Part 29

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

New Story

###

Part 29

###

Reynara tertawa pelan. "Kau bahkan tak tahu siapa Rega? Sayang sekali, pernikahan dan kehamilanmu ternyata tak membuat hubungan kalian lebih dekat."

"Aku tak peduli pada niatmu mengatakan ini padaku, Reynara. Tapi aku tahu kauingin memberiku lebih dari ini."

Tawa Reynara semakin nyaring. Terbahak hingga kepalanya mundur ke belakang. Lalu, mengibaskan tangan di wajah.

Sesil mengabaikan tawa Reynara. Menunggu wanita itu puas menertawainya dan jika bukan karena rasa penasarannya yang teramat tinggi, ia pasti akan berdoa wanita itu tersedak anggur di piringnya.

Tawa Reynara berhenti. "Jika kau tak tahu Rega adalah adik Saga, kau pasti sangat terkejut jika dia adalah mantan kekasih Dirga."

Kali ini Sesil benar-benar terkejut. Ia tak pernah tahu itu, dan tak pernah membayangkan itu.

Reynara tak ambil pusing dengan keterkejutan Sesil. Wanita itu memang harus terbiasa mendapatkan kejutan untuk mendengarkan kisah itu sampai usai. "Rega, dia begitu polos, berpikir cintanya dengan Dirga akan mampu menghentikan permusuhan keluarga mereka. Tetapi, pada akhirnya Dirga dan Saga menyakitinya dan berakhir menggenaskan."

"Apa ... maksudmu menggenaskan?" Sesil bertanya dengan terbata. "Apa dia sudah meninggal?"

"Ya, hanya Tuhan yang bisa menghidupkan gadis malang itu setelah melompat dari gedung berlantai lima belas. Menyedihkan, tapi di sanalah kisahmu bermula, Sesil. Kau datang, sebagai pengganti Rega di mata Dirga dan Saga."

Wajah Sesil pucat pasi ketika kepalanya bergoyang tak percaya. Jangan bilang, inilah alasan Saga begitu tertarik merebutnya dari Dirga. Tidak, Sesil tidak sanggup menerima semua itu. Setelah semua yang telah ia dan Saga jalani bersama beberapa bulan terakhir. Setelah kehadiran ... Sesil menunduk menatap perutnya yang sudah membesar dan menyentuhnya. Seakan melindungi apa pun yang tengah datang dan hendak menyerbu mereka.

Reynara mencondongkan tubuhnya ke arah Sesil, menyentuh helaian rambut Sesil dan menyusurinya hingga di ujung. Kekecewaan yang sangat besar seolah menenggelamkan Sesil. Sepertinya ia tidak hanya meretakkan apa pun yang ada di antara Saga dan Sesil. Lebih dari itu, ia telah menghancurkan apa pun yang tersisa hingga menjadi puing-puing tak bermakna.

"Jangan terlalu kecewa. Satu-satunya yang paling memahami bagaimana derita para korban manipulatif Saga hanya kau, Sesil. Setelah sekian lama, apa kau masih belum terbiasa." Kelembutan dalam suara Reynara tak mengurangi satu pun dari ribuan jarum yang datang dan menusuk hati Sesil. Wanita itu seolah mati rasa, hatinya terasa kebas, dan seluruh pandangannya bercampur aduk. Kepalanya pusing dan rasa mual di perutnya seakan tak tertahankan.

"Luka yang diberikan Dirga pada Saga dan Arga terlalu dalam. Kau tak akan sanggup menyembuhkannya. Harapan yang terlalu tinggi tanpa mengukur kenyataan yang ada, itu tidak sehat Sesil. Kau bisa membahayakan janin dalam kandunganmu." Reynara melirik perut besar Sesil lagi. Entah sudah berapa bulan janin itu, tapi sepertinya tak lama bayi itu akan keluar. "Terkadang, hidup tidak selalu seperti yang kita inginkan, bukan?"

"Apa Dirga yang membunuh Rega?" Sesil tak bisa membayangkan jika Saga juga membunuhnya demi membalaskan dendam itu pada itu Dirga.

Reynara menggeleng. "Rega hanya salah satu korban dari permusuhan kedua kakaknya dan Dirga. Wanita itu terlalu lemah dan polos hingga memilih bunuh diri untuk mengakhiri permusuhan ini. Tapi, aku tahu kau lebih kuat darinya. Kau tak mungkin memilih jalan hidup yang sama. Setidaknya kau harus hidup untuk anakmu, kan. Meski ... harus hidup di sisi Saga dengan cara menyedihkan seperti ini."

Perasaan dikhianati menyeruak dan membelah hati Sesil. Kenapa ia harus merasa terkhianati? Apakah ia memang sudah menyerahkan seluruh hatinya untuk Saga? Untuk dicabik-cabik?

"Apa kau kecewa, Sesil? Pada akhirnya, bukan keadaan yang bersalah. Melainkan harapan yang kau buat sendirilah yang membuatmu kecewa. Kau terlalu berharap Saga telah berubah dengan kehadiran anak ini di antara kalian. Tetapi, pria itu tetap memandangmu sebagai samsak balas dendam. Tak pernah berubah."

Reynara menarik tubuhnya menjauh. Bersandar di punggung kursi dan menatap langit yang berwarna biru terang. "Well, Saga memang bukan pria yang mudah digoyahkan. Pria itu memiliki pendirian yang sangat kuat. Bahkan tekadku yang begitu besar saja tak mampu menyentuh pintu hati pria itu. Jangan merasa tersinggung."

Sesil masih membeku. Permainan perasaan dan untaian mimpi ini berbalik menyerang dan menjatuhkannya. Menggilasnya habis-habisan.

"Sepertinya kau butuh air." Perhatian Reynara kembali pada Sesil. Wanita itu mengambil gelas air putih di meja dan menyodorkannya pada Sesil.

Sesil berharap air putih itu mampu menelan pil pahit yang diberikan Reynara padanya. Meski tahu itu tak mungkin, ia tetap berharap. Air putih itu tandas dalam sekejap. Hanya mengaliri tenggorokannya tanpa menghapus rasa hausnya.

"Itulah sebabnya Dirga mengirimku ke sini. Dia ingin menyelamatkanmu. Bagaimana pun, kau adalah satu-satunya orang yang membantunya bangkit dari keterpurukan. Dia benar-benar tulus mencintaimu."

"Dirga?" gumam Sesil lirih. Air matanya jatuh saat ia berkedip. Dirga, Sekali lagi Sesil menggumamkan nama itu dalam hati. Perasaan mengkhianati dan rasa bersalah muncul dan mulai meracuni pikirannya. Di saat pria itu berjuang untuk menolongnya di luar sana, ia malah terbuai oleh kelembutan yang dibungkus kebohongan milik Saga. Bahkan mulai berpikir bahwa ia telah jatuh cinta pada Saga. Ini benar-benar ketololan terbesar yang pernah Sesil lakukan seumur hidupnya. Ia telah mengkhianati Dirga, mengkhianati ketulusan pria itu.

"Tapi, kau sudah dibutakan oleh kebohongan Saga dan aku tak bisa melakukan apa pun selain pergi dengan tangan kosong. Aku menikahi Arga sebagai ganti Saga demi kebutuhan bisnis. Aku dan ayahku tak rugi apa pun."

"Kenapa kau mengatakan ini padaku? Sekarang?"

Reynara mendesah keras, kembali bersandar pada punggung kursi dan kali ini mulai mengayun-ayunkan kaki memainkan sepatu. Kebiasaan yang tak pernah bisa ia hilangkan ketika menikmati waktu berjalan seperti seharusnya. "Sedikit terlambat, tapi ... membiarkanmu mati tanpa penjelasan tak akan adil bagimu, bukan."

"Apa tujuanmu?"

"Hmm ..." Reynara mengerutkan kening mencoba mengingat-ingat. "mungkin karena Dirga. Aku bertemu dengannya di pesta klien, dia sangat kacau. Ah ... tidak. Dia seperti mayat hidup. Dan menurutku, membungkam mulutku juga tidak akan adil bagi Dirga," bohongnya tanpa mengedipkan mata.

"Kau memihak Dirga," tandas Sesil.

Reynara menggeleng. "Aku istri Arga. Aku hanya mencoba berdiri di tengah mereka dengan aman. Aku tak berniat menjadi Rega kedua. Dan hanya berusaha menjadi realistis."

***

"Apa kauingin aku membawa makan pagimu ke kamar?"

Sesil menggeleng. Tubuhnya tertutupi selimut masih memunggungi Saga. "Aku hanya ingin istirahat," gumam Sesil enggan.

Tak biasanya Sesil tampak bermalas-malasan seperti ini. Wanita itu selalu tampak bersemangat melakukan apa pun dengan tubuh yang terkadang berjalan pun mulai susah. Melakukan apa pun sesukanya karena tak ingin mendiamkan tubuhnya. Dan di antara semua keaktifannya itu, Sesil paling bersemangat dengan jadwal makannya. Tentu saja hal itu menarik perhatian Saga.

Makan malam Sesil pun hanya berkurang beberapa suap, awalnya Saga berpikir mungkin wanita itu sudah kekenyangan makan potongan buah di sore hari. Meski itu juga tampak ganjil. Sesil tak pernah melewatkan makan malam dengan sorenya yang dihabiskan untuk mengunyah makanan ringan.

Saga memutari ranjang dan membungkuk menyentuh dahi Sesil. "Apa kau demam?"

Sesil menggeleng sambil menepis tangan Saga di dahinya dengan mata terpejam. Sekarang, perhatian lembut pria itu terasa menjijikkan dan menyiksa Sesil.

"Apa ada yang sakit?"

Sesil menggeleng lagi meski kepalanya sedikit pusing. Pusing ini akan hilang setelah ia tidur beberapa saat lagi. Mungkin karena semalaman ia tak bisa memejamkan mata karena kekecewaan yang terlalu besar dan tak sanggup ia hadapi

Saga segera mengusir keheranannya. Suhu tubuh wanita itu juga normal. Semalam wanita itu memang beberapa kali terbangun. Mungkin hanya ingin membayar tidur tak nyenyaknya tadi malam, pikir Saga.

"Aku akan menyuruh pelayan membawa makananmu dan seseorang berjaga di depan pintu kamar jika kau membutuhkan sesuatu." Saga membenarkan selimut Sesil. Meninggalkan satu kecupan singkat di pipi Sesil sebelum melenggang pergi.

Sesil membuka matanya. Kenapa? Kenapa pria itu menciumnya selembut ini? Air mata menetes jatuh ke bantal.

'Apa arti diriku bagimu, Saga?'

'Kenapa kau menciumku jika aku hanya obyek balas dendammu pada Dirga?'

'Apa semua kelembutan itu juga sebagian taktik dari permainanmu?'

Semua penjelasan Reynara kembali berputar di kepalanya. Dadanya sesak, dan wajahnya meringis ketika perutnya menegang. "Aauww."

Sesil semakin meringkuk memeluk perutnya. Wajahnya mulai basah oleh keringat. Di antara rasa sakit itu ia mulai mencari napasnya. Berusaha bernapas dengan benar. Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan perlahan. Ia mencoba sampai tiga kali dan berhasil. Rasa kaku itu perlahan mereda dan Sesil merasa kelelahan hingga tertidur.

***

Rasa kaku itu masih muncul ketika siang itu Sesil masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah terbangun dan puas menangis di balik selimut, ia memutuskan untuk beranjak dari kasur dan membutuhkan makan untuk anaknya. Ia tak akan melewatkan makan siang setelah melewatkan makan pagi. Sepuluh menit kemudian dia keluar dari kamar mandi. Mengabaikan wajah dan matanya yang bengkak di depan meja rias, Sesil mengambil sisir. Bahkan menyisir rambut dan pakaian yang ia kenakan pun hanya demi memuaskan selera Saga. Sesil kembali menangis, melempar sisir di tangannya ke arah cermin.

Pintu kamarnya terbuka, dua pelayan muncul dengan kepanikan di wajah mereka. "Apa Nyonya baik-baik saja?"

Sesil mengusap wajahnya yang basah. Ketegangan di perutnya muncul lagi tapi tak cukup membuatnya kesakitan. Jika sedikit saja ia meringis atau menyentuh perutnya, kedua pelayan itu pasti akan membuat keributan untuk memastikan kandungannya baik-baik saja. Ya, Saga hanya peduli dengan anaknya. Kelembutan-kelembutan pria itu hanya untuk menjaga kestabilan emosinya, hanya demi kesehatan bayi dalam kandungannya. Bukan karena Saga benar-benar peduli padanya. Bukan karena Saga mencintainya. Saga tak punya hati, bagaimana mungkin pria itu tahu cara membalas cintanya?

'Seharusnya kautahu satu peraturan paling penting itu sebelum memutuskan jatuh cinta padanya, Sesil!' Suara dalam kepala Sesil mendengus sinis. Mengejeknya.

"Nyonya?" Salah satu pelayan itu mendekat. Menyentuh bahu Sesil dengan lembut dan mengarahkan untuk menjauh dari pecahan kaca. "Saya akan membantu memeriksa Anda."

Sesil membiarkan kedua pelayan itu mendudukkannya di pinggir ranjang. Memeriksa setiap senti kulit yang tak tertutupi dressnya dengan teliti. Kemudian keduanya bernapas dengan lega setelah tak menemukan luka lecet sedikit pun di tubuhnya.

"Apa Nyonya ingin makan sesuatu untuk makan pagi?" tanya salah satu pelayan yang melihat nampan makan pagi Sesil masih utuh.

Sesil merasa lapar. Ingin makan omelet di piring yang sama dengan Saga. Tetapi dadanya sesak dan masih ingin menangis. "Di mana Saga?"

"Beberapa saat yang lalu sudah pulang dan langsung menuju ruangannya di atas."

Di lantai dua.

Sesuatu mengingatkan Sesil, wanita itu berdiri, melewati kedua pelayan itu dan berjalan keluar kamar. Mengacuhkan pelayan yang menawarkan diri untuk memanggil Saga dan melarang Sesil menaiki tangga, Sesil tetap menjejakkan kakinya di anak-anak tangga. Ya, sejak perutnya mulai menonjol di usia kandungan yang memasukin trimester kedua, Saga memang bersikeras melarangnya ke lantai dua dan memindahkan kamar mereka di lantai satu.

"Tuan sudah melarang Anda untuk naik ke lantai dua, Nyonya. Berbahaya untuk kandungan Anda."

"Satu kali naik tangga tak akan membuatku mati. Minggir!" Sesil menyingkirkan bahu pelayan itu minggir ke samping saat menghadangnya di anak tangga ke lima. Pelayan itu tak menyerah. Mengekor di belakang Sesil. Membantu Sesil menaiki satu persatu anak tangga sambil membujuk untuk kembali.

"Nyonya, Tuan bisa murka jika tahu Anda ada di lantai dua," kata pelayan itu lagi ketika mereka sudah sampai di lantai dua. Kepalanya menengok ke segala arah dengan was-was.

Sesil mengacuhkan rengekan pelayan itu. Ia sudah terlalu sibuk patah hati sejak kemarin sore. Kemurkaan Saga bisa menyusul nanti. Ia ingin memastikan sesuatu terlebih dahulu. "Berapa tahun kau bekerja di sini?"

"Hah?" Pelayan itu melongo, lalu menjawab dengan terbata. Takut jika itu adalah pertanyaan terakhirnya sebelum didepak dari rumah ini. "Li ... lima tahun, Nyonya."

"Apa kamar di ujung sana adalah kamar adik bungsu Saga?" Sesil menunjuk lorong di sebelah kiri.

Wajah pelayan itu memucat. Menggigit bibir dan menekannya dalam penuh ketakutan sebelum wajahnya tertunduk. "Maafkan saya tidak bisa menjawabnya, Nyonya."

Sesil mengangguk. Kepucatan wanita itu cukup dijadikan sebagai jawaban. Sesil melewati pelayan itu dan berjalan menyusuri lorong yang baru saja ditunjuknya.

Sewaktu ia tinggal di lantai dua ini, ia tak punya kegiatan selain menelusuri semua ruangan-ruangannya. Perpustakaan, ruang kerja Saga, ruang bersantai, balkon, dan beberapa kamar kosong. Namun, hanya kamar di ujung lorong sayap timurlah yang tak pernah ia telusuri. Pintu ganda itu selalu terkunci. Saat ia bertanya pada pelayan, wajah pucat lagi-lagi menjadi jawaban mereka. Dan sekarang ia tahu alasannya.

Bukan hanya kematian Rega yang disembunyikan oleh Saga. Tetapi semua jejak Rega telah lenyap dari rumah ini. Nama Rega seolah menjadi hal tabu untuk dibicarakan.

"Berhenti, Sesil!" Suara geraman Saga menghentikan langkah Sesil yang sudah setengah melewati lorong.

Sesil memutar tubuhnya. Melihat Saga berdiri di ujung lorong. Tubuh pria itu bergetar oleh amarah saat menyeberangi lorong mendekat ke arahnya. Sesil berjuang di antara rasa takut dan terlukanya. Dan keterlukaan itu memberinya keberanian menghadapi Saga. Ia harus tahu di mana posisinya yang sebenarnya. Jika pilihan Saga menghancurkan hatinya, maka biarlah hancur sekalian. Nanti, perlahan ia bisa mencoba memperbaiki satu persatu. Ia tak bisa berada dalam posisi menggantung seperti ini. Kebimbangan hanya akan memperdalam kerusakan dalam hatinya.

"Apa yang kaulakukan di sana, Sesil? Aku sudah melarangmu menginjakkan kaki di lantai ini, kan?" geram Saga berusaha mengabaikan keberadaan pintu ganda berwarna hitam tak jauh dari tempat Sesil berdiri.

Ia sedang membaca laporan hasil kerja Arga di mejanya ketika Jon menelpon dan memberitahukan tentang keributan di tangga. Mengira bahwa wanita itu ingin menemuinya dan merengek tentang omelet. Tetapi, bukannya menuju ke ruangannya, wanita itu malah mengarah ke lorong seberang. Entah apa yang diinginkan?

"Apa itu kamar Rega?"

Mata Saga berkedip sekali. Wajahnya keras dan tegang. "Dari mana kautahu tentang Rega?" Kali ini mata Saga menyipit dengan tajam. Melucuti setiap sudut wajah Sesil

"Kenapa? Apa aku tidak boleh tahu? Meski kita sudah menikah."

"Apa pun yang kaudengar, sebaiknya lupakan mulai detik ini. Kembali ke kamar sekarang juga!" Suara Saga naik satu oktaf.

"Apa artiku bagimu, Saga?" Dagu Sesil terangkat sedikit. Tak peduli pada kemarahan Saga. Sakit hati membuat semua ketakutannya pada Saga terpental menjauh. Dominasi pria itu tak lagi membuatnya meringkuk ketakutan.

"Apa yang ingin kaudengar, Sesil?"

'Aku ingin kau mengatakan mencintaiku' Alih-alih kata itu yang Sesil ucapkan. Keinginannya terlindas oleh segala kebohongan Saga yang sudah terbeber jelas di matanya. Dan luapan emosinya membanjir tanpa mampu ia bendung lebih lama lagi. "Permusuhanmu dengan Dirga, aku mengira semua karena bisnis kalian yang saling bersinggungan. Ya, mungkin aku bisa menerima, Dirga melakukan kesalahan padamu dan kau meminta bayaran. Aku ingin kembali, tapi kau mengikatku dengan anak ini. Perlahan aku menerima semua ini, setidaknya kau menerimaku sebagai bagian darimu karena anak ini. Kupikir kita disatukan oleh anak ini. Aku mungkin akan melupakan awal tak baik dalam hubungan kita, saat melihat anak ini. Aku selalu membayangkan kebahagiaan itu untuk kita bertiga."

"Hingga aku menemukan fakta baru yang cukup mengejutkan. Permusuhan kalian yang ternyata sudah mengerak dan menjadi sebuah kebencian teramat besar. Kau tidak meminta bayaranmu pada Dirga, tapi kau menggunakanku untuk membalaskan dendammu pada Dirga. Kau mengklaimku, memilikiku, dan menakhlukkanku hanya demi balas dendamu pada Dirga yang telah membunuh adikmu. Begitu pun anak ini. Kau ingin menunjukkan pada Dirga bahwa kau telah menyatukan darahku dan darahmu sebagai trofi kemenanganmu."

"Tutup mulutmu, Sesil!" geram Saga. Kata-kata Sesil mulai membuat kendali diri Saga terlepas. "Kau tak tahu apa yang kaukatakan, Sesil."

"Aku bukan Rega. Dan aku tak akan menjadi Rega untuk kalian berdua!" teriak Sesil lagi dengan suara nyaring.

"Kubilang tutup mulutmu!" Saga mendorong tubuh Sesil hingga punggung wanita itu menyentuh dinding lorong. Tubuh Saga memerangkap tubuh Sesil. Wajah keduanya saling berdekatan dengan aura kebencian yang begitu melekat satu dengan lainnya.

"Seharusnya dari awal anak ini tak pernah ada. Aku bersumpah akan membawa anak ini dalam kematianku." Sesil meringis, merasakan rasa kaku dan nyeri di perutnya. Matanya berkedip beberapa kali saat pandangannya mulai memburam dan kepalanya mulai pusing.

"Coba saja, aku akan membuat kematianmu tidak semudah itu, Sesil."

"Seharusnya aku tahu, pria sepertimu memang tak layak untuk mencintai, apalagi dicintai." Sesil mulai kehilangan napasnya. Tubuh Saga yang memerangkap tubuhnya membuatnya semakin kesulitan bernapas.

Tanpa sadar, Saga semakin mendorong tubuh Sesil hingga terjepit di dinding. Seakan hal itu mampu menghentikan racauan Sesil yang membuatnya semakin murka.

"Tuan?" Suara Jon dari arah belakang menyadarkan Saga dari asap gelap kemurkaan yang membutakan pria itu.

Saga mengerut. Menatap wajah Sesil yang memucat hanya dalam hitungan detik. Wanita itu seakan menahan rasa sakit. Keringat dingin membasahi hampir seluruh wajahnya.

"Tuan, kita harus membawa nyonya ke rumah sakit." Jon melangkah lebih dekat. Kekhawatiran juga melumuri suaranya.

Saga menarik tubuhnya menjauh dan tubuh Sesil jatuh dalam dekapannya. "Ada apa? Apa ada yang sakit?" tanyanya panik.

Kedua tangan Sesil menyentuh perutnya. "Pe ... perutku."

Saga menunduk. Terkejut setengah mati menemukan darah yang sudah membentuk kubangan di lantai sekitar kaki mereka berdua.

***

Hoaammm .... ngantuk. Tips untuk readers yang sedang patah hati. Ambil bantal, tidur. Besok hari baru, pacar baru lagi. Yang lalu biarlah berlalu ...

Gampang, kan?

Wuakakkakakkakkk ....

Salam cinta itu satu ( pemiliknya yang berbeda )

-Lui...

Wednesday, 29 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro