Part 31

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

New Story

###

Part 31

###

Senyum manis yang melengkung di bibir, rambut lurus sebahu, mata biru yang cemerlang, dan gaun selutut bercorak bunga tulip. Gadis muda itu terlihat begitu cantik dan sangat manis. Setelah sekali lagi mematut dirinya di cermin, dan tak menemukan kejanggalan pada penampilannya, Rega menyambar tas putih di meja. Ia sudah membuka setengah pintu kamarnya ketika kedua kakaknya muncul.

"Mulai sekarang, kau tidak akan kembali ke cafe itu." Arga berjalan masuk lebih dulu dan menarik tas selempang yang menyangkut di bahu Rega. Gadis itu sempat berusaha merebutnya kembali, tapi kemunculan Saga di belakang Arga mengejutkannya untuk kedua kali.

"Ada ... ada apa ini, Kak?" tanya Rega tak mengerti.

"Duduk!" Saga memerintah adiknya untuk duduk di salah satu sofa sebelum ia mengambil tempat di sofa tunggal.

Rega menurut, meski bertanya-tanya. Keseriusan yang tersorot di manik Saga membuatnya was-was. Apa ia membuat masalah lagi? Yang membuat Saga dan Arga harus menghakiminya lagi. Ya, terkadang ia memang membuat sedikit masalah dengan menyebutkan identitas dirinya kepada seseorang. Ia tak pandai berbohong. Saat ia berbohong, kegugupannya akan membuktikannya dengan cepat. Kehidupan kedua kakaknya di dunia yang gelap, membuatnya tak cukup memiliki teman dan berkeliaran dengan bebas seperti orang-orang pada umumnya. Dan terkadang, kedua kakaknya mengijinkannya sedikit menikmati dunia bebas di luar sana. Dengan bekerja di cafe seperti yang ia mohonkan pada kakaknya sebulan yang lalu.

"Apa kau tahu siapa dia?" Arga melempar beberapa lembar foto yang di ambil dari saku jasnya ke meja yang memisahkan dirinya dan Rega.

Rega menunduk. Terkejut bukan main. Kali ini, ia tahu masalah yang ia perbuat tak akan bisa dimaafkan atau diterima oleh kedua kakaknya.

"Kau tahu siapa dia dan kau masih berani berhubungan dengannya?"

"Rega mencintainya, Kak."

"Jangan katakan kata-kata menjijikkan itu, Rega. Kau tak tahu apa yang kauhadapi."

"Dirga pria yang baik."

"Pria terlihat sangat baik hanya untuk menyembunyikan taringnya."

"Dirga bukan pria seperti itu."

"Pikiranmu sudah diracuni olehnya, Rega."

Rega menggeleng dengan keras. Menjatuhkan tubuhnya di lantai berkarpet dan memohon pada Saga. Kakak tertuanya. "Tidak bisakah kalian menghentikan permusuhan ini demi Rega. Melupakan kebencian yang bukan milik kita demi kebahagiaan Rega?"

"Akhiri hubunganmu dengannya!" Suara lantang penuh kefrustrasian Arga memenuhi seluruh ruang tamu tersebut. Rega, yang bersimpuh menyedihkan di hadapan Saga. Apa adiknya itu pikir permohonan bisa menyelesaikan masalah sebesar dan sefatal ini?! Semakin marah dengan uraian air mata itu demi musuh besar mereka.

"Tapi, Kak."

"Cukup, Rega!" Suara Saga dalam dan tegas. Penuh peringatan keras.

Rega tersentak ke belakang.

"Dirga hanya memanfaatkanmu. Dan kami hanya melindungimu sebagai seorang kakak. Kau tahu kami menyayangimu, kan?" sela Arga lagi.

"Kenapa kalian membenci Dirga? Katakan alasan yang masuk akal agar Rega memikirkan kembali keputusan yang kalian timpakan tanpa pilihan."

Arga terdiam. Begitu pun Saga. Permusuhan, perseteruan, dan kebencian yang mengikat dua keluarga ini memang tak bisa dijelaskan dengan mulut. Semua sudah ada bahkan sebelum mereka bertiga bernapas dengan udara.

"Itu hanyalah kebencian yang diwariskan para orang tua. Kita berada di waktu dan tempat yang berbeda. Tak seharusnya kita membawa bobrok yang tak pantas kita dapatkan. Rega tak melakukan kesalahan apa pun. Begitu pun kalian. Kita tidak berhak mendapatkan hukuman kebencian ini. Rega tidak mau hidup dengan membawa beban kebencian ini seumur hidup. Rega ingin hidup. Kehidupan yang Rega impikan. Yaitu Dirga."

Hening. Hening yang cukup lama dan menyesakkan setiap dada yang bernapas. Rega terengah, dalam diam.

Saga berdiri. Menatap wajah basah adik bungsunya dengan dingin. "Itu sudah takdirmu. Belajarlah menerima kebencian itu mengalir di nadimu sebagai bagian hidupmu."

Tubuh Rega terlunglai ke lantai. Air mata membanjir dan tangisannya menggerung memenuhi seluruh kamar tidurnya.

***

Empat tahun kemudian ....

Saga membuka matanya. Ingatan itu kembali mendatanginya dan menjelma menjadi sebuah mimpi. Mimpi buruk. Ia terduduk, mengingkap selimut, dan meneguk segelas air. Setelah menandaskan isinya, ia berdiri dan masuk ke kamar mandi. Butuh berendam untuk meregangkan otot dan menjernihkan pikirannya.

"Ada apa?"

"..."

Kerutan muncul di antara alis Saga. "Kirim filenya."

"..."

"Baik. Lakukan seperti biasa. Aku ingin laporannya sedetail mungkin."

Saga meletakkan ponselnya di pinggiran bath up. Memainkan gelembung sabun di tangannya dengan pikiran yang mulai jernih. Sudah empat tahun berlalu. Semua masih sama, berjalan di tempat tanpa ada langkah yang menjejak. Butuh umpan untuk membawa masuk mangsa kembali ke perangkapnya.

Teringat sesuatu. Saga mengambil ponselnya kembali dan menghubungi salah satu nomor di kontak. Panggilannya dijawab di deringan pertama.

"Bagaimana persiapan untuk besok?"

"..."

"Oke. Aku ingin semuanya sempurna. Dan ..." seringai itu muncul lagi. "Kirim seseorang untuk mengabadikan momen itu."

"..."

Seringai tersungging di sudut bibirnya. Setelah empat tahun, akhirnya hari ini tiba juga. Keputusan sudah dijatuhkan.

***

Suara bising para pelanggan yang mengobrol tak menghentikan Sesil tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bibirnya yang pucat di antara ekspresi muram. Gerakannya yang mengaduk-aduk sup dalam mangkuk di hadapannya. Sekali lagi Dirga mendesah keras. Hanya beberapa saat mereka saling diam tanpa obrolan ringan apa pun dan pikiran wanita itu kembali menghilang.

Dirga mengulurkan tangan dan menggenggam jemari Sesil. Menyadarkan wanita itu. "Apa kauingin makan yang lain?"

Sesil tersentak, membelalak dan menatap sup di hadapannya yang masih penuh. Sesil menggeleng pelan. "Maaf." Sesil menyendok dan mulai memakan sup yang terasa hambar di lidahnya.

Di suapan ketiga, Dirga menarik mangkuk itu dan mengambil kedua tangannya dalam genggaman pria itu. Satu tangan pria itu terangkat, menyeka sisa-sisa kuah sup di sudut bibirnya. "Kau yakin kau baik-baik saja?"

Sesil menahan napas. Merasa lelah. Pada dirinya sendiri dan pada sikap pengecutnya. Ia mendongak, tahu apa yang akan ia dapatkan di manik Dirga. Tatapan itu lagi. Tatapan seolah ia telah melukai Dirga dan hanya menunggu waktu pria itu mulai bosan dan merasa lelah hingga pergi meninggalkannya. Namun, bukankah itu yang ia harapkan. Ia hanya tak bisa meninggalkan, ia ingin Dirgalah yang meninggalkannya.

"Kau tahu selalu bisa mengandalkanku, bukan?"

Sesil menunduk, lalu menggeleng dan berkata lirih. "Maafkan aku, Dirga."

Dirga menggeleng, menyentuh dagu Sesil dan mengangkat wajah mungil itu dengan lembut. Tangannya yang lain menggenggam erat-erat tangan Sesil, seakan dengan begitu ia tak akan kehilangan wanita itu lagi. "Akulah yang seharusnya meminta maaf. Aku tak cukup memahamimu."

Sesil melepas genggaman tangan Dirga, berbalik meletakkan tangan Dirga dalam genggamannya. "Aku hanya merasa lelah, Dirga. Aku sama sekali tak melihat masa depan yang layak untuk untuk kita berdua. Mungkin ..." Sesil berhenti sesaat. Mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan kalimat selanjutnya. "... kau harus melepaskanku."

Kesiap sekilas melintas diwajah Dirga. Pria itu tercenung sesaat sebelum berkata dengan suara yang mulai mendingin. "Kenapa? Apa kau masih memikirkan Saga."

Nama itu membuat tubuh Sesil membeku. Ketakutan, rasa sakit, dan luka kembali muncul ke permukaan. Meremas hatinya seperti yang biasa terjadi ketika ingatan masa lalu berputar di kepala layaknya kaset rusak. Tersendat-sendat hingga akhirnya menggelap. Menyisakan kekelaman yang begitu pekat.

"Aku akan ke kamar mandi." Sesil tak menunggu persetujuan Dirga. Ia bergegas beranjak dari kursinya, melewati meja-meja pengunjung yang lain menuju sudut ruangan, menyelusuri lorong, dan masuk ke toilet. Menemukan salah satu bilik yang kosong di ujung, Sesil menghempaskan pantatnya di penutup toilet. Kedua tangannya menangkup wajahnya saat desahan keras melewati bibirnya.

Sejak tiga tahun yang lalu, dan ia merasa emosinya berguncang setiap mendekati hari itu. Hari terburuk sepanjang hidupnya. Hari paling mengerikan. Dan hari yang tak ingin Sesil ingat meskipun hanya dalam mimpi.

Butuh waktu lebih dari lima belas menit baginya utuk menguasai emosi yang berkelut di dadanya. Sesil muncul dan tersentak kaget menemukan Dirga berdiri bersandar di wastafel dengan kedua tangan bersilang di depan dada.

Sesil mengedarkan pandangan, tulisan 'Women' yang menghiasi seluruh permukaan dinding-dinding bercat pink menandakan bahwa ia tak salah masuk toilet. Desain yang unik, memastikan pengunjung tidak salah ruangan. "Apa yang kaulakukan di sini?"

Dirga hanya mengedikkan bahu. Sejak identitasnya terbongkar, Dirga tak lagi menutup-nutupi semua kekuasaan yang pria itu miliki. Termasuk membayar toilet umum di restoran menengah seperti ini. Bahkan, jika bukan keinginan Sesil yang tak terbiasa dengan segala hal berbau kemewahan, ia tentu akan menyewa seluruh restoran berbintang lima demi quality time nya dengan Sesil tak diganggu oleh kebisingan pelanggan yang lain. Akan tetapi, terkadang quality time itu terganggu oleh kemuraman di wajah Sesil sendiri.

"Apa kau butuh minum?" Dirga mengulurkan botol air mineral pada Sesil yang sudah terbuka.

Sesil hanya menggeleng. Berjalan ke wastafel dan mencuci wajahnya yang butuh kesegaran. Ia tak haus dan menatap wajah Dirga membuatnya kembali berkelut dengan emosinya.

Dirga menurunkan tangan dan melempar botol yang masih berisi penuh air mineral itu ke tempat sampah. Setelah tiga tahun berlalu, reaksi Sesil ketika ia menyebutkan nama Saga masih tak berubah. Wanita itu akan tampak terguncang lalu menghindari dirinya. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apa yang dilakukan Saga pada Sesil? Pertanyaan itu masih menggantung tanpa jawaban bahkan setelah waktu berlalu begitu saja. "Apa kau sudah merasa lebih baik?"

Sesil mengeringkan wajahnya dengan sapu tangan yang diberikan Dirga. Atau sapu tangan itu juga akan berakhir menyedihkan di tempat sampah. "Aku tak pernah merasa lebih baik, Dirga."

"Kau harus berhenti. Katakan padaku apa yang terjadi ...."

"Jangan memulainya, Dirga," cegah Sesil penuh peringatan bahkan sebelum Dirga menyelesaikan kalimatnya. "Aku mohon."

"Apakah aku harus menunggu lebih lama lagi?"

"Aku sudah mengatakan padamu untuk berhenti."

Wajah Dirga membeku sesaat, lalu ia mendorong bahu Sesil hingga punggung wanita itu menempel di dinding toilet dan menempelkan wajahnya di wajah Sesil. Ciuman dan lumatannya yang keras begitu dipaksakan. Kemarahan dan kefrustrasian yang bercampur terluapkan pada gerakan bibirnya yang tergesa. Ia melumat seluruh kulit bibir Sesil tanpa melewatkan sesenti pun. Hingga akhirnya ia merasa begitu lelah, menggeram di akhir lumatannya dan memisahkan wajahnya dari Sesil. Wanita itu hanya diam. Tak menolak ataupun menerima ciuman darinya. Berlaku pada keberadaan dirinya di sisi wanita itu juga.

Sungguh, ia memiliki tubuh wanita itu, tapi pikiran dan hati wanita itu entah melayang ke mana. Sesil seperti mayat hidup sejak kembali ke sisinya. Tatapannya tertuju pada sudut bibir Sesil yang berdarah. Kali ini, ia memang tak menahan-nahan lumatannya yang menyiratkan kemarahan. Tangannya terangkat menyeka darah itu dengan ujung ibu jarinya. "Mulai malam ini, kau akan tinggal di rumahku."

Bibir Sesil hendak bergerak membuka, tapi ibu jari Dirga menutupnya. Membungkam apa pun yang hendak keluar dari sana kembali ke tenggorokan. "Kali ini, tidak ada penolakan."

Sesil tahu kali ini Dirga tak membutuhkan penolakan. Mata keras dan tajam pria itu penuh tekad tak terbantahkan. Ia membiarkan Dirga membenarkan kerah kemejanya yang berantakan dan menyeretnya keluar dari toilet.

"Apa kau butuh mengambil beberapa barang di tempatmu?" tanya Dirga ketika keduanya sudah duduk di jok belakang mobil.

Sesil hanya menggangguk kecil.

"Aku akan menyuruh pengawalku. Katakan apa yang perlu ...."

"Antar saja aku ke sana. Biarkan aku yang memilih sendiri."

Dirga terdiam. Mengamati wajah Sesil yang tak pernah tidak pucat. Dirga menarik bahu Sesil dan menyandarkan tubuh wanita itu di dadanya. "Istirahatlah. Aku akan membangunkanmu ketika sampai."

Terlalu lelah secara emosi dan pikiran, dan keheningan yang seperti alunan lagu tidur, membuat Sesil terlelap.

'Saat sebuah nyawa tak diharapkan keberadaannya, jangan salahkan pilihan yang dia ambil untuk pergi, kan? Dia hanya makhluk yang sangat rapuh dan sensitif.'

'Cintanya yang rapuh telah kauhancurkan dengan penolakanmu.'

'Kau membunuhnya!'

'Kau pembunuh!'

Mata Sesil terbuka dengan sempurna. Telinganya masih mendengungkan kata-kata mengerikan itu. Dengan kepalanya yang sedikit pusing, Sesil mengingat-ingat situasinya saat ini. Ia masih berada di dalam mobil, menuju rumahnya untuk mengambil barang-barangnya sebelum pergi ke rumah Dirga.

"Apa kau sudah bangun?" Dirga membiarkan Sesil menegakkan punggung. "Sebentar lagi kita sampai."

Sesil menatap keluar jendela. Di ujung jalan adalah rumah sederhana berlantai satu yang ia sewa sejak meninggalkan rumah pamannya. Mobil berhenti di halamannya yang sempit. Beruntung sudah menggelap, dengan jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya yang berdempetan. Mobil Dirga akan mencolok jika salah satu tetangganya keluar rumah.

Selama ini, ia yang selalu mendatangi pria itu ketika Dirga ingin bertemu. Menghindari sebisa mungkin jika Dirga ingin datang ke rumahnya. Cukup keberadaan dua pengawal Dirga yang ditugaskan untuk menjaga tempat itu dua puluh empat jam bergantian dalam dua shift, membuat orang di sekitarnya bertanya-tanya.

Sesil turun dan Dirga menyusul di belakangnya karena pintu sebelah mobil yang terhalang pagar tetangga tak bisa dibuka. Kedua pengawal yang masih berjaga di teras terkejut menemukan mobil yang dikenali sebagai milik tuannya. Kemudian segera meletakkan koran yang mereka baca demi membunuh rasa bosan dan bergegas menyambut kedatangan Dirga.

"Aku akan masuk sendiri," ujar Sesil pada Dirga dan lebih dulu masuk ke rumah. Ia bahkan masih bertanya-tanya tentang tujuan keberadaan kedua pria berbadan kekar itu. Melindunginya dari Saga? Meski Sesil tahu keamanan itu sia-sia, ia hanya membiarkan Dirga melakukan apa pun terhadap hidupnya. Jika Saga memang ingin menyakitinya lagi, kedua pengawal Dirga sama sekali tak akan mengusik kedatangan pria itu. Tetapi, Saga memang telah membiarkannya pergi. Hanya tubuhnya, dengan kehancuran yang masih mengabadi menjadi puing-puing di hatinya. Sebagai bayaran untuk kebebasannya.

***

Rumah Dirga tak banyak berubah. Hanya semakin mengingatkannya pada rumah Saga. Rumah tingkat dua, halaman berumput yang luas dan terawat, serta mobil-mobil mewah yang terparkir di garasi tak jauh dari mobil mereka berhenti. Pintu mobil dibuka oleh pengawal, Sesil turun dan udara malam yang menerpa wajahnya sekali lagi memberikan kesegaran. Berbeda dengan udara yang melingkupi lingkungan rumahnya. Mungkin karena banyaknya tanaman-tanaman yang menghiasi teras, atau karena air mancur yang ada di dekat mereka. Uang Dirga melakukan tugasnya dengan sangat baik.

"Bawa ke kamarku!" perintah Dirga pada salah satu pengawal yang kini membawa dua kardus barang Sesil dan satu pengawal yang lain tengah menarik koper kecil Sesil dari bagasi.

Sesil menoleh dan berjalan mendekati kedua pengawal itu. "Bisakah aku mendapatkan kamarku sendiri?"

Dirga menatap Sesil dengan pandangan bertanya.

"Aku hanya butuh waktu." Sesil menunggu dengan tegang jawaban Dirga. Selama ini, Dirgalah yang selalu menuruti keinginannya, tapi kali ini, sepertinya Dirga mulai bosan dan memilih mengambil alih setir hubungan mereka yang semakin hari semakin rapuh menuju ambang kehancuran.

Dirga menggerakkan kepala sebagai isyarat pada kedua pengawalnya untuk bergegas pergi. "Bawa ke kamar di sebelah ruang kerjaku."

"Terima kasih," lirih Sesil. Ia butuh waktu sebelum hubungannya dengan Dirga berjalan lebih jauh.

***

"Apa?" Saga menegakkan punggung.

"..."

"Kauyakin apa yang kaulihat?"

"..."

"Sialan!" Saga mengumpat. Membanting kepala tangannya di meja dengan bibir terkatup rapat. "Percepat acara besok. Dan siapkan mobilku di tempat. Kirim beberapa orang untuk berjaga di area bukit. Jangan biarkan siapa pun menyadari keberadaan kalian."

Saga membanting ponselnya di lantai tepat ketika pintu terbuka. Arga muncul, terperangah sesaat tapi tetap melanjutkan langkah memasuki ruangan kakaknya.

"Ada apa, Saga? Tak biasanya kau kehilangan kendali untuk hari pentingmu besok?" Arga mengambil tempat di kursi depan meja Saga. "Apa pekerjamu ada yang mengacau?"

Saga mengembuskan napasnya dengan keras. Memutar kursinya menghadap Arga. "Tidak. Orang lain yang mengacau."

Mata Arga menyipit. Tahu benar siapa orang lain yang dimaksud Saga. Orang lain yang selalu mengacaukan pikiran Saga, sekaligus orang yang tak pernah benar-benar meninggalkan rumah ini. "Apa mereka berciuman di depan umum lagi? Atau ... bermalam di hotel?"

"Sialan!" Saga mengumpat lagi. "Mereka tinggal bersama."

Arga membelalak tak percaya. "Apa akhirnya kau mulai tersisihkan?"

Kepalan tangan Saga menggedor meja. "Tidak. Akulah yang akan menyingkirkan Dirga."

"Sepertinya kau tidak akan tidur malam ini. Apa kau butuh teman minum?" tawar Arga. Sesil mungkin berhasil meninggalkan rumah ini, tapi wanita itu tak pernah lepas dari pengawasan Saga. Bahkan pakaian dalam yang dikenakan wanita itu hari ini pun pasti Saga mengetahuinya. Saga memang seobsesi itu pada Sesil. Maniak! Stalker! Apa pun itu untuk mengutuk tindakan saudaranya. Tujuan utama mereka mulai meredup, oleh pengaruh Sesil yang berlebihan.

"Apa kauingin mengacaukan acara besok?!" geram Saga.

"Ah, aku lupa. Aku dan Nara sudah menyiapkan hadiah yang bagus. Kami bahkan butuh waktu seminggu lebih untuk menyesuaikan selera kami."

***

Kalau THE END nya di sini gimana?

wuakakakak .... sandal, sepatu, panci, ember satu keluarga plus punya tetangga melayang semua ke arah Author.

Yang nungguin ebook sabar ya. Nabung pulsa aja mulai sekarang. Cover udah fix tinggal tunggu nongol di playstore. Sabar again and again. Wkwkwk

Wednesday, 6 May 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro