Tujuh Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat membaca.

**

"Kita terlalu cepat keluar." Renata melihat pergelangan tangannya saat kami sudah di dalam mal. Dia mencebik lucu."Ini belum jam makan malam, dan aku belum lapar."

Aku berusaha menyembunyikan senyum. Tentu saja aku tahu ini masih terlalu awal untuk makan malam. Aku sudah merencanakannya. Sama sekali bukan kebetulan. Tidak ada yang namanya kebetulan kalau berhubungan dengan Renata. Aku dulu menabraknya, itu baru kebetulan. Setelah itu, semua tindakanku sudah kupikirkan. Memang tidak semua berhasil seperti yang kurencanakan, tetapi perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran penuh tidak bisa disamakan dengan kebetulan.

"Ya sudah, kita nonton saja dulu. Mungkin ada film bagus. Kelar nonton, kita pasti sudah lapar." Aku mengarahkan langkah Renata menuju bioskop. Pura-pura ikut mengecek jam di pergelangan tangan. "Iya, waktunya memang pas kalau nonton dulu."

"Nonton? Eh... tapi...." Renata terdengar kebingungan. "Lho, bukannya tadi kita hanya mau makan?"

"Kan kamu sendiri yang bilang belum lapar." Aku menarik tangan Renata, tidak memberinya kesempatan untuk berpikir. Aku tidak suka kalau dia kebanyakan berpikir. Hanya membuat peluangku makin tipis. "Kamu mau nonton apa?" tanyaku saat kami sudah sampai di dalam area bioskop. Kami berdiri di depan poster film yang sedang tayang. "Horor?" Aku menunjuk salah satu gambar. Barangkali dia bisa ketakutan dan memelukku nanti. Membayangkannya saja sudah menyenangkan.

Renata memutar bola mata. "Kamu mau menakuti-nakuti aku dengan hantu? Yang mengerikan itu sound effect-nya, bukan hantunya. Yang benar saja."

Baiklah, Renata memang tidak gampang ketakutan. "Bagaimana kalau yang ini?" Aku beralih menunjuk film roman Hollywood. Ya, siapa tahu Renata bisa terbawa suasana romantis, dan kami mungkin akan berciuman. Oke, itu mungkin khayalan yang terlalu jauh, tapi tidak ada salahnya berharap, kan?

Renata kali ini ternganga, menatapku tidak percaya. "Seriously, Bayu? Kalau mau nonton film ini, kamu harusnya mengajak pacarmu, bukan aku. Dan aku pasti ketiduran di dalam." Dia kembali mencebik. Dia membuat suara lucu menirukan adegan film. "Aku tidak bisa hidup tanpamu. Kamu matahariku. Duniaku gelap kalau kau memutuskan menghilang dariku. Ciiihh... hueekk." Dia lalu menutup mulut dengan sebelah tangan. "Maaf, aku tidak bermaksud menghina seleramu. Aku hanya tidak percaya ada perempuan yang percaya dengan ucapan gombal seperti itu."

Aku mengurut dahi. Rencanaku sepertinya tidak berjalan mulus. Kami jelas tidak akan berciuman karena terbawa suasana di bioskop. "Kamu saja yang pilih filmnya." Aku menyerah pasrah. Tanpa syarat.

"Hmm...." Renata mengerutkan bibir sambil mengamati poster yang tersisa. "Aku yang pilih? Kamu jangan menyesal, ya!"

Aku mengikuti gerak mata Renata. Bulu matanya lentik tanpa mascara. Pipinya hanya disaput bedak tipis. Bibirnya sedikit mengilap oleh lipgloss. Aku buru-buru mengalihkan pandangan, sebelum semakin penasaran dengan rasa lipgloss di bibirnya. "Kita akan nonton film perang, kan?" itu sepertinya cocok untuk Renata. Gadis tangguh yang lebih menyayangi kamera ketimbang nyawa.

Renata mendelik. "Yang benar saja, Bayu! Kalau aku masuk Raqqa, aku akan melihat perang betulan. Kamu mau aku pemanasan dengan nonton film dulu?"

Kurasa aku memang tidak pernah bisa menduga apa yang ada di dalam kepalanya. "Jadi?"

"Kita nonton yang ini saja." Dia menunjuk salah satu poster dengan semringah. Senyum segera menguasai wajahnya. Dia cantik sekali. Aku harus memasukkan tangan ke dalam saku celana, supaya tidak mampir di pipinya untuk membelai tanpa sengaja.

Aku menarik napas panjang saat melihat film pilihan Renata. Ya ampun, berapa umur kami sehingga harus masuk di studio itu untuk menonton film pilihannya? Demi Tuhan, itu film kartun! Kami seharusnya masuk di sana saat sudah menggandeng anak kami yang berumur empat tahun, bukan sekarang, saat aku sedang berusaha membuatnya melihatku sebagai laki-laki.

"Bagaimana?" Renata menatapku dengan sorot penuh harap.

Bagaimana aku bisa mengecewakannya? "Itu... itu pilihan sempurna. Siapa yang tidak suka film kartun?" Aku buru-buru mengulas senyum. "Kamu tunggu di sini, aku akan mengantre tiket. Kamu mau popcorn manis?" tawarku. Ya, setidaknya tangan kami masih bisa bertemu di kotak popcorn.

"Gula itu karbohidrat sederhana. Langsung diserap dalam darah. Kamu mau membuatku gemuk lagi?"

"Uppss... sorry. Asin saja?"

"Natrium itu mengikat cairan dalam tubuh. Kebanyakan garam sama saja tidak menyayangi tubuh."

"Air mineral?" tanyaku putus asa. Tidak ada yang lebih sehat daripada air putih, kan?

"Untuk kamu saja. Aku malas bolak-balik ke toilet karena kebanyakan minum."

Tuhan, kurasa aku memang butuh banyak kesabaran untuk menghadapi gadis ini!

**

Film kartun yang kami tonton membuat Renata sangat bahagia. Senyumnya belum hilang saat kami sudah masuk restoran.

"Kamu serius hanya mau makan itu?" tunjukku ngeri pada mangkuk salad yang diantar pelayan.

"Aku sudah makan hampir 2000 kilokalori hari ini. Sebelum tidur, aku hanya perlu minum bubuk protein." Renata mulai menyuap. "Aku harus menjaga kondisi tubuh sebelum jalan. Sakit dalam perjalanan akan menghambat pekerjaan. Aku tidak suka menjadi beban orang lain."

Ya, Renata yang kukenal memang tidak suka menyusahkan orang.

"Kamu langsung pulang ke Indonesia setelah tamat dari NYIP?" Ngobrol santai seperti ini kesempatan untuk mencari tahu kehidupan Renata sebelum kami bertemu.

Renata menggeleng. "Tidak. Kamu tahu sendiri seperti apa kehidupan fotografer yang belum punya nama di tanah air. Di sana aku lumayan banyak dapat proyek saat masih di kampus. Setelah selesai juga begitu. Baru sekitar tiga tahunan aku mudik. Awalnya tidak kepikiran sih, tetapi karena mengerjakan proyek di sini, jadinya malah betah. Di sini gampang cari bakso dan rending. Tinggal di Amerika tidak bikin lidahku ikut bule."

Aku teringat apartemen Renata yang terkesan ala kadarnya. Jadi ini alasannya dia tidak mencari tempat yang lebih bagus, padahal dia mampu. Karena dia tidak yakin akan tinggal di sini.

"Kamu berniat kembali ke sana?" tanyaku waswas. Aku tidak suka menanyakannya.

Renata mengangkat bahu, terlihat tidak peduli. "Aku lebih nyaman di sini sih sekarang. Amerika bukan tempat menyenangkan saat ini. Mendingan ke Eropa. Tapi untuk sekarang, kayak gini lebih enak. Kembali ke sini setelah pekerjaan di luar selesai."

Kuharap dia selamanya lebih nyaman dan memilih tinggal di tempat leluhurnya sendiri. Dekat denganku.

"Kakek dan nenekmu? Maksudku, kamu sering bertemu mereka?"

Renata menggantung sendoknya sejenak. "Aku bukan cucu kesayangan mereka, tetapi kadang-kadang aku mengunjungi mereka."

"Kadang-kadang? Kita tidak tidak bisa memotong diri kita dari keluarga meskipun ingin." Aku tidak ingin menggurui, tapi itu benar. Kita tidak bisa memilih akar kita, jadi suka tidak suka, kita harus bertahan dengan keluarga.

Renata tersenyum canggung. "Aku tumbuh hanya bersama Papa. Dia bukan orang yang banyak bicara, jadi aku juga tidak tahan saat ada orang yang mengajariku bagaimana cara menjalani hidup. Dan itu yang dilakukan kakek-nenekku setiap kali kami bertemu. Menyuruhku berhenti berkeliling, menikah, dan tinggal di rumah untuk menjadi istri yang baik."

Menikah. Kata itu membuat telingaku naik. "Kamu tidak mau menikah?"

Bibir Renata kembali berkerut. "Menikah tidak terlalu buruk kalau bertemu orang yang tepat."

"Kamu belum merasa menemukan orang yang tepat?" padahal kamu sudah duduk di hadapannya. Aku menyimpan kalimat itu dalam hati. Mendesak akan membuat Renara kabur.

Renata mengangkat kepala dan menatapku lama. Tajam. Aku dapat merasakan adrenalinku sedikit meningkat.

"Kamu terdengar seperti orang yang mewawancaraiku untuk bikin autobiografi, Bayu. Kenapa kita tidak ngobrol soal lain saja."

Aku tahu Renata menghindar untuk menjawab. Perasaanku menjadi tidak enak. Apakah dia sebenarnya sudah menemukan orang yang tepat untuk dititipi hati? Siapa? Naren? Aku dulu pernah mengira dia menyukai Dito. Namun makin ke sini aku tahu dia hanya menganggap Dito sebagai kakak. Tidak lebih. Untuk saat ini, karena semua orang tahu kalau perasaan dapat berubah.

"Kamu mau ngobrol soal apa?" aku mengikuti keinginannya berganti topic.

"Bagaimana kalau soal kamu?" Renata kembali menyuap. "Kamu tidak pernah cerita banyak tentang kehidupanmu, kan?"

Semangatku kembali naik. Dia ingin tahu tentang aku. Itu berarti dia sedikit banyak tertarik, kan? Mungkin dia hanya belum menyadarinya saja.

"Apa yang kamu ingin tahu tentang aku?"

Sorot Renata seketika berubah jail. "Sejak kapan kamu suka warna pink? Aku beneran penasaran soa itu." Tawanya seketika pecah. Sial.

"Apa?" sambutku sewot. Dia hanya mau bercanda, bukan benar-benar ingin mengenalku.

Apakah aku sudah pernah bilang gadis ini menyebalkan? Karena kalau sudah, aku akan mengulanginya lagi dengan senang hati.

Renata mengangkat tangan menyuruhku diam saat ponselnya berdering. Dia menghentikan tawa. Dia bicara dengan kalimat yang melompat-lompat. Namun aku bisa menduga itu Narendra.

"Itu Naren." Senyumnya lebar setelah menutup telepon. "Tiga minggu lagi kami berangkat. Kami bisa masuk Suriah. Bukankah itu hebat?"

Sangat hebat. Hanya mendengarnya saja, aku sudah kehilangan selera makan.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro