatu untuk makan malam? Apa kau membuat mie instan?”

Pertanyaan itu disambut gelengan oleh Harry.

“Tetangga sebelah memberiku kue dan juga makan malam. Enak sekali. Tuh, masih ada sisanya. Mereka memberiku banyak. Masih cukup untuk Kakak,” jawabnya.

Ara menatap adiknya dengan heran. Ia tak ingat bahwa ia punya tetangga.

Sejak orang tua mereka meninggal sekitar dua tahun lalu karena kecelakaan, ia tinggal berdua saja dengan adiknya. Dan ia yakin bahwa ia tak punya ‘tetangga sebelah’.

Sebelah kiri rumahnya berupa lahan kosong yang ditumbuhi tanaman liar. Sementara sebelah kanan rumahnya hanya ada sebuah rumah tua yang sudah lama tak berpenghuni.

“Tetangga siapa, Harry? Dari Bibi Julia?” Ara menyebutkan nama Bibi Julia, seorang bibi paruh baya yang baik hati, yang juga sering berkunjung ke rumahnya dengan membawakan makanan dan kue. Tapi rumah Bibi Julia sekitar 500 meter dari sini.

Harry menggeleng.
“Oh, Kakak belum tahu. Kita punya tetangga baru. Rumah kosong di sebelah rumah kita sudah berpenghuni. Mereka bilang, mereka baru datang tadi siang.”

“Mereka?”

Harry mengangguk. “Tadi sore dua orang kakak laki-laki datang kemari, menyapaku, dan membawakan ini semua.” Bocah itu bergerak, menuju meja makan, dan membuka penutup hidangan. Tampak ada beberapa kue, puding, dan juga makanan di sana. Keadaan itu tak pelak menimbulkan wajah sumringah pada Harry.

“Kak Jose dan Kak Dino terlihat baik dan sopan.  Mereka juga bilang bahwa aku boleh berkunjung balik ke rumahnya.”

“Kak Jose dan ... Kak Dino?” Ara mengulang.

“Iya, mereka tampan sekali. Sepertinya seumuran dengan kakak.” Senyum merekah di bibir adiknya.

“Harry, berhati-hatilah dengan orang asing.” Ara memperingatkan.

“Aku selalu hati-hati, Kak. Tapi mereka terlihat baik sekali,” jawab adiknya.

“Oke, kalau begitu besok pagi kita akan berkunjung ke rumahnya untuk mengucapkan terima kasih. Sekarang, kembalilah ke kamarmu. Kakak akan bersih-bersih sebentar.”

Harry tak berhenti tersenyum lalu beranjak menaiki tangga dengan lincah, menuju kamarnya.

Dengan bersedekap heran, Ara menatap serangkaian hidangan di atas meja makan.
Tetangga baru? Tepat di sebelah rumahnya? Rumah yang telah kosong selama beberapa tahun dan terkenal berhantu?
Ah, Ara harus mencari tahu tentang keberadaan mereka.

**

Menunggu hingga besok pagi adalah hal paling mustahil yang bisa di lakukan oleh Ara.
Ia takkan bisa menunggu hingga berjam-jam demi mengetahui orang macam apa yang tinggal di sebelah rumahnya.
Yang jelas, hanya orang kaya yang mampu menempati rumah tersebut.

Rumah itu begitu besar. Nyaris empat kali lipat dari rumah yang ia tempati saat ini. Jika bukan orang yang  punya banyak uang, mereka takkan mampu menyewa ataupun membeli tempat tersebut.

Apa mereka keluarga bahagia yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak? Atau hanya sekumpulan anak muda yang menjadikan rumah tersebut untuk berkumpul-kumpul dan melakukan bisnis kotor, seperti narkoba misalnya, persis dengan yang ada di film-film?
Jika memang begitu, akan ia pastikan mereka tak menyentuh Harry, sedikitpun!

Dan sekarang, di sinilah dia akhirnya.
Hampir tengah malam ketika ia memutuskan untuk mengendap-endap di samping rumah tua tersebut, kemudian dengan keahlian yang sudah ia miliki sejak kecil, ia memutuskan menaiki tembok setinggi 6 meter yang dibangun mengelilingi rumah.

Rumah tua menyerupai kastil yang sudah tidak berpenghuni sejak ia masih kecil dan konon berhantu, itu yang dibilang orang-orang. Tapi ia tak percaya. Toh sejak ia bisa memanjat, ia sudah sering memasuki rumah itu dari segala penjuru. Dari pagar depan, tembok di kanan kiri rumah, atau bahkan tembok kokoh di belakang rumah yang tingginya hampir satu setengah kali lipat.

Rumah itu bahkan boleh dibilang sebagai tempat permainannya sejak kecil. Ketika kedua orang tuanya sibuk bekerja, atau ketika ia dimarahi oleh Ibunya, yang ia lakukan adalah menaiki pohon di sebelah rumah, lalu menjangkau tembok pembatas, kemudian meloncat ke dalam sana dengan baik.

Tapi memasuki rumah kosong dengan rumah berpenghuni tentu saja dua  hal yang berbeda. Jika dulu ia bisa memanjat tembok dan memasuki rumah itu dengan seenaknya, kali ini ia harus hati-hati. Jika ia sampai ketahuan mengendap-endap seperti ini, ia bisa dituduh sebagai pencuri!

“Apa kau naik ke sana untuk mencuri?”

Suara itu nyaris membuat Ara kehilangan keseimbangan. Ia mencari arah datangnya suara tersebut, dan tatapan matanya menemukan seorang pemuda jangkung, berada beberapa meter di bawah tembok tempat ia berada. Pemuda itu menatapnya dengan tatapan geli sembari berkacak pinggang.  

“Oke, Nona. Turunlah ke sini dengan baik-baik, atau aku terpaksa menelpon polisi,” ucapnya lagi dengan suaranya yang serak.

Mendengar nama polisi, nyali Ara langsung ciut seketika. Tadinya ia berniat meloncat dan turun ke sisi rumahnya sendiri. Tapi karena kurang konsentrasi, ia kehilangan keseimbangan.
Gadis itu menjerit manakalah tubuhnya melayang dan ... bruukk!!
Ia jatuh tepat di atas tubuh pemuda tersebut.

Bukan. Pemuda itu sepertinya sengaja menangkap tubuhnya agar  ia tidak menghantam tanah.

Oh, perhatian sekali.

Kedua mata Ara mengerjap. Ia mendongak, dan mendapati dirinya terbaring di atas tubuhnya.

“Kau tak apa-apa?” Pemuda itu bertanya dengan suara lembut.

“Aku ...” Ara buru-buru menarik dirinya lalu berusaha bangkit. Gadis mungil itu berniat melarikan diri. Namun sosok jangkung yang menyelamatkan dirinya itu juga ikut bangkit dan berdiri. Dengan cekatan, Ia menarik lengan tangan Ara.

Ara sempat meronta, namun tubuhnya malah dibanting dengan pelan ke tanah. Gadis itu sempat menjerit lirih. Bukan karena sakit, tapi hanya karena kaget. Tak mengira bahwa pemuda itu akan membanting dirinya.

Belum sempat ia kembali ke akal sehat, pemuda itu mencengkeram tangannya kemudian menariknya ke atas kepala, lalu ia duduk di atas pinggulnya.

“Pencuri,” desis pemuda tersebut, tepat di depan wajah Ara.

“Aku ... tidak ... Aku bukan pencuri!” Ara berteriak gugup.

“Jose! Kemarilah!”

Selang beberapa waktu, sosok lain muncul.
“Ada apa?” tanyanya.

Sorot lampu taman tak begitu terang. Tapi Ara tetap sukses menatap sosok lelaki bermata bening dan beralis lebat yang kini telah berdiri tak jauh darinya. Menatap dirinya dan juga pemuda jangkung yang duduk di atas pinggulnya dengan geli.

Oh, Ara seakan baru sadar bahwa ia berada di posisi yang tak nyaman.
Terbaring telentang di tanah dengan sosok pemuda di atasnya dan ... rok selutut yang ia kenakan nyaris tersingkap.

Ara menggerutu. Orang sinting mana yang memakai rok ketika punya pikiran untuk menyelinap ke rumah orang?!

Tapi, rok pendek adalah pakaian kesukaannya. Hampir semua item bajunya berupa kaos dan rok pendek. Dan ia memang selalu memakai pakaian itu ketika di rumah.
Tadi ia hanya berniat menaiki tembok dan mengintip rumah tua ini sebentar. Mana tahu kalau ia akan ketahuan? Mana tahu kalau ia akan terjatuh di atas tubuh lelaki ini?
Mana tahu bahwa akan ada lelaki jangkung yang membanting tubuhnya dan sekarang duduk di atas tubuhnya?!

“Daniel, berdirilah dari sana. Kau membuatnya ketakutan.” Lelaki bermata bening itu berujar lembut.

“Dia mengendap-endap di sekitar rumah kita. Bisa saja ia pencuri. Aku berniat memberinya sedikit pelajaran.” Pemuda yang dipanggil Daniel itu menjawab geli.
“Kita bawa saja dia masuk.”

Ara menelan ludah. Sebelum sempat ia berkata-kata, lelaki itu melepaskan cengkeraman tangannya lalu bangkit.
“Kau saja yang membawanya masuk.” Ia beranjak.

Lelaki yang dipanggil Jose itu tersenyum lalu melangkah mendekati Ara yang masih berbaring di tanah.

“Ayo masuk dulu ke rumah kami,” ajaknya.

Ucapannya sarkastik. Dan Ara pucat seketika.

**

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro