Sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Typo mungkin masih ada karena baru kelar ditulis dan langsung up date. Tapi semoga bisa dinikmati. Selamat membaca...

**

Bicara dengan Renata itu membutuhkan kreativitas. Melakukannya sambil bertatap muka mungkin tidak masalah karena kecil kemungkinan dia mengusirku saat jeda percakapan. Tapi sedikit sulit melakukannya kalau berhubungan melalui telepon. Jeda adalah hal yang tidak boleh terjadi karena dia pasti akan segera menutup teleponnya dengan senang hati. Dan mengangkat topik secara acak hanya agar jeda tidak terjadi akan membuatku terdengar bodoh.

Sejak mengenal Renata, kurasa kecerdasanku memang menurun drastis. Seperti sekarang, saat ponselku mengeluarkan notifikasi pesan pada pukul 4 subuh dan mendapati tulisan : Rombonganku akan menyeberang ke Halmahera Timur. Sinyal teleponnya sulit. Sekadar info.

Kantukku hilang dan aku segera menekan nomor gadis itu sebelum teleponnya benar-benar tidak bisa dihubungi karena tidak ada sinyal.

"Kamu berangkat subuh-subuh begini?" tanyaku ketika Renata mengangkat teleponnya.

"Aku di Indonesia Timur. Perbedaan waktunya dua jam dengan Jakarta. Kuberitahu, kalau kamu tidak tahu."

Lihat, dia suka sekali membuatku terdengar bodoh, kan? Tentu saja aku tahu perbedaan waktu itu. Hanya saja, aku baru terbangun secara mendadak. Itu pertanyaan spontan. Otakku belum bekerja dengan baik.

"Kapan pulang ke Jakarta?" aku kembali bertanya, lagi-lagi dengan pertanyaan bodoh, karena kutanyakan setiap kali menghubungi Renata.

"Belum tahu," itu jawaban yang sama setiap kali aku menanyakannya. "Mungkin tidak terlalu lama lagi. Dari Halmahera Timur, kami akan ke Pulau Obi. Setelah Pulau Obi dan sekitarnya selesai, kami akan kembali ke Ternate."

Aku mengingatkan diri untuk mempelajari peta Maluku Utara supaya tahu di mana letak Pulau Obi itu. Berusaha terdengar cerdas untuk membuat Renata sedikit terkesan. Astaga, menggelikan, tapi aku akan kembali belajar geografi karena seorang gadis!

"Dari Ternate langsung ke Jakarta?"

"Entahlah. Kami belum sepakat soal itu." Renata diam sejenak. "Aku harus pergi sekarang. Rombonganku akan ke pelabuhan Fery."

Aku belum ingin mengakhiri percakapan kami. "Kamu akan menghubungiku kalau mendapatkan sinyal, kan?"

"Hmm..."

"Jangan sampai lupa," desakku.

Dapat kubayangkan bola mata gadis itu berputar mendengar kata-kataku. "Baiklah."

"Aku menunggu."

"Jangan. Aku tidak tahu kapan akan mendapatkan sinyal. Aku tidak suka menunggu dan tidak akan membuat orang lain melakukannya untukku."

"Aku tidak keberatan."

Aku dapat mendengar helaan napasnya dengan jelas. "Terserah kamu saja. Aku benar-benar harus pergi."

"Tunggu dulu!"

"Ada apa lagi?" Renata terdengar tidak sabar.

"Hati-hati," kataku pelan dan lembut. Moga-moga dia menangkapnya sebagai bentuk perhatianku.

Jeda sejenak. "Tentu saja." Nafasnya ditarik lagi. "Terima kasih." Dan hubungan telepon diputus. Sangat khas Renata. Padahal seharusnya aku yang lebih dulu mengakhiri hubungan karena aku yang meneleponnya. Tapi sejak awal dia memang bukan orang yang suka berbasa-basi.

Mataku terlalu awas untuk kembali dibawa tidur. Aku kemudian menuju treadmill dan mulai berlari. Kepalaku masih dipenuhi Renata. Bila dia benar-benar Renata Winata yang dimaksud oleh Mas Tanto, pasti akan sangat sulit berhubungan dengannya. Waktunya dihabiskan untuk berkeliling. Kalau dia -sekali lagi- Renata yang itu, dia bukan hanya hanya berputar-putar di Indonesia. Nama-nama tempat yang pernah dia kunjungi untuk mengambil gambar membuatku takjub. Dapat kulihat di keterangan gambar majalah yang ditunjukkan Mas Tanto. Majalah yang memuat foto yang diambil Renata. Taman Serengeti di Tanzania, Bwidi Impenetrable di Uganda, Maasai Mara, di Narok County, Kenya. Itu yang Afrika. Ada juga foto Gurun Atacama, di Chile, salah satu tempat terkering di bumi. Belum lagi Tibet, dan masih banyak tempat lain. Tempat yang tidak pernah kutahu ada.

Itu mungkin menjelaskan kekesalannya karena harus terkurung di rumah setelah aku menabraknya. Aku membuatnya tidak bisa ke mana-mana, padahal jadwalnya untuk bepergian sangat padat.

Pantas saja kamera dan gadget yang dimilikinya termasuk barang mahal. Dia membutuhkannya untuk pekerjaan. Tapi kenapa dia tinggal di apartemen sederhana seperti itu? Memang bukan rumah susun untuk kalangan bawah, tapi kurasa dengan pekerjaan seperti itu dia pasti mendapat bayaran yang lebih dari cukup membeli apartemen di kawasan Sudirman. Mas Tanto bilang, untuk fotografer sekelas Renata, harga selembar fotonya luar biasa mahal. Tentu saja karena perjuangan untuk mendapatkannya luar biasa sulit.

Aku menggelengkan kepala. Berusaha mengusir bayangan Renata. Tidak mudah. Aku menaikkan kecepatan treadmill-ku. Berlari sampai keringat membanjiri sekujur tubuh. Sampai betisku terasa pegal.

Gadis kurus itu benar-benar sudah meracuni pikiranku dengan dosis yang mematikan. Anehnya, itu membuatku tersenyum tanpa alasan, alih-alih sebal.

**

Tidak banyak yang timku dan tim Ruby bahas dalam meeting. Kurasa itu hanya akal-akalannya saja untuk bisa bertemu denganku. Bukannya ge-er atau apa, tapi ini jenis meeting yang tetap akan berlangsung baik tanpa kehadiranku. Ruby tahu kami percaya sepenuhnya pada kemampuannya. Seratus persen. Tanpa meeting ini dia bisa langsung mulai melakukan pekerjaannya.

"Kita langsung ke Cork & Screw ya, Mas," ujar Ruby sambil menggandengku begitu meeting selesai.

Kecurigaanku terbukti. "Aku lagi tidak ingin minum wine, By," aku berusaha menolak secara halus. "Besok masih hari kerja."

"Minum wine tidak akan bikin mabuk, Mas."

Ya, kalau satu gelas. Tapi Ruby jelas tidak hanya akan minum satu gelas kalau sudah membuka satu botol. Dan aku tidak mau mengurus orang mabuk

"Aku benar-benar tidak bisa, By. Coba telepon Mas Tanto, mungkin dia bisa menemanimu."

Wajah Ruby langsung merengut. "Mas Bayu tidak asyik, ah. Sekarang suka menghindariku."

"Aku tidak mau bangun terlambat karena menemanimu minum."

"Tidak lama kok."

Aku menggeleng tegas. "Tidak. Kamu minta meeting malam dan sekarang aku kelelahan, By. Lain kali, ya. Aku akan menemanimu lain kali." Aku melepaskan tanganya dari lenganku dan bergegas menuju tempat parkir.

Tiba-tiba aku teringat Renata. Dia belum mengirimku pesan. Berarti dia masih berada di salah satu pulau kecil di dekat Pulau Obi. Dia sudah di Halmahera Selatan sekarang.

"Sudah diputuskan jika Pulau Obi adalah destinasi terakhir," kata Renata dua hari lalu ketika kuhubungi setelah menerima pesannya. "Kami akan langsung ke Ternate dan pulang ke Jakarta. Paling lambat, empat hari lagi."

Aku tersenyum mengingatnya. Berarti dua hari dari sekarang aku akan bertemu dengannya. Kulitnya pasti lebih hitam karena terbakar matahari. Mungkin juga berbau asin laut. Tapi aku tidak peduli. Selama bisa melihatnya, diberi tatapan jutek pun aku akan terima dengan senang hati. Ya...ya, aku menjijikkan. Silakan tertawa.

Rasa sentimental itu membuatku mengarahkan mobil ke apartemen Renata. Aku tahu dia tidak ada, tapi aku tidak peduli. Aku juga tidak akan mampir. Aku hanya akan lewat di depannya.

Kemacetan parah kutemui sekitar satu kilometer sebelum apartemen Renata. Benar-benar macet. Tidak bergerak. Banyak orang yang turun dari mobil.

Penasaran, aku ikut turun. "Ada apa?" tanyaku pada seseorang yang berdiri di pinggir jalan.

"Kebakaran, Mas," katanya sambil menunjuk ke atas. Asap tebal dan pekat membumbung tinggi. "Parah. Mobil pemadam banyak sekali, tapi sepertinya apartemen itu tidak bisa diselamatkan." Aku tercekat saat laki-laki itu menyebutkan apartemen tempat Renata tinggal. Astaga. Perabotan Renata tidak seberapa, tapi mungkin saja di sana ada salinan foto, file, atau hard disk tempat dia menyimpan semua hasil kerja kerasnya berkeliling dunia selama bertahun-tahun, kan?

"Benar-benar parah, ya?" aku memperjelas.

Laki-laki itu mengangguk. "Ludes dilalap api. Tidak heran sih. Sudah beberapa jam belum berhasil dipadamkan."

Ponselku berdering. Mas Tanto.

"Kamu sudah baca detik com?" tanya Mas Tanto begitu kujawab. Baru saja aku hendak menceritakan kebakaran di apartemen Renata.

"Belum, ada apa? Berita tentang hotel atau Papa?"

"Bukan." Mas Tanto berdeham. "Tadi pagi speedboat yang dipakai tim National geography yang mengadakan ekspedisi di Maluku utara tenggelam dihantam ombak. Beberapa orang belum ditemukan." Mas Tanto diam lagi. "Renata Winata salah satunya."

Aku merasa jantungku seperti jatuh ke tanah. Tidak mungkin!

e

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro