Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sudah beberapa hari ini aku mampir di apartemen Renata sepulang kantor. Membawakannya makanan meskipun aku tahu dia sebenarnya bisa delivery order. Awalnya dia selalu konsisten membuka pintu dengan wajah juteknya dan meyakinkan diri bahwa pesannya yang mengatakan tidak menyukaiku tersampaikan, meski tidak secara verbal. Tapi aku berusaha terlihat tidak terganggu, padahal harga diriku sedikit tersinggung dengan perlakuannya. Gadis-gadis lain akan memberiku senyum paling manis hanya karena aku melihat ke arah mereka. Tapi Renata memang bukan gadis-gadis lain. Aku tidak bisa menyalahkannya. Aku membuatnya menjadi tak berdaya di atas kruk.

Tapi dia kemudian menyerah. Meskipun tetap tidak memberiku senyum saat membuka pintu, dia membiarkanku masuk tanpa pertanyaan apa pun. Tak lagi melarangku bergerilya di dapurnya mencari piring untuk meletakkan makanan yang kubawa.

Sulit untuk tidak terlibat perdebatan dengan gadis itu. Apa pun yang kulakukan selalu salah di matanya. Dia mau mengganti biaya rumah sakit, hal yang tentu saja langsung kutolak mentah-mentah. Dia juga awalnya menolak menerima kamera, macbook, dan ponselnya. Tapi karena aku pura-pura tidak mendengar protesnya, aku kemudian melihatnya sudah memakai macbook itu.

Apartemennya mencerminkan penampilannya. Dia tinggal di apartemen sederhana yang luasnya tidak sampai sepertiga dari apartemen milikku. Perabotnya minimalis. Kurasa dia hanya membeli barang sesuai kebutuhan dan fungsinya, bukan untuk keperluan estetika. Ruang tamu yang berfungsi sebagai ruang tengah bersambung dengan dapur yang meja tingginya digunakan sebagai meja makan. Tidak ada bunga, lukisan atau apa pun yang berfungsi sebagai pemanis.

Satu-satunya barang yang lumayan menarik perhatianku saat pertama kali masuk apartemen ini adalah cermin super besar yang nyaris memenuhi dinding. Saat itu, cermin itu penuh dengan tempelan kertas, gambar-gambar dan peta. Tidak sempat kuperhatikan lebih lanjut karena hal pertama yang dilakukan Renata adalah buru-buru menarik tirai yang ternyata ada untuk menutup cermin itu, meski dia harus bergerak tergesa dengan kruk.

Renata hanya mengguman tidak jelas saat aku menanyakan pekerjaannya. Aku tidak memaksa karena dia memang terlihat enggan membicarakannya. Tapi dia memang enggan bicara tentang apa pun denganku. Selama berada di apartemennya, aku mengundang diriku sendiri untuk duduk nyaman di sofa depan televisi. Bersikap seolah apa yang kulihat sangat menarik hati, padahal tidak. Aku hampir tidak pernah menonton televisi nasional, hanya ada beberapa saluran internasional yang menayangkan liga-liga Eropa di akhir pekan yang membuatku betah duduk di depan televisi. Jadi berpura-pura tertarik pada saluran berita nasional di ruang tengah Renata, sedikit menyulitkan.

Jujur, aku sendiri tidak tahu untuk apa memaksa masuk dalam kehidupan gadis itu. Apakah karena rasa bersalah telah membuatnya terluka? Ya, kurasa mungkin karena itu. Jadi, setelah gipsnya dibuka dan dia sudah normal kembali, aku akan menyelesaikan tugasku sebagai pria sejati bertanggung jawab. Tapi benarkah hanya sebatas itu? Siapa yang ingin kubohongi?

Akhir-akhir ini sorot mata tak peduli dan kesal itu sudah menjadi bagian hari-hariku. Selalu membuatku teringat saat meraih tas kerjaku setelah jam kantor berakhir. Menjadi tempat pertama yang kutuju sebelum pulang beristirahat di apartemenku.

Aku sedang duduk di depan televisi saat ponsel Renata yang tergeletak di atas meja berdering. Pemiliknya sedang berada dalam kamar. Aku menatap layar ponsel itu dengan rasa ingin tahu. Beberapa hari lalu, aku menanyakan nomor ponsel Renata untuk mengganti kartu SIM-nya yang rusak. Tapi ini untuk pertama kalinya aku mendengar ponsel itu berdering. Terasa sedikit aneh karena aku telah mengasumsikan gadis itu tidak punya kehidupan sosial yang baik. Selama aku berada di dekatnya, tidak ada yang pernah menjenguk, dan itu tidak biasa untuk seorang yang baru saja mengalami kecelakaan. Aku tidak pernah menyinggung topik itu setelah percakapan tentang anggota keluarga yang membuat mata besarnya itu mendelik, di rumah sakit tempo hari.

Onyet. Aku melihat nama yang tertera di layar. Nama semacam apa itu? Sejenis primata dengan bulu panjang di sekujur tubuh? Aku tentu saja tahu itu bukan nama asli. Lebih mirip panggilan kesayangan. Dan hal itu, entah mengapa membuat hatiku tidak nyaman.

Renata keluar setelah deringan ketiga. Wajahnya yang lantas berseri melihat layar ponselnya membuatku sebal. Aku tidak pernah melihat ekspresi seperti itu sebelumnya. Demi Tuhan, dia hanya melihat layar ponsel. Aku tidak bisa membayangkan, tidak, tepatnya, aku tidak mau membayangkan ekspresi bahagia bila si Onyet, monyet, kingkong atau gorilla itu muncul dari balik pintu rumahnya.

Entah mengapa, aku yakin si penelpon adalah seorang pria yang tidak ada hubungan darah dengannya. Maksudku, sulit membayangkan ada seorang gadis lain yang membiarkan dirinya disebut dengan nama primata yang gagal berevolusi.

"Halo?" Renata menerima telponnya dan tertatih bergerak menjauh ke dapur, seolah takut aku akan mendengar percakapannya.

Aku pura-pura tidak peduli dan terus menatap televisi yang sedang menyiarkan acara debat para politikus yang tidak masuk akal, seolah-olah itu menarik minatku. Tapi telingaku kupasang baik-baik. Aku berhasil bertransformasi menjadi pria idiot yang ingin tahu urusan orang lain. Bukan hal yang membanggakan.

"...aku harus menyusun ulang jadwalku... Aku mengalami kecelakaan... tidak, aku tidak apa-apa."

Tidak apa-apa? Aku mengembuskan napas sambil menggeleng mendengar kalimat itu. Pincang dan digips tidak apa-apa? Lecet di sekujur tubuhnya yang belum sepenuhnya mengering itu tidak apa-apa? Apa-apa itu seperti apa baginya? Koma? Patah tulang dan lumpuh?

"Jangan berlebihan, tidak perlu pulang sekarang. Lanjutkan saja. Hanya mungkin aku akan melewatkan Kutai dan Pulau Derawan." Gadis itu menarik napas panjang. "Aku tahu, ini saat yang bagus untuk itu... Mau bagaimana lagi? Kurasa aku kurang beruntung tahun ini... tidak, jangan mengubah rencana karena aku. Aku hanya perlu menunggu gipsnya dibuka."

Sekarang aku benar-benar yakin orang yang sedang bicara dengan Renata adalah seorang pria. Dan dari jawaban dan pernyataan gadis itu, aku dapat meraba jenis hubungan yang mereka miliki. Sebenarnya itu bukan urusanku tapi rasa tidak suka membuncah dalam dada.

"Siapa?" aku tidak bisa menahan bibir saat Renata sudah menutup teleponnya.

Gadis itu menoleh padaku dengan enggan. Menyipit seolah baru menyadari kehadiranku. "Kamu belum pulang?"

"Kamu ingin aku pulang sekarang?"

Matanya memutar, seakan aku menanyakan pertanyaan yang tidak perlu. "Aku sudah mengantuk."

"Tidur saja. Aku tahu jalan keluar." Aku menunjuk kotak pizza di depanku. "Aku masih lapar. Jangan khawatir, aku akan membereskan semuanya sebelum pulang."

Matanya menatap manikku dalam. "Tidak perlu berlebihan seperti ini. Kamu tidak perlu mengunjungi dan membawakan makanan setiap malam."

"Kamu masih tanggung jawabku sampai gipsmu dibuka dan tidak membutuhkan kruk lagi untuk berjalan." Aku tahu itu hanya penjelasan masuk akal yang berhasil kepalaku temukan, karena aku tidak yakin akan melepasnya dengan sukarela seandainya dia sudah kembali normal.

Dia mendesah. "Terserah kamu saja." Dia berjalan menuju kamarnya. "Pastikan pintunya tertutup rapat," lanjutnya tanpa menoleh. Positif, dia menganggapku tidak lebih daripada seorang pengganggu. Mengapa aku tidak bisa sekesal yang aku inginkan? Aku tidak pernah diabaikan oleh orang lain sebelumnya, dan seharusnya keadaan ini membuatku marah. Tapi aku tidak bisa semarah yang kuinginkan. Aneh.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro