15. Sesi Curhat Lagi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sepuluh menit lagi gue sampai.

Sebuah pesan singkat Sabrina kirimkan pada Lani. Sama seperti beberapa hari lalu, siang ini mereka kembali janjian untuk makan siang di tempat yang sama. Alasannya tentu saja karena Sabrina sudah tidak sabar menceritakan acara jalan-jalannya dengan Mahen semalam. Otaknya seakan ingin meledak jika tidak segera menemukan tempat berbagi.

Mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, senandung kecil keluar dari bibir tipis Sabrina. Mood-nya benar-benar sedang bagus. Ketika menemui pengemis di lampu merah, Sabrina bahkan mengeluarkan selembar uang berwarna biru secara sukarela. Kemudian, ia dihadiahi serentetan doa yang kesemuanya diaminkan dalam hati. Terutama ketika si pengemis mendoakan dekatnya jodoh, wajah tampan Mahen langsung muncul di bayangannya.

Ah, Sabrina merasa nyaris gila.

Sabrina tiba lebih dulu. Pandangannya menyisir dan mendapati hanya ada satu meja kosong di tepi. Sebelum ditempati orang lain, Sabrina segera menghampiri meja tersebut dan menyimpan cardigan berwarna ungu lembutnya di sandaran kursi.

Sembari menunggu kedatangan Lani, Sabrina terlebih dahulu memesan. Dua porsi sekaligus agar saat sahabatnya tiba mereka hanya tinggal menikmati hidangan.

Tepat setelah semua pesanan selesai disiapkan di atas meja, Sabrina mendengar seseorang menyerukan namanya.

"Sabrina! Ya ampun, lo udah dari tadi datangnya? Maafin gue. Si Bos, tuh resek banget pakai nitip batagor segala padahal ada OB. Kan gue jadi harus naik turun dua kali." Lani berbicara dengan napas memburu. Wajahnya ditekuk sedemikian rupa. Kelelahan karena harus berjalan tergesa-gesa di bawah langit siang Jakarta yang kerap kali tidak bersahabat.

"Minum dulu, nih!" Sabrina mendorong gelas tinggi berisi jus alpukat ke depan sang sahabat.

"Banyak banget makanannya." Lani berkomentar heran melihat banyaknya makanan yang tersaji di atas meja. Tidak seperti biasanya.

"Gue udah pesenin buat lo sekalian. Gue traktir." Sabrina memainkan kedua alisnya yang tebal dan rapi tanpa perlu digambar pensil.

"Widih dalam rangka apa, nih?" tanya Lani antusias. Perutnya yang tadinya adem ayem mendadak berbunyi.

"Ya enggak dalam rangka apa-apa." Sabrina tetap mempertahankan senyum misteriusnya, membiarkan Lani menebak.

Dan, ya, tentu saja tebakan Lani seratus persen tepat.

"Mahen!" Lani memekik heboh. Memahami maksud Sabrina. "Gue sampai lupa, lo kemarin sempat bilang kalau jalan sama Mahen."

"Iya, Nona Sibuk. Chat gue aja enggak dibalas." Sabrina mencebik. Satu hal yang membuatnya berakhir di sini sekarang memang karena Lani yang tidak menanggapi pesannya kemarin.

"Jadi gimana dengan kalian? Saran gue berguna, kan?"

Lani mendekatkan piring berisi nasi, cah jamur, dan beef teriyaki ke depannya. Menyantap dengan lahap sembari mendengarkan cerita penuh antusias Sabrina.

"Berguna banget, Lan. Emang enggak yang gimana-gimana, sih. Cuma makan malam terus nonton, tapi kapan lagi kan Mahen ngajak gue nonton? Dulu waktu pacaran aja bisa dihitung pakai satu tangan."

Lani mengangguk setuju. Mahen memang pria sibuk yang tidak romantis.

"Terus dia juga masih sama kayak dulu. Hal-hal kecil yang dia lakuin masih bikin gue meleleh. Contohnya bukain pintu mobil, mastiin gue duduk dengan nyaman. Ya beberapa kali kerasa agak canggung, sih. Tapi anehnya gue tetap bisa menikmati. Enggak yang bikin males gitu."

"Ya itu karena pengaruh orangnya juga. Coba kalau yang ngelakuin bukan Mahen." Lani tidak tahan untuk berkomentar geli.

"Ish, elo mah! Kemarin dia juga nganterin gue pulang terus ketemu Ibu."

"Reaksi Tante Rossa gimana pas lihat elo pulang sama Mahen?"

"Ya gitu. Ibu sih kelihatannya senang banget. Sempat-sempatnya ngegodain juga."

"Ya iyalah. Calon mantu idaman Tante Rossa."

"Terus ya ...."

"Terus ... sekarang elo makan dulu," potong Lani.

"Ah! Gue senang banget, Lan!"

Sabrina menopang dagu. Mengingat setiap detik yang dilaluinya bersama Mahen semalam. Satu kejadian pun tidak ada yang terlewat dari pikirannya.

Sedangkan Lani tersenyum geli melihat tingkah Sabrina sekarang. Turut senang karena sang sahabat bisa kembali merasakan kebahagiaan setelah beberapa waktu lalu banyak menghabiskan waktu untuk menangis.

"Makan dulu. Jangan sampai elo mati karena terlalu bahagia."

Sabrina mendengkus mendengar celetukan sahabatnya. Mana ada orang yang mati karena terlalu bahagia. Kecuali kalau terlalu senang lalu sedang berdiri di ujung jurang, sehingga terjatuh karena lalai, mungkin bisa.

"Terus, elo udah tanya soal Sasa sama Mahen? Mereka enggak ada hubungan apa-apa, kan?"

Sabrina menghentikan gerak tangannya yang sudah mengangkat sendok berisi nasi lantas menggeleng lesu. Dia tidak berani bertanya karena takut. Hubungannya dengan Mahen baru saja maju satu langkah. Kalau nekat bertanya, bukan tidak mungkin hubungan mereka akan mundur seperti semula.

"Ah lama! Tanya, dong! Jadi biar jelas elo harus maju atau stop sampai di sini." Lani mengompori. Menurutnya, hubungan Mahen dan Sabrina tidak akan bergerak ke mana-mana jika masih ada Sasa sebagai penghalang.

"Lo pakai ngomongin Sasa, gue jadi enggak nafsu makan." Sabrina menyimpan sendok secara kasar membuat nasi-nasi yang ada di atasnya berjatuhan.

"Ya gue ngomongin kenyataan. Kan, enggak lucu kalau elo udah bayangin yang iya-iya sama Mahen, tahunya si Micin masih aja ada di antara kalian."

Sabrina merenungi perkataan Lani. Memang ada benarnya. Dia tidak akan bebas jika masih ada Sasa yang selalu menjadi bayang-bayang.

Sabrina butuh Mahen dengan status yang jelas. Bukan Mahen yang selalu diintili perempuan lain walaupun mengaku tidak ada hubungan apa-apa. Apalagi perempuan itu juga selalu sinis dengan Sabrina.

"Menurut elo, gue harus gimana?"

"Ya yang jelas, elo harus tanya langsung sama Mahen tentang si Sasa. Pastikan kalau micin itu enggak akan ganggu hubungan kalian ke depannya. Daripada lo berspekulasi sendiri. Mumpung hubungan kalian juga baru dimulai lagi."

"Gue takut, Lan. Kalau gue tanya, terus Mahen malah menjauh gimana?"

"Mahen enggak mungkin kayak gitu kalau yang dia pilih itu elo. Cukup percaya dan yakin aja. Gue malah yakin kalau Mahen juga aslinya udah gerah sama si micin."

Sabrina mengangguk paham. Sepertinya nanti dia memang harus bertanya pada Mahen.

Ya, nanti bukan sekarang. Karena sekarang adalah waktunya menghabiskan makanan yang sudah dipesan.

"Gue kenyang banget. Elo pesannya kebanyakan, nih!" Lani mengelus-elus perutnya yang terasa penuh. "Pokoknya kalau setelah ini gue enggak bisa kerja itu salah elo."

Meskipun berbicara seperti itu, Lani tetap mencomot sepotong kentang goreng bagian Sabrina dan memasukkannya ke dalam mulut tanpa perasaan bersalah.

"Kenyang-kenyang, tapi bagian gue diembat juga," sindir Sabrina. Tanpa merasa kesal sama sekali. Kalau bukan karena wejangan dari Lani, mungkin dia dan Mahen tidak akan ada di titik sekarang. Sabrina tetap akan menjadi gadis yang gengsi menyapa Mahen terlebih dahulu.

Lani tertawa renyah, bangkit lantas memeluk Sabrina sekilas. "Gue balik ke kantor, ya. Makasih traktirannya. Gue senang kalau elo juga senang."

"Makasih juga, Lan. Hati-hati baliknya."

Sabrina mengamati kepergian Lani hingga menghilang dari pandangan, lalu tersenyum kecil. Dia tidak salah memilih sahabat.

🌹🌹🌹

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro