🍁 38 | Way Back Home

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo yakin dua teman gue bakalan baik-baik saja sama si buaya darat satu itu?" tanya Vanilla yang masih melihat mobil van di depan mereka, matanya melirik ke belakangnya. Dia tersenyum tipis saat melihat Jihan dan Alvaro sudah terlelap dalam mimpi.

Sayangnya, dia harus menemani Revan tetap terjaga mengingat mentari nyaris tenggelam sebentar lagi, tandanya akan semakin gelap untuk melewati jalanan yang tidak selurus jalanan kota.

Revan membawa mobilnya dengan santai, sesekali musik instrumental mengalun dari speaker bluetooth mobilnya, "Masih ada Hyungwoo di sana, Vanie. Lagipula, mereka berdua di sana. Justru lo yang harus takut daripada mereka, lo sendirian cewe di sini, lo baik-baik saja?"

"Memangnya kenapa kalau gue sendirian? Lagian, lo juga yang paksa gue tetap sama lo ketika gue mau ikut sama mereka," kata Vanilla yang menaikkan nadanya tanpa sadar. Wajahnya ditepis melihat pepohonan dibalik jendela. Dia masih ingat dengan jelas, Revan menarik tangannya dan memaksanya masuk ke dalam mobil ini saat pulang dari acara bermain.

"Mereka itu mau jalan-jalan lagi, Vanie. Lagian, lo mau langsung pulang, kan?" tanya Revan balik.

"Ish, tapi, kan, ngikut sama mereka bentar nggak masalah, Evan. Gue juga pengen jalan-jalan," kata Vanilla yang membalas diakhiri dengan nada yang cukup panjang diakhir serta terlihat merajuk.

Tolong, Vanilla Fransisca Huang, lo jangan imut-imut, Revan nggak konsen nyetirnya.

"Nggak, Om Brian tadi sudah tanya kabar lo daritadi. Lagian, ponselnya kenapa suka di-silent?"

"Iya, Baginda. Silakan antar babumu ini pulang," balas Vanilla yang enggan untuk memperpanjang urusan.

Revan berdecak singkat, ekor matanya mengintip dari kaca mobil untuk memastikan kedua anak laki-laki yang ikut serta dengan mereka masih terlelap. Tidak bisa dipungkiri, Jihan adalah orang pertama yang paling semangat setelah melihat beragam permainan di sana dan Alvaro harus rela tangannya ditarik kesana-kemari oleh Jihan. Jadi, nggak aneh melihat keduanya rela mengikuti Revan untuk pulang karena kehabisan energi.

"Nggak ada tuan yang mengantar pulang pembantunya, Vanie," dengusnya yang tetap menuruni jalan sedangkan mobil van di depan mereka telah berhenti ke tujuan mereka.

Merasa tidak tega melihat Vanilla yang tetap melihat arah mobil van tersebut, Revan kembali berucap, "Ntar pulang, drivethru dulu. Pengen makan kentang goreng gue."

Vanilla langsung mengangguk dan tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi.

Tingkah manis gadis di sampingnya cukup membuatnya merasa aman. Setidaknya, dia berhasil membuat anak bungsu Brian Huang kembali tersenyum dengan iming-iming drivethru.

"Bang Danish hari ini sidang?" tanya Vanilla yang ketika menuruni tangga melihat Kakak tertuanya sudah terbalut dalam setelan rapi dan formal. Gadis itu menguap pelan ketika merasa masih mengantuk setelah mandi air dingin pagi ini.

Revan memang langsung kembali ke Medan kemarin, tapi dia mengantar pasangan kembar berbeda orang tua itu ke rumah mereka terlebih dahulu. Sebelum membawa Vanilla drivethru dan makan malam di sana. Belum lagi, dia yang meminta untuk jalan-jalan sambil mencomot kentang goreng keinginan Revan. Namun, karena masih ada adab, gadis itu rela menyuapi Revan saat pemuda itu menyetir mobil.

Kalau Vanilla tidak salah ingat, mereka sampai di rumah Vanilla saat pukul sebelas malam tepat. Tidak heran, Vanilla masih merasa sekujur tubuhnya kesakitan karena kurang tidur.

Namun, bagian anehnya adalah Revan tidak ingin masuk ke rumahnya. Padahal, Ketua OSIS itu sendiri yang mengatakan kalau dia ingin berbicara kepada Ayahnya Vanilla.

Gadis itu tidak ingin berpusing ria memikirkan hal tersebut. Bisa saja, karena Revan tidak ingin menganggu jam tidur orang tuanya. Makanya, dia kembali mengurungkan niatnya.

"Iya, Dek. Abang ganteng, nggak?" Danish menjawab sambil merapikan dahinya.
Vanilla menggeleng seraya mengambil tempat untuk sarapan. Areliano sudah nangkring di meja makan dan santai memakan sarapannya dengan piyama dan rambut acak-acakan khas bangun tidur. Dia bahkan yakin kalau masih ada kotoran di sekitar mata Kakaknya.

Seandainya, dia bisa membocorkan ini di depan pacar Areliano, pasti akan menyenangkan melihat saudaranya itu menanggung malu.

"Ntar Papa sama Mama mau ke kampus Abang. Lalu, malamnya kita makan bareng. Kakak ikut?"

"Jam berapa, Pa?" tanya Areliano yang menyicip kuah mi instant.

"Abang selesainya pagi. Kakak kalau mau datang, boleh, jemput Adek sekalian, ya. Ntar malam, Kakak ajak pacar Kakak untuk makan malam. Abang kalau ada, juga boleh." balas Brian yang sudah selesai dengan acara makannya. Namun, masih memilih betah duduk di sana bersama keluarga kecilnya sembari menunggu si bungsu menyelesaikan sarapannya dan mengantarnya ke sekolah.

"Okay. Kakak nggak ada kelas pagi ini. Adek mau izin?"

Vanilla langsung mengangguk dengan mata berbinar terang. Tentu saja, dia mau, sesekali membolos sekolah.

"Ya sudah. Nanti Mama izinkan. Habiskan makanannya dan segera ke sekolah, Papa bentar lagi mau telat itu," sambung Elina yang telah selesai mengurusi dapur dan duduk di meja makan.

"Okay, Mama."

To Be Continue

Goodnite

See ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro