🍁 21 | Beneran?!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi, lo selama ini tinggal sama Vanilla?"

Revan membenarkan pertanyaan tersebut saat motor Rangga berhenti di depan rumah minimalis dengan perkarangan di depan rumah. Rangga mengintip ke dalam lalu mengangguk.

"Lo tidurnya sama siapa? Bukan sama Vanilla, kan?" tanya Rangga yang masih betah di jok motornya, berbeda dengan Revan yang telah turun dari kendaraan roda dua itu seraya memukul belakang bagian helm wakilnya.

"Lo kalau mau ngomong filter dulu, deh, Ga. Ya kali, Emaknya kasih gue sekamar sama anak gadisnya saat dia punya dua anak laki-laki." Cerocos Revan yang melepas helmnya sendiri dan menyerahkan kepada sang pemilik asli benda pelindung itu.

Rangga cengengesan saat mendengar seruan tersebut, "Ya, kali aja. Jadi, lo tidur di mana?"

"Sama anak nomor dua keluarga ini. Anaknya lumayan asyik, sih. Banyak jajan juga. Bisa diambil dengan bebas asal kasih tahu ke dia."

"Tukeran hidup, yok? Nggak apa-apa, gue dijodohin, nggak bisa racing, dan jadi anak baik selamanya. Yang penting, punya teman yang sebaik kakaknya Vanilla."

"Nggak begitu rumusnya, ya, dodol." Revan lagi-lagi menoyor belakang kepala pemuda tersebut dengan ringan tangan, dia gemas dengan pemikiran pemuda menyebalkan sayangnya merupakan sahabat sejak taman kanak-kanak. Susah senang dan banyak aib tentu saja sudah diketahui oleh masing-masing pihak sampai sebesar ini.

Seperti Revan yang tahu Rangga diam-diam suka mengemil kacang saat masih sekolah dasar kelas dua, bahkan tidak jarang berhasil mencuri jualan dari kantin untuk kesenangan sendiri. Belum lagi dengan kehidupan pribadi Rangga, curhatan hati seorang Rangga tadi sore itu hanya satu dari sekian ribu kali yang terjadi dalam hidupnya.

Bukan hanya sekali pemuda penyandang belakang nama Lionel itu ingin minggat dari Medan ke tempat yang entah-berantah sampai ingin menemui Sang Pencipta semesta dan isinya di saat dosanya menumpuk seperti kumpulan soal Ujian Nasional milik Marcus.

Revan tahu dibalik sikap yang suka mempermainkan wanita Rangga tersebut, pemuda itu hanya kesepian dan butuh dukungan dari orang yang benar-benar bisa bersamanya selama mungkin.
Ketua OSIS itu sudah berusaha semampu yang dia bisa untuk mengajak Rangga mengitari Medan tetapi, dia tidak bisa menemani pemuda itu sampai larut malam. Karena, Thalita tidak menyukai orang yang berlakon seperti burung hantu di rumahnya.

"Ya, kali saja, gitu, Van. Lo bosen sama hidup lo jadi mau tukaran." Balas Rangga dengan asal.

"Lo hari ini turun lagi ke sana?" tanya Revan yang mengalihkan topik.

Rangga tersenyum tipis, dia paham sepenuhnya dengan pertanyaan tersebut, "Ya. Kalau nggak ngapain bawa Eagle ke sini."

"Awas lo kalau cedera, gue jual si Eagle sama Scorpion. Bodo amat sama lo."

Wakil Ketua OSIS tersebut tertawa kencang, maksud yang ditangkap adalah dia tidak ingin Rangga terluka dan harus menginap di rumah sakit selama mungkin untuk proses penyembuhannya. "Santai, Van. Gue bakalan sehat sampai rambut lo memutih kek Pak Uban." Balas Rangga yang malah membawa guru Kimia mereka ke dalam percakapan.

"Sialan. Gue beruban juga karena faktor u. Lo juga sama ya, kampret. Pak Uban, mah, emang kebanyakan berkutat sama molekul dan atom dia. Katanya, dia juga sedang belajar ilmu Fisika bukan?"

"Wah. Pak Uban bentar lagi ganti nama jadi Pak Botak."

Revan tertawa mengakak saat mendengar penuturan tersebut, dalam hatinya dia berharap semoga saja perkataan sahabatnya tidak menjadi kenyataan. Kalau iya, maka mungkin di kalangan siswa akan berubah nama sesuai perkataan Rangga.

"Dah, lah. Sana ke sirkuit. Ingat jangan sampai lo beneran ketemu sama Sang Pencipta, utang lo masih numpuk," ujar Revan yang mengusir Rangga yang mendengus kesal.

Utang sepuluh ribu, doang, ditagih sampai begini, batin pemuda yang sudah menyalakan mesin motornya. Rangga kembali membelah jalanan setelah memastikan Revan berada di rumah yang benar.

Anak tunggal Ivander itu masuk ke dalam rumah dan terkejut dengan ruang tamu yang mendadak ramai seperti acara syukuran. Bahkan kedua abangnya Vanilla juga ada di sana menatapnya dengan tatapan datar yang sama.

"Mas," kata seorang wanita yang duduk di samping Elina.

"Pa, Ma." Panggil Revan dengan tatapan tak percaya. "Om, Tante, Bang Jo, Kak Lian." sambungnya lagi setelah melihat senyum dari kedua tamu. Dia tidak tahu kalau akan secepat ini dia ditarik kembali ke rumahnya.

Bukan itu maksudnya. Dia sempat mengirim pesan kepada Thalita, dan kata wanita tersebut mereka akan menjemputnya tengah malam. Ini bahkan belum sampai jam tujuh malam.

"Surprise, Mas. Gimana, Mas habis darimana?" tanya Thalita yang sadar dengan tatapan anak tunggalnya.

"Dari habis main dengan Rangga, Ma. Tadi ke apart bentar," ucap Revan yang telah sadar dengan situasi. "Kalau gitu, Mas rapiin barang dulu, ya." sambungnya yang pamit ke kamar selama tiga hari ini.

"Om, Tante, Pa, Ma, Kakak juga ikut, deh, bantuin Revan." pamit Areliano mengikuti jejak teman sekamarnya.

"Gimana, anaknya nggak repotin kamu, kan, Lin?" tanya Thalita saat melihat anaknya telah masuk ke dalam kamar di lantai atas bersama anak pemilik rumah yang tengah dikunjungi.

Elina mendengus kesal pura-pura sebelum kembali tersenyum, "Nggak. Revan, anak baik, kok. Nggak ngerepotin. Malah keknya anakku yang ngerepotin anakmu. Revan beneran jadi temannya Vanilla."

"Bagus, deh. Aku pusing juga lihat Revan kalau keluar selalu sama temannya. Itu yang tadi namanya Rangga. Kalau tidak dia, yang sama lima kawannya lagi. Cowo semua lagi. Katanya Rangga, dia nggak pernah deketin cewe di sekolah."

Elina tertawa pelan, "Ya, berarti anakmu baik, Ta. Dia mau fokus ke belajar sama kerja dulu kali. Masalah jodoh, mah gampang setelah dapat kerja, mapan, cewe sendiri datang. Apalagi, Revan ganteng."

"Ya, dong. Keturunan Bapaknya." Balas Thalita yang disambut dengan gelak tawa dari semua orang yang berada di ruang tamu.

"Kamu juga cantik, ya, Ta. Kalau jalan sama anakmu pasti dikira kakaknya, deh." Timpal Elina yang masih berusaha meredam suara ketawanya.

"Bener itu, Lin. Dia itu suka banget ajak Revan keluar ke mall, pas pula Revan itu kalau diajakin selalu iyain, nggak pernah nolak. Pernah ke salon, Revannya lagi tungguin, malah dikira adiknya Thalita. Padahal, anaknya." tutur Ian yang semakin menggelegarkan tawa dari dua anak muda yang masih tersisa di sana.

"Ma, Pa, sudah semua."

Perkataan Revan yang segera dilambaikan tangan oleh Thalita untuk mendekat ke arah mereka.

"Sini dulu, Mama masih mau duduk ngobrol sama Lina. Sudah lama nggak ngobrol," ujar Thalita yang langsung disanggupi oleh Revan yang duduk di sebelah Ian. Areliano juga ikut duduk di samping Vanilla.

Kemudian, kedua wanita yang tidak lagi berumur muda itu kembali membicarakan banyak hal seperti masa muda mereka yang termasuk indah pada masanya. Pada akhirnya, Revan sungguh pulang di jam sepuluh malam karena kedua wanita itu asyik bicara sampai lupa waktu.

To Be Continue

Hehe ^^

Happy first day November

Goals kalian apa untuk bulan ini?

Kalo Chris, cuma mau cepet tamatin Nginep, biar lanjut ke sequelnya.

Lalu, kalian juga stay healthy, ya.

See ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro