6. Mahen Rajasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Terhitung sudah tiga tahun bekerja di sebuah perusahaan start up bagian development. Memiliki karir mentereng dan juga jenjang pekerjaan yang jelas.

Namun, semua itu seakan tiada artinya begitu Sabrina mengucapkan kalimat perpisahan beberapa hari lalu. Tanpa membiarkan Mahen untuk menjelaskan apa yang terjadi.

Mungkin memang salahnya yang tidak bisa bersikap terbuka. Lalai menceritakan beberapa hal yang dianggap wanita sebagai sesuatu yang penting. Sedangkan bagi dirinya biasa saja hingga membiarkan berlarut dan menimbulkan perkara.

Mahen menyayangi Sabrina. Bukan sebuah hal yang patut dipertanyakan. Sikapnya yang acapkali terkesan datar sama sekali tidak mengurangi apa yang dirasakan.

"Jadi, itu yang namanya Sabrina?"

Dimas bergumam seolah di sebelahnya bukan lelaki yang baru saja merasakan patah hati karena nama yang disebut barusan.

Alis Mahen naik sebelah dengan raut terganggu.

"Cuma tanya. Galak banget buset!" Dimas tergelak keras.

"Iya. Dia yang namanya Sabrina," ujar Mahen. Dingin dan datar.

Dimas sudah tahu hubungan Mahen dan Sabrina. Termasuk mereka yang resmi putus beberapa waktu lalu. Namun, baru kali ini Dimas melihat seperti apa sosok Sabrina secara langsung.

"Cantik. Pantas lo sampai sebegininya," balas Dimas. Memandang ke luar jendela mobil.

Toko bunga milik Sabrina berdiri kokoh di seberang. Si empunya sesekali terlihat entah sedang mengerjakan apa.

Mereka sudah keluar dari toko lebih dari seperempat jam, tetapi Mahen enggan langsung beranjak. Hanya diam mengamati. Dimas memahami itu sebagai bagian dari rasa rindu pada sesuatu yang sudah tidak lagi dimiliki.

"Gue masih heran, kenapa kalian bisa sampai putus? Lo enggak cerita secara detail masalah itu." Dimas memasang wajah penasaran. Masih mengamati bagian dalam toko yang kini menampilkan sosok Agus. Pandangannya pun langsung beralih ke jalanan. Kepala Agus yang nyaris plontos tidak menarik untuk dilihat terlalu lama.

"Sabrina sering lembur. Apalagi kalau pesanan buket lagi banyak." Mahen berbicara sesuatu yang jelas bukan merupakan jawaban dari pertanyaan Dimas.

"Nostalgia, Bang?" ledek Dimas. Entah sejak kapan, rekan kerjanya berubah menjadi melankolis.

"Ayo jalan!"

Mahen menyuruh Dimas untuk segera beranjak. Semakin lama di sini membuat perasaan lelaki itu menjadi tidak nyaman. Keinginannya untuk masuk dan memeluk Sabrina seperti yang dulu sering dia lakukan bertambah kuat.

Dimas melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang. Mengamati raut wajah Mahen yang keruh melalui kaca spion di atasnya. Diam-diam menahan tawa karena Mahen yang ada di sampingnya sekarang, berbeda dengan tampilannya ketika di kantor. Sosok Sabrina ternyata membawa pengaruh yang begitu besar.

"Tadi lo ngobrol apa sama Sabrina? Gue lihat kalian kayak pasangan malu-malu meong gitu," tanya Dimas jenaka. Menggoda Mahen selalu menjadi kesenangan tersendiri baginya.

Responnya pun selalu sama. Diam saja seperti saat ini, hanya bola matanya yang bergerak. Juga dada kembang kempis menandakan lelaki itu masih bernapas.

"Dari yang gue lihat, kayaknya Sabrina itu masih suka sama lo." Dimas berkata yakin. Dia tidak mungkin lupa dengan reaksi yang Sabrina berikan ketika pertama melihat Mahen dan ketika mereka berbicara. Benih-benih cinta itu masih ada.

Lampu merah membuat laju mobil terhenti sementara. Mahen menekan punggungnya semakin dalam ke jok. Sedangkan satu tangan digunakan untuk menyangga dagu. Telinganya fokus mendengar penuturan Dimas yang entah mengapa saat itu terdengar serius.  Mahen butuh sudut pandang lain untuk meninjau kembali hubungannya dengan Sabrina.

"Jujur sama gue, lo juga masih suka sama Sabrina, kan? Koreksi juga kalau gue salah. Selama di kantor, lo hampir enggak pernah kelihatan sama cewek. Ya kecuali untuk urusan kerja. Itu artinya ada hati yang lo jaga. Padahal bukan rahasia umum lagi kalau di kantor itu banyak yang naksir sama lo. Bukan hal sulit pastinya buat lo kalau mau move on."

Dimas berbicara menggebu. Lagaknya sudah seperti penasehat profesional yang begitu paham masalah hati seseorang.

"Dan, gue lihat Sabrina juga sama. Taruhan, deh. Kalau lo ngajak dia balikan sekarang, pasti bakal diterima. Lo enggak perlu galau-galau tahi ayam. Jadi cowok lembek yang lebih banyak melamun daripada kerja padahal baru dua hari putus. Lo pikir gue enggak tahu?"

Helaan napas berat datang dari Mahen, tetapi lelaki itu masih belum memberi tanggapan berarti. Semua yang diucapkan Dimas memang tepat sasaran. Sedikit menjadi tamparan baginya hingga tidak tahu harus bereaksi bagaimana.

Lampu berubah hijau dan mobil pun kembali melaju. Arus lalu lintas terbilang lancar dan membuat Dimas tidak terlalu kesulitan selama mengemudi.

"Sampai di mana tadi?"

Dimas melirik Mahen yang justru memejamkan mata. Tangannya masih bertahan menopang dagu.

"Lo dengar ini. Cewek itu enggak suka nunggu. Bukan cuma buat jadian, tapi juga buat balikan. Kelamaan sedikit aja, Sabrina pasti digaet cowok lain. Apalagi cantik gitu. Gue juga kalau belum punya pacar mau, kok sama dia."

Mahen melotot sadis. Demi Tuhan dia tidak rela jika Sabrina sampai jatuh ke pelukan cowok lain. Apalagi model Dimas yang sebelum tobat dengan pacarnya sekarang senang menggoda gadis-gadis yang lewat.

"Gue serius, Mahen.  Lo bakal menyesal kalau enggak ikut apa kata gue sekarang. Apalagi lo orangnya lelet macam siput kalau masalah beginian."

Mahen menggeleng tidak setuju. Baginya, permasalahan asmaranya baik-baik saja. Hanya mungkin, dia dan Sabrina memang berada bukan di jalan yang sama. Mahen takut Sabrina semakin terluka jika dia terlalu memaksa. Keputusannya sudah bulat untuk memberikan Sabrina waktu terlebih dahulu.

"Lo dengerin gue, kan?"

Mahen hanya berdeham sebagai jawaban. Dia memang sedari tadi mendengarkan.

"Baguslah. Lo pikirin baik-baik, tuh! Semua keputusan ada di lo. Gue cuma kasih saran aja."

Mahen mengangguk mengiyakan. Belum dapat memutuskan untuk mengikuti saran Dimas atau tidak. Urusan hati memang tidak pernah mudah.

Mobil berbelok menuju kantor. Mahen sengaja meninggalkan mobilnya dan meminjam mobil Dimas untuk pergi ke toko, sebab khawatir Sabrina akan tahu dan tidak mau menemuinya.

Ya, dia memang sengaja mengajak Dimas hanya demi melihat keadaan Sabrina. Nyalinya ciut jika harus bertanya lewat pesan seperti hari lalu.

Setelah Mahen keluar dan hendak menutup pintu, Dimas mengambil buket bunga yang disimpannya di jok belakang.

"Sering-sering ya beliin gue buket bunga buat Dina, lumayan. Dina pasti senang banget lihat bunga mawar ini, buket segede ini pasti mahal," ujar Dimas seraya memindahkan buket tersebut ke jok depan.

Mahen tidak menjawab. Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya pelan. Sedikit merasa lucu.
Dulu dia bisa dengan mudah menemui Sabrina. Sekarang harus memakai Dimas sebagai pancingan agar keinginannya terpenuhi.

Tidak apa-apa, yang penting Sabrinanya bahagia. Mahen rela mengalah dan menjauh sementara.

🌹🌹🌹

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro