9. Positif Thinking

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Takdir memang sedang tidak berpihak pada Naina. Interview yang baru saja ia lakukan menghasilkan buah pahit. Naina tak lulus interview karena belum ada pengalaman pada pekerjaan yang ia lamar. Ia hanya bisa pasrah. Wajahnya lesu. Beberapa jam menanti untuk wawancara tapi akhirnya berujung penolakan. Hanya jabatan itu yang dicari perusahaan tersebut. Dengan modal yakin dan nekat dia mengajukan lamaran. Memang bukan rezekinya.

Naina mendaratkan tubuh pada bangku yang ada di trotoar. Mencari pekerjaan di ibukota memang sulit. Tapi Naina tetap positif thinking bahwa masih ada perusahaan yang mau menerimanya kembali. Bisa saja ia meminta bantuan Ian untuk mencarikannya pekerjaan, tapi Naina bukan tipe wanita yang mudah memanfaatkan orang lain. Selagi dia bisa berusaha sendiri, kenapa harus memanfaatkan kebaikan orang lain?

Perhatian Naina teralih ketika mendengar ponselnya berdering. Naina meletakkan map di atas pangkuannya, lalu meraih benda pipih itu yang masih terus berdering. Mata Naina mengedip beberapa kali, memastikan nama yang tertera. Ia bergegas menggeser ke warna hijau untuk menerima panggilan telepon itu karena Frida yang menghubunginya.

"Iya, Tante," sapanya ketika panggilan telepon tersambung.

"Kamu sudah makan siang, Nai?" tanya Frida di sebrang sana.

"Belum, Tante," balasnya jujur. Memang dia belum makan, bahkan dari pagi.

"Kebetulan Tante lagi di dekat kantor kamu. Tante mau ajak kamu makan siang. Bisa?"

Naina menepuk dahinya. Frida belum tahu jika dia sudah tidak bekerja di sana. Bukan hanya Frida saja, tapi Juna pun belum tahu.

"Naina sudah nggak kerja di sana lagi, Tante." Naina terus terang. "Tapi ini Naina lagi di luar. Tante mau makan di mana? Nanti Naina langsung jalan ke sana." Naina menyanggupi.

"Apa Tante jemput kamu saja? Kamu di mana?"

"Nggak usah, Tante. Biar Nai saja yang ke sana. Tante tinggal kirim alamatnya saja, nanti Nai langsung jalan ke sana," tolaknya halus.

"Ya sudah, Tante kirim alamatnya, ya."

Naina memutus sambungan telepon. Napas ia hela untuk membuang lelah. Pandangannya kembali terarah pada ponsel ketika mendapat pesan. Pesan berisi alamat dari Frida. Naina bergegas memesan ojek daring agar segera tiba di lokasi. Karena terburu-buru agar tepat waktu untuk interview, Naina terpaksa menggunakan ojek daring. Ia kembali menggunakan ojek daring agar tiba di tempat janjian bersama Frida.

Ojek yang Naina tumpangi tiba di depan restoran tempat janjian bersama Frida. Naina bergegas masuk setelah membayar ojek daring itu. Rasa khawatir menyelimuti. Takut jika membuat Frida menunggu lama. Pandangan ia edarkan ketika tiba di dalam restoran. Matanya mencari sosok Frida. Ketemu. Naina bergegas menghampiri Frida yang duduk di ujung ruangan sedang sibuk telepon. Senyum Naina sungging ketika Frida menatapnya. Frida menginstruksinya untuk duduk. Naina pun patuh, meletakkan map yang ia pegang lalu duduk di sofa.

Frida mengakhiri sambungan teleponnya dan meletakkan benda pipih itu di atas meja. Pandangannya beralih pada map di depan gadis itu. "Tante baru tau kalau kamu sudah nggak kerja di sana lagi." Frida membuka obrolan sambil mengulurkan tangan untuk memanggil pelayan.

"Iya, Tante. Kontrak kerjanya sudah habis," balasnya jujur.

"Sudah dapat ganti pekerjaan baru?" tanya Frida.

Obrolan terpotong ketika pelayan datang dan memberikan buku menu pada mereka. Frida menginstruksi agar Naina melihat buku menu. Naina hanya mengangguk. Frida pun mulai memesan makanan diikuti Naina setelahnya.

"Tadi baru saja interviu, tapi nggak diterima." Naina memberikan buku menu pada pelayan.

Pelayan itu pamit setelah pesanan tercatat. Naina mengangguk pada sang pelayan.

"Saya boleh lihat lamaran pekerjaan kamu?" tanya Frida.

Naina tersenyum malu, meraih map yang ada de depannya, lalu memberikan pada Frida. Frida membuka map lamaran pekerjaan Naina. Kepala Frida mengangguk, lalu menutup map itu dan memberikannya pada Naina. Ia meraih sesuatu dari dalam tasnya setelah memberikan map itu.

"Ini kartu nama teman Tante. Besok kamu datang ke kantornya dan bawa lamaran ini." Frida menyodorkan kartu nama pada Naina.

"Aduh, Tante. Gimana, ya." Naina terlihat bingung.

"Nggak apa-apa. Sepertinya di sana sedang cari karyawati. Siapa tau di sana ada yang cocok buat posisi kamu. Nanti Tante bisa minta tolong sama Hans buat carikan posisi yang tepat buat kamu."

Naina menerima kartu nama itu. Ragu. Bisa saja Frida langsung meminta lamaran kerja Naina, tapi ia takut gadis itu akan merasa khawatir. Biarlah Naina datang ke sana sambil membawa lamaran kerja. Frida bisa langsung menghubungi Hans dan meminta untuk mengerjakan Naina.

Makanan yang mereka pesan pun tiba. Mereka menikmati makan siang sambil diselingi obrolan ringan mengenai satu sama lain. Terutama membahas Arjuna. Naina cukup tahu tentang laki-laki itu. Ada kesamaan yang menimpa Juna dan Naina. Sama-sama ditinggal pasangan saat sedang sayang-sayangnya. Sama-sama dilangkahi adik menikah. Sama-sama belum bisa move on dari sang mantan. Entah kenapa nasib mereka sama dalam hal hubungan. Sad ending.

***

Naina turun dari mobil Frida ketika tiba di depan pintu gerbang. Tangannya melambai ketika mobil itu bergerak meninggalkan Naina. Napas ia hela setelah mobil itu tak lagi terlihat. Langkahnya bergerak untuk masuk ke dalam rumah. Naina sempat menolak ketika Frida akan mengantarnya, tapi Frida memaksa untuk mengantar. Ia terpaksa menerima tawaran Frida karena alasannya 'searah'. Tak ada pilihan untuk menolak karena Naina memang akan langsung pulang dan belum memesan kendaraan daring.

Langkah gontai Naina ayun ketika memasuki rumah. Rasa lelah menguasai tubuh. Ia meletakkan tas dan map di atas meja lalu mendaratkan tubuh di sofa. Matanya memejam untuk menghalau rasa lelah.

"Kamu sudah pulang?" tanya Asih ketika melihat putrinya duduk di sofa sambil memejamkan mata.

Naina hanya menggumam untuk membalas pertanyaan sang mama.

"Gimana interviunya?" Asih duduk di samping Naina.

"Nggak diterima, Ma." Naina masih memejamkan mata.

"Mungkin karena bukan bidangnya kamu. Masih bisa cari di perusahaan lain." Asih menyemangati.

Ah, Mama nggak tahu kalau cari kerjaan sekarang susah. Enak kalau cuma ngomong doang, masih bisa cari kerjaan di perusahaan lain. Nggak semudah itu. Naina membatin.

Deringan ponsel menggema di ruangan itu. Mata Naina terbuka karena suara itu berasal dari ponselnya. Ia meraih tas tanpa beranjak sambil merogoh benda pipih itu. Tas kembali diletakkan asal setelah benda pipih itu sudah ada di tangannya. Dahinya berkerut ketika melihat nama Adit tertera. Naina bergegas menerima panggilan telepon dari Adit.

"Halo," sapanya pada Adit.

"Kamu di rumah? Aku berencana mau main ke rumah kamu satu jam lagi setelah selesai tugas. Boleh?" tanya Adit.

What? Adit mau ke rumah? Sekarang? Aku saja belum bilang Mama, boleh atau nggak dia main ke rumah. Gimana ini?

"Halo? Nai?"

"Eh, iya. Aku tanya Mama dulu. Nanti aku kabari lewat WA kalau sudah dapat jawaban."

"Ya sudah, aku tunggu jawabannya."

Naina mematikan sambungan telepon. Giginya menggigit bibir bawah. Hatinya dilanda resah. Bingung ingin berkata apa pada sang mama mengenai keinginan Adit untuk main ke rumah. Khawatir seisi rumah akan heboh karena kedatangan Adit.

Naina menatap Asih ragu. "Ma, Adit mau ke rumah," ungkapnya.

"Adit?" Asih memastikan.

Naina mengangguk.

"Cowok yang di biro jodoh? Yang polisi itu? Yang kemarin jenguk Mama waktu di rumah sakit?" tanya Asih beruntun.

Kepala Naina kembali mengangguk. Raut bahagia terlihat jelas dari wajah Asih. Dia masih tak percaya jika polisi muda dan tampan itu akan ke rumahnya.

Asih beranjak dari tempat duduknya. Wajahnya masih dihiasi kebahagiaan. "Mama mau bilang Farha biar ke sini dan suruh Kinara cepat pulang. Mereka harus lihat Adit. Mama juga mau nyiapin makanan buat Adit. Ah, kenapa dadakan seperti ini sih."

"Mama ...!!!" seru Naina heran menatap mamanya yang seperti dapat rezeki nomplok.

Sudah diduga jika sang mama akan heboh ketika tahu Adit akan ke rumah. Tapi ia tak mungkin bohong agar sang mama bisa siap-siap supaya tak membuatnya malu. Lebih tepatnya membuat nama keluarga malu.

Naina bergegas menuju kamar untuk mandi dan siap-siap menyambut Adit. Hanya memiliki waktu satu jam dan baginya satu jam itu singkat. Ia tak ingin terlihat memalukan di depan Adit.

"Nai!!!"

Terdengar teriakan dari luar kamar mandi. Naina menghela napas ketika tahu kakaknya sudah datang. Pasti akan ada banyak perintah untuknya. Ia bergegas keluar dari kamar mandi setelah selesai acaranya di dalam sana.

"Kamu nggak kasih tau Kakak kalau Adit mau datang?" tanya Farha ketika adiknya keluar dari kamar mandi.

Naina masih menggosok rambutnya dengan handuk. "Adit kasih taunya juga dadakan," balasnya santai sambil berjalan menuju meja rias.

Farha duduk di tepi ranjang sambil menatap adiknya yang sedang memoles krim pada wajahnya. "Kamu sih, pake acara ubah privasi akun di Madam Rose, Kakak jadi nggak tau perkembangannya." Farha menggerutu.

"Biarin," balas Naina singkat.

Farha beranjak dari duduknya. Gemas pada sang adik karena ragu untuk mengenakan make up. Ia meluncurkan aksinya untuk mendandani sang adik agar terlihat cantik. Naina pun menolak, tapi Farha kukuh memaksa.

Pintu kamar Naina terbuka. Farha menatap sumber suara. Kinara berjalan masuk ke dalam kamar Naina.

"Kak Nai nggak bilang kalau Mas Adit mau ke rumah?" tanya Kinara.

Naina tak membalas. Terlanjur kesal pada Farha yang memaksanya untuk memakai make up tak seperti biasa.

"Adit belum datang?" tanya Farha.

Kinara menggeleng.

Naina beranjak dari kursi. "Ah, ini jelek. Tebel banget bedaknya." Naina komplain.

"Itu bagus, Nai. Kamu udah cantik." Farha menimpali.

"Tapi aku nggak betah." Naina terlihat kesal.

"Cantik kok, Kak. Kakak aja yang nggak biasa. Lagian demi Mas Adit." Kinara menyambar.

"Ah! Pokoknya aku nggak suka!" Naina berlalu dari hadapan Farha dan Kinara untuk menuju kamar mandi.

"Jangan dihapus, Nai!" seru Farha.

"Bodo!" Naina membanting pintu kamar mandi.

Naina menatap dirinya dari pantulan cermin di kamar mandi. Wajahnya terlihat cantik. Kulit wajahnya tak pernah terpoles make up setebal itu. Wajar jika ia merasa tak nyaman. Naina menghela napas. Demi ketemu Adit.

"Nai! Adit sudah datang!"

Napas kembali Naina hela. Ia harus percaya diri menghadapi Adit dengan penampilannya sekarang. Jangan membuat keluarganya malu. Matanya sesaat terpejam untuk menenangkan hati yang dilanda gugup. Ia bergegas keluar dari kamar mandi setelah hatinya tenang. Farha dan Kinara sudah tak ada di kamarnya. Naina kembali memastikan penampilannya pada cermin. Kepalanya mengangguk. Siap bertemu Adit di luar sana.

Naina keluar dari kamarnya. Langkahnya ragu. Terdengar obrolan dari ruang tamu. Naina menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Senyum ia sungging ketika tiba di ruang tamu. Sosok Adit sudah terduduk di sofa. Naina masih menatap Adit yang sedang berbicara dengan keluarganya. Adit terlihat tampan mengenakan kemeja panjang warna biru dipadu celana levis warna navi.

Pandangan Naina beralih pada penampilannya. Semoga nggak bikin malu.

"Nai ..."

Naina terkesiap. Senyum ia sungging. Adit pun menatap penampilan Naina. Terpaku pada sosok gadis cantik itu. Naina berjalan menghampiri sofa dan duduk di samping Farha. Adit tersihir dengan penampilan Naina. Gadis itu terlihat berbeda dari sebelumnya. Semua itu berkat Farha tentunya. Jika dia tak memaksa Naina, mungkin penampilannya akan masih seperti biasa.

Kedatangan Adit memecah keadaan rumah itu. Kebahagiaan terlihat pada raut keluarganya. Tak menyangka jika Adit bisa mereka lihat secara langsung. Adit terlihat sangat tampan. Farha bahkan memujinya beberapa kali. Yang membuat Naina malu bukan berasal darinya, tapi dari keluarganya yang menyambut Adit berlebihan.

♡♡♡

《《《 Bersambung ... 》》》

Ah, Mas Adit nyolong start. Hahaha ...
Eh, Ian dulu ding. Kan dia udah ajak Nai makan malam.
Ah, Juna kapan, ya? Juna nggak usah lah, ya. *PEACE

Masih poling, kok.
Ian, Adit, atau Juna.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro